Warisan Abadi

Jumat, 15 Maret 2024

Baca: Pengkhotbah 5:7-14

5:7 (5-6) Karena sebagaimana mimpi banyak, demikian juga perkataan sia-sia banyak. Tetapi takutlah akan Allah.

5:8 (5-7) Kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan perkara itu, karena pejabat tinggi yang satu mengawasi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka.

5:9 (5-8) Suatu keuntungan bagi negara dalam keadaan demikian ialah, kalau rajanya dihormati di daerah itu.

5:10 (5-9) Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.

5:11 (5-10) Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?

5:12 (5-11) Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak; tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membiarkan dia tidur.

5:13 (5-12) Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri.

5:14 (5-13) Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada suatupun padanya untuk anaknya.

Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri. —Pengkhotbah 5:12

Saat Amerika Serikat dilanda badai pasir Dust Bowl pada masa Depresi Besar, seorang penduduk kota Hiawatha, Kansas, bernama John Millburn Davis memutuskan untuk membuat dirinya terkenal. Davis yang kaya raya dan tidak memiliki anak itu bisa saja menyumbangkan hartanya untuk tujuan sosial atau berinvestasi untuk pengembangan ekonomi. Akan tetapi, ia malah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membuat sebelas buah patung dirinya dan almarhumah istrinya dalam ukuran sesungguhnya. Patung-patung itu hendak ditaruhnya di pemakaman setempat.

“Orang Kansas membenci saya,” kata Davis kepada wartawan Ernie Pyle. Warga setempat ingin Davis mendanai pembangunan fasilitas umum seperti rumah sakit, kolam renang, atau taman. Namun, Davis berkata, “Ini uang saya, dan saya berhak memakainya semau saya.”

Raja Salomo, orang terkaya pada zamannya, menulis, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang,” dan “dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya” (Pkh. 5:9-10). Salomo sadar betul bahwa kekayaan bisa membawa pengaruh yang merusak hidup seseorang.

Rasul Paulus juga memahami godaan kekayaan dan memilih untuk mengabdikan hidupnya dalam ketaatan kepada Tuhan Yesus. Saat menantikan hukuman mati dalam tahanan Romawi, ia menuliskan kata-kata penuh kemenangan, “Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan . . . aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim. 4:6-7).

Yang akan bertahan abadi bukanlah sesuatu yang dipahat pada batu atau harta yang kita timbun untuk diri sendiri, melainkan apa yang kita berikan dari kasih kita kepada sesama dan kepada Allah—Pribadi yang menunjukkan bagaimana kita dapat hidup dalam kasih. —Tim Gustafson

WAWASAN
Dalam Kitab Pengkhotbah, Salomo berbicara banyak mengenai kekayaan materi. Ia juga menulis sekitar seratus ucapan bijaksana dalam Kitab Amsal mengenai kekayaan dan uang. Kekayaan materi dapat menjadi berkat (Amsal 10:22) atau sebaliknya kutuk (30:7-9), tergantung bagaimana seseorang berelasi dengannya (lihat Ulangan 8:7-19). Allah memperingatkan kita untuk tidak meraup kekayaan dengan berbuat jahat atau dengan cara-cara yang tidak adil (Amsal 15:27; 22:16; 22:22-23). Yang kita cari seharusnya kebijaksanaan daripada kekayaan (3:13-15; 8:10-11; 16:16), karena hidup yang saleh lebih baik daripada hidup yang nyaman. Hidup yang benar lebih baik daripada hidup yang kaya raya (15:16; 16:8; 28:6). Uang adalah komoditas fana yang memberikan rasa aman yang palsu (23:4-5; 27:24; Pengkhotbah 5:9-10). Alih-alih menimbun uang, kita perlu berinvestasi dalam kekekalan. Yesus berkata, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi . . . pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga” (Matius 6:19-20). —K.T. Sim

Warisan Abadi

Menurut kamu, bagaimana orang lain akan mengenang kamu? Apa saja yang mungkin perlu kamu ubah ketika memikirkan warisan abadi kamu?

Bapa Surgawi, tolonglah aku untuk mencurahkan hidupku bagi orang lain dengan tindakan-tindakan yang sederhana hari ini.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 26-27; Markus 14:27-53

Hanya Allah yang Dapat Memuaskan

Kamis, 14 Maret 2024

Baca: Kejadian 25:29-34

25:29 Pada suatu kali Yakub sedang memasak sesuatu, lalu datanglah Esau dengan lelah dari padang.

25:30 Kata Esau kepada Yakub: "Berikanlah kiranya aku menghirup sedikit dari yang merah-merah itu, karena aku lelah." Itulah sebabnya namanya disebutkan Edom.

25:31 Tetapi kata Yakub: "Juallah dahulu kepadaku hak kesulunganmu."

25:32 Sahut Esau: "Sebentar lagi aku akan mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu?"

25:33 Kata Yakub: "Bersumpahlah dahulu kepadaku." Maka bersumpahlah ia kepada Yakub dan dijualnyalah hak kesulungannya kepadanya.

25:34 Lalu Yakub memberikan roti dan masakan kacang merah itu kepada Esau; ia makan dan minum, lalu berdiri dan pergi. Demikianlah Esau memandang ringan hak kesulungan itu.

Ketika Yakub sedang memasak sayur kacang merah, datanglah Esau . . . Katanya kepada Yakub: “Saya lapar sekali.” —Kejadian 25:29-30 bimk

Seorang pemilik rumah menerima kiriman makanan seharga seribu dolar—udang jumbo, shawarma, salad, dan banyak lagi. Padahal, ia tidak sedang menyelenggarakan pesta. Bahkan, bukan ia yang memesan semua makanan itu, melainkan putranya yang baru berusia enam tahun. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Rupanya sang ayah membiarkan anaknya bermain dengan ponselnya sebelum tidur, dan anak itu memakainya untuk memesan berbagai jenis makanan yang mahal-mahal dari beberapa restoran. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya sang ayah kepada anaknya yang bersembunyi di balik selimut. Anak itu menjawab, “Aku lapar.” Nafsu makan dan ketidakdewasaan sang anak telah menimbulkan kerugian besar.

Nafsu makan Esau telah membawa kerugian yang lebih besar daripada seribu dolar. Kejadian 25 bercerita bagaimana Esau sedang kelelahan dan sangat membutuhkan makanan. Ia berkata kepada adiknya, “Saya lapar sekali. Minta sedikit kacang merah itu” (ay.30 bimk). Yakub menanggapinya dengan meminta hak kesulungan Esau (ay.31). Hak kesulungan Esau memberikannya kedudukan istimewa, berkat dari janji-janji Allah, dua pertiga dari warisan, dan kehormatan untuk menjadi pemimpin rohani dalam keluarga. Esau menuruti nafsunya dengan “makan dan minum” dan “meremehkan haknya sebagai anak sulung” (ay.34 bimk).

Ketika godaan menghampiri dan hasrat diri menguasai, alih-alih membiarkan hawa nafsu mengarahkan kita pada kesalahan dan dosa yang merugikan, marilah kita berpaling kepada Bapa kita di surga—hanya Dia yang dapat memuaskan jiwa yang lapar “dengan kebaikan” (Mzm. 107:9). —Marvin Williams

WAWASAN
Dalam dunia Alkitab, hak kesulungan seorang anak laki-laki mencakup hak-hak istimewa dalam hal materi maupun rohani. Sang anak sulung berhak mendapatkan dua kali lipat dari warisan ayahnya (Ulangan 21:17). Lebih penting dari itu, anak sulung menjadi kepala dan pemimpin rohani dari keluarga tersebut. Garis keturunan dilanjutkan melalui sang anak sulung, meskipun anak laki-laki lainnya juga disebutkan (lihat 1 Tawarikh 7:1-4). Dalam kasus Yakub dan Esau, hak kesulungan menentukan siapa yang akan mewarisi berkat dari perjanjian Allah dengan Abraham—warisan tanah, bangsa, dan garis keturunan yang akan melahirkan Sang Mesias. Meskipun Yakub menghargai hak kesulungan tersebut, ia merebutnya dari sang kakak melalui penipuan (Kejadian 27:35-36). Namun, kerelaan Esau untuk meninggalkan hak kesulungan rohaninya demi kepuasan fisik yang langsung didapatkan menunjukkan bahwa ia “memandang ringan” hal-hal rohani (25:34), dan dengan demikian membuatnya tidak masuk bagian dalam garis keturunan Mesias yang akan datang. Ia dianggap “tidak menghargai hal-hal rohani” (Ibrani 12:16 BIMK). —K.T. Sim

Hanya Allah yang Dapat Memuaskan

Pernahkah kamu terseret oleh godaan yang merenggut banyak hal dari kamu? Mengapa hanya Allah yang dapat memenuhi kerinduan kamu yang terdalam?

Allah yang baik, saat aku tergoda untuk berbuat dosa, tolonglah aku untuk mengingat hak istimewa yang kumiliki sebagai anak-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 23-25; Markus 14:1-26

Ratapan Kesesakan

Rabu, 13 Maret 2024

Baca: Mazmur 118:1-9

118:1 Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.

118:2 Biarlah Israel berkata: "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!"

118:3 Biarlah kaum Harun berkata: "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!"

118:4 Biarlah orang yang takut akan TUHAN berkata: "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!"

118:5 Dalam kesesakan aku telah berseru kepada TUHAN. TUHAN telah menjawab aku dengan memberi kelegaan.

118:6 TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?

118:7 TUHAN di pihakku, menolong aku; aku akan memandang rendah mereka yang membenci aku.

118:8 Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia.

118:9 Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada para bangsawan.

Dalam kesesakan aku telah berseru kepada Tuhan. Tuhan telah menjawab aku dengan memberi kelegaan. —Mazmur 118:5

Jinan, seorang anak perempuan berusia lima tahun asal Suriah, terjebak di bawah reruntuhan bangunan lantai dua yang ambruk akibat gempa. Ia berteriak minta tolong sambil melindungi adik laki-lakinya dari puing-puing di sekitar mereka. “Tolong keluarkan aku; aku akan lakukan apa saja,” ia berseru menyayat hati. “Jadi pesuruhmu juga aku mau.”

Ratapan kesesakan dapat kita temui di seluruh Mazmur: “Dalam kesesakan aku telah berseru kepada Tuhan” (118:5). Meski kita mungkin tidak pernah terimpit dalam reruntuhan akibat gempa, kita semua dapat mengenali rasa takut yang mencekam dari diagnosis medis yang sulit diterima, kesulitan ekonomi, ketidakpastian tentang masa depan, atau pengalaman kehilangan seseorang yang dikasihi.

Pada saat-saat seperti itu, kita mungkin mencoba tawar-menawar dengan Allah agar Dia menyelamatkan kita. Namun, Allah tidak perlu dibujuk untuk menolong kita. Dia berjanji akan menjawab seruan kita, dan meski jawaban-Nya itu bukan berupa kelepasan dari situasi kita, Dia akan tetap menyertai dan berpihak pada kita. Kita pun tidak perlu mencemaskan mara bahaya lain—termasuk kematian. Kita dapat berkata seperti pemazmur, “Tuhan menyertai aku untuk menolong aku, aku akan melihat musuhku dikalahkan” (ay.7 bimk).

Kita tidak dijanjikan untuk selalu diselamatkan secara dramatis seperti pengalaman Jinan dan adiknya, tetapi kita dapat terus mempercayai Allah kita yang setia, yang telah “memberi kelegaan” kepada pemazmur (ay.5). Dia tahu keadaan kita dan Dia tidak akan pernah meninggalkan kita, dalam kematian sekalipun. —Matt Lucas

WAWASAN
Mazmur 118 adalah salah satu dari enam mazmur (Mazmur 113–118) yang dinamakan “Hallel Mesir.” Mazmur-mazmur ini digunakan dalam perayaan Paskah, yaitu sewaktu orang Yahudi memperingati perbuatan Allah yang melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Mazmur 118, mazmur terakhir dalam golongan ini, digunakan untuk mengakhiri perjamuan Paskah.

Mazmur pujian syukur ini merayakan hesed Allah—sebuah kata penting dalam bahasa Ibrani, yang berarti “kasih yang setia, teguh, dan tidak berkesudahan” (diterjemahkan sebagai “kasih setia” dalam TB). Mazmur ini diawali dan diakhiri dengan sebuah undangan untuk memuji Allah karena “untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (ay. 1,29).

Dalam Perjanjian Baru, menjelang masa-masa penderitaan dan kematian-Nya, Yesus menyebut diri-Nya sebagai penggenapan Mazmur 118:22—”Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru” (lihat Matius 21:42). Pengorbanan-Nya menjadi demonstrasi terbesar dari kasih setia Allah. —Monica La Rose

Ratapan Kesesakan

Bagaimana Allah pernah membuktikan kesetiaan-Nya saat kamu berada dalam kesusahan? Bagaimana kamu telah menyadari kehadiran-Nya dalam saat-saat sulit?

Bapa Surgawi, aku berseru kepada-Mu karena tahu Engkau selalu mendengarkanku. Terima kasih karena Engkau setia dan penuh kasih.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 20-22; Markus 13:21-37

Keberanian dalam Kristus

Selasa, 12 Maret 2024

Baca: Ester 4:10-17

4:10 Akan tetapi Ester menyuruh Hatah memberitahukan kepada Mordekhai:

4:11 "Semua pegawai raja serta penduduk daerah-daerah kerajaan mengetahui bahwa bagi setiap laki-laki atau perempuan, yang menghadap raja di pelataran dalam dengan tiada dipanggil, hanya berlaku satu undang-undang, yakni hukuman mati. Hanya orang yang kepadanya raja mengulurkan tongkat emas, yang akan tetap hidup. Dan aku selama tiga puluh hari ini tidak dipanggil menghadap raja."

4:12 Ketika disampaikan orang perkataan Ester itu kepada Mordekhai,

4:13 maka Mordekhai menyuruh menyampaikan jawab ini kepada Ester: "Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi.

4:14 Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu."

4:15 Maka Ester menyuruh menyampaikan jawab ini kepada Mordekhai:

4:16 "Pergilah, kumpulkanlah semua orang Yahudi yang terdapat di Susan dan berpuasalah untuk aku; janganlah makan dan janganlah minum tiga hari lamanya, baik waktu malam, baik waktu siang. Aku serta dayang-dayangkupun akan berpuasa demikian, dan kemudian aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati."

4:17 Maka pergilah Mordekhai dan diperbuatnyalah tepat seperti yang dipesankan Ester kepadanya.

Aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati. —Ester 4:16

Menjelang abad ke-20, Mary McDowell hidup dalam kondisi yang sangat jauh berbeda dengan tempat penyimpanan hewan ternak yang kumuh di kota Chicago. Meski rumahnya hanya berjarak tiga puluh dua kilometer dari tempat itu, Mary tidak tahu banyak mengenai buruknya kondisi kerja yang mendorong para pekerja di tempat penyimpanan hewan itu melakukan pemogokan. Namun, begitu Mary mengetahui kesulitan yang dihadapi para pekerja dan keluarga mereka, ia memutuskan untuk pindah dan tinggal di antara mereka, supaya dapat ikut memperjuangkan kondisi yang lebih baik. Ia melayani kebutuhan mereka, termasuk mengajar anak-anak di suatu sekolah yang diselenggarakan di bagian belakang sebuah toko kecil.

Perjuangan untuk mengupayakan kondisi yang lebih baik bagi orang lain—sekalipun tidak terkena dampak langsung—juga dilakukan oleh Ratu Ester. Ia adalah ratu Persia (Est. 2:17) yang memiliki banyak hak istimewa, berbeda dari kaum Israel sebangsanya yang tersebar di seluruh Persia sebagai orang buangan. Namun, Ester bangkit membela kepentingan orang Israel di Persia dan mempertaruhkan nyawanya bagi mereka, dengan berkata, “Aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati” (4:16). Ester bisa saja tetap diam, karena sang raja tidak tahu bahwa ia seorang Yahudi (2:10). Namun, ia memilih untuk tidak mengabaikan permohonan kerabatnya, dan dengan gagah berani berupaya untuk membongkar rencana jahat yang ingin menghancurkan orang Yahudi.

Kita mungkin tidak bisa berjuang dalam pergulatan besar seperti yang dilakukan Mary McDowell atau Ratu Ester, tetapi kiranya kita rela untuk melihat kebutuhan orang lain dan menggunakan apa yang Allah telah sediakan untuk membantu mereka. —Katara Patton

WAWASAN
Kitab Ezra dan Nehemia menuturkan kisah sebagian kecil orang Yahudi yang kembali ke tanah Yudea setelah pembuangan di Babel. Sebaliknya, Kitab Ester merekam kisah orang-orang Yahudi yang memilih tetap tinggal di Babel. Kisah ini bertempat di Susan (Iran pada masa kini) dalam masa pemerintahan Raja Persia, Ahasyweros (Ester 1:1-2, 486–465 SM). Menariknya, Ester adalah satu-satunya kitab dalam Alkitab yang tidak menyebutkan Allah sama sekali. Meski demikian, di dalamnya digambarkan pemeliharaan dan perlindungan Allah yang ajaib ketika Dia memakai seorang wanita Yahudi muda untuk menyelamatkan bangsanya dari sebuah genosida yang dilegalkan penguasa. Kisah itu menuturkan asal-usul hari raya Purim, ketika bangsa Yahudi merayakan kelepasan mereka dari pemusnahan. Haman telah membuang undi (pur) untuk menentukan pada hari apa bangsa Yahudi harus dimusnahkan (9:24); hari raya tersebut menjadi peringatan bahwa Allah tetap memegang kendali atas segala sesuatu (ay. 20-32). —K.T. Sim

Keberanian dalam Kristus

Bagaimana kamu menggunakan apa yang kamu miliki untuk membantu orang lain? Peran apa yang dapat kamu ambil untuk membantu mereka yang mungkin tidak tinggal di dekat kamu?

Ya Allah, berilah aku hikmat dan keberanian untuk melayani mereka yang membutuhkan.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 17-19; Markus 13:1-20

Mengingat Sang Pencipta

Senin, 11 Maret 2024

Baca: Pengkhotbah 9:7-10

9:7 Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.

9:8 Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.

9:9 Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.

9:10 Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.

Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu. —Pengkhotbah 9:7

Saya baru membaca sebuah novel yang bercerita tentang seorang wanita bernama Nicola yang menolak untuk menerima kenyataan bahwa ia mengidap kanker stadium akhir. Ketika teman-teman Nicola yang jengkel mendesaknya untuk menghadapi kebenaran, terkuaklah alasan dari sikapnya tersebut. “Aku telah menyia-nyiakan hidupku,” kata Nicola kepada mereka. Meski bertalenta besar dan lahir dalam keluarga kaya, “Aku tidak melakukan apa-apa dengan hidupku. Aku ceroboh dan tidak pernah tekun melakukan apa pun.” Bayangan bahwa ia akan meninggalkan dunia dengan merasa tidak banyak yang telah ia capai, ternyata terlalu menyakitkan untuk diterima Nicola.

Pada waktu yang sama saya juga sedang membaca Kitab Pengkhotbah, dan menemukan perbedaan yang mencolok. Di dalamnya, sang Pengkhotbah tidak membiarkan kita menghindari realitas kematian, “dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi” (9:10). Meski sulit untuk dihadapi (ay.2), kesadaran itu dapat membuat kita menghargai setiap momen yang kita miliki saat ini (ay.4), sungguh-sungguh menikmati makanan dan kebersamaan dengan keluarga kita (ay.7-9), bekerja dengan penuh tujuan (ay.10), berani menempuh berbagai petualangan dan mengambil risiko (11:1,6), serta melakukan semuanya di hadapan Allah yang akan menerima pertanggungjawaban kita suatu hari nanti (ay.9; 12:13-14).

Teman-teman Nicola menunjukkan bahwa kesetiaan dan kemurahan hatinya kepada mereka membuktikan bahwa hidup Nicola tidak semuanya sia-sia. Namun, mungkin nasihat sang Pengkhotbah dapat menyelamatkan kita semua dari krisis seperti itu di penghujung hidup kita: ingatlah Pencipta kita (12:1), ikutilah jalan-jalan-Nya, dan gunakan setiap kesempatan yang Dia berikan hari ini untuk menjalani hidup dalam kasih. —Sheridan Voysey

WAWASAN
Kitab Pengkhotbah mengandung banyak ucapan yang mendorong para pembacanya untuk meyakini bahwa hidup “di bawah matahari” adalah suatu hal yang kompleks dan “kesia-siaan belaka” (Pengkhotbah 1:2-3). Sang penulis mengingatkan kita bahwa semasa hidup kita di muka bumi ini, ada masanya kita merasakan kebingungan, keluh-kesah, dan kesakitan. Realisme yang dilukiskannya dapat menyadarkan, bahkan mengejutkan kita. Namun, pengamatan dan penilaian hidup dari sang pengkhotbah juga disertai kebenaran yang melegakan, seperti yang diungkapkannya dalam Pengkhotbah 9:7-10.

Dalam buku Something New Under the Sun (Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari), Ray Pritchard menggunakan judul bab “Have a Blast While You Last” (Bersenang-senanglah Selagi Engkau Bisa) untuk ayat-ayat tadi. Hidup ini memang perlu diterima, dihargai, dan dirayakan sebagai pemberian yang berharga dari Pencipta yang luar biasa. Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa Allah “dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1 Timotius 6:17). Kita tidak boleh lupa bahwa Allah yang baik tidak saja memberikan kepada kita warisan kekayaan rohani dalam Yesus, melainkan juga makanan dan minuman (Pengkhotbah 9:7), teman hidup yang penuh kasih (ay. 9), dan pekerjaan yang layak dilakukan dengan sekuat tenaga (ay. 9-10). —Arthur Jackson

Mengingat Sang Pencipta

Bagaimana kamu akan menikmati sukacita sederhana yang dianugerahkan Allah hari ini? Apa satu hal baik yang belum pernah kamu lakukan atau coba dalam hidup?

Allah terkasih, aku bersyukur untuk hari ini dan segala kebaikan yang ada di dalamnya. Aku akan menikmati sukacita sederhana dan setiap kesempatan yang kuterima hari ini sebagai penyembahanku.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 14-16; Markus 12:28-44

Allah yang Menciptakan Segalanya

Minggu, 10 Maret 2024

Baca: Mazmur 104:24-35

104:24 Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu.

104:25 Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar.

104:26 Di situ kapal-kapal berlayar dan Lewiatan yang telah Kaubentuk untuk bermain dengannya.

104:27 Semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada waktunya.

104:28 Apabila Engkau memberikannya, mereka memungutnya; apabila Engkau membuka tangan-Mu, mereka kenyang oleh kebaikan.

104:29 Apabila Engkau menyembunyikan wajah-Mu, mereka terkejut; apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati binasa dan kembali menjadi debu.

104:30 Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi.

104:31 Biarlah kemuliaan TUHAN tetap untuk selama-lamanya, biarlah TUHAN bersukacita karena perbuatan-perbuatan-Nya!

104:32 Dia yang memandang bumi sehingga bergentar, yang menyentuh gunung-gunung sehingga berasap.

104:33 Aku hendak menyanyi bagi TUHAN selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.

104:34 Biarlah renunganku manis kedengaran kepada-Nya! Aku hendak bersukacita karena TUHAN.

104:35 Biarlah habis orang-orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang-orang fasik tidak ada lagi! Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Haleluya!

Betapa banyak perbuatan-Mu, ya Tuhan, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan. —Mazmur 104:24

Anak saya yang berumur tiga tahun, Xavier, meremas tangan saya saat kami memasuki Akuarium Monterey Bay di California. Ia menunjuk patung paus bungkuk berukuran asli yang tergantung pada langit-langit akuarium. “Besar sekali!” serunya dengan gembira, sambil kami terus menjelajahi setiap koleksi yang ditampilkan di sana. Kami tertawa ketika sekawanan berang-berang mencipratkan air saat diberi makan. Kami berdiri membisu di depan kaca akuarium yang berukuran raksasa, terpesona oleh ubur-ubur cokelat keemasan yang menari dalam air berwarna biru elektrik. “Allah menciptakan setiap makhluk di dalam laut,” saya berkata, “sama seperti Dia menciptakan Xavier dan Mama.” Xavier berbisik, “Wow.”

Dalam Mazmur 104, pemazmur mengakui karya ciptaan Allah yang melimpah dan bernyanyi, “Sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu” (ay.24). Ia menyerukan, “Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar” (ay.25). Ia menyatakan kemurahan hati dan pemeliharaan Allah yang membawa kepuasan bagi semua makhluk yang Dia ciptakan (ay.27-28). Pemazmur juga menegaskan bahwa Allah sudah menentukan hari-hari keberadaan setiap ciptaan-Nya (ay.29-30).

Kita dapat bergabung bersama sang pemazmur untuk menyanyikan deklarasi pengabdiannya: “Aku hendak menyanyi bagi Tuhan selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada” (ay.33). Setiap makhluk yang hidup, dari yang besar sampai yang kecil, dapat menggerakkan kita untuk memuji Allah karena Dia telah menciptakan semua itu. —Xochitl Dixon

WAWASAN
Mazmur 104:3-30 sejajar dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian; misalnya, ayat 25-26 mencerminkan Kejadian 1:20-28 dan ayat 27-30 berpasangan dengan Kejadian 1:29-31. Namun, Mazmur 104:32 menggambarkan adegan yang bukan berasal dari kisah penciptaan, melainkan ketika bangsa Israel berkumpul dan “turunlah TUHAN ke atas gunung Sinai, ke atas puncak gunung itu” (Keluaran 19:20). Setelah menuturkan ulang karya penciptaan Allah, sang pemazmur memuji kuasa-Nya yang agung: “Dia yang memandang bumi sehingga bergentar, yang menyentuh gunung-gunung sehingga berasap” (Mazmur 104:32). Ayat ini cocok dengan Keluaran 19:18: “asap [Gunung Sinai] membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar sangat.” —Tim Gustafson

Allah yang Menciptakan Segalanya

Ketika menjelajahi keajaiban dunia ciptaan Allah, kapan kamu merasa tergerak untuk memuji-Nya? Bagaimana Allah memakai karya ciptaan-Nya untuk meneguhkan iman kamu atas kuasa dan pemeliharaan-Nya?

Allah Mahakuasa, Pencipta dan Penopang segalanya, Engkau sungguh layak menerima segenap pujianku!

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 11-13; Markus 12:1-27

Berbagi Semangat untuk Kristus

Sabtu, 9 Maret 2024

Baca: Roma 12:9-16

12:9 Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.

12:10 Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.

12:11 Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.

12:12 Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!

12:13 Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!

12:14 Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!

12:15 Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!

12:16 Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!

Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. —Roma 12:11

Pertama kali kami bertemu tetangga kami, Henry, ia mengeluarkan Alkitab tua dari dalam tas yang dibawanya. Dengan mata berbinar-binar, ia bertanya apakah kami tertarik untuk membahas firman Tuhan. Kami mengangguk, maka ia pun menunjukkan beberapa bagian Alkitab yang telah ditandainya. Ia juga menunjukkan sebuah buku catatan yang penuh dengan hasil pendalaman firman Tuhan, dan berkata bahwa ia sudah membuat bahan presentasi di komputernya lengkap dengan informasi-informasi lain yang terkait dengan pendalamannya itu.

Henry bercerita bahwa ia berasal dari sebuah keluarga yang kurang harmonis. Kemudian, saat sendirian dan berada di titik nadir, ia menerima kematian dan kebangkitan Yesus sebagai dasar imannya (Kis. 4:12). Hidupnya berubah seiring dengan karya Roh Kudus yang menolongnya mengikuti prinsip-prinsip Alkitab. Meski Henry telah menyerahkan hidupnya kepada Allah bertahun-tahun lalu, antusiasmenya terhadap Tuhan masih luar biasa kuat.

Semangat Henry mengilhami saya yang sudah bertahun-tahun mengikut Yesus, untuk merenungkan tentang semangat rohani saya sendiri. Rasul Paulus menulis: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan” (Rm. 12:11). Sepertinya ini perintah yang sulit, kecuali jika saya mengizinkan firman Tuhan membentuk dalam diri saya perilaku yang mencerminkan rasa syukur yang terus-menerus hadir atas segala sesuatu yang telah diperbuat Yesus bagi saya.

Tidak seperti pasang surut emosi yang kita alami di dalam kehidupan ini, semangat untuk mengikut Kristus datang dari hubungan yang semakin bertumbuh dengan-Nya. Semakin kita mengenal-Nya, semakin Dia berharga bagi kita, dan kebaikan-Nya pun semakin memenuhi jiwa kita dan meluap kepada orang-orang di sekitar kita. —Jennifer Benson Schuldt

WAWASAN
Surat Paulus kepada jemaat di Roma dapat dibagi ke dalam dua bagian—pengajaran (pasal 1–11) dan tanggung jawab (pasal 12–16). Sang rasul menginstruksikan orang-orang percaya untuk tidak mengikuti pola dunia, melainkan menjalani hidup yang telah diubahkan dengan memuliakan Kristus (12:1-2). Roma 12:9-21 mungkin terlihat bagaikan kata-kata mutiara yang terpisah satu sama lain, seperti yang kita temukan dalam Kitab Amsal. Namun, sebenarnya Paulus masih berbicara tentang akal budi yang sudah diperbarui dan hidup yang telah diubahkan. Contoh paling jelas tentang hal itu adalah kehadiran kasih yang menyerupai Kristus (ay. 9-10), pelayanan yang bersemangat (ay. 11-12), dan pemberian yang murah hati (ay. 13). Ia memberi tahu kita cara berelasi dengan sesama orang percaya maupun dengan yang belum percaya di tengah dunia yang sarat dengan kebencian dan balas dendam. Mengasihi orang lain—khususnya musuh-musuh kita—adalah bukti kunci dari hadirnya akal budi yang sudah diperbarui dan hidup yang telah diubahkan (ay. 21). —K.T. Sim

Berbagi Semangat untuk Kristus

Menurut kamu, bagaimana perasaan Yesus saat melihat kamu bersemangat dalam mengikut Dia? Apa hubungan antara rasa syukur kepada Allah dan semangat untuk mengenal-Nya?

Tuhan Yesus, perbaruilah semangatku agar semakin rindu mengenal-Mu!

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 8-10; Markus 11:19-33

Memakai yang Sudah Allah Sediakan

Jumat, 8 Maret 2024

Baca: Keluaran 4:1-5

4:1 Lalu sahut Musa: "Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan tidak mendengarkan perkataanku, melainkan berkata: TUHAN tidak menampakkan diri kepadamu?"

4:2 TUHAN berfirman kepadanya: "Apakah yang di tanganmu itu?" Jawab Musa: "Tongkat."

4:3 Firman TUHAN: "Lemparkanlah itu ke tanah." Dan ketika dilemparkannya ke tanah, maka tongkat itu menjadi ular, sehingga Musa lari meninggalkannya.

4:4 Tetapi firman TUHAN kepada Musa: "Ulurkanlah tanganmu dan peganglah ekornya" –Musa mengulurkan tangannya, ditangkapnya ular itu, lalu menjadi tongkat di tangannya

4:5 –"supaya mereka percaya, bahwa TUHAN, Allah nenek moyang mereka, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub telah menampakkan diri kepadamu."

Tuhan berfirman kepada [Musa]: “Apakah yang di tanganmu itu?” —Keluaran 4:2

Gedung balai kota di Brisbane, Australia, adalah proyek mengagumkan yang dibangun pada dekade 1920-an. Tangga marmernya yang berwarna putih menggunakan bahan yang sama seperti yang dipakai Michelangelo untuk membuat patung David. Menaranya mencerminkan Basilika Santo Markus di Venesia, dan kubah tembaganya adalah yang terbesar di belahan bumi bagian selatan. Awalnya pihak pembangun berniat menaruh patung Malaikat Kedamaian berukuran raksasa sebagai hiasan di puncaknya, tetapi mereka kehabisan dana. Seorang tukang pipa bernama Fred Johnson mempunyai ide brilian. Ia menggunakan tangki toilet, tiang lampu yang sudah usang, dan potongan-potongan logam bekas untuk membuat bola ikonik yang hingga kini telah menghiasi menara tersebut selama hampir seratus tahun.

Seperti Fred Johnson menggunakan apa yang ia miliki, kita pun dapat turut serta dalam karya Allah dengan apa pun yang kita miliki—besar atau kecil. Ketika Allah memerintahkan Musa untuk membawa bangsa lsrael keluar dari Mesir, Musa menolak keras: “Bagaimana jika mereka . . . tidak mendengarkan perkataanku?” (Kel. 4:1). Allah menjawab dengan pertanyaan sederhana: “Apakah yang di tanganmu itu?” (ay.2). Musa sedang memegang sebatang tongkat sederhana. Allah pun memerintahkan Musa untuk melemparkan tongkat itu ke tanah, “maka tongkat itu menjadi ular” (ay.3). Lalu Dia memerintahkan Musa untuk mengambil ular itu, dan ular tersebut berubah lagi menjadi tongkat. Allah menjelaskan bahwa yang perlu Musa lakukan hanyalah membawa tongkat itu dan mempercayai Allah yang akan bekerja selanjutnya. Yang luar biasa, Dia kemudian menggunakan tongkat di tangan Musa tadi untuk melepaskan Israel dari cengkeraman Mesir (7:10-12; 17:5-7).

Apa yang kita miliki mungkin tampak tidak cukup berarti bagi kita, tetapi bersama Allah, apa pun yang kita miliki sangat cukup. Dia sanggup memakai milik kita yang biasa-biasa saja untuk menggenapi karya-Nya. —Winn Collier

WAWASAN
Dalam Keluaran 3–4, kemanusiaan Musa tampak jelas. Sang nabi agung juga adalah manusia biasa yang perasaannya dapat kita selami. Karena takut, ia menolak untuk menerima amanat Allah untuk memimpin umat-Nya keluar dari perbudakan. Hal ini terjadi sekalipun Allah sudah melakukan mujizat-mujizat di hadapan Musa—semak yang tidak dimakan api (3:1-3) dan tongkatnya yang berubah menjadi ular (4:3). Ketika tongkat Musa menjadi seekor ular, ia bereaksi seperti orang pada umumnya: “ia lari meninggalkannya” (ay. 3). Namun kemudian, ia menunjukkan keberanian dan iman dengan memegang ekor ular tersebut (ay. 4). Cara paling aman untuk memegang ular beracun dan mencegahnya menyerang kita (tetapi harap jangan dilakukan!) adalah dari belakang kepalanya. Kuasanya tidak terletak pada tongkat Musa atau diri Musa itu sendiri, melainkan pada Allah Israel, yang kekuatan-Nya tidak tertandingi oleh dewa-dewa Mesir, termasuk sang ular. —Tim Gustafson

Memakai yang Sudah Allah Sediakan

Hal sederhana apa yang dapat kamu pakai untuk Allah? Mengapa penting bagi kamu untuk mempercayakan hal itu kepada-Nya?

Bapa yang baik, kuserahkan apa yang kupunya kepada-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 5-7; Markus 11:1-18

Allah Tempat Perlindungan Kita

Kamis, 7 Maret 2024

Baca: Amsal 18:10-12

18:10 Nama TUHAN adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat.

18:11 Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya.

18:12 Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan.

Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat. —Amsal 18:10

Film keluaran tahun 2019 yang memikat, Little Women, mengingatkan saya pada buku novel yang sudah lama saya punya, terutama pada kata-kata bijak dari Marmee, sosok ibu yang lembut dan bijaksana. Saya tertarik pada penggambaran tentang keteguhan iman Marmee, yang mendasari banyak ucapan penyemangat untuk putri-putrinya. Satu baris ucapannya yang terkesan bagi saya adalah ini: “Kesulitan dan pencobaan . . . mungkin banyak terjadi, tetapi kalian akan dapat mengatasi dan melewati semua itu, jika kalian belajar untuk merasakan kekuatan dan kelembutan Bapa kita di surga.”

Ucapan Marmee tersebut menggemakan kebenaran dalam Kitab Amsal, yaitu: “Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat (Ams. 18:10). Pada masa silam, banyak menara dibangun di kota-kota sebagai tempat perlindungan dari bahaya yang mengancam, yang biasanya berupa serangan musuh. Sama seperti itu, hanya dengan berlari kepada Allah orang percaya dapat mengalami damai sejahtera di dalam Dia yang adalah “tempat perlindungan dan kekuatan” kita (Mzm. 46:2).

Amsal 18:10 menyatakan bahwa pelindungan datang dari “nama” Allah, dan ini merujuk pada seluruh keberadaan-Nya. Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel. 34:6). Perlindungan Allah datang dari kekuatan-Nya yang besar, demikian pula kelembutan dan kasih-Nya, yang membuat-Nya rindu memberikan perlindungan bagi mereka yang tersakiti. Bagi siapa pun yang tengah bergumul, Bapa kita di surga menawarkan tempat perlindungan dalam kekuatan dan kelembutan-Nya. —Lisa M. Samra

WAWASAN
Kata Ibrani saghav digunakan sebanyak 20 kali dalam Perjanjian Lama, dan di luar Ulangan 2:36, kata tersebut hanya ditemukan dalam bagian-bagian Alkitab yang berbentuk puisi. Kata ini muncul tiga kali dalam kitab Amsal (18:10,11; 29:25). Kata tersebut diterjemahkan sebagai “selamat” di Amsal 18:10 dan “tinggi” di ayat 11. Terjemahan lainnya antara lain “mahatinggi,” “tinggi luhur,” “dilindungi”, yang berarti sesuatu atau seseorang yang berada dalam keadaan aman, terbentengi, atau tidak dapat dijangkau.

Selain itu, kata kuat digunakan dalam Amsal 18:10 dan 11. Yang dimaksudkan di sini adalah “keperkasaan” atau “kekuatan”—baik secara fisik, materi, sosial, atau politis. Kedua ayat tersebut membandingkan secara kontras mereka yang berlindung pada Allah dengan mereka yang mencari keselamatan dalam harta mereka. Di Mazmur 20:8, Daud menyatakan kepada siapa seharusnya kita bergantung: “Ada orang yang mengandalkan kereta perangnya, ada pula yang mengandalkan kudanya. Tetapi kita mengandalkan kuasa TUHAN, Allah kita” (BIMK). —Arthur Jackson

Allah Tempat Perlindungan Kita

Bagaimana kamu pernah mengalami kekuatan Allah di dalam kesesakan? Kapan kamu pernah merasakan penghiburan-Nya?

Bapa Surgawi, tolonglah aku untuk selalu berlari kepada-Mu, baik dalam masa senang maupun susah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 3-4; Markus 10:32-52