Allah Mendengar

Sabtu, 1 Februari 2014

Allah Mendengar

Baca: 1 Samuel 1:9-20

1:9 Pada suatu kali, setelah mereka habis makan dan minum di Silo, berdirilah Hana, sedang imam Eli duduk di kursi dekat tiang pintu bait suci TUHAN,

1:10 dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu.

1:11 Kemudian bernazarlah ia, katanya: “TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.”

1:12 Ketika perempuan itu terus-menerus berdoa di hadapan TUHAN, maka Eli mengamat-amati mulut perempuan itu;

1:13 dan karena Hana berkata-kata dalam hatinya dan hanya bibirnya saja bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak kedengaran, maka Eli menyangka perempuan itu mabuk.

1:14 Lalu kata Eli kepadanya: “Berapa lama lagi engkau berlaku sebagai orang mabuk? Lepaskanlah dirimu dari pada mabukmu.”

1:15 Tetapi Hana menjawab: “Bukan, tuanku, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati; anggur ataupun minuman yang memabukkan tidak kuminum, melainkan aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN.

1:16 Janganlah anggap hambamu ini seorang perempuan dursila; sebab karena besarnya cemas dan sakit hati aku berbicara demikian lama.”

1:17 Jawab Eli: “Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya.”

1:18 Sesudah itu berkatalah perempuan itu: “Biarlah hambamu ini mendapat belas kasihan dari padamu.” Lalu keluarlah perempuan itu, ia mau makan dan mukanya tidak muram lagi.

1:19 Keesokan harinya bangunlah mereka itu pagi-pagi, lalu sujud menyembah di hadapan TUHAN; kemudian pulanglah mereka ke rumahnya di Rama. Ketika Elkana bersetubuh dengan Hana, isterinya, TUHAN ingat kepadanya.

1:20 Maka setahun kemudian mengandunglah Hana dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia menamai anak itu Samuel, sebab katanya: “Aku telah memintanya dari pada TUHAN.”

Karena Hana berkata-kata dalam hatinya . . . suaranya tidak kedengaran. —1 Samuel 1:13

Allah Mendengar

Setelah membaca beberapa buku anak-anak bersama putri saya, saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan membaca buku untuk orang dewasa selama beberapa waktu, baru kemudian kami akan membaca bersama buku anak-anak lagi. Saya membuka-buka buku yang ingin saya baca dan mulai membacanya dalam hati. Beberapa menit kemudian, putri saya menatap saya dengan tatapan ragu dan berkata, “Mama tidak benar-benar membaca.” Dalam anggapannya, karena saya membaca tanpa mengeluarkan suara, saya tidak sungguh-sungguh mencerna kata-kata dalam buku itu.

Seperti membaca, doa juga bisa dilakukan tanpa mengeluarkan suara. Hana, yang rindu mempunyai anak, mengunjungi bait Allah dan “berkata-kata dalam hatinya” ketika berdoa. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi “suaranya tidak kedengaran” (1Sam. 1:13). Imam Eli melihat semua itu tetapi salah memahami apa yang sedang terjadi. Hana menjelaskan, “Aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN” (ay.15). Allah mendengar permohonan doa tanpa suara yang dipanjatkan Hana dan memberinya seorang putra (ay.20).

Karena Allah menyelidiki hati dan pikiran kita (Yer. 17:10), Dia melihat dan mendengar setiap doa—bahkan doa-doa yang tidak terucapkan oleh bibir kita. Sifat-Nya yang Mahatahu memungkinkan kita untuk berdoa dengan penuh keyakinan bahwa Dia akan mendengar dan menjawab doa-doa kita (Mat. 6:8,32). Oleh karena itulah, kita dapat terus memuji Allah, memohon pertolongan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya atas segala berkat-Nya—bahkan ketika orang lain tidak dapat mendengar doa kita. —JBS

Indahnya saat yang teduh
Menghadap takhta Bapaku:
Kunaikkan doa pada-Nya,
Sehingga hatiku lega. —Walford
(Kidung Jemaat, No. 454)

Allah memenuhi hati kita dengan damai sejahtera ketika kita mencurahkan isi hati kita kepada-Nya.

Berharga Di Mata Allah

Kamis, 30 Januari 2014

Berharga Di Mata Allah

Baca: Mazmur 116

116:1 Aku mengasihi TUHAN, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku.

116:2 Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya.

116:3 Tali-tali maut telah meliliti aku, dan kegentaran terhadap dunia orang mati menimpa aku, aku mengalami kesesakan dan kedukaan.

116:4 Tetapi aku menyerukan nama TUHAN: “Ya TUHAN, luputkanlah kiranya aku!”

116:5 TUHAN adalah pengasih dan adil, Allah kita penyayang.

116:6 TUHAN memelihara orang-orang sederhana; aku sudah lemah, tetapi diselamatkan-Nya aku.

116:7 Kembalilah tenang, hai jiwaku, sebab TUHAN telah berbuat baik kepadamu.

116:8 Ya, Engkau telah meluputkan aku dari pada maut, dan mataku dari pada air mata, dan kakiku dari pada tersandung.

116:9 Aku boleh berjalan di hadapan TUHAN, di negeri orang-orang hidup.

116:10 Aku percaya, sekalipun aku berkata: “Aku ini sangat tertindas.”

116:11 Aku ini berkata dalam kebingunganku: “Semua manusia pembohong.”

116:12 Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?

116:13 Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN,

116:14 akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya.

116:15 Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.

116:16 Ya TUHAN, aku hamba-Mu! Aku hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka ikatan-ikatanku!

116:17 Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN,

116:18 akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya,

116:19 di pelataran rumah TUHAN, di tengah-tengahmu, ya Yerusalem! Haleluya!

Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya. —Mazmur 116:15

Berharga Di Mata Allah

Sebagai tanggapan terhadap kabar telah berpulangnya seorang teman dekat kami, seorang saudara seiman yang bijak mengirimkan kepada saya kata-kata berikut, “Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mzm. 116:15). Iman teman kami yang menyala-nyala kepada Yesus Kristus menjadi karakteristik dominan yang menandai hidupnya. Oleh karena itu, kami yakin ia sudah pulang ke rumah Bapa di surga, dan keluarganya pun memiliki keyakinan yang sama. Hanya saja, saya masih begitu terfokus dengan dukacita yang mereka alami. Memang selayaknya kita menunjukkan kepedulian kepada orang lain yang berduka dan mengalami kehilangan.

Namun ayat dari Mazmur tadi membuat saya berpikir tentang cara pandang Tuhan terhadap kematian sahabat kami ini. Sesuatu yang “berharga” pastilah bernilai tinggi. Meskipun demikian, ada makna yang lebih besar di sini. Ada sesuatu dalam kematian orang yang dikasihi Tuhan yang melampaui rasa dukacita kita atas kepergian mereka.

Satu terjemahan Alkitab memberi penjelasan, “Berharga (penting dan bukan hal sepele) di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya (umat-Nya).” Versi lain mengatakan, “Orang-orang yang dikasihi Tuhan begitu berharga bagi-Nya dan Dia tidak membiarkan mereka mati begitu saja.” Allah tak menganggap enteng kematian. Yang ajaib dari anugerah dan kuasa-Nya adalah sebagai orang percaya, hilangnya nyawa di bumi juga akan membawa manfaat besar.

Saat ini kita hanya mengetahui gambarannya secara sekilas. Suatu hari nanti, kita akan memahami semuanya dalam terang-Nya yang sempurna. —DCM

Jadi saat napas terakhirku
Mengoyak tabir kehidupan
Dengan kematian aku lolos dari maut
Dan memperoleh hidup kekal. —Montgomery

Iman membangun suatu jembatan yang cukup untuk menyeberangi teluk kematian.

Harapan Besar

Rabu, 29 Januari 2014

Harapan Besar

Baca: Filipi 1:12-21

1:12 Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil,

1:13 sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.

1:14 Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.

1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.

1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,

1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.

1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita,

1:19 karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus.

1:20 Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.

1:21 Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan. —Filipi 1:20

Harapan Besar

Saya pernah bertanya kepada seorang konselor tentang masalah-masalah besar yang paling sering membuat orang mencari jasanya. Dengan yakin ia menjawab, “Akar dari banyak masalah yang terjadi adalah harapan-harapan yang kandas; dan jika tidak diatasi, hal itu akan berkembang menjadi amarah dan kepahitan.”

Dalam keadaan kita yang ideal, mudah rasanya untuk berharap bahwa kita akan berada di tempat yang baik dan dikelilingi oleh orang-orang baik yang menyukai dan mendukung kita. Namun banyak hal dalam hidup ini yang dapat menghancurkan harapan-harapan tersebut. Lalu bagaimana?

Meskipun berada di penjara dan dimusuhi oleh saudara-saudara seiman di Roma yang tidak menyukainya (Flp. 1:15-16), Paulus tetap luar biasa bersemangat. Ia melihat kondisinya tersebut sebagai kesempatan dari Allah yang memberinya ladang pelayanan yang baru. Dalam keadaan sebagai seorang tahanan rumah, Paulus bersaksi tentang Kristus kepada para penjaga, sehingga Injil pun diberitakan di rumah Kaisar. Meskipun para musuhnya memberitakan Injil dengan motivasi yang salah, Kristus tetap diberitakan, dan Paulus tetap bersukacita (ay.18).

Paulus tidak pernah berharap berada di tempat yang hebat atau disukai orang banyak. Harapan satu-satunya hanyalah “Kristus dengan nyata dimuliakan” melalui dirinya (ay.20). Ia tidak merasa kecewa.

Jika kita berharap untuk menyatakan Kristus agar Dia terlihat oleh orang di sekitar kita, di mana pun kita berada, dan siapa pun yang bersama kita, kita akan melihat segala harapan itu terpenuhi bahkan jauh melampaui yang kita pikirkan. Kristus akan dimuliakan. —JMS

Tuhan, ampuni aku jika fokus hidupku selama ini hanyalah
untuk mementingkan keinginanku dan bukan untuk memuliakan-Mu
di tengah keadaan apa pun yang kualami. Kiranya kasih,
kemurahan, dan keadilan-Mu terlihat jelas melalui diriku hari ini.

Biarlah memuliakan Kristus menjadi satu-satunya harapan Anda, di mana pun dan dengan siapa pun Anda berada.

Lebih Baik Daripada Yang Direncanakan

Selasa, 28 Januari 2014

Lebih Baik Daripada Yang Direncanakan

Baca: Efesus 5:15-21

5:15 Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif,

5:16 dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.

5:17 Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.

5:18 Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh,

5:19 dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.

5:20 Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita

5:21 dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.

Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita. —Efesus 5:20

Lebih Baik Daripada Yang Direncanakan

Gangguan bukanlah hal baru. Jarang sekali segala sesuatu dalam satu hari itu berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan.

Hidup ini penuh dengan ketidaknyamanan. Rencana yang kita susun sering dibelokkan oleh berbagai kuasa yang ada di luar kendali kita. Daftarnya panjang dan terus berganti: sakit, konflik, kemacetan di jalan, lupa, peralatan yang rusak, perilaku kasar, kemalasan, ketidaksabaran, ketidakmampuan.

Namun yang tidak dapat kita lihat adalah sisi lain dari ketidaknyamanan. Kita sering menganggap ketidaknyamanan itu tidak memiliki tujuan lain selain membuat kita kecil hati, membuat hidup kita semakin sulit, dan mengacaukan segala rencana kita. Meski demikian, ketidaknyamanan bisa jadi merupakan cara yang dipakai Allah untuk melindungi kita dari sejumlah bahaya yang tidak kita sadari. Ketidaknyamanan juga bisa memberi kita kesempatan untuk menunjukkan kasih dan pengampunan Allah. Mungkin juga hal itu merupakan awal dari sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kita rencanakan sebelumnya. Bisa jadi hal itu merupakan ujian untuk melihat respons kita terhadap kesukaran. Apa pun itu, meskipun mungkin kita tidak mengerti alasan Allah, kita dapat mempercayai motivasi-Nya, yaitu untuk menjadikan kita semakin serupa dengan Yesus dan untuk memperluas kerajaan-Nya di bumi.

Bisa dikatakan bahwa ketidaknyamanan sudah menjadi “makanan sehari-hari” dari para pengikut Allah di sepanjang sejarah. Namun Allah punya maksud. Dengan kesadaran itulah, kita dapat bersyukur kepada-Nya, karena kita yakin bahwa Dia memberi kita kesempatan untuk menggunakan waktu kita dengan bijaksana (Ef. 5:16,20). —JAL

Tuhan, begitu sering aku menjadi jengkel oleh hal-hal kecil
yang rasanya begitu banyak di sekitarku. Setiap kali aku tergoda
untuk kehilangan kesabaran, menyalahkan orang lain,
atau menyerah saja, tolong aku untuk melihat wajah-Mu.

Apa yang terjadi pada kita sama sekali tidak sebanding dengan yang diperbuat Allah di dalam dan melalui kita.

Keajaiban Salib

Senin, 27 Januari 2014

Keajaiban Salib

Baca: Ibrani 12:1-4

12:1 Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

12:2 Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.

12:3 Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.

12:4 Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah.

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan . . . tekun memikul salib ganti sukacita. —Ibrani 12:2

Keajaiban Salib

Ketika berkunjung ke Australia, saya berkesempatan melihat rasi bintang Salib Selatan pada suatu malam yang cerah. Rasi bintang yang terletak di belahan bumi bagian selatan ini merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali. Para pelaut dan navigator sudah mengandalkannya sebagai penunjuk arah dan navigasi di tengah lautan sejak abad ke-15. Meskipun ukurannya relatif kecil, Salib Selatan dapat terlihat hampir sepanjang tahun. Rasi bintang ini terlihat begitu jelas pada suatu malam yang gelap sehingga saya pun dengan mudah dapat membedakannya di antara bintang yang bertaburan. Sungguh pemandangan yang luar biasa!

Alkitab menceritakan tentang sebuah salib yang jauh lebih mengagumkan, yaitu salib Kristus. Ketika memandang bintang-bintang, kita melihat karya tangan Sang Pencipta; tetapi ketika memandang salib, kita melihat Sang Pencipta mati bagi ciptaan-Nya. Ibrani 12:2 memanggil kita untuk mengarahkan mata kita tertuju “kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”

Yang menjadi keajaiban dari salib Kalvari adalah ketika kita masih berdosa, Sang Juruselamat telah mati bagi kita (Rm. 5:8). Mereka yang beriman kepada Kristus kini diperdamaikan dengan Allah, dan Dia memimpin sepanjang hidup mereka (2Kor. 1:8-10).

Pengorbanan Kristus di kayu salib merupakan keajaiban terbesar yang pernah ada! —WEC

Memandang salib Rajaku
Yang mati untuk dunia,
Kurasa hancur congkakku
Dan harta hilang harganya. —Watts
(Kidung Jemaat, No. 169)

Salib Kristus menyediakan satu-satunya jalan yang aman menuju kekekalan.

Disiplin Penantian

Minggu, 26 Januari 2014

Disiplin Penantian

Baca: Mazmur 40:1-4

40:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.

40:2 Aku sangat menanti-nantikan TUHAN; lalu Ia menjenguk kepadaku dan mendengar teriakku minta tolong.

40:3 Ia mengangkat aku dari lobang kebinasaan, dari lumpur rawa; Ia menempatkan kakiku di atas bukit batu, menetapkan langkahku,

40:4 Ia memberikan nyanyian baru dalam mulutku untuk memuji Allah kita. Banyak orang akan melihatnya dan menjadi takut, lalu percaya kepada TUHAN.

Aku sangat menanti-nantikan TUHAN; lalu Ia menjenguk kepadaku dan mendengar teriakku minta tolong. —Mazmur 40:2

Disiplin Penantian

Menanti itu sulit. Kita menanti dalam antrean di toko, dalam kemacetan, atau di ruang tunggu dokter. Kita memainkan ibu jari, menahan diri untuk tidak menguap, dan memendam rasa kesal dalam hati. Yang lebih sulit lagi adalah ketika kita menantikan sepucuk surat yang tak kunjung tiba, kembalinya anak yang kabur dari rumah, atau pasangan yang kita harap mau berubah. Kita menantikan kehadiran seorang buah hati. Kita menantikan sesuatu yang didambakan hati kita.

Dalam Mazmur 40, Daud berkata, “Aku sangat menanti-nantikan Tuhan.” Dalam bahasa aslinya, Daud digambarkan sedang “tak kunjung henti menantikan” Allah menjawab doanya. Namun ketika melihat kembali masa-masa penantiannya itu, Daud memuji Allah. Oleh karena itu, ia berkata, Allah “memberikan nyanyian baru dalam mulutku untuk memuji Allah kita” (40:4).

“Betapa banyaknya yang dapat ditulis tentang menantikan Allah!” kata F. B. Meyer. “Penantian adalah rahasia pendidikan jiwa manusia untuk mencapai perangai mulia yang terbaik dari dirinya.” Melalui disiplin penantian, kita dapat menumbuhkan sikap-sikap mulia dalam diri—sikap mau tunduk, rendah hati, sabar, tabah sambil tetap bersukacita, gigih melakukan perbuatan baik— segala sikap yang membutuhkan waktu panjang untuk dipelajari.

Apa yang kita lakukan ketika Allah seakan menunda keinginan hati kita? Dia sanggup menolong kita untuk tetap mengasihi dan mempercayai-Nya sehingga kita dapat menerima penundaan itu dengan sukacita dan melihatnya sebagai kesempatan untuk menumbuhkan sikap-sikap mulia—dan memuji nama-Nya. —DHR

Jadilah, Tuhan, kehendak-Mu;
Ku tanah liat di tangan-Mu.
Bentuklah aku sesuka-Mu,
Aku nantikan sentuhan-Mu. —Pollard
(Pelengkap Kidung Jemaat, No. 127)

Waktu yang dihabiskan untuk menantikan Allah tidak pernah menjadi waktu yang terbuang sia-sia.

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Sabtu, 25 Januari 2014

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Baca: Matius 24:36-44

24:36 Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.”

24:37 “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.

24:38 Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera,

24:39 dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.

24:40 Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan;

24:41 kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.

24:42 Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.

24:43 Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar.

24:44 Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.”

Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang. —Matius 24:42

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Ketika menyusuri suatu pameran bertajuk “A Day in Pompeii” (Suatu Hari di Pompeii) di suatu museum, saya pun tersentak oleh satu benang merah yang berulang kali menunjukkan bahwa tanggal 24 Agustus tahun 79 M diawali sebagai suatu hari yang biasa-biasa saja. Orang sedang melakukan kegiatan mereka sehari-hari di rumah, pasar, dan pelabuhan yang terdapat di kota Romawi yang makmur itu dan berpenduduk sekitar 20.000 orang. Pada pukul 8 pagi, serangkaian emisi kecil (pancaran gas panas) terlihat datang dari Gunung Vesuvius yang dekat dengan kota itu, kemudian dilanjutkan dengan letusan hebat pada sore harinya. Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, Pompeii dan sebagian besar penduduknya telah terkubur di bawah lapisan debu vulkanik yang tebal. Sungguh tidak terduga.

Yesus mengatakan kepada para pengikutnya bahwa Dia akan datang kembali pada suatu hari, ketika orang sedang melakukan pekerjaan mereka, makan-minum bersama, menyelenggarakan pesta pernikahan, dan mereka tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi. “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Mat. 24:37).

Maksud Tuhan adalah mendesak murid-murid-Nya agar siap sedia dan berjaga-jaga: “Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (ay.44).

Sungguh merupakan suatu sukacita yang indah untuk menyambut Juruselamat kita di hari yang biasa-biasa saja seperti hari ini! —DCM

Akankah Dia melihat kita setia dan sungguh,
Jika Dia datang hari ini?
Akankah kita menanti dengan sukacita, bukan gentar,
Jika Dia datang hari ini?
Berjaga-jagalah, waktunya telah dekat,
Mungkinkah Dia datang hari ini? —Morris

Mungkin hari ini!

Garis Beban

Kamis, 23 Januari 2014

Garis Beban

Baca: 1 Petrus 5:5-9

5:5 Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”

5:6 Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya.

5:7 Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.

5:8 Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.

5:9 Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.

Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada- Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. —1 Petrus 5:6-7

Garis Beban

Pada abad ke-19, kapal-kapal laut sering dimuati beban yang terlalu berat dengan sembrono, sehingga kapal-kapal tersebut tenggelam dan awak kapalnya hilang di laut. Pada tahun 1875, untuk memperbaiki kondisi yang buruk ini, seorang politisi Inggris bernama Samuel Plimsoll mendesak disahkannya undang-undang untuk membuat sebuah garis pada dinding kapal sebagai penanda apakah kapal tersebut telah membawa muatan yang terlalu banyak. “Garis beban” tersebut dinamakan Garis Plimsoll, dan cara itu masih digunakan untuk menandai lambung kapal sampai saat ini.

Sering kali, sama dengan kapal-kapal tersebut, hidup kita terasa begitu dibebani oleh ketakutan, pergumulan, dan perasaan sakit hati. Kita bahkan dapat merasa terancam akan jatuh tenggelam. Meskipun demikian, di tengah masa-masa sulit tersebut, alangkah melegakannya ketika kita mengingat bahwa kita memiliki sumber pertolongan yang luar biasa. Kita mempunyai Bapa surgawi yang siap menolong kita untuk menanggung beban itu. Rasul Petrus berkata, “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1Ptr. 5:6-7). Dia sanggup menangani segala masalah yang membebani hidup kita.

Meskipun beragam pencobaan hidup bisa terasa bagaikan beban yang terlalu berat untuk ditanggung, kita dapat memiliki keyakinan penuh bahwa Bapa kita di surga sangat mengasihi kita dan Dia tahu batas kemampuan kita. Apa pun yang kita hadapi, Dia akan menolong kita menanggungnya. —WEC

Bapa Surgawi, terkadang aku merasa tak mampu melangkah lagi.
Aku lelah, lemah, dan tak berdaya. Terima kasih Tuhan karena
Engkau tahu batas kemampuanku. Dengan kekuatan-Mu,
aku bisa menerima kesanggupan untuk menanggungnya.

Allah memperkenankan kita mengalami masalah berat untuk memperkuat keyakinan kita kepada-Nya.

Bata Tanpa Jerami

Rabu, 22 Januari 2014

Bata Tanpa Jerami

Baca: Keluaran 5:24-6:12

5:24 Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa: “Sekarang engkau akan melihat, apa yang akan Kulakukan kepada Firaun; sebab dipaksa oleh tangan yang kuat ia akan membiarkan mereka pergi, ya dipaksa oleh tangan yang kuat ia akan mengusir mereka dari negerinya.”

6:1 Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Akulah TUHAN.

6:2 Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri.

6:3 Bukan saja Aku telah mengadakan perjanjian-Ku dengan mereka untuk memberikan kepada mereka tanah Kanaan, tempat mereka tinggal sebagai orang asing,

6:4 tetapi Aku sudah mendengar juga erang orang Israel yang telah diperbudak oleh orang Mesir, dan Aku ingat kepada perjanjian-Ku.

6:5 Sebab itu katakanlah kepada orang Israel: Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat.

6:6 Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir.

6:7 Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu; Akulah TUHAN.”

6:8 Lalu Musa mengatakan demikian kepada orang Israel, tetapi mereka tidak mendengarkan Musa karena mereka putus asa dan karena perbudakan yang berat itu.

6:9 Kemudian TUHAN berfirman kepada Musa:

6:10 “Pergilah menghadap, katakanlah kepada Firaun, raja Mesir, bahwa ia harus membiarkan orang Israel pergi dari negerinya.”

6:11 Tetapi Musa berkata di hadapan TUHAN: “Orang Israel sendiri tidak mendengarkan aku, bagaimanakah mungkin Firaun akan mendengarkan aku, aku seorang yang tidak petah lidahnya!”

6:12 Demikianlah TUHAN telah berfirman kepada Musa dan Harun, serta mengutus mereka kepada orang Israel dan kepada Firaun, raja Mesir, dengan membawa perintah supaya orang Israel dibawa keluar dari Mesir.

Aku akan membebaskan kamu . . . , dan menebus kamu dengan tangan yang teracung. —Keluaran 6:5

Bata Tanpa Jerami

Banyak di antara kita menghadapi tantangan untuk bekerja dengan sumber daya yang terbatas. Kita menghadapi dana yang lebih sedikit, waktu yang lebih singkat, tenaga yang semakin terkuras, dan rekan kerja yang semakin dikurangi, tetapi dengan beban pekerjaan yang mungkin tetap sama. Ada kalanya beban pekerjaan kita justru semakin bertambah. Ada sebuah ungkapan yang merangkum situasi ini: “Membuat lebih banyak bata dengan lebih sedikit jerami.”

Ungkapan ini mengacu pada penderitaan bangsa Israel ketika menjadi budak di Mesir. Firaun memutuskan untuk menghentikan penyediaan jerami bagi bangsa Israel, tetapi ia tetap menuntut mereka menghasilkan batu bata dalam jumlah yang sama setiap harinya. Mereka harus menjelajahi seluruh tanah Mesir untuk mengumpulkan jerami, sementara para pengawas dari Firaun memukuli dan memaksa mereka untuk bekerja lebih keras lagi (Kel. 5:13). Bangsa Israel menjadi begitu kecil hati sampai mereka tidak menghiraukan firman Allah lewat Musa, “Aku akan membebaskan kamu . . . , dan menebus kamu dengan tangan yang teracung” (6:5).

Meskipun bangsa Israel menolak untuk mendengarkan pesan Allah, Allah tetap memimpin dan mengarahkan Musa, dan menyiapkannya untuk berbicara kepada Firaun. Allah tetap teguh membela bangsa Israel dengan berkarya di balik layar. Sama seperti bangsa Israel, kita pun dapat menjadi putus asa sampai-sampai kita mengabaikan penguatan yang kita terima. Dalam masa-masa yang sulit, mengingat Allah sebagai penyelamat kita akan menghibur hati kita (Mzm. 40:18). Allah selalu berkarya demi kebaikan kita, bahkan di saat-saat kita tidak dapat melihat apa yang sedang dikerjakan-Nya. —JBS

Tuhan, tolonglah aku untuk percaya kepada-Mu di tengah
keputusasaanku. Penuhilah aku dengan pengharapan
melalui kuasa Roh Kudus-Mu. Kiranya hidupku
dapat menjadi saksi akan kesetiaan-Mu.

Masa-masa yang sulit merupakan masa-masa untuk percaya.