Jam Kesebelas

Rabu, 19 Februari 2014

Jam Kesebelas

Baca: Matius 24:3-14

24:3 Ketika Yesus duduk di atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap sendirian dengan Dia. Kata mereka: “Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?”

24:4 Jawab Yesus kepada mereka: “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!

24:5 Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang.

24:6 Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya.

24:7 Sebab bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan. Akan ada kelaparan dan gempa bumi di berbagai tempat.

24:8 Akan tetapi semuanya itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru.

24:9 Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku,

24:10 dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci.

24:11 Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang.

24:12 Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.

24:13 Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.

24:14 Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.”

Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. —Yesaya 2:4

Jam Kesebelas

Perang Dunia I dicatat oleh banyak pihak sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah umat manusia. Jutaan manusia kehilangan nyawanya di kancah peperangan global pertama di zaman modern ini. Pada 11 November 1918, pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk mengadakan gencatan senjata pada jam kesebelas dari hari kesebelas di bulan kesebelas itu. Sepanjang momen yang bersejarah tersebut, jutaan orang di seluruh dunia mengambil waktu untuk berhenti dan hening sejenak sambil merenungkan besarnya harga yang harus mereka bayar berupa penderitaan dan terenggutnya nyawa dalam peperangan tersebut. Pada saat itu, perang yang disebut sebagai “Perang Besar” itu diharapkan akan benar-benar menjadi “perang yang akan mengakhiri segala peperangan”.

Meskipun setelah Perang Dunia I masih timbul banyak konflik bersenjata yang merenggut nyawa, harapan akan tercapainya kedamaian abadi tidak pernah pudar. Dan Alkitab memberikan janji pengharapan yang realistis, bahwa suatu hari nanti peperangan akan sungguh-sungguh berakhir. Ketika Kristus datang kembali, nubuat Yesaya akan menjadi kenyataan: “Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes. 2:4). Pada saat itu, jam kesebelas akan berlalu dan jam pertama dari masa kedamaian abadi di langit yang baru dan bumi yang baru akan dimulai.

Hingga hari itu tiba, orang-orang yang menjadi pengikut Kristus haruslah menjadi pribadi-pribadi yang mewakili Sang Raja Damai melalui cara kita menjalani hidup ini dan melalui pengaruh yang kita berikan di dunia ini. —HDF

Damai yang sempurna, dalam dunia gelap penuh dosa?
Darah Yesus membisikkan kedamaian dalam batin. . . .
Damai yang sempurna, dengan masa depan yang samar?
Kita mengenal Yesus, dan Dialah Raja yang bertakhta. —Bickersteth

Hanya di dalam Kristus, kedamaian sejati bisa menjadi kenyataan.

Tentang Mendengarkan

Senin, 17 Februari 2014

Tentang Mendengarkan

Baca: Keluaran 16:1-8

16:1 Setelah mereka berangkat dari Elim, tibalah segenap jemaah Israel di padang gurun Sin, yang terletak di antara Elim dan gunung Sinai, pada hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir.

16:2 Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun;

16:3 dan berkata kepada mereka: “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.”

16:4 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.

16:5 Dan pada hari yang keenam, apabila mereka memasak yang dibawa mereka pulang, maka yang dibawa itu akan terdapat dua kali lipat banyaknya dari apa yang dipungut mereka sehari-hari.”

16:6 Sesudah itu berkatalah Musa dan Harun kepada seluruh orang Israel: “Petang ini kamu akan mengetahui bahwa Tuhanlah yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir.

16:7 Dan besok pagi kamu melihat kemuliaan TUHAN, karena Ia telah mendengar sungut-sungutmu kepada-Nya. Sebab, apalah kami ini maka kamu bersungut-sungut kepada kami?”

16:8 Lagi kata Musa: “Jika memang TUHAN yang memberi kamu makan daging pada waktu petang dan makan roti sampai kenyang pada waktu pagi, karena TUHAN telah mendengar sungut-sungutmu yang kamu sungut-sungutkan kepada-Nya–apalah kami ini? Bukan kepada kami sungut-sungutmu itu, tetapi kepada TUHAN.”

Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah. —Pengkhotbah 5:1

Tentang Mendengarkan

Ada ungkapan: “Allah memberi kita dua telinga dan satu mulut dengan suatu maksud.” Kemampuan untuk mendengarkan merupakan keterampilan hidup yang penting. Para konselor meminta kita untuk mau mendengarkan satu sama lain. Para pemimpin rohani menasehati kita untuk mendengarkan Allah. Namun orang jarang berkata, “Dengarkanlah dirimu sendiri.” Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita memiliki suara batin yang selalu tahu apa yang harus kita katakan. Juga bukan berarti kita harus lebih mendengarkan diri sendiri daripada mendengarkan Allah dan sesama. Maksud saya, kita perlu mendengarkan diri sendiri agar kita dapat memahami apa yang mungkin ditangkap orang lain dari perkataan kita.

Bangsa Israel seharusnya menerapkan prinsip ini ketika Musa memimpin mereka keluar dari Mesir. Baru beberapa hari setelah dibebaskan secara ajaib, mereka sudah mengeluh (Kel. 16:2). Kebutuhan mereka untuk makan memang wajar, tetapi cara mengungkapkan kebutuhan itu sungguh tidak pantas (ay.3).

Ketika kita mengucapkan sesuatu karena didorong oleh perasaan takut, kemarahan, ketidakpedulian, atau keangkuhan diri—sekalipun yang kita katakan itu benar—orang yang menyimak perkataan kita akan menangkap lebih daripada sekadar kata-kata yang kita ucapkan. Mereka mendengar emosi kita. Namun mereka tidak tahu apakah emosi itu didasari oleh sikap perhatian dan kasih, atau oleh niat untuk menghina dan merendahkan, sehingga bisa saja orang salah paham terhadap kita. Jika kita mendengarkan diri sendiri sebelum mengucapkan sesuatu, kita bisa memeriksa hati kita sebelum ucapan kita yang ceroboh merugikan orang lain atau mendukakan Allah. —JAL

Tuhan, tolong aku untuk berpikir sebelum berbicara,
untuk memeriksa hatiku. Tolong aku untuk mengendalikan lidahku
dan mengungkapkan maksudku dengan jelas sehingga aku tidak akan
menimbulkan perpecahan. Tolonglah aku menjaga bibirku.

Kata-kata yang diucapkan secara sembrono lebih sering menimbulkan kerugian daripada kebaikan.

Mengapa Harus Menimbulkan Kedukaan?

Minggu, 16 Februari 2014

Mengapa Harus Menimbulkan Kedukaan?

Baca: Ibrani 13:17-19

13:17 Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.

13:18 Berdoalah terus untuk kami; sebab kami yakin, bahwa hati nurani kami adalah baik, karena di dalam segala hal kami menginginkan suatu hidup yang baik.

13:19 Dan secara khusus aku menasihatkan kamu, agar kamu melakukannya, supaya aku lebih lekas dikembalikan kepada kamu.

Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu. —Ibrani 13:17

Mengapa Harus Menimbulkan Kedukaan?

Para pendeta biasanya merupakan sasaran empuk bagi kritikan. Setiap minggu mereka tampil di mimbar, menjelaskan firman Allah dengan seksama, dan menantang kita untuk memiliki hidup seperti Kristus. Namun terkadang kita berusaha mencari hal-hal tertentu untuk dikritik. Alangkah mudahnya kita mengabaikan hal-hal baik yang dilakukan oleh seorang pendeta dan memusatkan diri pada pendapat pribadi kita saja.

Sama seperti kita semua, para pendeta yang melayani kita juga tidak sempurna. Oleh karena itu, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus mengikuti mereka secara membabi-buta dan tidak pernah menegur kesalahan mereka melalui cara-cara yang tepat. Namun sejumlah catatan dari penulis kitab Ibrani dapat menolong kita untuk mempunyai cara pandang yang tepat terhadap para pemimpin kita yang menyampaikan kebenaran Allah dan memberikan contoh hidup sebagai pemimpin yang rela melayani. Penulis Ibrani berkata, “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya” (13:17).

Pikirkan hal itu. Pendeta kita bertanggung jawab untuk membimbing kita secara rohani di hadapan Allah. Kita mengharapkan beban pelayanan itu menjadi sukacita, bukannya mendatangkan keluh-kesah bagi mereka. Ayat selanjutnya menunjukkan bahwa keluh-kesah pendeta “tidak akan membawa keuntungan” bagi kita (ay.17).

Kita sedang menghormati Allah dan membangun kehidupan gereja kita ke arah yang lebih baik pada saat kita menghormati orang-orang yang telah ditetapkan-Nya menjadi pemimpin kita. —JDB

Bapa kami yang murah hati, terima kasih untuk orang yang Engkau
utus menjadi gembala bagi gereja kami. Kiranya kami terus mau
mendorong dan mendukung beliau, dan kiranya Engkau
melindunginya dari kesalahan dalam perkataan maupun tindakan.

Pendeta yang memberitakan firman Allah memerlukan kata-kata yang menguatkan dari umat Allah.

Sang Pencipta & Tabib Agung

Sabtu, 15 Februari 2014

Sang Pencipta & Tabib Agung

Baca: Mazmur 139:1-16

139:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;

139:2 Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.

139:3 Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.

139:4 Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.

139:5 Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.

139:6 Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.

139:7 Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

139:8 Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.

139:9 Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,

139:10 juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

139:11 Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,”

139:12 maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.

139:13 Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.

139:14 Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.

139:15 Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah;

139:16 mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib. —Mazmur 139:14

Sang Pencipta & Tabib Agung

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengalami kecelakaan yang cukup serius ketika bermain ski sehingga sejumlah otot di salah satu kaki saya robek parah. Dokter bahkan berkata bahwa robekan tersebut menyebabkan banyak pendarahan. Proses penyembuhannya berjalan lambat, tetapi sepanjang masa pemulihan tersebut, hati saya dipenuhi kekaguman yang besar kepada Pencipta Agung kita (lihat Kol. 1:16).

Di sepanjang hidup saya, saya telah beberapa kali merusakkan sepatbor mobil dan lebih dari satu kali menjatuhkan piring. Sekali rusak dan pecah, barang-barang tersebut tetap rusak dan pecah. Namun, tidak demikian halnya dengan kaki saya. Segera setelah terjadi robekan pada otot saya, mekanisme penyembuhan internal yang dirancang Kristus dalam tubuh saya pun mulai bekerja. Memang proses itu tidak terlihat, tetapi jauh di dalam kaki saya yang berdenyut-denyut, karya medis-Nya yang menakjubkan sedang memperbaiki otot-otot yang robek itu. Tak lama kemudian, saya sudah bisa berdiri dan berjalan kembali, sambil menerima pengertian baru tentang apa yang dimaksudkan pemazmur ketika ia berkata bahwa “kejadian [kita] dahsyat dan ajaib” (Mzm. 139:14). Hati saya pun penuh dengan pujian.

Terkadang dibutuhkan hal-hal seperti sebuah cedera atau sakit-penyakit untuk mengingatkan kita akan rancangan luar biasa yang ada di dalam tubuh kita. Jadi, apabila suatu saat nanti Anda menghadapi suatu gangguan yang tidak Anda harapkan—apa pun penyebabnya— pusatkanlah perhatian Anda pada kasih Yesus yang indah dan izinkan Dia menggerakkan hati Anda untuk menyembah-Nya dengan penuh syukur di tengah penderitaan itu! —JMS

Tuhan, tolong kami melihat melampaui peristiwa demi peristiwa
dalam hidup kami, dan memperhatikan karya-Mu yang luar biasa
dan rancangan-Mu yang sempurna. Ampuni kepicikan kami dan ajar
kami melihat kehadiran-Mu dalam setiap keadaan yang kami alami.

Menyembah Sang Pencipta Agung dimulai dengan mempunyai hati yang bersyukur.

Karakter Atau Reputasi?

Kamis, 13 Februari 2014

Karakter Atau Reputasi?

Baca: Wahyu 3:1-6

3:1 “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Sardis: Inilah firman Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!

3:2 Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati, sebab tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-Ku.

3:3 Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah! Karena jikalau engkau tidak berjaga-jaga, Aku akan datang seperti pencuri dan engkau tidak tahu pada waktu manakah Aku tiba-tiba datang kepadamu.

3:4 Tetapi di Sardis ada beberapa orang yang tidak mencemarkan pakaiannya; mereka akan berjalan dengan Aku dalam pakaian putih, karena mereka adalah layak untuk itu.

3:5 Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan Bapa-Ku dan di hadapan para malaikat-Nya.

3:6 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.”

Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati! —Wahyu 3:1

Karakter Atau Reputasi?

John Wooden (1910-2010), seorang pelatih bola basket legendaris, meyakini bahwa karakter seseorang jauh lebih penting daripada reputasinya. “Reputasi Anda adalah anggapan orang lain tentang diri Anda,” demikian kata-kata yang sering Wooden ucapkan kepada para pemain asuhannya, “tetapi karakter Anda adalah jati diri Anda yang sebenarnya. Andalah satu-satunya orang yang mengenal karakter Anda. Anda bisa menipu orang lain, tetapi Anda tak bisa menipu diri sendiri.”

Dalam kitab Wahyu, kita dapat membaca perkataan Kristus yang telah bangkit kepada tujuh jemaat di Asia. Kepada jemaat di Sardis, Yesus berkata, “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup [reputasi mereka], padahal engkau mati!” (Why. 3:1). Tuhan mengetahui kebenaran yang sesungguhnya tentang diri mereka, dan tidak diragukan lagi bahwa jemaat itu sebenarnya juga mengetahui keadaan mereka sendiri. Yesus memerintahkan mereka untuk bangun dan menguatkan kehidupan rohani dalam diri mereka yang sudah hampir mati (ay.2). Dia mendorong mereka untuk mengingat kembali kebenaran yang telah mereka terima, menaatinya, kemudian bertobat dan mulai melangkah menuju arah yang baru (ay.3).

Ketika Tuhan menunjukkan kepada kita hal-hal yang salah dalam hidup kita, Dia selalu memberikan pertolongan agar kita dapat berubah. Ketika kita bertobat dari dosa-dosa kita, Dia akan mengampuni dan menguatkan kita agar dapat bangkit kembali.

Alangkah melegakannya ketika kita menukarkan reputasi rohani kita yang palsu dengan karakter sejati yang menghidupkan kita, yaitu karakter yang berasal dari pengenalan kita akan Yesus Kristus, Tuhan kita! —DCM

Manusia suka mencari kekayaan dan ketenaran,
Dan jarang sekali mengejar nama;
Padahal nama baik jauh lebih utama
Daripada semua keindahan yang ada di bumi. —Guest

Ujian sejati dari karakter kita adalah apa yang kita lakukan ketika tak seorang pun melihat kita.

Melihat Jauh Ke Depan

Rabu, 12 Februari 2014

Melihat Jauh Ke Depan

Baca: Roma 8:28-30

8:28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

8:29 Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.

8:30 Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.

Apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia. —1 Yohanes 3:2

Melihat Jauh Ke Depan

Para pematung memiliki sebuah istilah untuk menyebut tentang kemampuan seorang seniman untuk melihat bongkahan batu yang masih mentah sambil membayangkan bentuk akhirnya setelah bongkahan itu dipahat menjadi patung. Istilah tersebut adalah hyperseeing atau “melihat jauh ke depan”.

Gutzon Borglum (1867-1941) adalah seorang pematung yang telah menciptakan banyak karya seni untuk umum yang terkenal. Mungkin yang paling terkenal diantaranya adalah Patung Peringatan Nasional Gunung Rushmore di Dakota Selatan. Pengurus rumah Borglum menangkap konsep “melihat jauh ke depan” ini ketika memandangi wajah-wajah raksasa dari empat presiden AS yang terpahat pada Gunung Rushmore untuk pertama kalinya. “Pak Borglum,” katanya sambil terkagum, “bagaimana Anda bisa tahu wajah Presiden Lincoln ada di batu karang itu?”

“Melihat jauh ke depan” juga dengan tepat menggambarkan sifat Allah kita yang Mahatahu. Dia melihat keseluruhan diri kita. Bahkan lebih dari itu. Dia melihat keberadaan diri kita kelak ketika Dia telah menyelesaikan karya-Nya dan kita berdiri di hadapan-Nya, kudus dan tidak bercela, dalam keserupaan yang sempurna dengan Yesus. Allah yang telah memulai karya agung-Nya dalam diri Anda akan terus berkarya sampai Dia menyelesaikannya pada hari kedatangan Yesus Kristus yang kedua (lihat Flp. 1:6).

Allah tidak akan gagal! Dia begitu merindukan kesempurnaan kita sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan bisa menghalangi-Nya untuk menuntaskan karya yang telah dimulai-Nya sejak masa lampau itu.

Kiranya kita rela menyerahkan diri kita untuk dibentuk oleh tangan Sang Pematung Agung. —DHR

Keraguan berbisik, “Kau ini hanyalah secuil noda;
Dia takkan mengasihi dirimu yang tak pantas.”
Namun jika diriku yang sekarang tak dikasihi-Nya,
Kuyakin Dia akan mengasihi diriku yang mendatang. —MacDonald

Allah berkarya dalam diri kita untuk menumbuhkan kita menjadi pribadi yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Di Tengah Ketakutan Kita

Selasa, 11 Februari 2014

Di Tengah Ketakutan Kita

Baca: 1 Raja-Raja 17:17-24

17:17 Sesudah itu anak dari perempuan pemilik rumah itu jatuh sakit dan sakitnya itu sangat keras sampai tidak ada nafasnya lagi.

17:18 Kata perempuan itu kepada Elia: “Apakah maksudmu datang ke mari, ya abdi Allah? Singgahkah engkau kepadaku untuk mengingatkan kesalahanku dan untuk menyebabkan anakku mati?”

17:19 Kata Elia kepadanya: “Berikanlah anakmu itu kepadaku.” Elia mengambilnya dari pangkuan perempuan itu dan membawanya naik ke kamarnya di atas, dan membaringkan anak itu di tempat tidurnya.

17:20 Sesudah itu ia berseru kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, Allahku! Apakah Engkau menimpakan kemalangan ini atas janda ini juga, yang menerima aku sebagai penumpang, dengan membunuh anaknya?”

17:21 Lalu ia mengunjurkan badannya di atas anak itu tiga kali, dan berseru kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, Allahku! Pulangkanlah kiranya nyawa anak ini ke dalam tubuhnya.”

17:22 TUHAN mendengarkan permintaan Elia itu, dan nyawa anak itu pulang ke dalam tubuhnya, sehingga ia hidup kembali.

17:23 Elia mengambil anak itu; ia membawanya turun dari kamar atas ke dalam rumah dan memberikannya kepada ibunya. Kata Elia: “Ini anakmu, ia sudah hidup!”

17:24 Kemudian kata perempuan itu kepada Elia: “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar.”

Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu. —Mazmur 56:4

Di Tengah Ketakutan Kita

Setelah kami menikah selama 12 tahun, saya dan istri merasa kecewa karena terombang-ambing oleh pasang-surutnya harapan kami untuk memiliki anak. Seorang teman kami berusaha membantu untuk “menjelaskan” maksud Allah. “Mungkin Allah tahu kalau kau akan menjadi ayah yang buruk,” katanya. Teman saya ini tahu betul bahwa ibu saya pernah bergumul dengan sifatnya yang pemarah.

Kemudian pada Natal tahun 1988, kami mendapat kabar gembira bahwa istri saya sedang mengandung anak kami yang pertama! Namun setelah itu saya kembali dihantui oleh perasaan takut gagal.

Pada Agustus 1989, Kathryn pun hadir di tengah keluarga kami. Ketika para perawat dan dokter sedang menangani istri saya, Kathryn menangis di atas ranjang penghangatnya. Saya mengulurkan tangan untuk menghiburnya, dan jari-jari mungilnya menggenggam erat jari saya. Segera pada saat itu, Roh Kudus menjamah hati saya untuk meyakinkan diri saya tentang apa yang menjadi keraguan saya belakangan ini—keraguan bahwa saya akan dapat menunjukkan kasih kepada anak kami yang mungil ini!

Janda di Sarfat juga merasa ragu. Putranya telah menderita penyakit yang mematikan. Dalam keputusasaan, ia berseru, “Singgahkah engkau kepadaku untuk mengingatkan kesalahanku dan untuk menyebabkan anakku mati?” (1Raj. 17:18). Namun Allah memiliki rencana lain!

Kita melayani Allah yang jauh lebih berkuasa daripada pergumulan yang kita hadapi. Allah sangat rindu untuk mengampuni, mengasihi, serta memulihkan kehancuran yang ada di antara kita dengan-Nya. Allah hadir di tengah rasa takut yang mencekam kita. —RKK

Bapa, nyatakanlah diri-Mu kepada kami di tengah kelemahan kami
dan dalam ketakutan kami yang terbesar. Ajarilah kami menerima
kasih-Mu dengan satu cara yang memampukan kami untuk menyatakannya
kepada sesama, terutama mereka yang terdekat dengan kami.

Kasih memberi kekuatan untuk menghadapi segala ketakutan yang semu dalam hidup.

Kekuatan Musik

Senin, 10 Februari 2014

Kekuatan Musik

Baca: Mazmur 59:7-17

59:7 Pada waktu senja mereka datang kembali, mereka melolong seperti anjing dan mengelilingi kota.

59:8 Sesungguhnya, mereka menyindir dengan mulutnya; cemooh ada di bibir mereka, sebab–siapakah yang mendengarnya?

59:9 Tetapi Engkau, TUHAN, menertawakan mereka, Engkau mengolok-olok segala bangsa.

59:10 Ya kekuatanku, aku mau berpegang pada-Mu, sebab Allah adalah kota bentengku.

59:11 Allahku dengan kasih setia-Nya akan menyongsong aku; Allah akan membuat aku memandang rendah seteru-seteruku.

59:12 Janganlah membunuh mereka, supaya bangsaku tidak lupa, halaulah mereka kian ke mari dengan kuasa-Mu, dan jatuhkanlah mereka, ya Tuhan, perisai kami!

59:13 Karena dosa mulut mereka adalah perkataan bibirnya, biarlah mereka tertangkap dalam kecongkakannya. Oleh karena sumpah serapah dan dusta yang mereka ceritakan,

59:14 habisilah mereka dalam geram, habisilah, sehingga mereka tidak ada lagi, supaya mereka sadar bahwa Allah memerintah di antara keturunan Yakub, sampai ke ujung bumi. Sela

59:15 Pada waktu senja mereka datang kembali, mereka melolong seperti anjing dan mengelilingi kota.

59:16 Mereka mengembara mencari makan; apabila mereka tidak kenyang, maka mereka mengaum.

59:17 Tetapi aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu; sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku.

Aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersoraksorai karena kasih setia- Mu; sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku. —Mazmur 59:17

Kekuatan Musik

Di Wales, musik yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok paduan suara kaum pria punya pengaruh yang besar pada budaya negeri itu. Sebelum Perang Dunia II, ada satu kelompok asal Wales yang bersaing secara sehat dengan sebuah kelompok serupa dari Jerman, tetapi keakraban itu berubah menjadi kebencian selama dan setelah perang berlangsung. Namun ketegangan itu pelan-pelan surut melalui pesan yang tercantum pada piala yang menjadi milik bersama kedua kelompok itu: “Bicaralah denganku, kau akan menjadi temanku. Bernyanyilah bersamaku, kau menjadi saudaraku.”

Kekuatan musik untuk memulihkan dan menolong jiwa merupakan anugerah dari Allah yang telah menghibur banyak orang. Mungkin itulah mengapa kita sangat menghayati kitab Mazmur. Dalam kitab itu, kita menemukan lirik demi lirik yang menyentuh hati kita dan yang memungkinkan kita untuk berbicara kepada Allah dari lubuk hati kita. “Aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu; sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku” (Mzm. 59:17). Hebatnya, Daud menulis pujian ini ketika ia sedang dikejar-kejar oleh mereka yang ingin membunuhnya! Dalam situasi demikian, Daud tetap mengingat kuasa dan belas kasih Allah, dan bernyanyi tentang sifat-sifat Allah itu yang menguatkan dirinya untuk terus melangkah maju.

Kiranya Allah memberi kita sebuah pujian hari ini yang akan mengingatkan kita akan kebaikan dan kebesaran-Nya, apa pun yang mungkin sedang kita hadapi. —WEC

Aku bernyanyi bahagia,
Memuji Yesus selamanya;
Aku bernyanyi bahagia,
Memuji Yesus selamanya. —Crosby
(Kidung Jemaat, No. 392)

“Aku mau bernyanyi bagi TUHAN, bermazmur bagi TUHAN, Allah Israel.” —Hakim-Hakim 5:3

Memelihara Kesatuan

Minggu, 9 Februari 2014

Memelihara Kesatuan

Baca: Efesus 4:1-6

4:1 Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.

4:2 Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.

4:3 Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:

4:4 satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu,

4:5 satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,

4:6 satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.

Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera. —Efesus 4:3

Memelihara Kesatuan

Alkisah, seorang pria yang sudah lama terdampar sendirian di sebuah pulau akhirnya ditemukan. Regu penyelamat bertanya kepada pria itu tentang tiga pondok yang mereka lihat di pulau tersebut. Pria itu menunjuk masing-masing pondok itu dan berkata, “Yang itu rumah saya dan yang itu gereja saya.” Ia kemudian menunjuk ke arah pondok yang ketiga: “Kalau itu gereja saya yang sebelumnya.” Meskipun kita mungkin menertawakan kekonyolan cerita ini, tetapi cerita ini memang menyoroti suatu masalah tentang kesatuan di antara orang percaya.

Jemaat di Efesus pada masa pelayanan Rasul Paulus terdiri dari orang kaya dan orang miskin, kaum Yahudi dan non-Yahudi, pria dan wanita, para tuan dan budak. Seperti pada umumnya, di mana ada perbedaan, di sana pula ada pergesekan. Salah satu permasalahan yang disebutkan Paulus dalam tulisannya adalah perihal kesatuan. Namun, cermatilah perkataan Paulus tentang masalah ini dalam Efesus 4:3. Ia tidak mendorong mereka untuk “giat menciptakan atau membangun kesatuan.” Ia memerintahkan mereka untuk berusaha “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” Kesatuan itu telah ada karena umat percaya diikat bersama oleh satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, dan satu Allah dan Bapa dari semua (ay.4-6).

Bagaimana caranya kita “memelihara kesatuan”? Dengan cara mengemukakan pendapat dan keyakinan kita yang berbeda-beda dengan sikap rendah hati, lemah lembut, dan sabar (ay.2). Roh Kudus akan memberikan kepada kita kuasa untuk bertindak penuh kasih saat menghadapi orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. —AL

Tuhan, kiranya perilaku dan pelayanan kami menggambarkan
kesatuan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus di surga.
Penuhilah kami dengan buah Roh agar kami dapat mengasihi
sesama kami sebagaimana Engkau menghendakinya.

Kesatuan di antara umat Tuhan didasari oleh kesatuan kita dengan Kristus.