Apakah Kita Memandang Muka?
Hari ke-10 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini
Baca: Yakobus 2:1-4
2:1 Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.
2:2 Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk,
2:3 dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”,
2:4 bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?
Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974
Meskipun sekitar 2.000 tahun sudah berlalu sejak Yakobus menulis surat ini kepada sesama umat percaya dari bangsa Yahudi, kebenaran pesannya masih relevan bagi kita yang hidup pada zaman ini. Kita kerap menilai orang lain dari tampilan luar dan memandang muka atau pilih-pilih dalam bergaul lebih dari yang kita sadari.
Bekerja paruh waktu di sebuah toko roti Prancis, aku berjumpa dengan berbagai macam pelanggan—mereka berbeda-beda dalam penampilan fisik, cara berperilaku, pekerjaan, status sosial, latar belakang keluarga, nilai-nilai, dan banyak hal lainnya. Tidak ada dua orang yang persis sama. Kalau aku mulai membedakan perlakuanku terhadap pelanggan yang fasih berbahasa Prancis dan pelanggan lain yang kesulitan menyebutkan nama-nama roti Prancis yang ada, aku sedang melakukan apa yang ditentang keras oleh Yakobus: memandang muka.
Dalam istilah yang lebih umum, memandang muka berarti memberi perhatian atau kehormatan kepada seseorang dengan mengorbankan orang lainnya. Memandang muka mengandung elemen diskriminasi, asumsi, dan bias. Mungkin kita akan terkejut menyadari betapa interaksi kita sehari-hari banyak dibentuk oleh bias dan asumsi yang tersembunyi di dalam diri kita—kebanyakan karena kita dibesarkan dalam budaya tertentu, dididik dengan cara tertentu, dan tumbuh di tengah lingkungan tertentu.
Disadari atau tidak, kita memiliki standar kita sendiri untuk menilai apakah seseorang pantas untuk mendapatkan kasih, perhatian, dan kekaguman kita, lebih daripada orang lainnya. Bukannya berpegang pada standar kasih Tuhan yang sempurna, kita memakai kriteria kita sendiri yang penuh dengan kelemahan.
Tidak seperti kita, Tuhan melihat melampaui tampilan luar seseorang dan yang paling Dia perhatikan adalah kondisi hati kita. Yang terpenting bagi Tuhan bukanlah penampilan fisik, talenta, pencapaian, atau reputasi kita, melainkan siapa diri kita yang sebenarnya (1 Samuel 16:7).
Kebenarannya: di mata Tuhan, kita semua sama-sama orang berdosa yang membutuhkan anugerah dan pengampunan Tuhan. Kebenaran ini perlu tertanam dalam hati kita agar kita berhenti memandang muka. Seorang pengkhotbah Skotlandia, Sinclair Ferguson, dalam uraiannya tentang surat Yakobus, mengatakan bahwa yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah melihat kondisi hati kita sendiri: “Jika aku tidak memahami hatiku dan kebutuhanku sendiri, aku tidak akan pernah bisa memahami hati dan kebutuhan orang lain.”
Hanya pada saat kita mengizinkan Tuhan menolong kita untuk secara bertahap mengalami transformasi hati dan mengikuti jalan-Nya, barulah kita dapat melihat orang lain dengan perspektif anugerah dan kasih, sebagaimana Tuhan melihat kita.
Tuhan tidak memandang muka, dan Dia memanggil kita untuk melakukan hal yang sama.
Ingatlah, respons kita mencerminkan kondisi hati kita yang sebenarnya. —Lydia Tan, Singapura
Handlettering oleh Priska Sitepu
Pertanyaan untuk direnungkan
1. Bagaimana kita pernah memandang muka di sekolah, di gereja, di tempat kerja, atau di antara teman-teman dan keluarga kita?
2. Adakah kelompok orang tertentu yang lebih kita sukai, misalnya mereka yang kaya (atau sebaliknya mereka yang tak punya), mereka yang pintar, atau yang memiliki kedudukan? Apakah cara pandang kita itu sesuai dengan cara Tuhan memandang mereka?
3. Bagaimana kita dapat menjaga hati kita agar tidak memandang muka, memperlakukan kelompok tertentu lebih dari yang lain?
Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.
Tentang Penulis:
Lydia Tan, Singapura | Lydia adalah seorang yang optimis. Sepertinya tidak ada suatu hal yang bisa membuatnya pesimis, kecuali pikiran tentang sayuran dan jarum. Dia sangat senang ketika dia ada bersama-sama dengan orang, anak anjing, atau anak kecil. Dari mereka, dia dapat belajar pelajaran hidup. Lydia punya kelemahan, dia tidak bisa menahan diri untuk cokelat hitam dan pernak-pernik yang cantik (terutama jika itu buatan tangan). Lydia adalah seorang pempimpi, dia bersemangat untuk menjadi terang Tuhan bagi bangsa-bangsa dan dia suka banyak petualangan. Ketika tidak sedang sibuk, Lydia suka berjalan-jalan santai dan menikmati Tuhan di alam.