Apakah Kita Memandang Muka?

Hari ke-10 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 2:1-4

2:1 Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.

2:2 Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk,

2:3 dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”,

2:4 bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?

Apakah Kita Memandang Muka?

Meskipun sekitar 2.000 tahun sudah berlalu sejak Yakobus menulis surat ini kepada sesama umat percaya dari bangsa Yahudi, kebenaran pesannya masih relevan bagi kita yang hidup pada zaman ini. Kita kerap menilai orang lain dari tampilan luar dan memandang muka atau pilih-pilih dalam bergaul lebih dari yang kita sadari.

Bekerja paruh waktu di sebuah toko roti Prancis, aku berjumpa dengan berbagai macam pelanggan—mereka berbeda-beda dalam penampilan fisik, cara berperilaku, pekerjaan, status sosial, latar belakang keluarga, nilai-nilai, dan banyak hal lainnya. Tidak ada dua orang yang persis sama. Kalau aku mulai membedakan perlakuanku terhadap pelanggan yang fasih berbahasa Prancis dan pelanggan lain yang kesulitan menyebutkan nama-nama roti Prancis yang ada, aku sedang melakukan apa yang ditentang keras oleh Yakobus: memandang muka.

Dalam istilah yang lebih umum, memandang muka berarti memberi perhatian atau kehormatan kepada seseorang dengan mengorbankan orang lainnya. Memandang muka mengandung elemen diskriminasi, asumsi, dan bias. Mungkin kita akan terkejut menyadari betapa interaksi kita sehari-hari banyak dibentuk oleh bias dan asumsi yang tersembunyi di dalam diri kita—kebanyakan karena kita dibesarkan dalam budaya tertentu, dididik dengan cara tertentu, dan tumbuh di tengah lingkungan tertentu.

Disadari atau tidak, kita memiliki standar kita sendiri untuk menilai apakah seseorang pantas untuk mendapatkan kasih, perhatian, dan kekaguman kita, lebih daripada orang lainnya. Bukannya berpegang pada standar kasih Tuhan yang sempurna, kita memakai kriteria kita sendiri yang penuh dengan kelemahan.

Tidak seperti kita, Tuhan melihat melampaui tampilan luar seseorang dan yang paling Dia perhatikan adalah kondisi hati kita. Yang terpenting bagi Tuhan bukanlah penampilan fisik, talenta, pencapaian, atau reputasi kita, melainkan siapa diri kita yang sebenarnya (1 Samuel 16:7).

Kebenarannya: di mata Tuhan, kita semua sama-sama orang berdosa yang membutuhkan anugerah dan pengampunan Tuhan. Kebenaran ini perlu tertanam dalam hati kita agar kita berhenti memandang muka. Seorang pengkhotbah Skotlandia, Sinclair Ferguson, dalam uraiannya tentang surat Yakobus, mengatakan bahwa yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah melihat kondisi hati kita sendiri: “Jika aku tidak memahami hatiku dan kebutuhanku sendiri, aku tidak akan pernah bisa memahami hati dan kebutuhan orang lain.”

Hanya pada saat kita mengizinkan Tuhan menolong kita untuk secara bertahap mengalami transformasi hati dan mengikuti jalan-Nya, barulah kita dapat melihat orang lain dengan perspektif anugerah dan kasih, sebagaimana Tuhan melihat kita.

Tuhan tidak memandang muka, dan Dia memanggil kita untuk melakukan hal yang sama.
Ingatlah, respons kita mencerminkan kondisi hati kita yang sebenarnya. —Lydia Tan, Singapura

Handlettering oleh Priska Sitepu

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kita pernah memandang muka di sekolah, di gereja, di tempat kerja, atau di antara teman-teman dan keluarga kita?

2. Adakah kelompok orang tertentu yang lebih kita sukai, misalnya mereka yang kaya (atau sebaliknya mereka yang tak punya), mereka yang pintar, atau yang memiliki kedudukan? Apakah cara pandang kita itu sesuai dengan cara Tuhan memandang mereka?

3. Bagaimana kita dapat menjaga hati kita agar tidak memandang muka, memperlakukan kelompok tertentu lebih dari yang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Lydia Tan, Singapura | Lydia adalah seorang yang optimis. Sepertinya tidak ada suatu hal yang bisa membuatnya pesimis, kecuali pikiran tentang sayuran dan jarum. Dia sangat senang ketika dia ada bersama-sama dengan orang, anak anjing, atau anak kecil. Dari mereka, dia dapat belajar pelajaran hidup. Lydia punya kelemahan, dia tidak bisa menahan diri untuk cokelat hitam dan pernak-pernik yang cantik (terutama jika itu buatan tangan). Lydia adalah seorang pempimpi, dia bersemangat untuk menjadi terang Tuhan bagi bangsa-bangsa dan dia suka banyak petualangan. Ketika tidak sedang sibuk, Lydia suka berjalan-jalan santai dan menikmati Tuhan di alam.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Rangkuman Singkat Yakobus 1:16-27

Selama seminggu ke belakang kita bersama-sama membahas Kitab Yakobus pasal yang pertama dari ayat 16 sampai 27.

Apa yang paling sobat muda ingat dari bacaan tersebut?

Melalui infografik ini, yuk kita segarkan kembali ingatan kita tentang pelajaran-pelajaran penting dari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Kamu juga bisa membagikan hasil perenunganmu di Instagram Story.
Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Perkataan dan Perbuatan

Hari ke-9 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:26-27

1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

1:27 Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Perkataan dan Perbuatan

Kita semua tentu pernah mengucapkan sesuatu yang kemudian kita sesali. Mungkin kita pernah keliru bicara di depan banyak orang, atau mengucapkan sesuatu yang menyakiti seorang teman atau orang yang kita kasihi. Mungkin kita pernah melontarkan guyonan kasar, ungkapan kemarahan, atau komentar tanpa pikir panjang di akun media sosial kita.

Dalam lingkungan yang makin hari makin kurang bersahabat dengan kekristenan, instruksi yang diberikan Yakobus kepada umat percaya untuk mengekang lidah mereka (ayat 26) menjadi kian relevan dan diperlukan. Sangat penting bagi kita untuk menyatakan kasih Kristus dalam cara kita berbicara kepada orang lain—termasuk dalam media sosial.

Tidak berhenti di sana, Yakobus berkata lebih lanjut bahwa jika kita menganggap diri kita beribadah—mungkin kita rajin ke gereja, berdoa, berpuasa, melayani—tetapi gagal mengendalikan perkataan kita, sebenarnya kita sedang menipu diri sendiri dan ibadah kita “sia-sia” (ayat 26).

Ibadah yang dianggap Tuhan murni dan tak bercacat melibatkan baik perkataan maupun perbuatan kita. Dalam ayat 27, Yakobus memberitahu kita—selain untuk mengekang lidah—kita juga harus memperhatikan para “yatim piatu dan janda-janda”, serta menjaga agar diri kita sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Para yatim piatu dan janda-janda di zaman Yakobus adalah kelompok yang paling rendah statusnya dalam masyarakat. Jika instruksi itu diberikan pada zaman sekarang, Yakobus mungkin akan menyebutkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat seperti para tuna wisma, para penyandang cacat mental, dan orang-orang miskin. Kita dipanggil untuk memperhatikan dan melayani orang-orang yang membutuhkan, tidak hanya kerabat dan teman-teman kita semata. Poin ini berkaitan dengan tema yang terus berulang dalam kitab Yakobus, yaitu bagaimana iman dan perbuatan harus seiring sejalan dalam kehidupan seorang Kristen.

Di akhir pesannya, Yakobus menambahkan sebuah instruksi lagi: jaga agar perilaku dunia yang berdosa tidak merusak perilaku kita (ayat 27). Dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat kita berusaha berbuat baik dalam nama Tuhan Yesus, kita harus secara konsisten menjaga diri kita dari berbagai godaan dan pengaruh. Bila kita membiarkan dosa menyelinap dalam perbuatan baik kita (misalnya ketidakjujuran atau motivasi yang tidak murni), kita merusak perbuatan baik kita sendiri dan menodai nama baik Tuhan Yesus.

Perintah ini tidak mudah dilakukan. Namun, ketika kita mengendalikan lidah kita, memperhatikan kaum yang terpinggirkan, menjaga sikap dan perilaku kita dari kecemaran, dunia akan melihatnya dan terheran-heran mengapa orang-orang Kristen hidup demikian. Kita pun akan mendapat kesempatan untuk membagikan kebaikan kasih Kristus yang sudah kita alami dan mengundang mereka untuk menjadi bagian dari keluarga Allah. —Caleb Young, Australia

Handlettering oleh Catherine Tedjasaputra
Background image oleh Aryanto Wijaya

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal-hal apa kamu gagal “mengekang” lidah?

2. Langkah-langkah nyata apa saja yang bisa kamu ambil untuk mulai menolong mereka yang tak berdaya di lingkungan sekitarmu?

3. Bagaimana kamu dapat menjaga diri agar tidak “dicemarkan oleh dunia” (ayat 27), terutama dalam perbuatan baikmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Australia | Caleb adalah seorang pecinta film, makanan, dan juga hiburan. Caleb lahir di Selandia Baru, dibesarkan di Kepulauan fiji, dan sekarang tinggal di Australia. Dia punya tiga buah paspor! Caleb suka bercerita, dia menuangkan ceritanya dalam bentuk video yang berkisah tentang pekerjaan Tuhan dalam kehidupan seseorang, ataupun menuliskannya dalam sebuah artikel. Terlebih dari segalanya, Caleb adalah seorang dewasa muda yang berjuang untuk menjadi serupa dengan Kristus, dan amat bersyukur memiliki Juruselamat yang begitu mengasihinya meskipun dia memiliki banyak kelemahan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Mengetahui dan Melakukan

Hari ke-8 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Mengetahui dan Melakukan

Baca: Yakobus 1:22-25

1:22 Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.

1:23 Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.

1:24 Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.

1:25 Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.

Mengetahui dan Melakukan

Kita sering berkata (atau mendengar) bahwa kita ingin mengetahui kehendak Tuhan untuk hidup kita. Namun, seberapa sering kita berpikir tentang melakukan kehendak Tuhan? Apakah mengetahui itu sama dengan melakukan? Kita menipu diri sendiri jika kita berpikir keduanya sama. Ada sebuah jembatan yang harus diseberangi di antara dua poin ini, yaitu yang kita sebut sebagai: ketaatan.

Tuhan tidak menyembunyikan kehendak-Nya dari kita. Hukum-Nya yang sempurna telah dinyatakan di dalam Alkitab yang hari ini dimiliki jutaan orang dan bisa diakses dari seluruh belahan dunia. Tuhan berbicara kepada kita dan mendesak kita untuk memperhatikan hukum tersebut. Namun, seberapa sering kita pergi menjauh dari firman Tuhan? Seberapa sering kita merasa puas diri dengan wawasan baru yang kita dapatkan dari pendalaman Alkitab kita, tetapi gagal membuat perubahan yang nyata dalam hidup kita?

Aku pernah sekali menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang berbeda keyakinan. Ada jurang yang dalam di antara pandangan kami berdua, yang awalnya tidak kuanggap sebagai masalah serius. Seiring berjalannya waktu, Tuhan mengirimkan sejumlah orang untuk memberiku teguran. Tuhan juga berbicara kepadaku secara pribadi dari 2 Korintus 6:14 dalam beberapa peristiwa: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Sekalipun firman Tuhan jelas mengatakan bahwa hubunganku itu dapat membahayakan hubungaku dengan Yesus, aku tidak mau mendengarkannya. Aku mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan dan menolak untuk taat.

Responsku sama seperti orang yang digambarkan Yakobus dalam ayat 23: ia mengamat-amati dirinya di depan cermin dan melihat segala ketidaksempurnaannya, tetapi kemudian pergi tanpa melakukan upaya perubahan sedikitpun.

Pada akhirnya, aku harus menanggung konsekuensi karena memaksakan diri melakukan apa yang aku mau. Aku jadi tidak bisa berdoa, membaca Alkitab, pergi ke gereja, atau berbicara tentang Tuhan kepada pacarku itu. Selalu ada tarik-menarik setiap kali kami harus memutuskan ke mana kami akan mengisi kebutuhan rohani kami. Pada akhirnya kami bertengkar tentang Tuhan dan juga tentang panggilanku ke ladang misi. Sekalipun akhirnya aku mengakhiri hubungan tersebut, aku masih menyimpan luka akibat hubungan itu.

Firman Tuhan menjadi seperti sebuah cermin bagi diri kita yang sesungguhnya. Firman Tuhan memantulkan rupa kita dari dalam batin kita. Firman Tuhan menyingkapkan kondisi hati kita yang sebenarnya, dan memberitahu kita apa yang perlu kita lakukan untuk menyelaraskan hati kita dengan hati Tuhan. Yang penting bukanlah seberapa banyak yang sudah kita dengar atau pahami, melainkan apakah kita menaati yang sudah kita dengar itu.

Orang kedua yang digambarkan Yakobus dalam ayat ke-25 tidak hanya mendengar dan memahami firman Tuhan, tetapi juga melakukannya. Orang ini melihat ketidaksempurnaannya dalam terang firman Tuhan, dan ia pun mengambil langkah-langkah nyata untuk menaati firman Tuhan. Orang ini mendengar dan melakukan firman Tuhan secara terus-menerus. Perbuatannya itu membuat ia berbahagia.

Yakobus berkata bahwa kita harus menjadi para pelaku firman dan bukan hanya pendengar. Mari kita memeriksa diri kita masing-masing dan mempraktikkan kebenaran yang kita dengar (ay.22-25). —Kezia Lewis, Filipina

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang firman Tuhan minta untuk kamu lakukan? Apakah kamu melakukannya?

2. Apa yang menghalangimu untuk melakukan firman Tuhan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Kezia Lewis, Filipina | Kezia tinggal bersama suaminya, Jason, di Krabi, Thailand. Mereka berdua melayani bersama di yayasan Sowers International. Mereka mengajar bahasa Inggris di sekolah lokal. Kezia dan saudarinya diberi nama oleh ibunya (yang kala itu belum membaca Alkitab) sebuah nama yang berasal dari Alkitab, yaitu nama anak-anak Ayub (Ayub 42:14). Kezia suka memanggil Tuhan sebagai “Bapa” dan dia merasa tenang saat cuaca hujan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Cepat, Lambat, Lambat

Hari ke-7 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:19-21

1:19 Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;

1:20 sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.

1:21 Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.

Cepat, Lambat, Lambat

Sebagai seorang jurnalis, aku bekerja di sebuah lingkungan yang super sibuk, super cepat, dan penuh tekanan. Belakangan, aku menemukan diriku mulai mudah marah dalam pekerjaanku, sering mengeluh kepada orang lain tentang betapa melelahkannya pekerjaanku, dan membenci beban kerjaku yang berat.

Saat menghadapi situasi dan orang-orang yang sulit, kecenderungan alami kita adalah marah dan menggerutu. Namun melalui suratnya, Yakobus mendesak kita untuk tetap tenang dan mendengarkan firman Tuhan daripada membiarkan emosi kita meledak.

Saat Yakobus memberitahu kita agar “cepat untuk mendengar”, itu berarti berdiam diri dan menundukkan diri kepada firman Tuhan. Pesan ini juga dapat berarti mencari nasihat yang baik dari orang lain yang punya pengalaman dan saran yang mengarahkan kita kepada firman Tuhan.

Sebaliknya, Yakobus juga memberitahu kita agar “lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah”. Dalam situasi yang menekan, kita bisa menjadi tuli terhadap firman Tuhan dan lebih mudah melakukan dosa yang melawan Tuhan dengan respons kita yang terburu-buru dan penuh kemarahan (ayat 20). Mungkin inilah alasan mengapa Yakobus memberitahu kita di awal suratnya untuk berbahagia dan terus bertahan dalam ketekunan—karena Tuhan memakai semua itu untuk menguduskan kita dan menghasilkan buah yang dikehendaki-Nya di dalam hidup kita.

Meski mungkin sulit untuk mengerti dan taat ketika kita sedang melewati waktu-waktu yang menantang, Tuhan melimpahkan hikmat-Nya kepada kita saat kita sungguh-sungguh mencari-Nya dan firman-Nya (ayat 5). Dengan merenungkan firman Tuhan—tentang tujuan pencobaan yang kita hadapi, janji-janji yang kita miliki di dalam Tuhan saat kita memilih untuk taat, dan kuasa-Nya untuk mewujudkan semua janji itu—kita dapat merespons dengan cara yang menghasilkan karakter yang benar, karakter yang Tuhan mau ada dalam diri kita; dan tidak lagi sibuk mengkritik atau mengeluh.

Sekarang, setiap kali aku tergoda untuk marah atau melakukan dosa dalam kemarahan, aku kembali mengingat pesan Yakobus agar cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Dengan mencari dahulu firman Tuhan dan menyimpannya dalam hati, aku belajar bahwa firman Tuhan itu sungguh menuntun, menjaga, dan berbicara kepadaku saat aku membutuhkannya, memampukanku untuk melakukan apa yang benar di hadapan-Nya (Mazmur 119:11; Amsal 6:20-22).

Dalam prosesnya, Tuhan mengajarku bagaimana menemukan kebahagiaan di dalam masa-masa sulit yang aku alami sebagai seorang jurnalis, agar pada akhirnya, aku dapat menjadi seorang yang dewasa dan utuh dalam imanku kepada-Nya. —Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Novia Jonatan
Photo credit: Ian Tan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Situasi-situasi apa yang cenderung menyebabkan kemarahanmu meledak?

2. Bagaimana kamu dapat berespons dengan cara yang menyenangkan Tuhan?

3. Kebenaran-kebenaran apa yang bisa kamu ingat kembali saat kamu menghadapi lagi masa-masa yang penuh tantangan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Wendy adalah seorang penulis yang bercita-cita tinggi, seorang jurnalis televisi, dan juga seorang murid Kristus. Dia berharap agar Tuhan dapat menggunakan apa yang sudah Dia berikan dalam dirinya untuk memuliakan-Nya melalui kata-kata dan pekerjaan yang Wendy tekuni. Wendy merasa harinya sempurna ketika dia bisa meluangkan waktu berkualitas bersama Tuhan, membaca novel, dan mengagumi ciptaan Tuhan dengan mendaki gunung atau bersepeda.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Apakah Pencobaan Datang dari Allah?

Hari ke-6 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:16-18

1:16 Saudara-saudara yang kukasihi, janganlah sesat!

1:17 Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.

1:18 Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya.

Apakah Pencobaan Datang dari Allah?

Dua minggu setelah Natal, dengan penuh semangat aku membuka sepucuk surat dari ibuku dan tertawa geli saat menemukan di dalamnya sebuah ucapan terima kasih yang ditulis rapi dengan tangan. Ibuku selalu mengingatkanku tentang pentingnya perilaku yang baik, dan ucapan terima kasihnya yang tulus itu menjadi pesan pengingat juga bagiku untuk mengirimkan beberapa ucapan terima kasih menjelang perayaan Natal. Belajar dari teladan ibu, aku lalu menyimpan suratnya, kemudian duduk dan mulai menulis beberapa ucapan terima kasih.

Ucapan terima kasih ibuku adalah sebuah pengingat yang baik untuk merayakan pemberian-pemberian yang baik. Yakobus memberitahu kita bahwa setiap pemberian yang baik dan anugerah yang sempurna datang dari Tuhan (ayat 17).

Mengakui berkat-berkat yang kita terima dan menyatakan rasa terima kasih sangatlah penting saat kita berada di tengah ujian dan pencobaan atau dengan kata lain berada di tengah situasi yang paling sulit. Umat Kristen Yahudi pada zaman Yakobus tampaknya juga sedang menghadapi situasi yang sangat sulit. Adakalanya, mereka mungkin mempertanyakan kebaikan Tuhan. Apakah ujian dan pencobaan ini datang dari tangan-Nya?

Namun, Yakobus dengan lembut mengingatkan kita bahwa bukan hanya Tuhan tidak pernah mencobai kita untuk melakukan apa yang salah (ayat 13), Dia juga tidak pernah memberi kita hadiah yang jelek atau jahat. Pencobaan di dunia ini adalah hasil dari keberdosaan kita, dari dunia yang tidak sempurna, dan dari Setan, si penipu.

Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang baik. Dia tidak seperti bayangan yang bisa berubah-ubah; Dia konsisten dan setia (ayat 17). Jangan biarkan apapun juga menggoyahkan keyakinan kita akan hal ini.

Seakan-akan masih ada orang yang perlu diyakinkan, Yakobus melanjutkan suratnya dengan mengingatkan pembaca akan contoh terbesar dari anugerah Tuhan yang baik, yaitu anugerah keselamatan yang memerdekakan kita dari dosa (ayat 18). Inilah anugerah terbesar Tuhan bagi kita.

“Dalam dunia kamu menderita,” kata Yesus. Namun, tahukah kamu apa yang dikatakan Yesus selanjutnya? “… tetapi kuatkanlah hatimu. Aku telah mengalahkan dunia.” (Yohanes 16:33). Ini juga anugerah Tuhan yang tak kalah baiknya—jaminan bahwa Juruselamat kita telah menaklukkan dunia.

Hari ini, mari mulai mencermati setiap pemberian Tuhan yang baik dan anugerah-Nya yang sempurna di dalam hidup kita.

Mungkin, tidak ada salahnya kita menulis sebuah ucapan terima kasih untuk Tuhan.—Karen Pimpo, Amerika Serikat

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Kapan kamu paling tergoda untuk meragukan kebaikan Tuhan?

2. Harapan seperti apa yang diberikan Yakobus pasal 1 ini kepada mereka yang menghadapi ujian dan pencobaan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Karen Pimpo, Amerika Serikat | Karen tinggal di Michigan, Amerika Serikat, tempat di mana banyak orang mengeluh tentang cuacanya, tapi suka dengan lingkungannya. Ketika masih kecil, Karen ingin menjadi seorang pustakawan. Sekarang, tidak banyak yang berubah. Di samping buku-buku, dia juga suka mendengarkan dan bermain musik. Dia bernyanyi dan menulis untuk membantu mengurai simpul di kepalanya, dan dengan bercerita, itu menolong kita menyadari bahwa kita tidak sendirian.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Rangkuman Singkat Yakobus 1:1-15

Selama 5 hari, kita telah belajar Kitab Yakobus pasal 1 dari ayat pertama sampai lima belas. Apa yang paling sobat muda ingat dari bacaan tersebut?
Supaya kita tidak lupa, yuk sekarang kita mengingat kembali apa yang sudah kita pelajari dari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus selama seminggu ke belakang.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Kamu juga bisa membagikan hasil perenunganmu di Instagram Story.
Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Apakah Tuhan Mencobai Kita?

Hari ke-5 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:13-15

1:13 Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: “Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.

1:14 Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.

1:15 Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.

Apakah Tuhan Mencobai Kita?

Dosa itu menyenangkan. Aku mengakuinya. Dosa itu menarik dan membawa kenikmatan. Entah kita mengakuinya atau tidak, kenikmatan itulah yang membuat kita tergoda berbuat dosa. Seorang pembicara sekaligus penulis dari Amerika, Rosaria Butterfield, pernah membuat guyonan, “Kalau dosamu tidak terasa nikmat, caramu berdosa pasti kurang tepat.” Jelas bahwa ia tidak sedang mendorong orang-orang Kristen untuk melakukan dosa, ia hanya sekadar menyatakan apa yang sudah jelas—dosa itu rasanya benar-benar menyenangkan.

Yakobus berkata: “…tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (ayat 14). Aku sendiri mengalaminya. Setiap kali aku berdosa, itu karena aku membiarkan diriku diseret oleh kesombongan atau kemarahanku; aku membiarkan diriku dipikat oleh keinginan menikmati minuman keras atau pornografi.

Jadi, aku bisa menghargai mengapa Yakobus menggunakan kata “dipikat” yang biasanya diasosiasikan dengan daya tarik seksual. Pada saat cobaan datang, hasrat untuk melakukan dosa terasa sangat kuat menggoda. Rayuannya susah untuk ditolak. Tidak apa-apa, pikirku. Hanya sekali. Apa ruginya sih?

Pada saat itulah aku menemukan bahwa dosa tidak pernah memberikan kesenangan yang dijanjikannya. Dosa itu seperti sebuah cek dengan jumlah besar yang tidak pernah bisa diuangkan. Pada akhirnya, dosa hanya menipu dan membuat kita rugi luar biasa.

Kamu mungkin bertanya: Jika dosa itu begitu buruk, mengapa Tuhan mengizinkan kita jatuh ke dalam pencobaan? Mengapa Tuhan membiarkan kita berada dalam situasi yang menggoda sehingga kita kemudian berbuat dosa? Pemikiran yang demikian sayangnya menunjukkan bahwa kita belum sungguh-sungguh memahami hati dan karakter Tuhan.

Yakobus mengingatkan kita, “Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata, ‘Pencobaan ini datang dari Allah!’ Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun (ayat 13). Tuhan selalu baik dan selalu baik.

Tidak seperti kita, Tuhan tidak dapat dikendalikan oleh yang jahat. Dia juga tidak menginginkan kita dikendalikan oleh yang jahat, karena Dia tahu kerusakan yang akan kita derita saat kita menyerah pada pencobaan. Seperti yang dikatakan Yakobus, “Apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut” (ayat 15).

Menyerah pada keinginan-keinginan kita yang jahat, menurut Yakobus, itu sama seperti membiarkan diri “diseret” ke atas ranjang dari orang jahat yang menggoda kita. Dari hubungan terlarang itu, keinginan kita lantas melahirkan dosa, yang seiring berjalannya waktu membuat kita mati secara rohani. Gambaran yang sangat hidup ini seharusnya menolong kita mengerti betapa kuatnya daya tarik dosa dan betapa buruknya dampak yang bisa ditimbulkan dosa. Meskipun penampilan dan rasanya menyenangkan, dosa sebenarnya menghancurkan dan mematikan.

Tuhan tidak menginginkan kita menderita karena dosa; Dia mau kita menikmati kebaikan-Nya yang menghidupkan, dan kebaikan-Nya itu bisa kita nikmati saat kita taat kepada-Nya, kepada firman-Nya. Mari kita tidak salah memahami hati Tuhan, dan selalu ingat bahwa Dia peduli kepada kita, Dia menginginkan yang terbaik untuk kita. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Julio Mesak Nangkoda

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dosa spesifik apa yang mungkin sedang kamu izinkan bermain mata denganmu?

2. Bagaimana pemahaman akan hati Tuhan dan apa yang Dia inginkan bagi hidupmu mempengaruhi hubunganmu dengan-Nya?

3. Dapatkah kamu mengenali godaan dan tipuan dosa dalam hidupmu sekarang? Dapatkah kamu mengenali dampaknya yang merusak?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Kamu juga bisa membagikan hasil perenunganmu di Instagram Story.
Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Mengapa Harus Bertekun?

Hari ke-4 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Mengapa Harus Bertekun?

Baca: Yakobus 1:12

1:12 Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.

Mengapa Harus Bertekun?

Beberapa tahun lalu aku bertemu dengan seorang pemuda yang kisah hidupnya menantang dan menginspirasiku.

Pemuda itu berasal dari bukan keluarga Kristen yang kaya dan berpengaruh. Saat ia meninggalkan rumah untuk kuliah di daerah lain, ia berjumpa dengan Yesus dan menyerahkan hidup kepada-Nya. Orang tua pemuda itu menentang dan mendesak agar ia meninggalkan kepercayaannya yang baru, tetapi ia tidak goyah. Sekalipun mereka mencoretnya dari daftar ahli waris, ia tetap beriman kepada Yesus dan berharap bahwa suatu hari nanti orang-orang yang ia kasihi juga akan mengenal Yesus secara pribadi.

Pemuda itu tentu mengalami godaan yang besar untuk meninggalkan imannya demi diterima oleh keluarganya dan mendapatkan warisan kelak. Pun dalam hatinya mungkin pula ada keinginan yang sangat besar untuk menuruti apa yang dianggap benar oleh keluarga dan teman-temannya.

Namun, Yakobus berkata bahwa orang yang bertahan dalam melakukan apa yang benar di tengah pencobaan adalah orang yang berbahagia.

Bagaimana bisa demikian? Seringkali kita menganggap orang yang berbahagia adalah orang yang memiliki banyak harta, hubungan yang tanpa masalah, atau tubuh yang sehat. Yakobus memberikan pandangan yang melampaui bahagia versi dunia ini. Ia melihat orang yang berbahagia adalah orang yang tidak bergumul sendirian tetapi berusaha terus berakar dalam Tuhan di tengah penderitaan dan memegang kuat janji Tuhan yang akan mengaruniakan mahkota kehidupan. Sekalipun ia mengalami tekanan dari dalam dan luar dirinya, ia tidak menyerah.

Mengapa? Karena ia mengerti bahwa kehidupannya di dunia—demikian juga berbagai pencobaan dan harta yang ia miliki—hanya bersifat sementara. Pemuda itu kehilangan haknya sebagai ahli waris ketika ia bertahan dalam imannya, tetapi sikapnya itu menunjukkan hati yang tertuju pada realitas yang jauh lebih indah dari tawaran dunia. Meski ia kehilangan harta warisannya di dunia ini, ia memperoleh harta warisan yang kekal dan jauh lebih bernilai.

Janji dari Yakobus 1:12 ini seharusnya menyemangati kita untuk hidup dalam konteks kekekalan dan mengarahkan pikiran kita kepada hal-hal surgawi. Kolose 3:1-2 berkata, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.”

Pada akhirnya, orang yang berbahagia tetap bertekun selama melewati pencobaan karena ia mencintai Yesus. Penekanan Yakobus tentang tetap setia kepada Yesus saat kita bergumul dalam godaan dan pencobaan (ayat 12) menggemakan perkataan Yesus dalam kitab Lukas dan Wahyu. Dalam Lukas 6:22, Yesus berkata bahwa kita berbahagia saat orang membenci kita, tidak menganggap kita, menghina kita, dan menolak nama kita demi nama-Nya. Sekali lagi dalam Wahyu 2:10, Dia berkata bahwa kita akan diuji, tetapi mereka yang setia sampai akhir akan menerima mahkota kehidupan.

Firman Tuhan ini mendorong kita untuk berpegang pada Yesus, karena Dia telah menjanjikan kita kehidupan yang tidak ada duanya dalam kekekalan bersama-Nya. Dia telah menjanjikan kita mahkota kehidupan—sebuah hadiah yang tidak mungkin bisa kita gambarkan secara akurat dengan keterbatasan kita memahami hal-hal surgawi.

Marilah kita bertekun supaya sesudah kita melakukan kehendak Allah, kita memperoleh apa yang sudah Dia janjikan (Ibrani 10:35-36). —Kezia Lewis, Filipina

Handlettering oleh Julio Mesak Nangkoda

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pencobaan apa yang sedang kamu hadapi?

2 .Godaan apa yang mungkin bisa membuatmu mengompromikan imanmu?

3. Bagaimana mengingat janji-janji Tuhan dapat menolongmu bertekun di tengah pencobaan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Kezia Lewis, Filipina | Kezia tinggal bersama suaminya, Jason, di Krabi, Thailand. Mereka berdua melayani bersama di yayasan Sowers International. Mereka mengajar bahasa Inggris di sekolah lokal. Kezia dan saudarinya diberi nama oleh ibunya (yang kala itu belum membaca Alkitab) sebuah nama yang berasal dari Alkitab, yaitu nama anak-anak Ayub (Ayub 42:14). Kezia suka memanggil Tuhan sebagai “Bapa” dan dia merasa tenang saat cuaca hujan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus