Mengatasi Kegelisahan

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:6

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Bagiku, kedamaian adalah hal yang amat sulit dicerna pikiran. Aku mengerti konsepnya, tetapi aku belum pernah benar-benar merasakannya.

Lulus dari politeknik dengan nilai pas-pasan, aku takut tidak dapat diterima di universitas manapun. Aku menuliskan kata demi kata dalam esai sebagai syarat pendaftaran universitas dengan diiringi perasaan khawatir akan ketidakpastian. Air mata membasahi wajahku saat menyadari betapa kurangnya aku dibandingkan dengan teman-temanku yang berhasil meraih nilai memuaskan, ditambah lagi dengan pencapaian gemilang dalam ekstrakulikuler.

Aku tahu Tuhan itu baik dan setia. Namun tetap saja, rasanya tidak ada harapan bagi situasi yang sedang kualami. Jangankan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, menenangkan diriku sendiri untuk berdoa saja aku tidak bisa.

Aku duduk di sofa hitam yang dingin, menunggu dipanggil untuk diwawancarai oleh pihak dari salah satu universitas yang kudaftarkan. Aku sangat takut. Aku merasa sulit bernapas. Sebuah ayat yang pernah kuhafalkan ketika masih anak-anak, Filipi 4:6-7, muncul di pikiranku. Kurenungkan ayat itu dan kuucapkan dalam hati. Lama kelamaan, pernapasanku menjadi lebih stabil dan aku pun berdoa. Saat aku menumpahkan semua perasaanku kepada Tuhan, damai sejahtera-Nya membasuhku. Ketenangan yang seperti itu belum pernah kurasakan lagi semenjak lima bulan yang lalu, ketika aku mulai mendaftarkan diri ke universitas.

Rasul Paulus menyatakan perintah yang absolut kepada jemaat Filipi, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga”. Tidak ada kata “tetapi”, “jikalau”, atau pengecualian apapun. Meskipun Paulus sempat dipenjara (Filipi 1:13) sampai jemaat Filipi diterpa ajaran-ajaran sesat (3:2), Paulus tetap mendorong mereka untuk tidak mengizinkan hal-hal tersebut mengalihkan atau menjauhkan mereka dari sukacita kekal di dalam Kristus.

Apakah yang memberikan Paulus keberanian untuk mengatakan hal itu dengan segenap keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi? Yesus sendiri yang memerintahkan kita tiga kali dalam Matius 6 untuk tidak menyerah pada kekhawatiran dan kegelisahan (ayat 25, 31, dan 34). Kita tidak perlu khawatir karena sebuah kebenaran: Tuhan memedulikan kita dan Ia akan memenuhi semua kebutuhan kita.

Memerangi kegelisahan jauh lebih mudah untuk dikatakan daripada dilakukan. Namun, Paulus memiliki satu anjuran yang sederhana untuk kita lakukan: berdoa. Apabila kita percaya sepenuhnya akan kedaulatan Tuhan dalam segala situasi, kita dapat menyerahkan keadaan kita kepada-Nya. Percayalah bahwa Ia akan “bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28).

Paulus mendorong kita untuk berdoa dengan “ucapan syukur” bukan hanya ketika kita membutuhkan sesuatu dari Tuhan, tetapi “dalam segala hal”. Memiliki sikap bersyukur sangatlah penting. Dengan bersyukur, kita diingatkan bahwa Tuhan sudah mengaruniakan kepada kita hadiah terindah yang akan memberikan kita kepuasan sejati: Yesus, putra tunggal-Nya. Apapun selain daripada-Nya, tidak lagi kita butuhkan dan tidak layak kita dapatkan. Ungkapan syukur datang dari sebuah kesadaran bahwa semua yang kita miliki dari Tuhan murni karena kasih karunia-Nya. Kita pun akan dimampukan untuk melihat dengan penuh kerendahan hati bahwa Tuhan tidak berkewajiban untuk memberikan kita segala hal yang kita minta, Ia justru telah menyediakan semua yang kita butuhkan dalam kelimpahan. Dengan pemahaman itulah kita dapat benar-benar bersukacita (ayat 4).

Ketika aku menghadap Tuhan dengan sikap bersyukur dan menyatakan keinginanku kepada-Nya, aku merasa lebih mudah untuk melepaskan kegelisahan. Doa harus menggantikan posisi kekhawatiran dalam hidup kita. Doa meluruskan kembali pikiran dan perilaku kita, lalu mengembalikan hadiah berharga yaitu kedamaian sejati yang datangnya hanya dari Tuhan.

Pada akhirnya, aku tidak berhasil lolos seleksi di jurusan yang kuinginkan. Tetapi, aku menerima hal lain yang jauh lebih berharga dari hal yang sebelumnya kuinginkan. Aku memperoleh pembelajaran bahwa ketika aku menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan, Ia akan menjaga hati dan pikiranku dengan damai yang memberi ketenteraman. Tuhan sungguh-sungguh memegang kendali. Ia menggenggam kita erat-erat dengan tangan-Nya, dan Ia takkan pernah meninggalkan kita. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu dapat merasakan hal yang sama.—Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang kamu lakukan ketika kamu sedang gelisah? Apakah kamu menyerahkan segala kekhawatiranmu kepada Tuhan, “dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”?

2. Bagaimanakah sikap penuh syukur dapat mengubah perspektif kita terhadap situasi yang kita hadapi?

3. Catatlah hal-hal yang membuatmu gelisah belakangan ini. Dengan tuntutan dari Paulus dalam ayat hari ini, tuliskanlah dengan sepenuh hati doamu secara pribadi kepada Tuhan.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance merasa amat senang ketika dia bisa bekerja bersama anak-anak dan menikmati segelas bubble tea. Firman Tuhan itu manis, menjadi pengingatnya setiap hari akan kasih setia Tuhan bagi anak-anak-Nya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Tangan yang Lembut

Hari ke-22 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:5

4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!

Ketika bekerja di sebuah pusat penitipan anak di musim panas beberapa tahun lalu, suasana kelas seringkali terlihat seperti miniatur kehidupan. Anak-anak kecil berusia satu sampai dua tahun bermain dengan mainan buah-buahan dan sayur-sayuran yang terbuat dari plastik. Mereka akan mengisi keranjang belanjanya dengan makanan sebelum memindahkan semuanya ke dapur mainan mereka, lengkap dengan microwave, oven, dan wastafel yang berukuran mini. Aku senang melihat mereka “memasak” dan “bersih-bersih” di dapur mainan mereka dengan penuh semangat, selayaknya melakukan pekerjaan tersebut di dunia nyata.

Tiba-tiba, seorang anak mencuri satu buah makanan plastik itu dari anak lain. Anak yang mainannya dicuri itu lalu berteriak penuh amarah dan berusaha membalas temannya dengan tamparan atau cakaran. Aku segera melompat untuk menangkis serangan itu sambil berkata, “Jangan! Tangan yang lembut, Sarah. Connor, Kembalikan buahnya pada Sarah. Kita harus menggunakan tangan yang lembut pada teman kita. Lembut.

“Tangan lembut” adalah bahasa lain untuk memperingatkan anak-anak agar tidak saling menampar. Cara ini dianggap lebih baik untuk mengajarkan sikap lemah lembut daripada menggunakan kekerasan. Tetapi, sulit bagi anak berusia dua tahun untuk memahami mengapa dia tidak boleh membalas perbuatan temannya dengan tamparan, meskipun ia tidak diperlakukan dengan seharusnya. Konsep kebaikan dan sikap lemah lembut dalam menghadapi ketidakadilan bisa jadi sulit untuk dicerna oleh siapapun dari berbagai usia.

Dalam Filipi 4:5 (TSI), Paulus menasihati umat Kristen di Filipi: “Biarlah melalui hidup kalian masing-masing nyata bahwa kamu selalu lemah-lembut. Tuhan Yesus akan segera datang!”. Jika dibahasakan ulang, kira-kira inilah yang ingin dikatakan Paulus: “Gunakan tangan yang lembut! Tidak perlu marah. Janganlah memperlakukan saudara-saudari kita dengan kasar.” Kita mungkin bisa tertawa melihat balita yang marah karena memperebutkan buah-buahan plastik di pusat penitipan anak, tetapi kecenderungan untuk menyerang tidak berubah seiring bertambahnya usia.

Dalam Galatia 5:22-23, kita belajar bahwa kelemahlembutan adalah buah Roh, sesuatu yang Tuhan tanamkan dan hasilkan dalam hidup kita ketika kita mendekatkan diri pada-Nya dan tinggal di dalam-Nya. Buah “kelemahlembutan” mungkin tidak terdengar semewah penguasaan diri dan tidak didambakan sebesar sukacita. Namun, memelihara kelemahlembutan adalah cara yang menakjubkan untuk bersikap serupa dengan Kristus. Yesus menyebutkan dirinya sendiri “lemah lembut dan rendah hati” (Matius 11:29), sehingga seperti Dialah kita harus bersikap.

Lalu, apakah kaitan antara bersikap lemah lembut dengan pernyataan “Tuhan Yesus akan segera datang”? Ketika kita memelihara buah kelemahlembutan, kita memberi orang lain kesempatan untuk menyicip keindahan Kerajaan Surga. Kita menyatakan bahwa hari keselamatan sudah dekat, hari di mana semua yang salah akan dibenarkan dan kita akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatan kita. Ketika kita memilih untuk memelihara kelemahlembutan, kita menegaskan kepercayaan kita pada kekuatan yang tertinggi. Dan, ketika kita bersikap lemah lembut terhadap orang yang mungkin kurang layak menerima perlakuan baik ini, kita telah mencerminkan pengorbanan dan pengampunan yang diberikan Kristus kepada dunia yang tidak layak mendapatkannya.

Hari ini, kiranya kita mengingat kelemahlembutan Yesus. Tahan amarah kita dan janganlah kita melakukan kekerasan, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Marilah kita saling mengutamakan kepentingan orang lain. Tuhan sendiri yang akan memberikan kita “tangan lembut”.— Karen Pimpo, Amerika Serikat

Handlettering oleh Marcella Leticia Salim

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Mengapa kita terkadang lebih sulit untuk bersikap lemah lembut terhadap orang yang kita kenal dibandingkan terhadap orang-orang yang belum kita kenal?

2. Bagaimanakah mengetahui “Tuhan Yesus sudah dekat” mendorongmu untuk bersikap lemah lembut?

3. Langkah konkret apakah yang akan kamu lakukan untuk menghadiahkan sikap lemah lembut kepada orang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Karen Pimpo, Amerika Serikat | Karen menyukai musik, bertemu orang-orang, dan makan camilan sebanyak mungkin. Karen juga suka mencari dan menemukan kebenaran di dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

#WSKSaTeFilipi: Lock Screen Filipi 3:8

“Segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus , Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya” (Filipi 3:8). Kristus adalah pemberian terbaik yang Allah berikan buat kita.

Yuk download dan gunakan lockscreen ini di HPmu. Kiranya pengenalanmu akan Tuhan Yesus senantiasa bertumbuh hari demi hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Mengapa Aku Sulit Merasakan Sukacita?

Hari ke-21 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:4

4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”

Nick Vujicic adalah seorang penulis, motivator, dan evangelis asal Australia. Ia berselancar, bermain dengan anak-anaknya, dan berkeliling dunia. Terdengar biasa-biasa saja. Yang membuatnya menjadi inspirasi bagi banyak orang adalah kenyataan bahwa ia terlahir tanpa tangan dan kaki. Kondisi fisik Nick membuatnya menjadi bahan rundungan. Ia tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, tetapi juga turut menanggung luka batin.

Namun, Nick sadar bahwa Tuhan bisa menggunakan kecacatannya dengan cara yang luar biasa untuk membawa harapan dan kedamaian Yesus bagi mereka yang terluka. Dalam otobiografinya yang berjudul Life Without Limits (Hidup Tanpa Batasan), ia berkata, “Aku dan kamu sama sekali tidak berkuasa menentukan apa yang terjadi dalam kehidupan, kenyataan ini tidak terelakkan. Tetapi, kita dapat mengatur bagaimana kita merespon. Kamu dapat ditenggelamkan oleh ombak raksasa, atau kamu dapat berselancar di atasnya sampai ke pesisir.”

Dalam kisah awal kitab Filipi, Paulus melihat umat percaya di Filipi tengah menghadapi sejumlah pertentangan (1:28). Jika Paulus meminta mereka untuk meresponi Tuhan berdasarkan bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain, sudah pasti mereka akan putus asa. Sebaliknya, dari dalam jeruji besi Paulus menulis: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4). Paulus tidak meminta jemaat Filipi untuk bersukacita sewaktu-waktu. Ia menasihati mereka untuk bersukacita senantiasa.

Iman kita kepada Kristus mungkin tidak sampai membuat kita dipenjara atau dianiaya, tetapi banyak dari kita berhadapan dengan berbagai kesulitan di luar kendali kita. Bersukacita di dalam Tuhan bisa jadi adalah hal terakhir yang ingin kita lakukan. Kabar baiknya adalah, kita tidak perlu mengumpulkan kekuatan kita sendiri sebab Tuhanlah yang akan memampukan kita untuk bersukacita! Kita hanya perlu memegang teguh janji-Nya bagi kita, yaitu kasih yang tidak terukur tinggi, panjang, dalam, dan lebarnya.

Meskipun di tengah-tengah penderitaan, Paulus mampu tetap bersukacita di dalam Tuhan karena ia dapat melihat tangan Tuhan yang membimbingnya saat suka maupun duka. Aku sempat mengalami hal ini tahun lalu ketika kedua teman baikku meninggal dunia secara berturutan hanya dalam kurun waktu beberapa bulan.

Aku diliputi kedukaan. Di samping rasa sedih yang menggenang, rasa kehilangan juga membangkitkan amarah dalam hatiku. Bagaimana bisa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi padaku? Mengapa Ia mengambil kedua temanku di usia yang masih muda? Apa yang dapat kulakukan tanpa kehadiran dua teman yang membuatku bahagia?

Aku hancur, hingga terasa sulit bagiku untuk menyanyikan pujian penyembahan kepada Bapa Surgawi. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah berseru kepada-Nya, dan Ia menemuiku dalam rasa sakitku. Roh Kuduslah yang menjadi perantaraku dalam doa (Roma 8:26-27) dan memberiku kedamaian yang tidak bisa kuperoleh dengan kekuatanku sendiri. Tuhan telah mengubah cara pandangku. Daripada terus menangisi kehilangan, aku mulai bersukacita dengan sebuah pemahaman bahwa teman-temanku ada di tempat yang lebih indah.

Selama melewati musim kesedihan ini, aku diingatkan bahwa dengan menjadi pengikut Kristus bukan berarti jalan selalu lurus dan rata. Kesulitan akan tetap ada. Rasa sakit akan tetap dialami. Akan tiba saat di mana kita merasa kewalahan, dan menyerah nampaknya menjadi satu-satunya jalan keluar.

Tetapi, kehidupan Paulus dan Nick Vujicic mendorong kita untuk tetap menemukan sukacita besar di tengah kesukaran ketika kita berpengharapan di dalam Ia yang sanggup meredakan badai dan angin ribut kehidupan. Percayalah kepada Tuhan, dan pada waktu-Nya, Ia akan mengubah tangisan menjadi tarian dan kedukaan menjadi kesukaan (Mazmur 30:11-120)! Jangan biarkan dirimu ditenggelamkan ombak, belajarlah untuk berselancar di atasnya sampai ke pesisir. Bersukacitalah di dalam Tuhan senantiasa. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah!—Deborah Fox, Australia

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagimu, bagaimanakah bersukacita “di dalam Tuhan”? Bagaimanakah ayat ini mengubah caramu melihat keadaan sekitarmu?

2. Apakah saat ini kamu sedang mengalami situasi sulit? Berdoalah dan minta Tuhan menolongmu melihat situasi yang kamu hadapi dengan cara pandang-Nya.

3. Adakah temanmu yang sedang bergumul? Renungkan bagaimana kamu dapat menjadi berkat baginya minggu ini.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Deborah Fox, Australia | Deborah adalah penyuka sejarah yang terobsesi dengan musik Jazz, pakaian-pakaian retro, berdansa, melukis, dan kopi. Dia diberkati dengan kesempatan-kesempatan untuk berbagi kisah tentang kehidupan yang diubahkan Injil.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Garis Besar Kitab Filipi 3:7-4:3

Sobat muda, saat teduh kita bersama Kitab Filipi 3:7-4:3 memberi kita tuntunan untuk mengarahkan hidup kita kepada Kristus. Bagian manakah yang paling menginspirasi atau menegurmu?

Yuk kita simak infografik ini untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan pelajaran dari saat teduh bersama Kitab Filipi yang sudah kita pelajari selama lima hari ke belakang.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Konflik Ada untuk Dihadapi dan Diatasi

Hari ke-20 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:2-3

4:2 Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.

4:3 Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan.

Aku pernah pergi jalan-jalan bersama beberapa teman baikku. Aku menganggap mereka punya pemikiran yang sama denganku. Tapi, tak butuh waktu lama, mereka yang kuanggap sepemikiran ini malah berdebat hal-hal yang kecil, mulai dari urusan selera, kebiasaan pribadi, sampai kepada masalah tentang keputusan apa yang terbaik buat kelompok kami.

Perdebatan ini melukai relasiku dengan seseorang dalam kelompok itu. Sebelumnya kami tak pernah bertengkar hebat, tapi semenjak itu, kami jadi merasa sensi satu sama lain dan tidak bahagia. Rasanya mustahil untuk meluangkan waktu 24 jam seminggu bersamanya dengan kondisi seperti ini.

Hingga akhirnya, temanku itu memberanikan diri untuk mengutarakan apa perasaannya terhadapku. Proses ini membutuhkan waktu dan tentunya melibatkan rasa sakit di hati kami berdua. Tetapi, setelah amarah kami mereda, aku mulai menyadari betapa konyolnya sikapku selama ini dalam menghadapi perbedaan pendapat yang ada. Kami pun berdamai. Melihat ke belakang, aku bisa mengatakan sejujurnya bahwa perselisihan itu berubah menjadi hal yang baik buat kami berdua: kami jadi lebih mengerti satu sama lain, bahkan pada akhirnya berteman lebih akrab.

Dalam bagian terakhir dari kitab Filipi, Paulus menggiring perhatian kita kepada sebuah situasi yang serupa ketika ia memohon dengan sangat pada dua orang wanita, Euodia dan Sintikhe, untuk menerima perbedaan yang ada di antara mereka.

Tidak banyak hal yang diketahui tentang kedua wanita ini. Tetapi dalam Filipi 4:3, Paulus berkata bahwa kedua wanita ini “berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” dan “yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan” bersama-sama dengan teman sekerja Paulus lainnya. Penjelasan Paulus mengindikasikan bahwa kedua wanita ini ada dalam satu pihak, bekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan mengarah ke satu tujuan akhir yang sama—surga.

Ketika kita berada di tengah-tengah konflik, seringkali lebih mudah bagi kita untuk menonjolkan perbedaan. Tetapi, menyadari bahwa kita adalah anak-anak dari Tuhan yang sama, rekan sekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan penduduk surga di masa depan akan membantu kita untuk tidak membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang sepele. Akan menjadi lebih baik bagi kita untuk memfokuskan diri pada hal yang benar-benar penting, yaitu apa yang mempersatukan kita di dalam Kristus.

Dalam ayatnya yang ketiga, Paulus meminta temannya yang setia, Sunsugos, untuk membantu proses perdamaian kedua wanita tersebut. Ayat ini menggarisbawahi peran penting yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesatuan tubuh Kristus. Meskipun kita tidak terlibat secara langsung dalam konflik yang ada, sudah sepatutnya kita peduli terhadap saudara-saudara kita di dalam Kristus dengan berusaha untuk menguatkan mereka dan melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka berdamai.

Paulus mendambakan perdamaian sejati untuk kedua wanita ini. Ia tidak ingin mereka hanya berdamai seadanya, tetapi lebih dari itu “supaya sehati sepikir dalam Tuhan” (ayat 2). Kata dalam bahasa Yunani yang digunakan di sini adalah “phroneo” yang bermakna “melatih pikiran” atau “untuk membuat seseorang tertarik”. Artinya, kita tidak dipanggil untuk sekadar mengucapkan permintaan maaf di bibir saja. Sebaliknya, kita harus meluangkan waktu dan tenaga untuk mengatasi perbedaan yang ada dengan berkomunikasi satu sama lain, bersedia untuk saling mendengarkan, serta mengimplementasikan pengampunan dan cinta kasih.

Konflik adalah hal yang tidak terhindarkan. Seringkali bahkan menimbulkan rasa tidak nyaman dan menyakitkan, dan untuk mengatasinya pun memakan waktu. Meskipun begitu, konflik itu diperlukan untuk membantu kita semakin bertumbuh dalam kasih yang lebih besar bagi satu sama lain. Kapan pun konflik menghadang, kiranya kita mengingat nasihat Paulus kepada jemaat Filipi. Dengan fokus pada identitas kita di dalam Kristus dan apa yang dapat kita bagikan sebagai saudara seiman, kita dimampukan untuk mengatasi konflik dan memperoleh kesatuan sejati di dalam-Nya.—Chong Shou En, Singapura

Handlettering oleh Novelia Damara

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Mengapa perdamaian dan kesatuan teramat penting dalam tubuh Kristus?

2. Apakah Roh Kudus tengah mendorongmu untuk berdamai dengan seseorang? Siapakah yang dapat membantu kalian untuk mengadakan perdamaian?

3. Apakah Tuhan sudah menunjukkan kepadamu orang yang perlu kamu bantu untuk berdamai dengan orang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Chong Shou En, Singapura | Proyek besar Shou En selanjutnya adalah mengalahkan kebiasaan menunda-nunda. Shou juga menyukai musik, olahraga, dan menikmati waktu luangnya bersama keluarga dan teman-teman. Yang paling penting, dia rindu untuk menyenangkan hati Tuhan lebih lagi.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Hidup untuk Rumah Kita yang Sejati

Hari ke-19 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 3:20–4:1

3:20 Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat,

3:21 yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.

4:1 Karena itu, saudara-saudara yang kukasihi dan yang kurindukan, sukacitaku dan mahkotaku, berdirilah juga dengan teguh dalam Tuhan, hai saudara-saudaraku yang kekasih!

Beberapa bulan lalu, aku membaca surat Filipi sampai selesai beberapa kali. Ada sebuah pesan yang menarik perhatianku. Paulus berulang kali mengingatkan bahwa kita diciptakan untuk kehidupan yang lain dan jangan sampai kita terperangkap dalam cara hidup dunia ini. Pesan tersebut tampak jelas dalam nas hari ini.

Lalu, bila kita ditentukan untuk sebuah kehidupan yang lain, bagaimana kita harus menjalani hidup? Paulus memberikan gambaran menarik.

Pertama, Paulus mengingatkan bahwa karena kewarganegaraan kita berada di surga, kita harus menganut nilai hidup yang berbeda. Sebelumnya, ia telah mengatakan bahwa kita tidak dihakimi berdasarkan perbuatan manusia, melainkan hanya berdasarkan Kristus dan karya-Nya di kayu salib bagi kita (3:3-9). Karena itu, kita tak lagi terbeban oleh masa lalu, tetapi mampu meraih apa yang ada di depan—garis akhir setelah menyelesaikan pertandingan iman dengan baik, dan bersatu dengan Dia suatu hari nanti (ayat 13-14).

Selanjutnya, Paulus juga mengatakan bahwa tubuh kita saat ini akan diubahkan menjadi tubuh kebangkitan yang mulia seperti Yesus (ayat 21). Tubuh duniawi kita bisa terserang penyakit, nyeri, dan terluka. Namun, mengingat bahwa Yesus telah mengalahkan maut, kita memiliki pengharapan bahwa kelak tubuh kita akan dikuduskan dan tak lagi menanggung dampak dosa (Filipi 3:18-29). Seperti Yesus mengalahkan kejahatan dan kerusakan dunia ini, demikian pula Dia akan memusnahkan segala yang buruk dalam diri kita.

Bagaimana kita bisa yakin akan hal itu? Paulus mengatakan bahwa Kristus akan mengubah tubuh jasmani kita menjadi tubuh kemuliaan dengan kuasa yang sama yang dipakai-Nya untuk menaklukkan segala sesuatu. Hidup dengan pola pikir surgawi berarti kita tidak membiarkan diri kita dikendalikan oleh cara pandang dan hawa nafsu dunia yang bobrok dan penuh keegoisan ini (Filipi 3:19). Sebaliknya, kita dapat berdiri dengan teguh dalam Tuhan (4:1) karena tahu bahwa Dia mengaruniakan kehendak untuk hidup kudus dan berkenan kepada-Nya (2:13).

Pesan itu tentu sangat menguatkan bagi jemaat Filipi yang tahu persis seperti apa rasanya hidup di dunia yang berdosa. Bagiku, sulit sekali menjaga fokus yang benar setiap saat. Sering kali, setelah makan malam aku bekerja sampai larut. Produktivitas memang baik, tetapi hal itu telah menjadi berhala bagiku. Aku pun sadar bahwa pikiranku terarah pada “perkara duniawi” (3:19), bukannya menerapkan cara pandang surgawi dalam setiap perbuatan. Jadi, pada minggu-minggu ini, aku akan mengganti kerja malam dengan lebih banyak berdoa.

Dengan berdoa tanpa terburu-buru dan ala kadarnya di tengah kesibukan, aku merasakan suasana doa baru yang sabar, tenang, dan “produktif”! Gaya doa seperti ini memengaruhi cara hidupku. Kalau sebelumnya aku lebih banyak dikendalikan oleh pencapaian, sekarang aku belajar untuk tinggal dalam hadirat-Nya dan mengizinkan firman-Nya berbicara serta mengarahkan hidupku. Mungkin itu hanya satu langkah kecil, tetapi perlahan aku mulai hidup dengan kewargaan surga.

Bila kamu juga merasa kesulitan melepaskan diri dari cara hidup dunia dan berfokus pada rumah yang sejati, pandanglah pengharapan surgawi yang telah Yesus janjikan. Saat kita menatap Dia, Dia akan menolong kita mengarahkan pandangan dan hidup untuk rumah kita yang sejati, selangkah demi selangkah.—Ross Boone, Amerika Serikat

Handlettering oleh Tora Tobing

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Ambillah waktu untuk memeriksa kehidupanmu. Sudahkah tindakan dan perilakumu membuktikan kewargaan surgawi?

2. Kristus akan menaklukkan segala sesuatu kelak. Bagaimana hal itu menguatkanmu untuk berdiri teguh dalam Tuhan (Filipi 4:1) dan mengharapkan-Nya mengubah tindakan dan perilakumu?

3. Dalam hal apa saja kamu bisa mewujudkan pengharapan surgawi dalam kehidupan sehari-hari?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Ross Boone, Amerika Serikat | Ross Boone menolong orang-orang Kristen yang sedang bergumul melalui kata-kata dan seni. Ross telah menulis 5 buku dan menjual hasil karya seninya secara online. Temukan Ross di RawSpoon.com

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Ikut Siapa?

Hari ke-18 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 3:15-19

3:15 Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu.

3:16 Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh.

3:17 Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.

3:18 Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus.

3:19 Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi.

Semasa kuliah, aku beruntung sekali bisa mengenal Paul, seorang senior berusia 40-an di gerejaku. Ia sangat ringan tangan, selalu mau memberi tumpangan, menawarkan tempat untuk menginap, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan sepele di gereja, sembari menceritakan Kabar Baik secara halus. Bila dihitung-hitung, ada sembilan orang yang tinggal di rumah tiga kamar miliknya. . . Aku pernah berpikir, “Kalau sudah tua nanti, aku mau hidup seperti Paul.”

Dalam Filipi 3:10-15, Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa Yesus tidak ingin kita berpuas diri. Kita harus berjuang untuk mengenal Dia lebih dalam lagi. Lagipula, bila kita tidak tahu seberapa banyak kita perlu bertumbuh, berarti kita belum menjadi orang Kristen yang dewasa. Namun, jangan khawatir. Paulus meyakinkan bahwa hal-hal yang belum jelas “akan dinyatakan Allah juga kepadamu” (ayat 15).

Oleh sebab itu, karena kemurahan Allah, Dia mengirimkan Injil dalam rupa manusia. Dengan firman yang terwujud dalam sosok manusia yang nyata dan hidup, penerapan iman Kristen dapat ditunjukkan sepenuhnya. Demikian juga halnya bagi jemaat Filipi. Mereka telah melihat cara hidup Paulus sekaligus mendengar ajarannya, dan sekarang ia menulis surat yang menasihatkan, “Perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami,” serta meneladaninya.

Banyak orang mengikuti teladan Paulus. Ada Timotius (Filipi 2:19-24) dan Epafroditus (Filipi 2:25-30) misalnya. Kunci pertumbuhan gereja ialah mengikuti teladan orang-orang percaya yang dewasa dan berjuang bagi Yesus.

Tampaknya, semakin kita mengikuti teladan iman seperti mereka, kita pun akan semakin menjadi teladan bagi orang lain! Ibarat siklus yang terus berputar, Injil disampaikan dari generasi ke generasi lewat teladan hidup kita. Paulus meneladani Kristus, jemaat Filipi menyaksikan dan meneladani Paulus, dan kita meneladani mereka hingga menjadi makin serupa Dia.

Alasan yang dikemukakan Paulus mungkin cukup mengejutkan. Kita harus mengikuti teladan yang baik sebab banyak orang di sekitar kita akan menjadi musuh Kristus. Peringatannya sangat menempelak, “Banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus” (ayat 18). Sebagian besar orang di sekitar kita bukan teladan yang baik untuk diikuti, justru sebaliknya. Orang yang dewasa tahu contoh mana yang harus ditiru dan mana yang tidak.

Tidakkah sebutan “seteru salib Kristus” itu terlalu keras? Tampaknya tidak. Karena orang-orang itu mengarahkan pikirannya pada perkara duniawi (ayat 19), mereka sepenuhnya berfokus pada apa yang ada di sini, saat ini. Tujuan hidup mereka semata-mata untuk memuaskan keinginan badani dan bermegah dalam kesenangan yang fana. Mereka tidak memikirkan adanya kekekalan setelah hidup ini berakhir (ayat 19). Bila tidak ada kehidupan lain, maka pengorbanan dan kasih Kristus yang rela mati demi memberikan masa depan kekal sia-sia belaka.

Namun, bagi orang Kristen, tiada yang lebih mulia daripada salib! Tiada yang lebih indah daripada merenungkan betapa Dia telah menjamin kemuliaan kekal bagi kita, dan kita hidup untuk “berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah” (Filipi 3:14).

Syukur kepada Allah, Dia memberi kita banyak teladan yang baik untuk diikuti—orang-orang yang hidup dengan mempertahankan iman. Syukur kepada Allah atas kesempatan untuk menjadi teladan bagi sesama, sebab orang-orang percaya yang lebih muda mengamati cara hidup kita. Allah tidak akan pernah membiarkan gereja-Nya tersesat tanpa teladan, hingga Dia membawa kita pulang ke rumah-Nya.—James Bunyan, Inggris

Handlettering oleh Elizabeth Rachel Soetopo

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Siapa saja teladan iman yang sudah Yesus tempatkan dalam hidupmu? Sampaikanlah terima kasih kepada mereka.

2. Mengetahui bahwa orang Kristen lain melihat cara hidupmu, bagaimana kamu mengevaluasi diri?

3. Perkara duniawi apa yang begitu menarik perhatianmu? Apa yang membuat pikiranmu tidak fokus?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

James Bunyan, Inggris | James tinggal dan bekerja di London, menolong para mahasiswa berjumpa dengan Yesus lewat pembacaan Alkitab. Itu bukanlah pekerjaan yang sulit, sebab Alkitab memang buku yang luar biasa!

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Ke Mana Matamu Tertuju?

Hari ke-17 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 3:12-14

3:12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.

3:13 Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,

3:14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

“Ingin jadi apa kamu ketika dewasa nanti?”

Pertanyaan itu selalu mengusikku selama ini. Semasa remaja, aku terus menantikan saatnya menjadi “orang dewasa”. Namun, ternyata jalanku masih panjang.

Sampai sekarang, aku belum menjadi wanita sempurna seperti yang kuangankan. Aku belum “sampai di sana”, bahkan masih jauh. Aku masih terluka, rapuh, berdosa, dan sangat memerlukan anugerah. Hingga saat ini, aku tengah dalam perjalanan ke sana.

Namun, Paulus pun tidak menganggap dirinya sudah memenuhi standar Kristen yang ideal, mencapai kedewasaan. Dari situ aku mendapat penghiburan. Sebaliknya, Paulus mengajak kita untuk “melupakan apa yang telah di belakangku” (ayat 13) dan mengarahkan mata kepada tujuan yang Allah taruh di hadapan kita—kekekalan yang mulia bersama dengan Yesus.

Barangkali kita penuh dengan goresan luka-luka akibat kesalahan masa lalu, terbeban oleh tuntutan masa kini, dan khawatir memikirkan masa depan yang masih misteri. Namun, nasihat Paulus menantang kita untuk memperluas pandangan dan menerapkan pola pikir surgawi.

Dua tahun lalu, aku kehilangan pekerjaan. Pengalaman itu membuyarkan gambaran idealku tentang “kesuksesan” hidup orang dewasa. Lewat peristiwa pahit itu, aku sadar bahwa identitasku terletak pada apa yang kuperbuat, bukan siapa diriku.

Paulus tentu juga merasakan kegalauan manusiawi kita. Namun, ia tahu bahwa pertumbuhan sejati hanya bisa diraih dengan meninggalkan masa lalu dan melangkah menuju masa depan. Sesungguhnya, yang dapat memberi kita kebebasan untuk meninggalkan masa lalu dan bertumbuh dewasa sebagai warga Kerajaan Surga (ayat 20) adalah mengenal Yesus—serta berkat-Nya dalam kehidupan ini sekaligus kehidupan yang akan datang.

Aku tidak tahu rintangan apa yang kamu hadapi sepanjang perlombaan imanmu menuju garis akhir. Mungkin kamu pernah mengambil keputusan keliru dalam berpacaran; atau sepertiku, barangkali pekerjaan impianmu tak berjalan sesuai rencana; barangkali kamu juga mencari “tempat yang tepat” bagi jati dirimu di tengah kehidupan yang serba online saat ini.

Namun, satu hal yang pasti: apapun kesalahan masa lalu atau kecemasan kita masa kini, Allah mengasihi kita. Dia ingin kita mengenal-Nya. Allah tak selalu menyingkirkan pergumulan kita, sebab mengenal Kristus berarti juga turut mengambil bagian dalam penderitaan, kematian, dan kuasa kebangkitan-Nya (Filipi 3:10-11). Jadi, kita harus bergumul dan mengalami kesukaran. Namun, semua itu membantu kita bertumbuh menjadi yang Allah kehendaki.

Bila kamu rindu mengenal Kristus seperti halnya Paulus, berpalinglah dari pergumulan yang sementara, dan arahkanlah matamu kepada Dia yang telah menang atas segala perkara. Pada akhir pergumulan kita nanti, kekekalan yang indah sudah menanti. Di sana, kita akan bersama-sama dengan Allah yang mengenal dan mengasihi kita lebih dari siapapun. Kiranya fakta ini menguatkan kita. Kejarlah tujuan itu.

Saat melihat kembali perjalanan imanku, ada banyak kekecewaan dan hambatan yang mengintai, tetapi ternyata rencana Allah bagi hidupku jauh lebih baik daripada rencanaku sendiri. Yang perlu kulakukan hanyalah percaya kepada-Nya. Mari kita bertekun dengan cara memusatkan pandangan kepada Yesus dan upah besar di surga, bukan pada diri sendiri dan kesulitan kita.—Rachel Moreland, Amerika Serikat

Handlettering oleh Christa Brilian

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Mengetahui bahwa kita tidak akan mencapai kesempurnaan dalam kehidupan yang sekarang, apakah kamu merasa terhibur atau justru putus asa? Mengapa?

2. Masa lalu apa yang perlu kamu tinggalkan? Dengan mengarahkan pandangan pada upah yang kekal dari Allah, bagaimana pengaruhnya?

3. Adakah hambatan yang perlu kamu doakan saat ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Rachel Moreland, Amerika Serikat | Ketika Rachel tidak sedang menulis, kamu bisa mendapatinya menikmati secangkir kopi di kafe yang nyaman, merencanakan perjalanannya, dan menikmati hidup dengan suaminya, James.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi