Bahan renungan yang bisa menemani saat teduhmu dan menolongmu dalam membaca firman Tuhan.

Dijual—“Apa Adanya”

Minggu, 30 November 2014

Dijual—“Apa Adanya”

Baca: Wahyu 5:1-12

5:1 Maka aku melihat di tangan kanan Dia yang duduk di atas takhta itu, sebuah gulungan kitab, yang ditulisi sebelah dalam dan sebelah luarnya dan dimeterai dengan tujuh meterai.

5:2 Dan aku melihat seorang malaikat yang gagah, yang berseru dengan suara nyaring, katanya: "Siapakah yang layak membuka gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya?"

5:3 Tetapi tidak ada seorangpun yang di sorga atau yang di bumi atau yang di bawah bumi, yang dapat membuka gulungan kitab itu atau yang dapat melihat sebelah dalamnya.

5:4 Maka menangislah aku dengan amat sedihnya, karena tidak ada seorangpun yang dianggap layak untuk membuka gulungan kitab itu ataupun melihat sebelah dalamnya.

5:5 Lalu berkatalah seorang dari tua-tua itu kepadaku: "Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya."

5:6 Maka aku melihat di tengah-tengah takhta dan keempat makhluk itu dan di tengah-tengah tua-tua itu berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk tujuh dan bermata tujuh: itulah ketujuh Roh Allah yang diutus ke seluruh bumi.

5:7 Lalu datanglah Anak Domba itu dan menerima gulungan kitab itu dari tangan Dia yang duduk di atas takhta itu.

5:8 Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus.

5:9 Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: "Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa.

5:10 Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi."

5:11 Maka aku melihat dan mendengar suara banyak malaikat sekeliling takhta, makhluk-makhluk dan tua-tua itu; jumlah mereka berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa,

5:12 katanya dengan suara nyaring: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!"

Karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah. —Wahyu 5:9

Dijual—“Apa Adanya”

Sebuah rumah yang termasuk dalam daftar untuk dijual “Apa Adanya” biasanya berarti bahwa si penjual sudah tidak bisa atau tidak mau mengeluarkan uang untuk memperbaiki atau memoles rumah itu. Perbaikan apa pun yang diperlukan atau diinginkan merupakan tanggung jawab dari pembeli setelah proses jual-beli diselesaikan. Tanda “Apa Adanya” pada daftar penjualan sama artinya dengan mengatakan, “Perhatian bagi pembeli: Rumah ini mungkin membutuhkan investasi lanjutan yang cukup besar.”

Alangkah mengagumkannya ketika Yesus mati, Dia membayar harga tertinggi bagi setiap kita, tanpa memandang kondisi kita. Wahyu 5 menggambarkan sebuah adegan di surga ketika hanya “Singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud” yang dapat membuka dan membaca gulungan kitab yang termeterai itu (ay.3-5). Dia muncul sebagai seekor Anak Domba dan kemudian menerima puji-pujian dalam suatu nyanyian baru, “Karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi” (ay.9-10).

Yesus Kristus dengan rela membeli kita bagi Allah dengan darah-Nya. Kita telah dibeli “apa adanya”, lengkap dengan segala cela, kekurangan, dan perbaikan yang diperlukan. Oleh iman, kita sekarang menjadi milik-Nya, dan kita sedang berada dalam proses pembentukan kembali demi kemuliaan Allah. Alangkah menakjubkannya bahwa Allah mengenal, mengasihi, dan membeli kita apa adanya. —DCM

Yesus Penebus
Umat manusia;
Noda dosa hatiku
Dihapus darah-Nya. —Hall
(Nyanyian Pujian, No. 108)

Allah mengenal kita luar-dalam. Tidak ada proyek renovasi yang terlalu berat bagi Dia.

Akhir Yang Bahagia

Sabtu, 29 November 2014

Akhir Yang Bahagia

Baca: Wahyu 21:1-7

21:1 Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.

21:2 Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.

21:3 Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.

21:4 Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu."

21:5 Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" Dan firman-Nya: "Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar."

21:6 Firman-Nya lagi kepadaku: "Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.

21:7 Barangsiapa menang, ia akan memperoleh semuanya ini, dan Aku akan menjadi Allahnya dan ia akan menjadi anak-Ku.

Aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru. —Wahyu 21:1

Akhir Yang Bahagia

Dalam “alur ceritanya”, kisah Alkitab berakhir di tempat yang kurang lebih sama seperti permulaannya. Hubungan yang rusak antara Allah dan umat manusia akhirnya telah dipulihkan, dan kutukan yang tertulis di Kejadian 3 telah dihapuskan. Meminjam gambaran dari taman Eden, kitab Wahyu menggambarkan adanya sebuah sungai dan pohon kehidupan (Why. 22:1-2). Namun kali ini, taman itu digantikan oleh sebuah kota yang megah—kota yang dipenuhi dengan penyembah-penyembah Allah. Tidak akan ada lagi kematian atau kesedihan yang akan menodai tempat itu. Ketika kelak kita terbangun di langit yang baru dan bumi yang baru, akhirnya kita akan mengalami suatu akhir yang bahagia.

Surga bukanlah suatu rekaan atau keyakinan yang dibuat-buat. Surga adalah keadilan puncak bagi seluruh makhluk. Alkitab tidak pernah mengecilkan pahitnya tragedi dan kekecewaan yang dialami manusia—rasanya tidak ada kitab lain yang lebih jujur daripada Alkitab. Namun ada satu kata kunci yang menandainya: sementara. Apa yang kita rasakan sekarang, tidak akan kita rasakan selamanya. Masa penciptaan kembali akan tiba.

Bagi mereka yang merasa terperangkap dalam penderitaan atau dalam rumah tangga yang retak, dalam kesulitan ekonomi atau dalam kekhawatiran—bagi kita semua—surga menjanjikan suatu masa depan dengan kesehatan dan kepenuhan dan kebahagiaan dan damai untuk selama-lamanya. Alkitab dimulai dengan janji tentang seorang Penebus dalam kitab Kejadian (3:15) dan diakhiri dengan janji yang sama (Why. 21:1-7). Itulah jaminan akan kenyataan di masa mendatang. Akhir kisah itu akan menjadi suatu awal yang baru. —PDY

Setelah dukacita duniawi, terbentang sukacita surgawi;
Berkat-berkat abadi bersama Kristus Tuhanku;
Tangisan bumi berakhir, pencobaan dunia berlalu,
Berpulang kepada Yesus, anugerah yang terindah! —Gilmore

Berkat yang kelak diterima di surga lebih dari cukup untuk menggantikan segala kehilangan di dunia.

Pelajaran Dalam Pujian

Kamis, 27 November 2014

Pelajaran Dalam Pujian

Baca: Mazmur 150

150:1 Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!

150:2 Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!

150:3 Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi!

150:4 Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!

150:5 Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!

150:6 Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! —Mazmur 150:1

Pelajaran Dalam Pujian

Mazmur 150 tidak hanya menjadi suatu ungkapan pujian yang indah, melainkan juga merupakan pelajaran dalam memuji Tuhan. Mazmur 150 mengajarkan kepada kita tentang di mana kita patut memuji, mengapa kita memuji, bagaimana kita memuji, dan siapa yang seharusnya memberi pujian kepada Allah.

Di mana kita patut memuji? Kita memuji Allah dalam “tempat kudus-Nya” dan “cakrawala-Nya yang kuat” (ay.1). Di mana pun kita berada di dunia, kita berada di tempat yang pantas untuk menaikkan pujian kepada Allah yang telah menciptakan segala sesuatu.

Mengapa kita memuji? Pertama, karena apa yang telah dilakukan Allah. Dia melakukan “perbuatan-Nya yang perkasa” (BIS). Kedua, karena diri Allah itu sendiri. Pemazmur memuji Allah karena “kebesaran-Nya yang hebat” (ay.2). Sang Pencipta yang Mahakuasa adalah Penopang alam semesta ini.

Bagaimana kita seharusnya memuji? Dengan lantang. Dengan lembut. Dengan tenang. Dengan antusias. Dengan berirama. Dengan berani. Tanpa basa-basi. Tanpa rasa takut. Dengan kata lain, kita dapat memuji Tuhan dalam berbagai cara dan beragam kesempatan (ay.3-5).

Siapa yang seharusnya memuji? “Segala yang bernafas” (ay.6). Tua-muda. Kaya-miskin. Lemah-kuat. Semua makhluk hidup. Allah menghendaki agar setiap orang yang diberi-Nya napas kehidupan akan menggunakan napas itu untuk mengagungkan kuasa dan kebesaran-Nya.

Pujian adalah ungkapan syukur kita yang penuh semangat kepada Allah yang bertakhta dalam kemuliaan selamanya. —JAL

Makhluk semua, bangkitlah
Memuji Raja semesta!
Malaikat pun bernyanyilah
Dan bumi ikut bergema. —Watts
(Kidung Jemaat, No. 248b)

Pujian akan meluap dari sebuah hati yang bersukacita.

Allah Berbisik, “Ikan”

Rabu, 26 November 2014

Allah Berbisik, “Ikan”

Baca: Lukas 5:1-10

5:1 Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah.

5:2 Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya.

5:3 Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.

5:4 Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan."

5:5 Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga."

5:6 Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.

5:7 Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.

5:8 Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa."

5:9 Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap;

5:10 demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia."

Mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia. —Lukas 5:10

Allah Berbisik, “Ikan”

Beberapa tahun yang lalu, saya dan anak-anak saya menikmati kebersamaan selama beberapa hari dengan menyusuri dan memancing di sungai Madison di Montana. Kami ditemani oleh dua pemandu memancing yang juga menjadi awak dari perahu kami.

Pemandu yang saya ajak adalah seorang pria yang sepanjang hidupnya memang tinggal di kawasan sungai. Ia tahu betul lokasi tempat ikan trout besar hidup. Ia seorang pendiam yang jarang berbicara dan rasanya hanya mengeluarkan dua lusin kata di sepanjang perjalanan. Namun kata-katanya yang sedikit itu telah mencerahkan hari-hari saya.

Kami memancing dengan umpan serangga kecil pada sungai yang berombak. Penglihatan saya tidak sebaik dahulu, dan pancingan saya sering gagal. Pemandu saya yang sangat sabar itu memberikan tanda kepada saya dengan menggumamkan kata “ikan” apabila ia melihat seekor ikan trout meloncat di bawah umpan. Mengikuti isyaratnya, saya pun mengangkat ujung pancing saya dan . . . benar saja, seekor ikan trout berhasil saya pancing!

Saya sering teringat akan pemandu itu dan panggilan Yesus pada murid-murid-Nya yang adalah nelayan, “Mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk. 5:10). Ada banyak peluang emas yang hadir dalam hidup kita tiap hari—orang-orang di sekitar kita yang sedang mencari pemuas dahaga jiwa mereka—kesempatan untuk menunjukkan kasih Kristus dan membagikan pengharapan yang kita miliki. Kita mungkin meluputkan peluang itu bila kita tidak waspada.

Kiranya sang Penjala Agung, yang mengenal setiap hati manusia, membisikkan kata “ikan” di telinga kita, dan kiranya kita punya telinga yang peka untuk mendengar bisikan-Nya. —DHR

Sepanjang hari ini, ya Tuhan, kiranya aku dapat menjangkau
sebanyak mungkin jiwa bagi-Mu—melalui perkataan yang
kuucapkan, doa yang kupanjatkan, surat yang kutulis,
dan hidup yang kujalani.

Ketika Roh Kudus mendorongmu, bertindaklah.

Mengandalkan Allah

Selasa, 25 November 2014

Mengandalkan Allah

Baca: Roma 4:16-22

4:16 Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham, bukan hanya bagi mereka yang hidup dari hukum Taurat, tetapi juga bagi mereka yang hidup dari iman Abraham. Sebab Abraham adalah bapa kita semua, —

4:17 seperti ada tertulis: "Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa" –di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.

4:18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu."

4:19 Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.

4:20 Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,

4:21 dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.

4:22 Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran.

Ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah . . . dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan. —Roma 4:20-21

Mengandalkan Allah

Waktu itu adalah liburan keluarga kami yang terakhir sebelum putra sulung kami pergi untuk menempuh kuliahnya. Ketika kami duduk di barisan belakang dalam sebuah gereja kecil di tepi pantai, hati saya begitu terharu ketika saya melirik ke arah lima anak saya yang sedang duduk di dekat kami. “Tolong jaga iman mereka dan dekatkan mereka selalu kepada-Mu, ya Tuhan.” Saya berdoa dalam keheningan, sambil memikirkan beragam tekanan dan tantangan yang akan dihadapi oleh mereka masing-masing.

Refrain dari himne terakhir yang kami nyanyikan dengan penuh semangat didasarkan pada 2 Timotius 1:12, “Namun ‘ku tahu yang kupercaya dan aku yakin ‘kan kuasa-Nya, Ia menjaga yang kutaruhkan hingga hari-Nya kelak!” Pujian itu memberi saya damai sejahtera karena saya diyakinkan bahwa Allah akan selalu menjaga jiwa mereka.

Tahun demi tahun telah berlalu setelah peristiwa itu. Ada di antara anak-anak saya yang pernah menyimpang dari iman, dan ada juga yang pernah memberontak. Ada kalanya saya bertanya-tanya tentang kesetiaan Allah. Namun kemudian saya ingat pada Abraham. Abraham pernah tersandung, tetapi ia tidak pernah gagal mempercayai janji yang diterimanya (Kej. 15:5-6; Rm. 4:20-21). Sepanjang tahun-tahun penuh penantian yang diwarnai dengan usahanya yang gagal untuk memperbaiki keadaan, Abraham tetap bertahan dan memegang janji Allah sampai akhirnya Ishak lahir.

Pengalaman Abraham yang mengingatkan untuk tetap percaya itu sungguh telah menguatkan saya. Kita memberi tahu permohonan kita kepada Allah. Kita ingat bahwa Dia peduli. Kita tahu Dia sungguh berkuasa. Kita bersyukur kepada Allah atas kesetiaan-Nya. —MS

Ya Tuhan, aku sering kurang sabar dan rencanaku sering tidak sesuai
dengan kehendak-Mu. Ampunilah aku atas kebimbanganku,
dan tolonglah aku untuk lebih mempercayai-Mu.
Terima kasih atas kesetiaan-Mu.

Kesabaran adalah mata pelajaran untuk jangka panjang.

Pengharapan Dalam Penderitaan

Senin, 24 November 2014

Pengharapan Dalam Penderitaan

Baca: 1 Petrus 1:3-9

1:3 Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan,

1:4 untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu.

1:5 Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.

1:6 Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.

1:7 Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.

1:8 Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan,

1:9 karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.

Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. —1 Petrus 1:6

Pengharapan Dalam Penderitaan

Ketika saya membuka Alkitab untuk membaca Yeremia pasal 1-4, sub judul yang diberikan untuk bagian tersebut sempat mengejutkan saya: “Pengharapan di Tengah Kedukaan”. Saya sempat menangis. Saat itu saya sedang berduka atas kepergian ibu saya, jadi pengalaman itu sangat tepat waktunya.

Saya juga merasakan hal yang sama setelah mendengarkan khotbah pendeta saya sehari sebelumnya. Judul khotbahnya adalah: “Sukacita di Tengah Penderitaan”, terambil dari 1 Petrus 1:3-9. Ia memberikan contoh dari kehidupannya sendiri lewat peringatan setahun ayahnya wafat. Khotbah itu begitu memberkati banyak orang, tetapi bagi saya, khotbah itu merupakan anugerah dari Allah. Serangkaian pengalaman bersama firman Tuhan itu memberikan peneguhan bahwa Allah tidak akan meninggalkan saya sendirian di tengah kedukaan yang saya alami.

Meskipun masa-masa dalam kedukaan itu terasa begitu berat, Allah terus mengingatkan kita akan kehadiran-Nya. Bagi bangsa Israel yang terusir dari Tanah Perjanjian karena ketidaktaatan mereka, Allah menyatakan kehadiran-Nya dengan cara mengutus para nabi, seperti Nabi Yeremia, untuk memberi mereka pengharapan—pengharapan akan pendamaian melalui pertobatan. Dan bagi mereka yang dipimpin-Nya melewati masa-masa penuh cobaan, Dia menyatakan kehadiran-Nya lewat sekumpulan orang percaya yang “bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hati” (1Ptr. 1:22). Bukti-bukti dari kehadiran Allah selama masa pencobaan di dunia itu meneguhkan janji Allah akan suatu hidup penuh pengharapan yang menanti kita pada kebangkitan kelak. —JAL

Adakah Tuhanku mengawasi?
Berpisah atau mati;
Hatiku teriris tak yang simpati,
Adakah Tuhan mengawasi. —Graeff
(Puji-Pujian Kristen, No. 159)

Kita tidak perlu malu akan air mata kita. —Dickens

Mengenyahkan Kepahitan

Minggu, 23 November 2014

Mengenyahkan Kepahitan

Baca: Kolose 3:12-17

3:12 Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.

3:13 Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.

3:14 Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.

3:15 Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.

3:16 Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.

3:17 Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.

Ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. —Kolose 3:13

Mengenyahkan Kepahitan

Keluarga Corrie ten Boom memiliki usaha pembuatan jam tangan di Belanda. Selama Perang Dunia II, mereka sering memberi perlindungan kepada keluarga-keluarga keturunan Yahudi sebelum akhirnya seluruh anggota keluarga ten Boom ditawan dan dikirim ke kamp konsentrasi. Ayah Corrie meninggal 10 hari kemudian. Betsie, saudari Corrie, juga meninggal di kamp itu. Ketika Betsie dan Corrie berada di kamp tersebut, iman Betsie telah menguatkan iman Corrie.

Iman itulah yang memampukan Corrie untuk mengampuni orang-orang kejam yang pernah menjadi penjaga selama ia mendekam di kamp konsentrasi tersebut. Pada saat kebencian dan keinginan untuk membalas dendam terus merusak kehidupan banyak orang, bahkan sesudah kamp konsentrasi tersebut telah lama berlalu, Corrie menyadari kebenaran ini: Perasaan benci, walaupun kelihatannya dapat dibenarkan, sesungguhnya lebih melukai si pembenci daripada yang dibenci.

Seperti Corrie, masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk mengasihi musuh kita dan memilih untuk mengampuni mereka. Pengampunan tidak berarti kita membiarkan terjadinya pelanggaran, tetapi ketika mengampuni, kita sedang menyatakan sifat Kristus pada dunia. “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ef. 4:32).

Allah akan menolongmu untuk mengenyahkan setiap kemarahan yang menggerogoti jiwamu. Dan biarkanlah Roh Kudus berkarya untuk memberikan citra Sang Juruselamat dalam dirimu agar hidupmu dapat menjadi kesaksian bagi sesama. —RKK

Kasih Allah yang diam di dalam hati kita
Memampukan kita untuk menunjukkan
Pengampunan yang tidak layak kita terima
Agar orang lain juga akan mengalaminya. —Sper

Hidup kita paling terang memancarkan sifat serupa Yesus pada saat kita mengampuni sesama.

Hangatnya Mentari

Sabtu, 22 November 2014

Hangatnya Mentari

Baca: Mazmur 6

6:1 Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi. Menurut lagu: Yang kedelapan. Mazmur Daud.

6:2 Ya TUHAN, janganlah menghukum aku dalam murka-Mu, dan janganlah menghajar aku dalam kepanasan amarah-Mu.

6:3 Kasihanilah aku, TUHAN, sebab aku merana; sembuhkanlah aku, TUHAN, sebab tulang-tulangku gemetar,

6:4 dan jiwakupun sangat terkejut; tetapi Engkau, TUHAN, berapa lama lagi?

6:5 Kembalilah pula, TUHAN, luputkanlah jiwaku, selamatkanlah aku oleh karena kasih setia-Mu.

6:6 Sebab di dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dalam dunia orang mati?

6:7 Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku.

6:8 Mataku mengidap karena sakit hati, rabun karena semua lawanku.

6:9 Menjauhlah dari padaku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan, sebab TUHAN telah mendengar tangisku;

6:10 TUHAN telah mendengar permohonanku, TUHAN menerima doaku.

6:11 Semua musuhku mendapat malu dan sangat terkejut; mereka mundur dan mendapat malu dalam sekejap mata.

Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku. —Mazmur 6:7

Hangatnya Mentari

Suatu hari pada bulan November 1963, Brian Wilson dan Mike Love dari grup musik The Beach Boys menulis sebuah lagu dengan nada yang jauh berbeda dari lagu-lagu riang yang menjadi ciri khas dari grup musik tersebut. Lagu tersebut adalah sebuah lagu sedih tentang cinta yang telah hilang. Di kemudian hari, Mike mengatakan, “Seberat apa pun perasaan kehilangan itu, satu hal baik yang muncul dari perasaan itu adalah pengalaman pernah jatuh cinta itu sendiri.” Mereka memberikan judul The Warmth of the Sun (Hangatnya Mentari) pada lagu tersebut.

Menulis lagu dengan didasari peristiwa yang menyedihkan bukanlah hal yang baru. Sejumlah mazmur Daud yang paling menyentuh hati ditulisnya pada saat mengalami peristiwa kehilangan yang sangat mendalam. Mazmur 6 adalah salah satunya. Walaupun tidak ada penjelasan tentang peristiwa yang mendorong penulisan tersebut, lirik mazmur itu dipenuhi kesedihan, “Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku. Mataku mengidap karena sakit hati” (ay.7-8).

Namun nyanyian tersebut tidak berakhir di situ. Daud memang merasa begitu pedih dan berduka, tetapi ia juga menyadari adanya penghiburan Allah. Dan ia pun menulis, “TUHAN telah mendengar permohonanku, TUHAN menerima doaku” (ay.10).

Dalam kepedihannya, Daud bukan hanya menciptakan suatu nyanyian, tetapi ia juga meneguhkan hatinya untuk mempercayai Allah yang setia memberikan penghiburan di tengah masa-masa sulit dalam hidupnya. Lewat kehadiran Allah yang menghangatkan jiwa, kedukaan kita menyiratkan secercah harapan. —WEC

Bapa yang di surga, hidup ini dapat terasa sangat indah, tetapi juga
sangat sulit. Tolong kami untuk mencari-Mu baik di masa senang
maupun sulit. Tolong kami untuk selalu ingat, bahwa Engkaulah
harapan kami yang teguh di dunia yang kadang mengabaikan kami.

Nyanyian dukacita dapat mengarahkan hati kita kepada Allah yang menyediakan sukacita kekal bagi kita.

Bisakah Kamu Membantu?

Kamis, 20 November 2014

Bisakah Kamu Membantu?

Baca: Yakobus 2:14-20

2:14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?

2:15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,

2:16 dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?

2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.

2:18 Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku."

2:19 Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.

2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?

Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. — Yakobus 2:17

Bisakah Kamu Membantu?

Pengurus suatu Sekolah Menengah Atas di Barrow, Alaska, telah jenuh melihat 50 persen dari murid mereka terjerumus masalah hingga harus berhenti sekolah. Untuk membuat para siswa tetap tertarik bersekolah, mereka membentuk sebuah tim sepakbola. Tim itu akan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan keterampilan diri, kerja sama tim, dan berbagai pelajaran-pelajaran tentang hidup. Akan tetapi, kegiatan sepakbola di Barrow menemui hambatan karena sulitnya membuat lapangan dari rumput di tengah iklim dingin yang mereka alami sepanjang tahun. Akibatnya, para siswa harus bertanding di atas lapangan yang dipenuhi dengan kerikil dan debu tanah.

Di Florida, sekitar 6.500 km dari Barrow, Cathy Parker mendengar tentang keadaan tim sepakbola itu dan lapangan mereka yang berbahaya. Karena merasa bahwa Allah menggerakkan dirinya untuk menolong, serta terkesan oleh perubahan positif yang dialami para siswa di sana, ia mulai mencari jalan. Kurang lebih setahun kemudian, sekolah itu telah mempunyai sebidang lapangan baru dengan permukaan rumput buatan yang cantik. Cathy berhasil mengumpulkan ribuan dolar untuk membantu anak-anak yang sama sekali tidak dikenalnya.

Yang penting di sini bukanlah soal sepakbola—atau uang. Ini soal mengingat untuk “berbuat baik dan memberi bantuan” (Ibr. 13:16). Yakobus mengingatkan bahwa iman kita terlihat nyata melalui perbuatan kita (2:18). Kebutuhan di dunia kita ini begitu beragam dan banyak, tetapi ketika kita mengasihi sesama kita seperti diri sendiri, seperti yang dikatakan Yesus (Mrk. 12:31), kita akan dapat menjangkau dengan kasih Allah. —JDB

Bukalah mata kami, ya Bapa, bagi mereka yang membutuhkan.
Biarlah kami menemukan cara untuk membantu mereka, baik berupa
uang atau hal lainnya. Tolong kami untuk tidak menaruh perhatian
pada diri sendiri, tetapi pada mereka yang perlu bantuan kami.

Buka hatimu kepada Allah untuk belajar berbelas kasih dan buka tanganmu untuk memberi pertolongan.