Bahan renungan yang bisa menemani saat teduhmu dan menolongmu dalam membaca firman Tuhan.

Tak Pernah Berhenti Belajar

Minggu, 14 Juni 2015

Tak Pernah Berhenti Belajar

Baca: 2 Timotius 3:10-17

3:10 Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.

3:11 Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya.

3:12 Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya,

3:13 sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan.

3:14 Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu.

3:15 Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.

3:16 Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.

3:17 Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.

Hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan . . . juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci. —2 Timotius 3:14-15

Tak Pernah Berhenti Belajar

Sheryl bisa disebut sebagai seorang kutu buku. Ketika yang lain menonton televisi atau bermain video game, ia terus asyik membaca bukunya.

Semangat yang besar itu bisa ditelusuri akarnya hingga ke masa kanak-kanak Sheryl. Ia sering dibawa orangtuanya mengunjungi paman dan bibi mereka yang memiliki sebuah toko buku. Di sanalah Sheryl biasanya duduk di pangkuan Paman Ed sembari mendengarkan beliau membacakan buku untuknya dan membawanya mengalami keajaiban dan kenikmatan dari membaca buku.

Berabad-abad yang lalu, seorang pemuda bernama Timotius juga menerima bimbingan yang telah membentuk jalan hidupnya. Dalam suratnya yang terakhir, Paulus menyatakan bahwa Timotius pertama kalinya mengenal Alkitab dari nenek dan ibunya (2Tim. 1:5). Kemudian Paulus mendorong Timotius untuk terus berpegang pada kebenaran Tuhan karena “dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci” (2Tim. 3:14-15).

Bagi orang percaya, belajar untuk hidup dalam iman sepatutnya tidak pernah membuat kita bosan dan justru mendorong kita semakin bertumbuh. Membaca dan mendalami Kitab Suci bisa berperan besar dalam pertumbuhan rohani kita, tetapi selain itu, kita juga membutuhkan orang lain untuk menguatkan dan mengajar kita.

Siapa sajakah yang sudah menolongmu bertumbuh di dalam iman? Siapa yang bisa kamu tolong sekarang? Itulah cara yang sangat baik untuk menunjukkan perhormatan kita yang mendalam kepada Allah dan meneguhkan hubungan kita dengan Dia. —Dennis Fisher

Tuhan, beri kami keinginan untuk belajar seumur hidup kami, sehingga kami bertumbuh semakin dekat kepada-Mu setiap hari. Terima kasih untuk mereka yang telah menginspirasi kami untuk belajar mengenal-Mu.

Membaca Alkitab tidak dimaksudkan untuk menyerap informasi melainkan untuk mentransformasi hidup.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 9–10; Kisah Para Rasul 1

Itu Bukan Urusanmu

Sabtu, 13 Juni 2015

Itu Bukan Urusanmu

Baca: Yohanes 21:15-22

21:15 Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

21:16 Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”* Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: /”Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”* Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: /”Apakah engkau mengasihi Aku?”* Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: /”Gembalakanlah domba-domba-Ku.

21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

21:20 Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: “Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?”

21:21 Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?”

21:22 Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.”

Jawab Yesus: “Tetapi engkau: ikutlah Aku.” —Yohanes 21:22

Itu Bukan Urusanmu

Media sosial memang bermanfaat untuk banyak hal, tetapi tidak untuk mendapatkan kepuasan hati. Setidaknya bagi saya. Meskipun niat saya baik, saya bisa merasa putus asa karena terus-menerus diingatkan bahwa orang lain telah mencapai sesuatu mendahului saya atau melakukannya dengan lebih baik. Hati saya begitu mudah kecewa, jadi saya harus berulang kali mengingatkan diri bahwa Allah telah memberikan segala yang saya butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan-Nya kepada saya.

Itu berarti saya tidak butuh anggaran yang lebih besar atau jaminan keberhasilan. Saya tidak butuh lingkungan pekerjaan yang lebih baik atau pindah kerja. Saya tidak butuh persetujuan atau izin orang lain. Saya tidak perlu kesehatan yang baik atau lebih banyak waktu. Allah bisa saja memberikan hal-hal tersebut, tetapi saya sudah memiliki segala yang saya butuhkan, karena ketika Dia menugaskan saya, Dia juga menyediakan sumber dayanya. Saya hanya perlu menggunakan apa pun talenta saya dan seberapa pun waktu yang telah Dia berikan dengan sedemikian rupa untuk memberkati orang lain dan memuliakan Allah.

Yesus dan Petrus pernah bercakap-cakap mengenai hal itu. Setelah membuat sarapan di pantai Galilea, Yesus memberitahukan Petrus tentang apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Sambil menunjuk murid yang lain, Petrus bertanya, “Apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Yesus menjawab, ”Itu bukan urusanmu” (Yoh. 21:21-22).

“Itu bukan urusanku.” Itulah yang perlu saya katakan kepada diri sendiri apabila saya mulai membandingkan diri dengan orang lain. Urusan saya adalah mengikut Yesus dengan setia. —Julie Ackerman Link

Dalam hal apa kamu perlu belajar untuk tidak membandingkan diri dengan sesama? Bagaimana Allah telah memberkatimu untuk menggenapi tujuan-Nya?

Membandingkan diri dengan orang lain menimbulkan kepahitan, tetapi memandang Allah memberikan kepuasan hati.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 6–8; Yohanes 21

Jangan Menjadi Lemah

Jumat, 12 Juni 2015

Jangan Menjadi Lemah

Baca: Galatia 6:1-10

6:1 Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.

6:2 Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.

6:3 Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri.

6:4 Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain.

6:5 Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.

6:6 Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu.

6:7 Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.

6:8 Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.

6:9 Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.

6:10 Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. —Galatia 6:9

Jangan Menjadi Lemah

Memasak bisa menjadi pekerjaan yang membosankan ketika saya mengerjakannya tiga kali sehari dari Minggu ke Minggu. Saya lelah harus mengupas, memotong, mengiris, mencampur, dan kemudian menunggu makanan itu selesai dipanggang, dibakar, atau direbus. Namun, saya tidak pernah bosan menyantap makanan! Menyantap makanan adalah sesuatu yang benar-benar kita nikmati sekalipun kita harus melakukannya dari hari ke hari.

Paulus menggunakan ilustrasi tabur tuai karena ia tahu bahwa melakukan perbuatan baik bisa membuat lelah (Gal. 6:7-10). Ia menulis, ”Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah” (ay.9). Memang sulit untuk mengasihi musuh kita, mendidik anak-anak kita, atau berdoa terus-menerus. Namun demikian, menuai kebaikan yang kita tabur tidak pernah membosankan! Alangkah sukacitanya kita ketika melihat kasih yang berhasil meredakan permusuhan, ketika anak-anak mau mengikuti jalan Tuhan, atau ketika kita menerima jawaban atas doa-doa kita.

Memang kegiatan memasak dapat menghabiskan waktu berjam-jam, dan keluarga kami biasanya menyantap makanan hanya dalam waktu 20 menit atau kurang. Namun penuaian yang Paulus maksudkan bersifat abadi. Selagi masih ada kesempatan, marilah kita giat berbuat baik dan menunggu berkat Tuhan menurut waktu-Nya. Ketika kamu mengikuti jalan Tuhan hari ini, janganlah merasa kecil hati. Ingatlah bahwa sukacita tersedia bagi kita sampai selamanya. —Keila Ochoa

Tuhan, tolonglah aku untuk tidak menjadi lemah ketika aku berbuat baik hari ini. Aku bersyukur suatu hari nanti aku akan bersama-Mu dalam sukacita abadi!

Teruslah berlomba dengan mata yang tertuju pada kekekalan.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 3–5; Yohanes 20

Kekuatan dalam Ketenangan

Kamis, 11 Juni 2015

Kekuatan dalam Ketenangan

Baca: Keluaran 14:10-14

14:10 Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru kepada TUHAN,

14:11 dan mereka berkata kepada Musa: “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?

14:12 Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.”

14:13 Tetapi berkatalah Musa kepada bangsa itu: “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya.

14:14 TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.”

Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu. —Yesaya 30:15

Kekuatan dalam Ketenangan

Di masa-masa saya baru mengenal Tuhan, tuntutan hidup sebagai orang percaya pernah membuat saya bertanya-tanya apakah saya bisa melewati satu tahun tanpa kembali ke kehidupan saya yang lama. Namun ayat firman Tuhan ini membantu saya: “TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja” (Kel. 14:14). Itulah kata-kata Musa kepada bangsa Israel ketika mereka baru saja terlepas dari perbudakan di Mesir dan sedang dikejar-kejar Firaun. Mereka sedang merasa putus asa dan ketakutan.

Sebagai seorang petobat baru yang menghadapi berbagai cobaan di sekitar saya, nasihat untuk “diam saja” itu menguatkan saya. Sekarang, kira-kira 37 tahun kemudian, bersikap tenang dan diam sambil percaya penuh kepada-Nya di tengah berbagai keadaan yang serba menekan selalu menjadi kerinduan saya di dalam menjalani kehidupan iman.

“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” kata pemazmur (Mzm. 46:11). Ketika kita tinggal tenang, kita akan mengenal Allah sebagai “tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan” (ay.2). Kita melihat kelemahan kita sendiri di luar Allah dan menyadari kebutuhan kita untuk berserah kepada-Nya. “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat,” kata Rasul Paulus (2Kor. 12:10).

Setiap hari kita berjuang melawan stres dan berbagai keadaan lain yang membuat kita frustrasi. Namun kita bisa meyakini bahwa Allah selalu setia pada janji-Nya untuk memelihara kita. Kiranya kita pun belajar untuk tinggal tenang. —Lawrence Darmani

Bapa, Engkaulah yang empunya surga dan Engkau telah berjanji untuk selalu bersamaku. Aku tak perlu takut, karena Engkaulah Allahku. Tenangkanlah aku dengan kasih-Mu.

Tuhan dapat meneduhkan badai di sekitarmu, tetapi yang lebih sering dilakukan-Nya adalah meneduhkan hatimu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 1–2; Yohanes 19:23-42

Yang Tak Terduga

Rabu, 10 Juni 2015

Yang Tak Terduga

Baca: 1 Korintus 1:25-31

1:25 Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.

1:26 Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.

1:27 Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat,

1:28 dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti,

1:29 supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.

1:30 Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.

1:31 Karena itu seperti ada tertulis: “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.”

Apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat. —1 Korintus 1:27

Yang Tak Terduga

Fanny Kemble adalah seorang aktris Inggris yang pindah ke Amerika di awal 1800-an dan kemudian menikah dengan Pierce Butler, seorang pemilik perkebunan di bagian selatan negeri itu. Fanny menikmati kehidupan yang mewah di perkebunan tersebut, sampai ia melihat besarnya harga yang harus dibayar para budak yang bekerja di sana demi kemewahan itu.

Kemble akhirnya bercerai dari suaminya setelah ia menulis tentang perlakuan kejam yang sering diderita para budak. Tulisannya itu beredar luas di kalangan gerakan yang mendorong dihapuskannya perbudakan dan diterbitkan tahun 1863 dengan judul Journal of a Residence on a Georgian Plantation in 1838–1839 (Catatan Pengalaman di Perkebunan Georgia Tahun 1838–1839). Karena sikapnya itu, mantan istri pemilik budak tersebut dikenal sebagai “Penentang Perbudakan yang Tak Terduga”.

Di dalam tubuh Kristus, Allah sering memberikan kejutan-kejutan yang indah. Dia terus-menerus memakai beragam orang dan keadaan yang tak terduga demi menggenapi rencana-Nya. Paulus menulis, “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1Kor. 1:27-28).

Hal ini mengingatkan kita bahwa dengan kasih karunia-Nya, Allah bisa memakai siapa saja. Jika kita mau mengizinkan Allah berkarya di dalam kita, mungkin kita akan tercengang melihat apa yang dapat diperbuat Allah melalui kita! —Bill Crowder

Bagaimana kamu akan mengizinkan Allah memakaimu hari ini?

Allah merindukan adanya hati yang siap untuk dipakai.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 34–36; Yohanes 19:1-22

Arus yang Mengecoh

Selasa, 9 Juni 2015

Arus yang Mengecoh

Baca: Ulangan 8:11-20

8:11 Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;

8:12 dan supaya, apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya,

8:13 dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak,

8:14 jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan,

8:15 dan yang memimpin engkau melalui padang gurun yang besar dan dahsyat itu, dengan ular-ular yang ganas serta kalajengkingnya dan tanahnya yang gersang, yang tidak ada air. Dia yang membuat air keluar bagimu dari gunung batu yang keras,

8:16 dan yang di padang gurun memberi engkau makan manna, yang tidak dikenal oleh nenek moyangmu, supaya direndahkan-Nya hatimu dan dicobai-Nya engkau, hanya untuk berbuat baik kepadamu akhirnya.

8:17 Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.

8:18 Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini.

8:19 Tetapi jika engkau sama sekali melupakan TUHAN, Allahmu, dan mengikuti allah lain, beribadah kepadanya dan sujud menyembah kepadanya, aku memperingatkan kepadamu hari ini, bahwa kamu pasti binasa;

8:20 seperti bangsa-bangsa, yang dibinasakan TUHAN di hadapanmu, kamupun akan binasa, sebab kamu tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu.”

Ketika mereka makan rumput, maka mereka kenyang; setelah mereka kenyang, maka hati mereka meninggi. —Hosea 13:6

Arus yang Mengecoh

Di buku berjudul The Hidden Brain (Otak yang Tersembunyi), penulis ilmiah Shankar Vedantam menceritakan pengalamannya berenang ke pantai. Air saat itu tenang dan jernih, dan ia merasa kuat dan bangga karena dapat menempuh jarak yang jauh dengan mudah. Lalu ia memutuskan untuk berenang menjauh dari teluk menuju laut lepas. Namun saat berusaha untuk kembali, ia tak bisa bergerak maju. Ia telah dikecoh oleh arus air. Yang membuatnya berenang dengan mudah bukanlah kekuatannya sendiri melainkan pergerakan air.

Situasi serupa juga bisa terjadi dalam hubungan kita dengan Allah. “Mengikuti arus” bisa mengecoh hingga kita merasa lebih kuat daripada keadaan kita yang sebenarnya. Ketika hidup berjalan lancar, kita berpikir itu karena kekuatan kita sendiri. Kita menjadi sombong dan tinggi hati. Namun pada saat masalah-masalah menimpa, kita baru menyadari betapa kecilnya kekuatan kita dan betapa tidak berdayanya diri kita.

Itulah pengalaman bangsa Israel. Allah telah memberkati mereka dengan kemenangan, kedamaian dan kemakmuran. Namun jika mereka pikir semua itu diraih dengan kekuatan mereka sendiri, mereka menjadi sombong dan merasa tak membutuhkan siapa pun (Ul. 8:11-12). Karena merasa tak lagi memerlukan Allah, mereka menempuh jalan mereka sendiri, sampai akhirnya musuh menyerang barulah mereka sadar bahwa tanpa pertolongan Allah, mereka tidak berdaya sama sekali.

Saat hidup berjalan mulus, kita juga perlu waspada agar tidak terkecoh. Kesombongan akan menjerumuskan kita. Hanya kerendahan hati yang membuat kita mempunyai sikap yang sepatutnya—bersyukur kepada Allah dan bergantung pada kekuatan-Nya. Julie Ackerman Link

Tuhan, kami tak berani mengandalkan kekuatan sendiri untuk tugas kami hari ini. Engkau yang memberi kami talenta dan kesempatan. Tolonglah agar kami memakai semua itu bukan demi kami sendiri, tetapi untuk menolong orang lain.

Kerendahan hati yang sejati berarti mengakui Allah sebagai sumber setiap keberhasilan.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 32–33; Yohanes 18:19-40

Nun di Bukit yang Jauh

Senin, 8 Juni 2015

Nun di Bukit yang Jauh

Baca: Kejadian 22:1-12

22:1 Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.”

22:2 Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

22:3 Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.

22:4 Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan pandangnya, kelihatanlah kepadanya tempat itu dari jauh.

22:5 Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.”

22:6 Lalu Abraham mengambil kayu untuk korban bakaran itu dan memikulkannya ke atas bahu Ishak, anaknya, sedang di tangannya dibawanya api dan pisau. Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.

22:7 Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: “Bapa.” Sahut Abraham: “Ya, anakku.” Bertanyalah ia: “Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?”

22:8 Sahut Abraham: “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.

22:9 Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api.

22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.

22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: “Abraham, Abraham.” Sahutnya: “Ya, Tuhan.”

22:12 Lalu Ia berfirman: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.”

Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak. —Kejadian 22:2

Nun di Bukit yang Jauh

Saya sering teringat pada masa sewaktu anak-anak saya masih kecil. Salah satu kenangan yang indah adalah tentang rutinitas kami saat bangun pagi. Tiap pagi, saya biasanya masuk ke kamar mereka, memanggil nama mereka dengan lembut, dan mengingatkan mereka bahwa sudah waktunya mereka bangun dan bersiap-siap untuk kegiatan hari itu.

Ketika saya membaca bahwa Abraham sudah bangun pagi-pagi sekali untuk menjalankan perintah Allah, saya pun teringat pada masa-masa saya membangunkan anak-anak saya. Saya pun berpikir apakah rutinitas Abraham di pagi hari itu juga termasuk mendatangi tempat tidur Ishak untuk membangunkannya. Alangkah berbedanya hari itu setelah Abraham diminta untuk mengorbankan anaknya. Pastilah pagi itu Abraham membangunkan anaknya dengan hati yang terkoyak dan sangat sedih.

Abraham telah mengikat putranya dan meletakkannya di atas mezbah, tetapi kemudian Allah menyediakan korban pengganti. Beratus-ratus tahun kemudian, Allah memberikan satu korban yang lain—korban terakhir—yaitu Anak-Nya sendiri. Bayangkan betapa menyakitkannya bagi Allah ketika Dia mengorbankan Anak-Nya yang tunggal yang sangat dikasihi-Nya! Allah bersedia menanggung itu semua karena Dia mengasihimu.

Jika kamu bertanya-tanya apakah kamu memang dikasihi oleh Allah, jangan pernah meragukan-Nya lagi. —Joe Stowell

Bapa, aku kagum akan kasih-Mu yang sedemikian besar kepadaku hingga Engkau rela menyerahkan Anak-Mu bagiku. Ajar aku agar selalu hidup bersyukur dalam naungan kasih-Mu yang tidak berkesudahan.

Allah sudah membuktikan kasih-Nya bagimu.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 30–31; Yohanes 18:1-18

Yang Terbaik

Minggu, 7 Juni 2015

Yang Terbaik

Baca: Lukas 10:38-42

10:38 Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.

10:39 Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya,

10:40 sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.”

10:41 Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,

10:42 tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”

Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya. —Lukas 10:39

Yang Terbaik

Dalam suatu kebaktian gereja, saya melihat seorang bayi yang ada beberapa baris di depan saya. Bayi itu melongok dari balik pundak ayahnya, matanya penuh keingintahuan sembari ia memandangi orang-orang yang sedang berbakti. Ia tersenyum pada beberapa orang, mengiler, dan menggigiti jari-jarinya yang gemuk, tetapi tidak berhasil menemukan ibu jarinya. Lama-kelamaan, suara sang pendeta yang sedang berkhotbah tidak lagi saya perhatikan karena mata saya berulang kali tertuju kepada si bayi yang lucu itu.

Pengalih perhatian datang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Bagi Marta, gangguan itu berupa keinginannya melayani Kristus dengan memasak dan membersihkan rumah daripada mendengarkan-Nya dan berbicara dengan-Nya. Namun Maria tidak mau perhatiannya teralihkan. “Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya” (Luk. 10:39). Pada saat Marta menggerutu karena Maria tidak membantunya, Yesus berkata, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (ay.42).

Kata-kata Yesus mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan-Nya jauh lebih penting daripada semua hal baik yang dapat memikat perhatian kita untuk sementara waktu. Ada yang mengatakan bahwa sesuatu yang baik adalah penghalang bagi hal-hal yang terbaik. Bagi pengikut Kristus, yang terbaik dalam hidup ini adalah untuk mengenal Kristus dan berjalan bersama-Nya. —Jennifer Benson Schuldt

Menurutmu, apa saja yang mengalihkan perhatian Marta? Apakah ia ingin dilihat sebagai tuan rumah yang baik? Ataukah ia cemburu terhadap Maria? Sikap apa saja yang membuatmu gagal mengutamakan Yesus?

Tuhan, ajar aku untuk mengenal-Mu, karena dengan demikian aku akan belajar mengasihi-Mu lebih dari segalanya.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 28–29; Yohanes 17

Mulai dari Sini!

Sabtu, 6 Juni 2015

Mulai dari Sini!

Baca: Kisah Para Rasul 9:1-9

9:1 Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar,

9:2 dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem.

9:3 Dalam perjalanannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia.

9:4 Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?”

9:5 Jawab Saulus: “Siapakah Engkau, Tuhan?” Kata-Nya: “Akulah Yesus yang kauaniaya itu.

9:6 Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat.”

9:7 Maka termangu-mangulah teman-temannya seperjalanan, karena mereka memang mendengar suara itu, tetapi tidak melihat seorang jugapun.

9:8 Saulus bangun dan berdiri, lalu membuka matanya, tetapi ia tidak dapat melihat apa-apa; mereka harus menuntun dia masuk ke Damsyik.

9:9 Tiga hari lamanya ia tidak dapat melihat dan tiga hari lamanya ia tidak makan dan minum.

Tuhan, apakah yang harus kuperbuat? —Kisah Para Rasul 22:10

Mulai dari Sini!

Pada 6 Juni 1944, tiga tentara Amerika meringkuk di sebuah lubang bekas ledakan bom di Pantai Utah, Normandia, Prancis. Saat menyadari bahwa air pasang telah membawa mereka ke tempat yang salah di pantai itu, ketiganya langsung membuat keputusan: “Kita akan mulai bertempur dari sini.” Keadaan membuat mereka harus bergerak maju dari suatu titik awal yang sulit.

Saulus berada dalam keadaan yang sulit dan ia perlu mengambil keputusan setelah bertemu dengan Yesus dalam perjalanannya ke Damsyik (Kis. 9:1-20). Tiba-tiba, ia menyadari bahwa hidupnya telah salah jalan, dan apa yang telah dijalaninya selama ini terasa sia-sia. Bagi Paulus, melangkah maju pastilah sulit dan membutuhkan kerja keras dan perjuangan, bahkan mungkin ia harus berhadapan dengan keluarga-keluarga Kristen yang telah dihancurkannya. Namun ia menjawab, “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?” (Kis. 22:10).

Kita juga sering mengalami keadaan-keadaan yang tidak terduga, sesuatu yang tidak pernah kita rencanakan atau harapkan. Mungkin kita sedang terlilit utang, terhambat oleh keterbatasan fisik, atau menderita karena harus menanggung konsekuensi dosa. Baik kita sekarang sedang terpuruk atau sedang jaya, baik kita sedang gagal, patah arang, atau dikuasai oleh keinginan egois kita sendiri, Kitab Suci mendorong kita agar memperhatikan nasihat Paulus untuk melupakan apa yang di belakang kita dan mengarahkan diri kepada Kristus (Flp. 3:13-14). Masa lalu bukanlah halangan untuk maju bersama-Nya. —Randy Kilgore

Apakah kamu dilumpuhkan oleh masa lalu? Apakah kamu sedang menjauh dari Kristus? Atau bahkan mungkin kamu belum pernah bertemu dengan Dia? Hari ini adalah waktunya untuk memulai sesuatu yang baru dengan Kristus bahkan ketika kamu pernah gagal sebelumnya.

Tidak pernah ada kata terlambat untuk bangkit kembali.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 25–27; Yohanes 16