PustaKaMu: Mari Berpikir tentang Pandangan-Dunia

Oleh: Chronika Febrianti

berpikir-ttg-pandangan-dunia
Judul:
Mari Berpikir tentang Pandangan Dunia
Bagaimana orang-orang memandang Tuhan?

Diterjemahkan dari:
Worldviews [TH1NK Reference Collection]
Think For Yourself About How We See God

Penulis: John M. Yeats, John Blasé
Penyunting: Mark Tabb

Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh: Yayasan Gloria
Tahun Terbit: 2011
Jumlah Halaman: 263 halaman
 

Pernah mendengar istilah “worldview”? Istilah yang sering diterjemahkan sebagai “pandangan-dunia” atau “wawasan-dunia” ini pada dasarnya adalah cara seseorang memandang atau memahami dunia di sekitarnya, termasuk cara mereka memandang Tuhan. Ibarat lensa bagi mata yang rusak, cara seseorang memandang dunia akan menolongnya untuk memaknai berbagai peristiwa, sekaligus mendorongnya mengambil sikap tertentu dalam hidup. Misalnya saja, orang yang punya pandangan bahwa hidup ini hanya sekali saja, kemungkinan besar akan berusaha memuaskan segala macam keinginannya tanpa memikirkan risiko jangka panjang.

Harus kuakui, proses menata cara pandang ini tidak mudah bagiku. Saat ini aku sedang kuliah di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya (FIB), dan salah satu subjek pelajaran yang harus kuambil adalah filsafat. Humanisme, feminisme, serta sejumlah filsafat timur yang kupelajari mulai terasa begitu logis untuk dijadikan prinsip hidup. Lensa yang sejak kecil kupakai (iman Kristen) mulai terasa meragukan. Makin banyak pandangan yang kupelajari, makin sering pula aku “ganti lensa”, dan akhirnya aku bingung sendiri dengan apa yang kuyakini. Ibarat orang membangun rumah di atas pasir, imanku bisa goyah sewaktu-waktu. Parahnya lagi, aku menyimpan semua kebingunganku sendiri.

Mari Berpikir tentang Pandangan-Dunia, adalah salah satu buku yang sangat menolongku. Buku ini memuat hal-hal kunci yang menjadi inti bebagai paham dan kepercayaan di dunia, dan membandingkannya dengan iman Kristen. Meski bisa kelihatan sangat mirip, ternyata setiap paham dan kepercayaan itu memiliki perbedaan yang mendasar. Ilustrasi-ilustrasi dalam buku ini membuatku sadar, ternyata aku belum kritis dalam menerima berbagai pandangan yang ada di sekitarku. Buku ini menyadarkanku, betapa pentingnya berdoa dan menancapkan firman Tuhan dalam pikiran sebagai dasar untuk menguji segala sesuatu, agar aku tidak kehilangan arah dalam hidupku. Kebenaran tidak akan mengisi kehidupan kita bila kita tidak mencari hikmat dari Sang Sumber Hikmat itu sendiri.

Jika kamu merasa semua agama mengajarkan hal yang sama, atau kamu punya banyak pertanyaan tentang berbagai kepercayaan yang ada di dunia, jangan simpan sendiri kebingunganmu. Carilah seorang yang bisa diajak diskusi (mungkin pendeta, pembimbing rohani, pemimpin kelompok kecil) untuk menguji dan memperjelas pemikiranmu. Buku ini sendiri bisa menjadi salah satu “teman diskusi” yang baik. Ditulis dengan gaya percakapan dan sudut pandang yang segar, buku ini akan memberi referensi cepat mengenai beragam sistem kepercayaan yang ada di dunia saat ini, bagaimana mereka bermula, dan apa yang menjadi inti kepercayaan tersebut.

Jeritan Bisu Aylan

Penulis: Joanna Hor
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Aylan’s Silent Scream

Aylan-Silent-Scream

Sebuah foto yang melukiskan seribu kata: foto seorang bocah laki-laki Suriah berusia 3 tahun, tertelungkup di pinggir sebuah pantai di Turki. Bocah itu bernama Aylan Kurdi.

Minggu lalu, dunia digemparkan oleh gambar jasad Aylan yang tersapu ombak dan terdampar di pantai Bodrum. Ia tewas tenggelam—bersama dengan kakak laki-lakinya yang berusia 5 tahun dan ibunya yang berusia 35 tahun—setelah perahu karet kecil mereka terbalik dihempas ombak laut Mediterania. Hari itu tanggal 2 September, dan mereka sedang dalam perjalanan mengungsi dari Turki menuju Yunani. Ayah Aylan adalah satu-satunya anggota keluarga yang masih bertahan hidup.

Potret jasad mungil yang membuat hati miris itu membuat krisis pengungsi Suriah yang telah terjadi selama bertahun-tahun menjadi begitu dekat dan nyata bagi semua orang. Fotografer dari kantor berita Dogan di Turki yang memotret jasad Aylan menggambarkan bagaimana darahnya terasa “beku” saat melihat bocah itu tertelungkup di pantai, dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah “menyuarakan jeritannya kepada dunia”.

Kematian Aylan jelas bukan sekadar sebuah tragedi yang kebetulan terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan banyak pengamat, peristiwa ini menunjukkan dampak dari sikap yang pasif dan tidak peduli dari banyak negara yang lebih kaya, namun enggan membantu jutaan pengungsi yang keluar dari tanah air mereka di Timur Tengah dan Afrika karena perang untuk menemukan kehidupan baru di tempat lain.

Sejumlah negara di wilayah sekitar Suriah dikritik habis-habisan karena memberikan sangat sedikit bantuan—seperti menyediakan tempat penampungan—bagi para pengungsi. Beberapa negara beralasan bahwa arus besar pengungsi akan mengacaukan keseimbangan ras dan agama dalam populasi mereka. Seorang pemimpin gereja bahkan dikabarkan sempat menolak untuk menampung pengungsi dengan alasan tidak ingin dianggap terlibat dalam “perdagangan manusia”.

Namun, kematian Aylan tampaknya telah mengubah hati banyak orang. Foto-foto Aylan telah meningkatkan kesadaran publik tentang situasi di Suriah dan menggalang banyak dukungan untuk para pengungsi dari berbagai wilayah Eropa. Inggris Raya, misalnya, telah mengatakan bahwa mereka akan menerima lebih banyak pengungsi Suriah, sementara Paus Francis mendorong institusi-institusi Katolik di seluruh Eropa untuk memberikan tempat penampungan bagi para pengungsi itu. Di dunia maya, perhatian masyarakat banyak tampak jelas dengan membanjirnya tagar #refugeeswelcome di Twitter.

Tanggapan luas yang diberikan terhadap krisis kemanusiaan yang memilukan hati tersebut sungguh menggugah semangat. Kita diingatkan bahwa masalah yang ada hanya bisa dituntaskan bila ada kerjasama dari berbagai pihak—dan bahwa gereja seharusnya berada di garis depan dalam perjuangan ini.

Yakobus 1:27 memberitahu kita, “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.”

Jika kamu adalah seorang Kristen yang tinggal di salah satu negara Eropa yang telah berkomitmen untuk menerima para pengungsi, maukah kamu ikut ambil bagian memberikan bantuan sesuai dengan kapasitasmu?

Bagaimana bila kamu tinggal puluhan ribu kilometer jauhnya dari lokasi para pengungsi, apa yang dapat kamu lakukan? Mungkin ini pertama kalinya kamu mendengar bahwa ada krisis di Suriah. Ambillah waktu beberapa menit untuk membaca berita tentang apa yang terjadi di sana. Mungkin kamu akan tergerak mendoakan agar ada perdamaian di Suriah, mendoakan agar penganiayaan yang terjadi di sana dapat berakhir, dan agar Tuhan memberi kekuatan bagi orang-orang yang tengah bekerja keras memberikan bantuan bagi para korban.

Atau, mungkin kamu akan tergugah untuk mencari tahu apa saja upaya penanganan masalah pengungsi yang sedang dilakukan di sekitar tempat tinggalmu dan bagaimana kamu dapat mendukung pekerjaan kemanusiaan itu dengan berbagai cara, misalnya dengan menyumbangkan uang, menggalang dana, menjadi sukarelawan, menyebarluaskan informasi, dan sebagainya.

Semoga jeritan bisu Aylan tidak menjadi sia-sia.

Sumber Foto: Reporter ABC News, Muhammad Lila

 
Krisis Pengungsi di Suriah
Jutaan orang telah meninggalkan kampung halaman mereka karena perang saudara di Suriah dan munculnya ISIS. Jumlah pengungsi yang mencapai sekitar 12 juta jiwa ini disebut-sebut sebagai bencana kemanusiaan terburuk dalam generasi kita.

Perang saudara Suriah dimulai pada awal 2011, setelah kekerasan yang dilakukan rezim pemerintah menuai berbagai aksi protes dari masyarakat yang menentang pemerintah. Separuh dari 12 juta orang yang harus mengungsi akibat perang itu diyakini adalah anak-anak.

Selama beberapa tahun terakhir, ratusan ribu pengungsi telah berusaha menyeberangi Timur Tengah menuju wilayah barat, dengan harapan dapat memulai kehidupan yang baru di Eropa.

SinemaKaMu: Pelajaran dari Para Minion

Oleh: Cindy Hendrietta, Indonesia
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What I’ve Learned from Minions

pelajaran-dari-para-minion

Beberapa waktu lalu, aku pergi ke bioskop dengan teman-temanku untuk menonton aksi nyentrik sekelompok makhluk lucu yang badannya berbentuk seperti kapsul, kecil, kuning, dan selalu memakai baju kodok (jumpsuit) berwarna biru. Yep, kami menonton Minions, sebuah film yang mengisahkan bagaimana makhluk-makhluk yang tidak terampil apa-apa tetapi sangat menggemaskan ini bertemu dan menjadi anak buah Gru, “pahlawan” tak terduga dalam film Despicable Me.

Yang membuatku terkesan adalah keinginan besar para minion untuk menemukan seorang tuan yang dapat mereka layani. Selama ribuan tahun, mereka telah mencari seorang pribadi yang lebih besar dan hebat, kepada siapa mereka dapat memberikan segenap hati dan hidup mereka. Para minion menjalani hari-hari mereka dengan bergembira dan melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, tetapi tanpa seorang tuan, hidup mereka terasa kosong dan tidak bermakna. Upaya mereka untuk menemukan seorang tuan untuk mereka layani menjadi inti cerita dari film ini.

Sembari menontonnya, aku tersadar betapa kita manusia juga punya kesamaan dengan mereka. Kita ingin mendapatkan kesenangan, tujuan, dan keberhasilan dalam hidup. Jiwa kita terus mencari kepuasan, tetapi kerap kita tidak dapat menemukannya. Sebab itu, kita kemudian memandang ke atas dan mencari seseorang atau sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih agung, yang dapat kita hormati.

Aku diingatkan dengan kejadian dua tahun lalu ketika aku sedang duduk di aula gerejaku, bingung tentang masa depanku, tentang bagaimana aku harus menjalani hidupku, dan tentang apa yang sebenarnya kuperjuangkan dalam hidup. Aku mengikuti kebaktian pemuda pada hari itu, dan tema khotbahnya adalah “Minion-nya Tuhan” (minion= pengikut, pelayan rendahan dari seseorang yang berkuasa). Pada saat itu, aku tidak merasa bahwa Tuhan sedang memanggil aku atau menyatakan hadirat-Nya kepadaku.

Peristiwa lain pun melintas di pikiranku. Dua minggu lalu, seorang temanku memutuskan untuk mempersembahkan sisa hidupnya untuk melayani Tuhan penuh waktu. Aku tidak terlalu mengenalnya. Aku hanya pernah mendengar sekilas bahwa ia ingin menjadi pelayan Tuhan penuh waktu dan akan belajar di sekolah Alkitab. Entah kenapa, aku tidak bisa melupakan teman itu serta komitmennya kepada Tuhan. Sepertinya Tuhan memakai ingatan akan peristiwa tersebut untuk mengajar aku agar secara serius memikirkan komitmenku kepada Tuhan, sama seperti temanku.

Beberapa hari setelah menonton film Minion, aku menghadiri ibadah perayaan ulang tahun ke-70 dari gerejaku; dan aku tahu itu saatnya aku meresponi panggilan Tuhan. Bersama-sama dengan sekitar 500 pemuda lainnya, aku mendedikasikan hidupku sepenuhnya untuk melayani Tuhan—siap diperlengkapi untuk menjadi para “minion”-nya Tuhan.

Sejak hari itu, Tuhan selalu memotivasiku untuk mencari Dia melalui firman-Nya. Aku didorong oleh berbagai ayat dalam Alkitab untuk senantiasa mengarahkan pandanganku kepada-Nya, peka mendengar panggilan-Nya, dan bertindak seturut dengan kehendak-Nya. Setiap hari aku diingatkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Tuan yang benar, satu-satunya Pribadi yang dapat memberi kita makna dan tujuan dalam hidup ini.

Aku bersyukur bahwa Allah adalah Tuan kita. Dalam Mazmur 46:11, Dia berfirman: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!”