Hur: Figur Pendukung di Balik Nama Musa

Oleh Gabriella, Malang

Siapa saja tokoh yang berjasa dalam membawa bangsa Israel keluar dari Mesir? Aku rasa nama-nama yang pertama muncul di kepala kalian antara lain Musa, Harun, Yosua, Kaleb… mungkin Miryam. Adakah di antara kalian yang terpikir seseorang bernama Hur?

Hur muncul pada kisah saat Israel melawan bangsa Amalek di Keluaran 17:8-16. Pada saat itu, bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek di lembah Rafidim. Yosualah yang turun ke lapangan untuk memimpin pasukan perang Israel, sedangkan Musa naik ke puncak bukit dengan memegang tongkat Allah. Waktu Musa mengangkat tangannya yang memegang tongkat itu, Israel unggul dalam perang, tapi saat tangannya turun, Amalek menjadi lebih kuat. Musa yang sudah lelah mengangkat tangannya pun akhirnya mengandalkan bantuan Harun dan Hur yang masing-masing menopang sebelah tangan Musa sehingga tentara yang dipimpin Yosua akhirnya berhasil mengalahkan Amalek.

Melihat kisah ini, aku tersadar bahwa saat kita melayani, tidak semua orang juga akan mendapat “peran utama” seperti Musa dan Yosua. Pelayan Tuhan yang paling menonjol tentu saja mereka yang tampil di depan, seperti pengkhotbah, worship leader, singer, pemain musik. Mungkin ada juga yang mendapat “pemeran pendukung” seperti Harun, yang kemudian diangkat oleh Tuhan menjadi Imam Besar, dan perannya sangat penting dalam keberlangsungan ritual-ritual ibadah bangsa Israel, seperti mempersembahkan korban. Di gereja pun, ada banyak pelayan yang tidak tampil di depan umum tapi sangat diperlukan agar ibadah bisa berjalan lancar, seperti petugas multimedia, pengurus yang menjadwalkan petugas, dll.

Tapi, bagaimana bila peran kita dalam pelayanan seperti Hur yang hanya muncul sekilas sebagai cameo? Aku rasa bila disejajarkan dengan masa sekarang, peran Hur yang “hanya” menopang tangan Musa yang lelah mungkin mirip dengan saat kita mendukung pelayanan lembaga misi, organisasi Kristen, atau pengerja gereja melalui doa dan dana, atau mungkin mendukung pelayanan orang-orang terdekat kita dengan cara mau mengerti dan mengakomodasi kesibukan mereka serta memberi emotional support. Pernahkah kita berpikir bahwa hal-hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan kita pada Tuhan dan sesama? Tentu saja, bukan berarti kita bisa menjadikan hal ini alasan untuk menolak melayani karena merasa sudah cukup puas dengan sekedar mendukung pelayanan orang lain. Tapi, ini adalah pengingat bahwa dalam melayani kita perlu saling mendukung dan menopang.

Hur hanya muncul sekali lagi setelah kejadian ini, yaitu pada Keluaran 24:12, di mana Musa mengatakan pada tua-tua Israel untuk datang pada Harun dan Hur mengenai perkara mereka selama Musa pergi ke Gunung Sinai untuk menerima loh batu dari Tuhan.  Orang-orang Yahudi percaya bahwa menghilangnya Hur dari kisah keluarnya Israel dari Mesir adalah karena Hur dibunuh oleh bangsa Israel saat ia berusaha menghalangi mereka membuat patung lembu emas (sumber). Saat waktunya tiba, Hur tidak ragu untuk maju ke garis depan dan melayani Tuhan sekalipun nyawanya yang menjadi taruhan, dan ia tetap setia sampai akhir.

Ada masanya kita mendapatkan peran yang menonjol saat melayani Tuhan. Ada masanya kita bekerja di balik layar. Ada masanya kita mendukung dan menopang pelayanan orang lain. Mungkin ada masanya juga kita melakukan dua atau bahkan ketiganya pada saat yang bersamaan. Apa pun tugas yang sedang Tuhan berikan pada kita saat ini, mari kita kerjakan bagian kita dengan sepenuh hati, dan bersama-sama melayani Tuhan dengan setia.

Tuhan memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Epafroditus, Rekan Paulus yang Melengkapi Penderitaan Kristus

Oleh Jefferson

Memasuki minggu terakhir di masa pra-Paskah, mungkin kamu sering mendengar kata-kata berikut: Kristus, kehidupan, kematian, salib, kebangkitan, sengsara, penderitaan.

Penderitaan.

Aku tahu Tuhan Yesus mengalami berbagai macam penderitaan dan penganiayaan sebelum dan selama Ia disalib, tetapi kata-kata di atas, terutama yang terakhir, seringkali hanyalah kata-kata belaka yang tidak berarti apa pun bagiku. Latar belakang zaman yang menjunjung tinggi indera penglihatan—semua gawai sekarang punya fitur untuk membatasi waktu layar—membuat kita menuntut diberikan contoh nyata supaya bisa memahami suatu konsep atau kata yang abstrak. Aku pun tidak terkecuali. Sebagai contoh, aku pernah memakai Sisi Gelap dan Terang dari seri Star Wars sebagai analogi dari dua sisi realita pelayanan.

Dalam tulisanku kali ini, aku ingin menyajikan kepadamu respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus. Aku tak sedang mengacu kepada film “The Passion of the Christ atau sejenisnya yang mungkin gerejamu tayangkan selama masa Pra-Paskah (walaupun memang adegan-adegannya bisa membantu imajinasi kita). Beberapa bagian Alkitab mengarahkan kita kepada bukti penderitaan Kristus di masa kini, yang kutemukan secara iseng ketika mendengar khotbah John Piper.

Untuk menelusuri jejak bukti ini, kita perlu berkenalan dengan seorang tokoh Perjanjian Baru yang bernama Epafroditus.

Siapakah Epafroditus?

Di antara 31.171 ayat Alkitab, nama Epafroditus hanya disebut secara eksplisit dalam dua ayat dan praktis Paulus hanya membicarakannya sepanjang tujuh ayat. Jadi, di suratnya yang manakah Paulus menulis tentang Epafroditus?

25 Akan tetapi, aku berpikir perlu juga mengutus Epafroditus kepadamu. Ia adalah saudaraku, teman sepelayananku, teman seperjuanganku, dan juga orang yang membawa pesan kepadamu dan yang melayani kebutuhanku. 26 Sebab, ia sangat merindukan kamu semua dan sangat susah hatinya karena kamu mendengar bahwa ia sakit. 27 Memang, dahulu ia begitu sakit sampai hampir mati, tetapi Allah menunjukkan belas kasih kepadanya—dan bukan hanya kepada dia, melainkan juga kepada aku—supaya dukacitaku tidak bertumpuk-tumpuk. 28 Karena itu, aku jadi semakin ingin mengutusnya kembali kepadamu supaya kamu dapat bersukacita ketika melihatnya lagi, dan berkuranglah kekhawatiranku. 29 Sambutlah Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia 30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan bantuan yang tidak dapat kamu berikan kepadaku. (Filipi 2:25–30 AYT).

Ketika menulis surat ini, Paulus kemungkinan besar sedang dipenjara di kota Roma. Paulus memiliki hubungan yang spesial dengan jemaat Filipi sebab mereka adalah gereja pertama yang didirikannya selama melayani di Eropa (Kis. 16:6–40). Maka ketika mereka mendengar penawanan Paulus, mereka segera mengirimkan persembahan dengan Epafroditus sebagai utusan mereka (ay. 25, bdk. Flp. 4:18). Namun, apa daya, ia sakit keras dalam perjalanan ke Roma (yang berjarak sekitar 1.250 km dari Filipi dan membutuhkan waktu perjalanan enam minggu) dan sudah sekarat ketika tiba di sana (ay. 27). Syukurnya Tuhan menyembuhkan Epafroditus sehingga ia dapat melayani kebutuhan Paulus dan menyampaikan pesan dari jemaat Filipi (ay. 25). Beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kekhawatiran jemaat Filipi terhadap Epafroditus dan melihat reaksi Epafroditus sendiri, Paulus berencana mengutusnya kembali supaya jemaat Filipi “dapat bersukacita ketika melihatnya lagi” dan Paulus sendiri bisa lega (ay. 28). Perikop ini diakhiri dengan instruksi Paulus kepada jemaat Filipi untuk menyambut kembali Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan menghormati orang-orang sepertinya yang mempertaruhkan nyawa mereka demi pekerjaan Kristus (ay. 29–30).

Signifikansi Epafroditus bagi kita di masa kini

Sampai sejauh ini, kamu mungkin dapat menerka bahwa “respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus” adalah sesama pengikut Kristus yang menderita dan “hampir mati demi pekerjaan Kristus” (ay. 30). Tebakanmu benar. Aku tidak perlu menulis lebih lanjut lagi. Tulisan ini berhenti di sini. …

… Tapi, tahukah kamu bahwa kombinasi frasa dalam ayat 30 sebenarnya memiliki kembaran di surat Paulus yang lain, yang pemadanannya menyatakan prinsip Alkitab yang mendasari penderitaan orang percaya di masa kini sebagai saksi penderitaan Kristus di masa lampau?

Aku sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan atas hamba-Nya John Piper, yang 16 tahun lalu dalam khotbahnya menyatakan kemuliaan-Nya yang tersembunyi di dalam kedua teks berikut:

30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan [αναπληρωση / anaphlerohose] bantuan yang tidak dapat [υστερημα / husterema] kamu berikan kepadaku. (Flp. 2:30 AYT).

24 Sekarang, aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu karena di dalam dagingku aku melengkapi [ανταναπληρω / antanaphleroho] apa yang kurang [υστερηματα / husteremata] dalam penderitaan Kristus, demi tubuh-Nya, yaitu jemaat. (Kol. 1:24 AYT).

Di sini kita perlu mengklarifikasi bahwa ketika Paulus menulis penderitaannya “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol. 1:24), ia tidak sedang mengklaim bahwa salib Kristus tidak sepenuhnya menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Sebaliknya, dalam surat-suratnya yang lain (e.g., Roma 5, 1 Korintus 15, Efesus 2), Paulus menegaskan karya keselamatan Kristus lewat penderitaan-Nya di atas salib adalah sempurna dan cukup. Dalam kata-kata Piper, Keindahan, keajaiban, nilai, keagungan, dan kebaikan Kristus yang disalibkan untuk menutupi dosa adalah tak terhingga. Kamu tidak dapat menambahkan apa pun ke dalamnya. Tidak ada yang hilang darinya. Tidak ada kekurangan di dalamnya.

Jadi, apa maksud Paulus ketika menulis begitu? Di Filipi 2:30, kita menemukan penderitaan Epafroditus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan penderitaan Paulus di Kolose 1:24, yaitu “menggantikan bantuan yang tidak dapat [gereja di Filipi] berikan kepada[nya].” Kombinasi frasa “melengkapi” dan “apa yang kurang” dalam kedua ayat ini mengungkapkan jarak yang memisahkan kedua belah pihak, baik secara fisik maupun waktu. Jemaat Filipi mengasihi Paulus dan ingin melayaninya di Roma, tetapi karena tidak praktis bagi mereka semua untuk pergi ke Roma, mereka mengirim Epafroditus untuk menyatakan kasih mereka kepadanya. Siapa sangka kalau Epafroditus perlu “menderita” untuk melaksanakan misinya! Maka bukan kebetulan jika Paulus melihat kemiripan penderitaan pelayanannya bagi Kristus dengan apa yang menjadi pengalaman Epafroditus, sehingga ia memakai kombinasi frasa yang sama untuk menjelaskan kerelaannya hidup dihantui penderitaan (bdk. 2 Kor. 11:16–33), karena lewat semuanya itu ia sedang mempersaksikan Kristus yang menderita untuk gereja-Nya.

Penderitaan Epafroditus dan Paulus, keduanya murid Kristus, ialah bukti fisik bahwa Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya pernah menderita demi kebaikan jemaat dan orang-orang yang memusuhi-Nya. Dan penderitaan ini tidak sia-sia, sebab kita tahu pasti bahwa Kristus telah bangkit dan menang atas segala sengsara, dosa, dan maut (bdk. 1 Kor. 15).

Penderitaan Kristus yang tidak mungkin kita lihat karena sudah berlangsung lebih dari dua milenia yang lalu sekarang jadi nampak lewat Epafroditus-Epafroditus dan Paulus-Paulus di masa kini. Siapakah mereka? Orang-orang yang mengasihi kita dengan berkorban buat kita, tapi lebih jelas lagi saudara-saudari seiman yang menderita karena iman mereka, baik yang kita kenal sendiri maupun jemaat Tuhan di berbagai belahan bumi yang lain.

Aplikasi dari teladan Epafroditus: berpartisipasi sebagai saksi (penderitaan) Kristus

Meskipun kita mungkin tidak mengalami penganiayaan karena iman kita, tetapi karena gereja Tuhan dipersatukan sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala (bdk. 1 Kor. 12), kita sepatutnya turut berbagian dalam mempersaksikan penderitaan Kristus kepada dunia. Kalau tangan kita tertusuk duri yang kecil saja, tidakkah satu tubuh kita akan merasa tidak nyaman sepanjang hari? Maka kita perlu mendukung saudara-saudari seiman kita yang dianiaya.

Ada banyak cara kita dapat menerapkan prinsip Firman Tuhan di atas.

Pertama, kita dapat mendoakan saudara-saudari seiman kita yang dianiaya karena iman mereka, baik lewat doa pribadi maupun komunal (e.g., di persekutuan doa atau ibadah). Selain teman atau kenalan yang kita kenal langsung, kita juga dapat mendoakan saudara-saudari seiman di belahan dunia lain. Kamu bisa mencari tahu lebih lanjut dari berbagai organisasi misi, terutama Open Doors International yang melayani orang-orang Kristen yang dianiaya di berbagai pelosok dunia. Open Doors setiap tahunnya merilis laporan World Watch List tentang 50 negara di mana para pengikut Kristus paling sulit mempraktikkan iman mereka.

Kedua, meneladani jemaat Filipi, kita bisa mengirim dana bantuan kepada anggota-anggota tubuh Kristus yang dianiaya lewat organisasi-organisasi misi yang melayani di area tersebut, seperti Open Doors, Wahana Visi Indonesia / World Vision, dan Compassion International. Sangat mungkin Allah akan mengirimkan para Epafroditus di masa kini untuk menyalurkan dana bantuan kita kepada umat-Nya yang membutuhkan sehingga kesaksian penderitaan Anak-Nya semakin luas diberitakan. Aku bersyukur atas kesempatan-kesempatan dari Allah selama ini, di mana aku bisa membantu saudara-saudarai seiman yang membutuhkan, termasuk dana bantuan kepada jemaat bawah tanah, mendukung pelayanan sosial di salah satu daerah paling terbelakang di Indonesia, dan menjadi sponsor adik asuh.

Terakhir, kita bisa mempersaksikan penderitaan Yesus Kristus lewat kehidupan kita sendiri. Pengikut-pengikut Kristus sepanjang sejarah telah meneladani Paulus dengan memberikan diri mereka untuk memberitakan Injil dan menderita karenanya. Namun, lewat pengorbanan mereka, orang-orang yang mereka layani menerima pesan Injil secara utuh: bahwa Allah telah datang sebagai Yesus Kristus untuk menderita dan mati demi menyelamatkan umat manusia, telah bangkit dalam kemenangan atas dosa dan maut, dan sekarang mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan kedatangan-Nya yang kedua dan meneladani-Nya dengan mengasihi orang lain tanpa terkecuali, termasuk musuh-musuh mereka.

Kebanyakan dari kita dalam menjadi saksi Injil Kristus mungkin tidak akan pernah menderita seperti Epafroditus atau Paulus. Namun, Tuhan bisa memakai kita untuk mempersaksikan penderitaan Kristus dengan nyata bagi orang-orang yang kita temui. Salah satu peristiwa itu terjadi untukku beberapa tahun lalu. Aku memiliki hubungan yang praktis seperti saudara kandung dengan sepasang seniorku di gereja. Begitu seringnya aku mengunjungi mereka untuk membicarakan segala macam topik, bertukar kisah kehidupan, dan bermain dengan anak mereka, sampai-sampai sewaktu aku pulang dari rumah mereka, “keponakan”-ku akan menangis karena mau terus bermain dengan Paman Jeff. Suatu hari, “kakak perempuan”-ku sakit cukup parah sehingga harus diopname beberapa hari. Mendengar situasi mereka, aku langsung menawarkan diri untuk membantu sebisaku. Selama dua hari Sabtu berturut-turut, aku membantu mengasuh “keponakan”-ku sambil kakak rohaniku mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjenguk istri di rumah sakit. Aku baru tahu belakangan darinya bahwa aku termasuk dari segelintir jemaat yang menawarkan bantuan kepada mereka dan bahwa mereka sangat bersyukur kepada Tuhan atas uluran tangan, kehadiran, dan pengorbanan kami untuk mereka di tengah masa sulit.

Ketika mendengar kakak rohaniku berkata begitu, sejujurnya (dan sampai sekarang) aku tak merasa melakukan pengorbanan apa pun. Memang ada satu atau dua janji temu yang harus kuganti waktunya supaya aku bisa membantu mereka, tapi aku tak merasa direpotkan sama sekali. Justru aku merasa terberkati karena bisa membantu mereka. Pada momen inilah aku memahami teladan Epafroditus dengan lebih utuh, konsep yang hanya aku mengerti dengan kepalaku sebelumnya sekarang telah kupraktikkan sendiri: adalah kasih Tuhan Yesus yang menopang Epafroditus melewati lembah maut ketika melayani Paulus mewakili jemaat Filipi, dan adalah kasih-Nya yang mendorongku untuk mengulurkan tangan kepada kakak-kakak rohaniku ketika mereka membutuhkannya.

Dan, lebih dalam dari tindakanku dan Epafroditus, adalah kasih-Nya yang menopang Kristus untuk patuh kepada Bapa-Nya di tengah cambukan, ludahan, dan cemoohan, bahkan patuh hingga mati digantung di kayu salib untuk semua orang berdosa yang percaya kepada-Nya, termasuk kita (Flp. 2:5–8). Tidakkah kematian dan kebangkitan Kristus mencengangkan bagi kamu? Apalagi untuk orang-orang yang menyaksikannya lewat kesaksian kita!

Mempersaksikan (penderitaan) Kristus hingga dunia mendengar dan percaya

Ada satu kisah menarik dalam bab 17 dari novel Life of Pi karangan Yann Martel. Pi adalah seorang Hindu yang pernah berinteraksi dengan seorang romo Katolik bernama Bapa Martin semasa remajanya. Dalam salah satu percakapan mereka, si romo bercerita tentang Yesus Kristus, Anak Allah yang mati untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pi bergumul keras dengan kisah ini. Ia tidak bisa menerima kisah Yesus Kristus sebagai kebenaran.

Di pertemuan berikutnya, Pi mencecar Bapa Martin,

… Tapi Allah yang pernah mati akan selalu pernah mati, bahkan kalau Ia bangkit sekalipun. Sang Anak tidak akan pernah bisa melupakan rasa dari kematian di mulut-Nya untuk selama-lamanya. Allah Tritunggal tidak akan berhenti dinodai kematian; pastinya ada bau busuk kematian di sebelah kanan Allah. Kengerian ini begitu nyata. Mengapa Ia menginginkan hal itu terjadi pada-Nya? Mengapa Ia tak membiarkan manusia mengalami kematian sendirian? Mengapa Ia mengotori apa yang indah, merusak apa yang sempurna?

Kamu tahu apa jawaban Bapa Martin?

Kasih.

Sepatah kata, tidak lebih, tidak kurang.

Pi menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan sambil terus membandingkan iman Kristen dengan iman Hindu, namun jawaban Bapa Martin tetap sama singkat, Kasih.”

Inilah Injil yang pengikut Kristus beritakan lewat penderitaan, pengorbanan, dan pergumulan mereka: Allah yang disalibkan, mati, dan bangkit, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi,… kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor. 1:23–24). Tidaklah heran kalau semua kasih yang sejati adalah bayang-bayang dari kasih Kristus, sebab hanya kepada nama-Nya sajalah “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi… bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:9–11).

Seperti Pi, dunia perlu mendengar dan dikagetkan dengan realita Allah yang menderita demi menyelamatkan manusia berdosa. Dan, seperti Epafroditus dan Paulus, Allah memanggil umat-Nya di masa kini untuk menderita bagi-Nya demi menggenapi apa yang kurang pada penderitaan Anak-Nya dalam kesaksian tubuh-Nya, yaitu gereja (Kol. 1:24). Maka adalah misi kita sebagai anggota-anggota yang lain dari tubuh Kristus untuk memastikan bahwa dunia mendengar Kabar Baik ini, mengetahui penderitaan murid-murid Kristus karena iman mereka, dan, kalau Tuhan berkehendak, turut meneladani Epafroditus dan Paulus menjadi saksi (penderitaan) Kristus.

Puji Tuhan atas Epafroditus!

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, Soli Deo gloria!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kapan Terakhir Kali Kamu Ikut Menderita Bersama Kristus?

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bulan Maret di tahun ini, kita, umat Kristen akan merayakan dua momen bersejarah dalam Alkitab, yaitu Jumat Agung dan Paskah. Sepanjang bulan ini kita telah membaca atau mendengar renungan, pujian, dan khotbah-khotbah yang mengangkat topik yang berkaitan dengan sengsara Kristus; tentang Via Dolorosa (Jalan Salib), Golgota, Kalvari, Tujuh Perkataan Salib, Kebangkitan Kristus, dan lain-lain. Bahkan, aku mengikuti proyek ketaatan dari gereja di mana aku beribadah untuk memakai Journey To The Cross-nya Paul David Trip sebagai bahan saat teduh khusus untuk merenungkan 40 hari penderitaan Kristus.

Salah satu momen sebelum Yesus disalibkan yang dicatat yaitu Perjamuan Terakhir, yang menceritakan tentang kebersamaan atau malam terakhir Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya yang dirayakan dengan roti dan anggur, dan yang ditutup dengan doa-Nya yang cukup panjang. Dan dalam Yohanes 17, untuk murid-murid-Nya saat itu, juga untuk kita yang percaya kepada-Nya dari pemberitaan mereka.

Lebih dari tiga tahun kita menyaksikan Yesus dan murid-murid-Nya melewati hari, bulan, dan tahun dengan perayaan demi perayaan, pelayanan demi pelayanan, menuju satu tempat ke tempat lainnya, menyaksikan mukjizat demi mukjizat, pemberitaan Injil bersama-sama kepada orang-orang dari latar belakang berbeda, dan lain-lain. Namun, nyatanya kedekatan mereka dengan Yesus secara personal tidak langsung membentuk satu keberanian yang kita saksikan ketika Yesus menempuh perjalanan menuju Kalvari hingga mati di kayu salib. Diawali dengan tiga murid terdekat Yesus yang memilih tidur ketika Yesus sedang bergumul di Getsemani, Yudas Iskariot yang menjual dan menyerahkan Tuhan Yesus demi 30 keping perak, dilanjutkan dengan Petrus yang begitu keras menyangkal Yesus di depan umum, dan sisanya ke mana? Selain sebelum Yesus menyerahkan nyawa-Nya, Yohanes ada di sana bersama Ibu Yesus, di Golgota, menyaksikan Yesus sampai mati. Alkitab tidak mencatat apa yang dilakukan murid-murid yang lain. Namun, di tengah cawan penderitaan yang Yesus terima,  dalam perjuangan dan rintihan-Nya menuju Kalvari, kita menyaksikan satu nama yang rasanya “tiba-tiba” muncul, yaitu Simon dari Kirene! Tiga kitab Injil mencatat hal ini:

Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Matius 27:32).

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Markus 15:21).

Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus. (Lukas 23:26)

Simon dari Kirene menilik ulang pemahamanku tentang apa itu mengikut Yesus; menata ulang pemahamanku tentang apa itu menyangkal diri; serta merangkai ulang pemahamanku tentang apa itu memikul salib.

Kita tahu bahwa jika penulis dalam Alkitab menyebut nama, tempat, peristiwa, dan lain-lain dengan begitu detail, berarti ada sesuatu yang sedang disampaikan dan perlu kita ketahui. Simon, tidak hanya disebut namanya, tetapi juga asalnya—dari Kirene. Bahkan di kitab Markus dicatat nama anak-anaknya, Aleksander dan Rufus. Dan, yang paling penting adalah apa yang dilakukan Simon dari Kirene pada momen paling bersejarah di saat-saat terakhir Yesus itu? Dipaksa memikul salib. Ya, memikul salib Yesus.

Lukas mencatat satu detail yang perlu menjadi perenungan kita,“lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (23:26). Simon memikul salib Yesus sambil berjalan di belakang-Nya, bukan di depan-Nya merupakan gambaran tentang kehidupan kita sebagai orang Kristen yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya, dengan mengatakan,”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Kita menyadari bahwa ada kalanya panggilan untuk ikut menderita bersama Kristus datang secara tiba-tiba, tanpa persiapan, dan tanpa antisipasi. Kita dituntut dengan segenap hati menyangkal diri. Simon dari Kirene yang memikul salib di belakang Yesus merupakan sikap yang indah sekaligus menyakitkan. Sebagai seorang murid, kapan terakhir kali kita ikut menderita bersama Kristus? Jika mengingat saat pertama kali menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku hampir 10 tahun yang lalu, aku menyadari bahwa dalam perjalanan imanku, tak jarang aku mengikut Dia pada syarat dan ketentuan yang berlaku, yaitu selama hal tersebut tidak “terlalu banyak” menuntut harga dan pengorbanan, tidak terlalu menguras waktu dan tenaga, dan lain-lain. Ya, aku masih “perhitungan” kepada Dia yang tidak memperhitungkan dosa-dosaku dan kesalahanku. Aku menyadari betapa hidupku masih jauh dari sikap untuk memberi diri seutuh-utuhnya dan setunduk-tunduknya seperti Simon dari Kirene.

“..ikutlah Aku..”, adalah panggilan-Nya untuk kita setiap hari, setiap saat. Sebuah panggilan untuk berfokus kepada Kristus. Sebuah panggilan untuk mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Sebuah panggilan untuk melepaskan kenyamanan-kenyamanan yang selama ini menghalangi kita untuk melayani Dia. Dan, kita tahu bahwa kesempatan untuk “dipanggil dan dipakai” oleh-Nya tidak selalu ada. Kesempatan kedua tidak selalu ada. Simon dari Kirene yang hanya muncul sekilas itu bagai “alarm” yang berdentum hebat untuk membangunkan kita yang selama ini tidur terlalu lama.

”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Bersediakah kita merespons panggilan-Nya itu?

Biarlah dalam perjalanan iman kita dalam mengikuti-Nya ada seruan-seruan yang terus bergema dalam hati kita seperti perkataan seorang martir Sadhu Sundar Singh ini:

“The cross before me,

the world behind me.

No turning back,

no turning back…”

Selamat menyambut Jumat Agung dan Paskah!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Barnabas, Sosok di Balik Nama Besar Paulus

Oleh Aris Budhiyanto, Surabaya

“Kebahagiaan seorang guru adalah melihat mantan anak didiknya menjadi orang yang berhasil”, demikianlah kata guruku dalam acara reuni sekolah. Kata-kata beliau mengingatkanku pada sebuah nama dalam Alkitab. Nama tokoh ini tidak menjadi judul dari suatu kitab, tetapi teladannya berhasil melahirkan seorang tokoh yang berpengaruh besar terhadap kekristenan, dialah Barnabas.

Kisah tentang Barnabas tercatat pada kitab Kisah Para Rasul. Barnabas adalah orang yang pernah menjadi mentor bagi Paulus dan Markus. Semua orang pasti mengenal Paulus, penulis banyak kitab dalam Perjanjian Baru, dan Markus, penulis Injil Markus, tetapi mungkin tidak banyak yang mengenal Barnabas.

Catatan historis menyebutkan bahwa Barnabas aslinya bernama Yusuf. Setelah dia menjual hartanya dan menyerahkan hasil penjualannya kepada para rasul, dia pun diberi nama baru “Barnabas”. Nama Barnabas berarti ‘anak penghiburan’ (dalam Alkitab terjemahan baru—Kisah Para Rasul 4:36). Tetapi aku lebih menyukai arti namanya dalam Alkitab New International Version, yaitu son of encouragement yang berarti orang yang memberikan semangat, menguatkan dan mendorong orang lain. Kurasa nama ini sangat mencerminkan karakter Barnabas karena dia berhasil menguatkan dua orang yang ditolak olah orang lain hingga mereka menjadi orang-orang yang berdampak, bahkan mungkin lebih signifikan dari Barnabas sendiri.

Untuk dapat lebih utuh memahami karakter Barnabas, aku mengajakmu untuk membuka Kisah Para Rasul 9:26-27, di sana tertulis:

“Setibanya di Yerusalem Saulus mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid. Tetapi Barnabas menerima dia dan membawa kepada rasul-rasul dan menceriterakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus.”

Mari kita posisikan diri ada pada konteks situasi momen tersebut. Saulus yang telah berganti nama menjadi Paulus adalah sosok penganiaya jemaat yang mengerikan di mata orang Kristen. Siapakah yang bisa menjamin bahwa kisah pertobatan Paulus adalah cerita sungguhan, bukan tipu daya untuk menjerat orang-orang Kristen? Ananias saja yang mendengar langsung suara Tuhan untuk menjumpai Paulus meragukan kesungguhan pertobatan Paulus! (ayat 13).

Namun, pada ayat 27 kita melihat bagaimana Barnabas bersedia membuka diri untuk menerima dan memberi kesaksian tentang Paulus yang telah bertobat di hadapan murid-murid yang lain. Ini bukanlah tindakan mudah. Ada risiko besar di balik tindakan Barnabas untuk percaya dan memasukkan si “pembunuh” ke dalam kelompok orang percaya. Barnabas berani menentang ketakutan komunal para murid dengan memberi ruang bagi rasa percaya untuk tumbuh. Berkat tindakan Barnabas ini, Paulus pun tetap bersama-sama dengan mereka di Yerusalem dan dengan keberanian mengajar dalam nama Tuhan (ayat 28).

Setelah diterimanya Paulus sebagai bagian dari komunitas orang percaya, Alkitab memang tidak menceritakan secara langsung bagaimana Barnabas menjadi mentor bagi Paulus. Namun, aku yakin dalam perjalanan misi mereka Barnabas banyak memberikan kesaksian dan membagikan kehidupan dan karya Yesus kepada Paulus yang saat itu masih menjadi petobat baru, sehingga turut mendorong dan menguatkan pertumbuhan iman Paulus.

Kesediaan Barnabas untuk menerima orang lain juga nampak saat dia memutuskan untuk menerima dan membawa Markus dalam perjalan misi mereka, meskipun Paulus menentang hal itu sehingga berakibat pada perselisihan dan perpecahan tim misi mereka (Kis. 15:39-40). Aku tidak tahu apa yang terjadi secara spesifik saat itu, tapi seperti yang dahulu dilakukannya dengan memberi ruang untuk mempercayai Paulus, Barnabas kembali melakukannya. Paulus menilai Markus adalah sosok yang buruk karena pernah meninggalkan mereka dalam perjalanan misi sebelumnya (Kis. 13:13), tetapi Barnabas melihat potensi dalam diri Markus dan ingin memberinya kesempatan kedua.

Keputusan Barnabas ini tentunya disertai tanggung jawab mendorong dan menguatkan Markus hingga dia bertumbuh dan menjadi salah satu penulis kitab Injil. Bahkan di kemudian hari Paulus sendiri mengakui bahwa pelayanan Markus sangat penting (1 Tim. 4:11).

Catatan-catatan di Alkitab mengenai sosok Barnabas mungkin tidak banyak, tetapi teks ini cukup menunjukkan pada kita bagaimana Roh Kudus bekerja melalui hati Barnabas. Pada kondisi ketika menjadi orang Kristen adalah status yang begitu berbahaya karena dikejar oleh para penganiaya, mempercayai seseorang bisa jadi hal sulit karena kepercayaan itu bisa jadi celah bagi pengkhianatan atau tipu daya. Namun, di tengah ancaman sulit sekalipun, Barnabas tidak membuat hatinya mati rasa oleh ketakutan. Dia tetap menghidupkan hatinya untuk menjadi hati yang berbelas kasih. Barnabas mau menguatkan dan mendorong orang lain karena dia memiliki kedekatan dan pengenalan pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Kendati Alkitab tidak menyebutkan bagaimana Barnabas berinteraksi secara pribadi dengan Yesus, tetapi dapat dipastikan dia telah menerima Roh Kudus dan hidup dalam pimpinan-Nya. Hal ini nampak dari bagaimana dia turut berkontribusi pada pertumbuhan jemaat mula-mula, di mana dia menjual ladang miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul (Kis. 4:37), dan bagaimana Roh Kudus secara khusus memilih dia dan Paulus untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang non-Yahudi.

Sebuah pertanyaan bagi kita di masa kini: apakah kita bersedia menerima, mendorong, menguatkan orang lain, seburuk apa pun orang itu, dan siap menerima segala konsekuensinya, bahkan jika di kemudian hari kita dilupakan dan orang yang kita kuatkan tersebut tumbuh menjadi orang yang dipakai Tuhan luar biasa?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mordekhai, Si Penjaga Gerbang Istana

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Matahari sudah tinggi, namun Mordekhai, penjaga gerbang istana Susan masih bergeming di lapangan kota. Ia tidak bisa mendekat ke istana dengan baju karung dan kepala yang ditaburi abu, tanda berkabung. Ratap dan tangis pilunya sayup terdengar diantarkan angin hingga ke beranda istana. Mendengar apa yang dilakukan oleh Mordekhai, hati Ester amatlah sedih. Ester lalu meminta Hatah, Staf Khusus Istana, yang sehari-hari mendampingi ratu untuk pergi menemui Mordekhai dan menanyakan apa yang sedang terjadi.

Ketidaknyamanan muncul di Susan, ibukota kerajaan Persia, sejak Raja Ahasyweros mengeluarkan undang-undang agar semua pegawai di lingkungan kerajaan memberi hormat dengan sujud di depan Haman, menyusul pelantikan Haman menjadi Perdana Menteri Persia. Aturan yang tidak diindahkan oleh Mordekhai meski rekan-rekan kerjanya mengingatkan setiap Haman akan melewati pos mereka. Bagi Mordekhai, hanya Tuhan yang layak untuk disembah. Hal itu menyulut kemarahan Haman yang lalu mengatur siasat untuk membunuh Mordekhai dan semua orang Yahudi yang ada di wilayah kerajaan Persia. Ahasyweros mendukung niat Haman sehingga terbitlah Surat Keputusan Kerajaan tentang hari pemunahan bangsa Yahudi yang dengan segera dikirimkan ke 127 provinsi.

Sebagai pendatang dan minoritas di Persia, Mordekhai menyadari tidak memiliki kekuatan untuk bersuara. Ia memilih untuk merasakan duka mendalam bersama kaumnya dengan mengenakan baju berkabung, berdoa, dan berpuasa. Mordekhai menolak mengganti kain karungnya dengan pakaian yang dikirimkan Ester. Lewat Hatah, Mordekhai menitipkan salinan surat keputusan kerajaan dan meminta Ester pergi menghadap raja untuk memohon belas kasihan bagi orang sebangsanya.

Permintaan Mordekhai tidak serta merta dituruti oleh Ester. Ada prosedur dan aturan yang harus ditaati oleh semua orang di lingkungan istana ketika hendak bertemu raja. Bila seseorang semaunya saja menghadap tanpa dipanggil raja, ia mati konyol. Walaupun Ester adalah ratu kesayangan Ahasyweros, tak berarti ia kebal hukum. Ester lalu menyuruh Hatah kembali menemui Mordekhai untuk menjelaskan kondisinya. Pesan yang dibawa Hatah membuat Mordekhai gemas dan menasihati Ester dengan teguran keras.

“Jangan menyangka engkau akan lebih aman daripada orang Yahudi lain, hanya karena engkau tinggal di istana! Orang Yahudi pasti akan mendapat pertolongan dengan cara bagaimanapun juga sehingga mereka selamat. Tetapi kalau engkau tetap diam saja dalam keadaan seperti ini, engkau sendiri akan mati dan keluarga ayahmu akan habis riwayatnya…” (Ester 4:13b-14 BIMK).

Terjepit pada dua pilihan yang sulit membuat hati Ester gelisah, juga takut. Dipikirkannya dalam-dalam nasihat Mordekhai, ayah angkatnya itu. Jika ia diam saja, bangsanya dihabisi. Pun kalau ia menemui raja, ia menyerahkan nyawanya juga nyawa orang sebangsanya (Ester 4:16 BMIK). Walau berada di ujung tanduk, Ester harus mengambil keputusan. Ia lalu mengumpulkan keberaniannya dan merespons panggilannya untuk bergerak menyelamatkan bangsanya. Ester meminta Mordekhai mengajak orang-orang Yahudi di Susan bersehati untuk berdoa dan berpuasa bersamanya. Haman akhirnya digantung pada tiang gantungan di dekat rumahnya, yang ia persiapkan untuk menggantung Mordekhai. Karir Mordekhai melesat. Ia dipromosikan dari penjaga gerbang menjadi orang nomor dua di pemerintahan kerajaan Persia!

Cerita di atas tentu tidak asing kita dengar, itulah kisah yang tercatat dalam Kitab Ester. Namun, kali ini aku ingin mengajakmu untuk menelaah poin-poin yang bisa kita pelajari dari Mordekhai, ayah angkat dari Ester yang berandil besar untuk menyelamatkan bangsa Yahudi dari genosida yang direncanakan Haman.

Inilah 5 teladan dari karakter Mordekhai:

  1. Memiliki Belas Kasihan. Mordekhai dikaruniai Tuhan hati yang penuh kasih. Ia mengangkat Hadasa (=bahasa Ibrani, kemudian lebih dikenal dengan nama Ester), adik sepupunya, yang menjadi yatim piatu setelah orang tuanya meninggal. Mordekhai menyayangi, membesarkan, serta mendidik Ester seperti anaknya sendiri sehingga Ester tumbuh menjadi perempuan yang elok karakter dan kepribadiannya. Karena ketulusan hatinya, Mordekhai pun dapat melihat potensi yang ada di dalam diri Ester sehingga ia mempersiapkan Ester masuk ke dalam rencana dan pemakaian Tuhan.
  2. Tunduk dan Bertindak dengan Bijak. Tidaklah mudah bagi seorang ayah melepas anak perempuannya ke tempat yang asing dan membahayakan dirinya. Namun, Mordekhai tunduk pada imbauan pemerintah dan membawa Ester ke istana Susan untuk mengikuti kontes pemilihan ratu Persia. Ketika terjepit dalam situasi politik yang tidak nyaman, Mordekhai tidak menghasut kelompoknya untuk membuat kekacauan. Yang ia lakukan adalah mengajak orang-orang Yahudi di Susan untuk berpuasa dan berdoa. Begitupun ketika Ester memintanya untuk menggerakkan orang-orang Yahudi berpuasa dan berdoa, Mordekhai menurutinya.
  3. Memiliki Prinsip dan Berani Mempertahankan Iman. Mordekhai memegang teguh prinsip dan identitasnya sebagai orang Yahudi yang tidak mau kompromi dengan aturan yang dibuat manusia, yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Itu sebabnya, ia tidak mau sujud kepada Haman meski tahu konsekuensinya dibunuh; ia mempertahankan imannya.
  4. Memiliki Harapan pada Panggilan Tuhan. Dalam kesesakan, Mordekhai tetap percaya Tuhan akan menolong bangsanya walau situasinya tidak nyaman, tidak aman, dan terjepit. Ia juga yakin Esterlah yang akan dipakai Tuhan menjadi penolong bangsanya. Karenanya, ia terus mendorong Ester untuk berani bertindak. Siapa tahu, barangkali justru untuk saat-saat seperti ini engkau telah dipilih menjadi ratu.—Ester 4:14c BIMK.
  5. Memiliki Integritas dan Rendah Hati. Ahasyweros memperhitungkan jasa Mordekhai yang telah menyelamatkan nyawanya dengan melaporkan persekongkolan Bigtan dan Teres, dua orang Staf Khusus Raja kepada Ester. Ketika Mordekhai diberi penghormatan oleh raja dengan diarak berkeliling lapangan kota Susan menggunakan kuda dan baju kebesaran raja, ia punya kesempatan untuk membanggakan diri. Tetapi, Mordekhai cukup tahu diri sehingga selesai perarakan, ia langsung kembali ke pintu gerbang untuk mengerjakan tugasnya. Mordekhai melakukan hal-hal baik bukan untuk mendapatkan pujian ataupun balas jasa tetapi memang hal itu sudah dihidupinya.

Doa adalah pintu untuk rencana dan kehendak Tuhan terjadi. Namun, tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi jika kita diam saja dan tidak merespons panggilanNya. Ketika mendapatkan kesempatan untuk menjadi penggerak, maukah kita belajar meresponinya seperti Mordekhai? Yuk, berkemas-kemas! Jadilah generasi unggul yang siap dipakai dan berdampak di manapun Tuhan bawa dan tempatkan kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bezaleel & Aholiab: Sudah… Ikuti Saja!

Oleh Edwin Petrus, Medan

Ibadah kaum muda di gerejaku baru saja merayakan hari ulang tahunnya. Pada perayaan kali ini, setiap jemaat diberikan souvenir berupa satu kotak “permainan bricks”. Bricks adalah sebuah permainan yang menyusun kepingan-kepingan kecil dari balok plastik untuk menjadi sebuah rangkaian yang utuh, misalnya tokoh kartun, gedung-gedung, kendaraan bermotor, dan sebagainya. Aku melihat antusiasme yang sangat besar dari teman-temanku yang langsung membuka kotak hadiah mereka dan menyusun bricks.

Aku sendiri juga menyenangi permainan ini. Untuk bisa menghasilkan bentuk, aku harus dengan sabar menata balok-balok kecil yang berwarna warni itu, sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Aku tidak bisa dengan sembarangan menyusun kepingan-kepingan yang berbeda ukurannya tersebut. Aku pernah beberapa kali tidak berhasil menyelesaikan rangkaian bricks karena aku tidak teliti mengikuti langkah-langkah yang tercetak di kertas petunjuk.

Di dalam Alkitab, ada juga dua orang tokoh yang mengikuti secara runtut setiap langkah yang diberikan kepada mereka untuk menyelesaikan sebuah proyek besar. Nama kedua orang ini memang tidak setenar tokoh-tokoh lain sezamannya. Kita pasti tidak asing lagi dengan nama Musa, Harun, dan Yosua, tetapi apakah kamu pernah mendengar nama mereka ini: Bezaleel dan Aholiab?

Bezaleel dan Aholiab dipilih oleh Allah sendiri untuk membangun Kemah Suci—tenda yang menjadi simbol kehadiran Allah di tengah-tengah orang-orang Israel yang sedang di dalam perjalanan di padang gurun menuju ke Kanaan. Petunjuk pembangunan yang sangat rinci diberikan oleh Allah sendiri kepada Musa di atas Gunung Sinai. Kitab Keluaran 35-40 mencatat dengan detail serangkaian proses untuk membangun Kemah Suci dengan segala perabotannya: mulai dari tabut, meja roti sajian, kandil, mezbah, minyak urapan, bejana pembasuhan, pelataran, hingga pakaian imam yang nantinya ditugaskan untuk memimpin upacara di Kemah Suci.

Bezaleel dan Aholiab dikaruniai keahlian, pengertian, dan pengetahuan dalam segala macam pekerjaan yang berkaitan dengan kontruksi ini (Kel. 31:1-11). Keterampilan mereka diperoleh melalui Roh Allah yang tinggal dalam diri mereka. Sebenarnya, bukan mereka saja yang mendirikan proyek ini, tetapi masih ada tenaga-tenaga kerja lainnya yang secara sukarela mempersembahkan diri bagi pekerjaan ini. Mereka seluruhnya diberkati oleh Allah dengan keahlian untuk mengolah emas, perak, tembaga, serta kain yang dikumpulkan dari orang-orang Israel. Bahan-bahan ini diperlukan untuk membangun sebuah kemah yang telah dirancang oleh Sang Arsitek Agung, yaitu Allah sendiri.

Satu hal yang menarik bagiku ketika membaca kisah pembangunan Kemah Suci ini adalah setiap petunjuk dari Sang Arsitek Agung dikerjakan dengan sangat presisi. Aku membandingkan petunjuk dari Allah kepada Musa di Keluaran 26 dengan hal-hal yang dikerjakan oleh Bezaleel, Aholiab, dan kawan-kawan. Aku terkesima dengan ketaatan mereka yang mengikuti setiap detail petunjuk yang diperintahkan oleh Allah. Aku memberikan sebuah contoh: “Kemah Suci itu haruslah kaubuat dari sepuluh kain tenda. Bahannya dari linen halus yang dipintal benangnya, dan benang ungu tua, ungu muda, dan merah tua. Haruslah kau sulam gambar kerub pada kain itu.” (Kel. 26:1 TB2) dan “Lalu semua yang ahli di antara pekerja itu membuat Kemah Suci dari sepuluh kain tenda. Bahannya dari linen halus yang dipintal benangnya, serta benang ungu tua, ungu muda, dan merah tua. Mereka menyulam gambar kerubim pada kain itu.”  (Kel 36:8 TB 2). Kamu bisa membaca lebih lanjut di Keluaran 26 dan 36 untuk menemukan betapa setianya mereka untuk mengerjakan Kemah Suci sesuai dengan kerangka yang digambar oleh Allah.

Wow!!! Bezaleel dan Aholiab dengan cermat mempersiapkan dan mengeksekusi setiap spesifikasi, detail ukuran, serta jumlah bahan yang telah diperintahkan oleh Allah. Tidak ada ornamen dan ukuran yang mereka tambahkan maupun kurangi. Mereka tunduk pada pola yang sudah dirancangkan oleh Allah. Roh Allah yang tinggal di dalam mereka menolong mereka memahami kehendak Allah dan menuntun mereka untuk hanya mengerjakan keinginan hati Allah saja. Akhirnya, mereka pun menyelesaikan proyek besar ini dan Allah pun turun menaungi mereka dan diam di dalam Kemah Suci tersebut (Kel. 40:34-38).

Kini, kita tidak lagi melihat bangunan Kemah Suci. Ketiadaan Kemah Suci bukan berarti Allah tidak hadir di dalam kehidupan kita sebagai umat-Nya. Justru, kita memperoleh hak yang lebih istimewa dibandingkan orang-orang Israel pada zaman itu. Kini, Allah hadir dan tinggal di dalam diri orang percaya secara langsung, melalui Roh Kudus-Nya. Dosa bukan lagi menjadi penghalang bagi relasi kita dengan Allah. Oleh karya Kristus di atas kayu salib, dosa-dosa kita telah diampuni. Kita pun dikaruniai dengan Roh Kudus yang selalu hadir di dalam kehidupan aku dan kamu.

Kalau kita memiliki Roh Kudus, seharusnya kita bisa dengan gampang mengikuti perintah-Nya, bukan? Namun, aku menyadari kalau aku pun merasa kesulitan untuk bisa mengikuti petunjuk Tuhan. Terkadang, aku merasa aku berjalan sendiri dan tersesat. Aku pun bertanya, “Tuhan, di manakah Engkau berada? Bukankah Engkau mengatakan mau menjadi Sang Gembala yang menuntun hidupku?”

Kawan, permasalahannya bukan Tuhan tidak yang entah di mana, tetapi kita yang kurang peka dengan suara Tuhan yang memimpin kita. Roh Allah yang pernah membimbing Bezaleel dan Aholiab untuk mengerjakan setiap petunjuk di dalam membangun Kemah Suci, juga adalah Roh Allah yang sama yang akan membimbing kita untuk mengerjakan setiap perintah Allah bagi hidup kita. Bukan sinyal dari surga yang kurang kencang. Jangan-jangan, kita yang memasang mode pesawat, sehingga kita tidak bisa terhubung dengan Allah.

Aku harus mengakui kalau aku pun terkadang pura-pura tidak mendengar teguran dan pengajaran dari Roh Kudus. Aku pun pernah mengeraskan hati dan mengabaikan suara Tuhan yang berbicara kepadaku. Aku yang memilih untuk tidak mau menaati perintah Allah dan bermain-main dengan dosa. Padahal, Roh Kudus sudah menggerakkan hati nuraniku untuk berkata “TIDAK.”

Jadi, untuk bisa mengerti dan melakukan apa yang menjadi petunjuk-Nya, aku percaya caranya hanya ada satu: “terus terhubung dengan Allah.” Kita bisa mempertahankan jaringan koneksi kita dengan mendengar Dia berbicara kepada kita dan kita pun berbicara kepada Allah. Allah bisa berbicara kepada kita melalui firman-Nya yang tertulis, Alkitab. Setelah kita membaca firman Tuhan, Roh Kudus dapat berkarya melalui firman itu dan menguatkannya lewat kehidupan sehari-hari kita. Kita pun bisa mencari Allah di dalam doa. Waktu berdoa bukan hanya saat bangun, makan, maupun di gereja. Kita bisa terus berbicara kepada Tuhan dan mengungkapkan segala hal yang kita rasakan dan alami, di saat kapan pun dan di mana pun di dalam kesibukan kita sehari-hari.

Membaca Alkitab dan berdoa memang terdengar seperti langkah praktis yang sangat klise. Namun, inilah rumus untuk bisa terhubung dengan Allah dan mengerti petunjuk-Nya bagi kita. Aku sendiri juga terus melatih diri untuk bisa terus terkoneksi dengan Tuhan, supaya aku bisa mengerti dan mengikuti petunjuk-Nya. Aku percaya kamu pun bisa dengan membangun kebiasaan membaca firman dan berdoa. Semangat kawan… Tuhan pasti akan menolongmu!!!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Doa Yabes: Doa Setinggi Langit yang Dikabulkan

Oleh Jessie

Kalau urusan tahu-menahu tokoh-tokoh Alkitab, orang Kristen terbagi ke tiga tipe:

Kubu #1 isinya orang-orang yang tahu semua tokoh; kubu #2 isinya mereka yang tahu sebagian; dan kubu #3 isinya orang yang tidak tahu sama sekali! Aku sendiri mungkin masuk ke kubu #2 karena kalau ditanya nama dari beberapa tokoh, ada saja yang aku lupa, meskipun aku mengakui diri sudah pernah membaca keseluruhan Alkitab.

Nah, entah kamu masuk kubu berapa, hal yang penting dan menarik adalah semua kisah di Alkitab ditulis dengan tujuan. Alkitab ditulis memang oleh manusia, tetapi kita percaya bahwa penulisannya 100% diilhamkan oleh Allah dan dipimpin penuh oleh Roh Kudus (2 Timotius 3:16), sehingga semua cerita yang tercatat memiliki arti penting yang ingin Tuhan sampaikan pada umat-Nya.

Di artikel ini, aku ingin mengangkat kisah Yabes yang tercatat pada 1 Tawarikh. Ada poin-poin penting tentang tokoh ini yang mungkin banyak orang sering ketinggalakan karena saking singkat teks bacaannya.

1 Tawarikh 4:9-10

4:9 Yabes lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya; nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: “Aku telah melahirkan dia dengan kesakitan.”

4:10 Yabes berseru kepada Allah Israel , katanya: “Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tanganMu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!” Dan Allah mengabulkan permintaannya itu.

Sekian… hanya begitu saja kisahnya.

Ya! Cerita Yabes hanya ditulis dalam dua kalimat dan tidak tercatat lagi di kitab mana pun. Namun, sampai hari ini kita akrab dengan Yabes karena istilah “Doa Yabes”. Doa yang sangat singat dan tanpa basa-basi atau cerita yang njelimet, dan Tuhan mengabulkannya.

Mari kita kulik dua ayat ini. Pada kalimat pertama (ayat 9), kita diperkenalkan secara singkat siapa Yabes. Dari terjemahan bahasa Ibrani, nama Yabes artinya penderitaan. Ketika nama Yabes dipilih oleh sang ibu, dia seolah ingin mengasosiasikan kelahiran Yabes dengan penderitaan yang dihadapinya atau pun keluarganya. Penderitaan yang seperti apa tidak disebutkan secara rinci; apakah dikarenakan kesakitan ibunya saat melahirkan Yabes? Atau adanya kesulitan yang dihadapi keluarganya disaat Yabes dilahirkan?

Ada beberapa peneliti Alkitab yang berspekulasi bahwa keluarga Yabes sedang menghadapi kesusahan secara finansial, karena kalau membaca doa Yabes di ayat berikutnya, doanya tidak terdengar seperti doa yang akan diminta oleh orang yang memiliki banyak harta. Kalau kita memahami konteks kitab Tawarikh di pasal ini, Israel memang sedang ada pada masa peperangan. Kesehatan dan tingkat kelangsungan hidup (survival) merupakan kekhawatiran utama di waktu tersebut, sehingga banyak keluarga orang-orang Israel yang mengalami kesulitan, salah satunya termasuk keluarga Yabes. Adapun kemungkinan lainnya, ayah Yabes meninggal saat berperang, maka sangat mungkin jika ibu Yabes sedang mengalami kesedihan karena ditinggalkan sang suami. Apa pun alasannya, nama ini memberikan kesan yang tentunya diingat si anak semasa hidupnya.

Yabes lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya (1 Tawarikh 4:9a).

“Dimuliakan” di sini, secara terjemahan bahasa Ibrani, artinya penting atau berpengaruh. Umumnya, jika kata ini digunakan, maka penulisnya ingin menyampaikan pesan bahwa orang ini wajib diperhatikan. Patut diketahui bahwa kitab Tawarikh ditulis bukan semasa hidup Yabes, tapi tahun-tahun setelahnya. Oleh sebab itu, penulisan biografi singkat mengenai Yabes merupakan kesimpulan dari kisah hidupnya: Yabes “lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya”. Namun, tahukah kalian bahwa dia memiliki awal cerita hidup yang sederhana cenderung susah? (nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: “Aku telah melahirkan dia dengan kesakitan”).

Mari kita jelajahi frasa demi frasa dalam Doa Yabes.

1. …memberkati aku berlimpah-limpah

Kalau denger isi doa Yabes, mungkin banyak warganet di zaman itu yang bakalan komen, “Doa ga kurang lantang, Pak.”

Memang doa Yabes cukup ambisius untung seorang yang sangat sederhana. Ada empat hal yang Yabes ajukan. Yang pertama, berkat itu sendiri. Bukan hanya berkat saja, namun berkat yang “berlimpah-limpah.” Berkat atau blessing merupakan sesuatu yang sangat signifikan dan berharga bagi bangsa Israel. Semua kaum Israel selalu berharap akan berkat yang datangnya dari janji Tuhan itu sendiri (Ulangan 28). Akan tetapi, berkat yang diminta oleh Yabes sedikit berbeda, karena terdengar seperti sebuah petisi yang memberikan nuansa doa permohonan berkat yang penuh ambisi. Dengan meminta berkat yang berlimpah-limpah, Yabes sesungguhnya meminta sebuah kehormatan atau yang Dr. Charles Swindoll katakan sebagai divine ennoblement

2. …memperluas daerahku

Yang kedua, Yabes mengajukan agar daerahnya diperluas (divine expansion). Mungkin ini terdengar doa konyol tanpa sebuah alasan atau pertimbangan yang jelas, seperti saat kita berdoa meminta uang 10 milyar ke akun bank kita karena kita pengen kaya saja. Namun, jangan salah paham! Doa Yabes tidak meminta kekayaan secara material semata.

Di zaman kuno, “daerah” tidak dapat diartikan langsung sebagai tanah ataupun uang; kekayaan yang ditujukan bukan hanya sekedar kekayaan finansial, namun mencakup kekayaan dalam diri seperti kuasa dan tanggung jawab. Dalam konteks budaya serta janji Tuhan pada orang Ibrani semasanya, permintaan perluasan daerah berarti meminta bagian yang lebih besar dari covenant atau perjanjian Allah. Sehingga, doa Yabes bukanlah doa yang muncul begitu saja, tapi didasari oleh pengetahuannya akan janji Allah (Ulangan 28).

Kalau kita membaca perjanjian Allah di kitab Ulangan pasal 28, maka kita tahu bahwa perjanjian Allah bukan hanya yang manis-manis saja. Allah menjanjikan berbagai berkat untuk mereka yang taat dan berbagai kutukan untuk mereka yang tidak taat. Oleh sebab itu, saat Yabes meminta porsi berkat yang lebih atau dengan bahasanya perluas”, itu artinya dia mengerti aturan main Tuhan bahwa dia akan menerima konsekuensi yang lebih juga jika dia gagal melaksanakan aturan Tuhan. Allah melihat ini sebagai suatu permintaan yang mulia.

3. …kiranya tangan-Mu menyertai aku

Dalam konteks Perjanjian Lama, tangan Tuhan adalah simbolisasi dari kekuatan, kuasa, dan keahlian. Di Alkitab, seluruh kejadian yang melibatkan intervensi kedaulatan Tuhan berkaitan dengan frasa “tangan Tuhan.” Yabes dalam doanya, memohon agar ada campur tangan Tuhan dalam setiap momen kehidupannya. Dr. Swindoll menyebut poin ketiga dari doa permohonan Yabes ini sebagai divine empowerment. Boleh disimpulkan bahwa Yabes seolah ingin berbicara: jika nanti Tuhan menepati janji berkat tersebut, dimana dia akan menerima juga kekayaan secara material, Yabes menginginkan agar tangan Tuhan terus memimpinnya supaya dia tetap setia bersandar pada Tuhan serta berjalan bersama-Nya. Yabes tidak menginginkan kesuksesan material membuatnya menjauh dari Tuhan. Uniknya permohonan ini diletakkan setelah dia memohon agar Tuhan “memperluas daerah”nya. Hal ini memberikan kesan kerendahan hati Yabes agar Tuhan tetap dekat dengannya bahkan setelah dia sukses nanti. Karena sesungguhnya, tidak ada satu kesuksesan pun yang akan menjamin keamanan kita tanpa penyertaan Tuhan.

4. …melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku

Di kalimat permohonannya yang terakhir, Yabes meminta agar kekuatan Tuhan bukan hanya ada bersamanya, tapi juga berperan aktif untuk melindunginya dari marabahaya. Lagi-lagi, perlindungan dari Tuhan juga merupakan bagian dari janji Allah untuk umat-Nya, dan Yabes hanya “meng-klaim” apa yang sudah menjadi bagiannya. Sedikit tambahan di ujung kalimat Yabes yang bunyinya, “sehingga kesakitan tidak menimpa aku”, membuat doa ini menjadi lebih personal. Ia menggunakan kata “kesakitan,” kata yang digunakan ibunya saat melahirkannya dan menamakannya. Dengan ini, Yabes memohon agar nasibnya jauh dari arti namanya.

Allah mengabulkan permintaannya

Allah mengabulkan permintaannya, guys! Ini bukan doa-ngalor-ngidul-yang-penting-minta-dulu; ini doa singkat yang penuh iman dan pengharapan serta relasi yang baik bersama Tuhan yang dilandaskan pemahaman akan karakter Allah. Tidak ada salahnya jika kita mengikuti teladan Yabes untuk berdoa… dan tentunya dengan iman dan pengharapan. Karena tidak peduli seperti apa latar belakang atau awal cerita kita, seluruh umat yang percaya dijanjikan berkat yang sama, di mana berkat terbesar kita yang hidup dalam zaman anugerah telah diwujudkan dalam Kristus Yesus (Efesus 1:3). Lalu, ingat selalu untuk bersandar pada penyertaan Tuhan, karena hanya penyertaan Tuhan yang senantiasa ada bersama kita.

Sekian dari cerita panjangku mengenai doa pendek Yabes, semoga meninggalkan kesan yang berarti bagi kalian semua.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Perjuangan yang Tidak Bisa Kulanjutkan

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Setiap masa punya cerita dan begitu pun dengan apa yang terjadi di masa remajaku. Aku membolak-balik diary-ku dan tersenyum geli dengan tulisan-tulisan di sana.

“Hari ini kita ke toko es krim, tempatnya di…”

“Senang banget tadi kita ngobrol lama dan seru di…”

Dua penggalan kalimat itu adalah pembuka dalam diary bertahun-tahun lalu. Aku masih mengingat kejadian-kejadian itu dan tentu apa yang kurasakan di saat itu. Perasaan antusias dan senang yang berbaur satu, diikuti rasa penasaran dan kadang berbunga-bunga. Ya, aku berbicara dengan seseorang yang pernah menjadi teman dekatku di masa itu. Seperti kebanyakan remaja pada umumnya, masa itu tidak luput dengan ketertarikanku pada seseorang dan bagaimana kami menjalin hubungan. Kami dekat dalam waktu yang cukup lama dan dengan segala dinamika di dalamnya, hubungan itu telah memberikan banyak kesan berarti.

Aku belajar lebih menyayangi keluarga karenanya, belajar untuk berinteraksi dengan lebih menyenangkan pada orang lain, dan memberi pengorbanan lebih untuk orang-orang yang disayang.

Hubungan ini baik, sampai pada beberapa tahun setelahnya aku tahu, bahwa hubungan ini tidak bisa dilanjutkan. Masalahnya bukan pada dia berubah atau aku berubah. Masalahnya ada di identitas kami dan itu klasik: kami memiliki iman yang berbeda.

Bagiku, untuk terpikirkan hal ini adalah suatu… keajaiban yang bagiku sendiri cukup mengejutkan. Karena kalau boleh aku akui, aku tidak menetapkan syarat Kristen dalam pertemananku; baik yang sifatnya platonik maupun romantis. Namun, di suatu waktu saat aku berjalan kaki pulang dari kampus, Tuhan punya cara untuk menyentuh hatiku.

Saat itu aku memang merenung bagaimana interaksi ini akan dibawa, bagaimana jika hubungan ini terus berjalan baik, dan kami sampai pada titik mempertanyakan perbedaan iman ini. Melalui tahun-tahun berjalan hingga aku berada pada titik ‘sudah biasa saja’ sekarang, aku menemukan beberapa pemikiran inilah yang mendorongku dan memberiku keputusan untuk mengikhlaskan pergi semua perasaan berharap dan yang tertahan kepadanya:

1. Melihat konsekuensi di masa depan jika hidup bersamanya

Bagiku, tujuan akhir dari masa-masa berteman dekat adalah pernikahan. Sehingga pada suatu momen aku berpikir hal-hal yang mungkin terjadi jika sekiranya kami melanjutkan hubungan pertemanan ini dan bertahan pada iman kami masing-masing. Aku merasa bisa menoleransi saat aku membayangkan aku akan pergi ke gereja sendiri dan dia ke tempat ibadahnya sendiri, namun ternyata aku tidak bisa menoleransi jika kami memiliki anak, dan anak tersebut mempelajari 2 iman yang berbeda dalam 1 rumah. Itu terlalu sulit dan hanya akan menimbulkan dilema, setidaknya bagiku yang mengharapkan bahwa aku ingin dia bertumbuh dengan mengenal iman yang telah menjagaku sampai saat ini. Aku ingin dia mengenal Tuhan yang sama dengan Tuhan yang kukenal yang telah merawat dan melindungiku hingga sejauh ini.

Atas pertimbangan itu, tidak ada jalan lain selain memilih pasangan yang juga percaya kepada iman Kristen. Ini mungkin hanya salah satu konsekuensi dari konsekuensi-konsekuensi lain jika hubungan ini terus dilanjutkan. Konsekuensi ini mungkin bisa berbeda-beda bagi setiap orang dan cara menanggapinya pun berbeda-beda, oleh karena itu, aku selalu melihat bahwa penting untuk kita mengetahui segala konsekuensi itu dan apakah kita mau untuk menerima konsekuensi tersebut.

2. Melihat pihak lain selain dirinya jika akhirnya dia harus pindah

Pelan-pelan aku melihat bahwa pernikahan dalam konteks masyarakat Indonesia tidak hanya menyatukan dua orang, namun juga kedua keluarga. Idealnya, aku ingin bisa berbaur dengan keluarganya dan begitupun dengan dia yang bisa berbaur dengan keluargaku. Dari harapan pribadi ini aku melihat bahwa pernikahan haruslah membawa kebahagiaan, bukan hanya bagi pasangan yang menikah tapi juga bagi kedua keluarga pasangan tersebut. Jadi, aku bertanya jika akhirnya dia berpindah ke iman Kristen, apakah keluarganya akan baik-baik saja?

Kita mengetahui jelas bagaimana perpindahan iman ini dipandang sebagai isu sensitif di sekitar kita. Tidak jarang terjadi pertentangan dan konflik karena adanya perpindahan iman salah satu anggota keluarga. Aku tidak ingin menjadi faktor penyebab hal tersebut bagi keluarganya. Terlebih lagi, aku mengetahui bahwa ayahnya adalah pengurus tempat ibadahnya dan juga mensyaratkan kriteria seiman sebagai pasangan anaknya. Aku memahami, walaupun perpindahan iman bisa jadi merupakan suatu keputusan pribadi yang sangat dipertimbangkan baik-baik dan murni karena perjumpaannya dengan Tuhan, hal ini tidak semerta-merta membuat keluarganya ikhlas dan merelakan. Merekalah orang yang selama ini mendidik dan membesarkan dia yang menjadi pasangan kita. Merekalah juga yang tentu menaruh harapan bahwa dia akan terus turut dalam iman tersebut.

Bagiku, berupaya untuk mengusahakan perpindahan iman memberi cost yang besar dan aku merasa bahwa aku tidak ingin menjadi faktor yang menyebabkan hal tersebut. Betul bahwa kita harus memuridkan orang-orang di sekitar kita untuk menjadi pengikut Tuhan sebagaimana ditulis dalam Amanat Agung. Namun jika akhirnya dia akan berpindah keyakinan, aku ingin hal itu terjadi karena perjumpaan pribadinya dengan Tuhan dan bukan karena pengaruh ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Sehingga yang bisa kulakukan adalah mundur dan mengubah bentuk pertemanan itu menjadi hubungan pertemanan platonik.

3. Melihat apa yang telah ditegaskan Tuhan

2 Korintus 6 : 14 adalah salah satu ayat yang terus mengingatkanku selama menggumulkan hubungan yang berbeda iman ini.

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Untuk terus berada dalam hubungan beda iman berarti tidak mengindahkan apa yang tertulis dalam ayat tersebut, jadi sebelum semakin jauh, aku memutuskan untuk mundur perlahan dari pertemanan ini. Lagipula, aku percaya Tuhan memperhatikan dengan seksama apa yang sudah kita coba taati dari firman-Nya. Selain itu, aku pernah mendengar khotbah tentang kriteria pasangan yang idealnya harus seiman dan sepadan. Seiman artinya memiliki iman yang sama; iman yang percaya pada Tuhan Yesus. Harapannya, jika iman ini sudah sama, maka terdapat kesamaan nilai dan prinsip yang akan berguna untuk membangun rumah tangga yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga syarat seiman ini kupandang sebagai hal yang fundamental sebelum melihat apakah ia juga memiliki kecocokan lainnya denganku.

Tiga hal tersebut pada akhirnya berakar dari ingatanku tentang kasih penyertaan Tuhan. Tuhan telah membawaku sejauh ini, menyertaiku dari satu fase ke fase lainnya, dan aku yakin—yang mendorongku untuk menggumulkan hal ini. Jika pada akhirnya kutemukan jawaban untuk mengakhiri hubungan ini, aku telah yakin bahwa Tuhan telah mempersiapkan jalan lain yang kuharap akan lebih baik dari kisah sekarang.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Galih Mematahkan Hati Ratna

Sebuah cerpen oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Ratna adalah seorang remaja yang saat ini duduk di bangku SMA. Keinginannya sederhana: menemukan sosok Galih selama masa sekolah ini. Ratna ingin sekali merasakan indahnya jatuh cinta di masa SMA sama seperti film dan novel romantis yang sering dia baca dan tonton, seperti juga kisah romantis terkenal tentang Galih dan Ratna.

Nah, untuk mewujudkan keinginan itu, Ratna berusaha mendekati seorang kakak kelas yang sejauh observasinya layak untuk menjadi sang Galih. Kebetulan, nama lelaki itu juga Galih. Cocoklogi ini membuat Ratna semakin yakin bahwa Galih sungguh cocok dengannya. Galih tampak sebagai laki-laki yang cinta Tuhan, jujur, baik, tidak sombong, tidak merendahkan, dan sifat-sifat lainnya yang menurut Ratna sesuai dengan kriteria pacar idamannya. Perasaan menggebu-gebu ini Ratna sampaikan juga kepada dua teman dekatnya, Mimi dan Erlin.

“Duhh, Mi… Tau gak?! Tadi Galih senyum sama aku pas di kantin,” celetuk Ratna dengan nafas terengah-engah. “Dia… duhh. Ganteng banget!”

“Ah, kamunya kali yang geer?” jawab Mimi.

“Iya, bisa aja kamu salah liat. Dia senyumnya sama yang lain kali.” Erlin ikut menimpali.

Namanya sedang jatuh cinta, Ratna menepis anggapan dua temannya itu. “Nggak mungkin dia senyum ke yang lain. Cuma ada aku doang kok, satu-satunya cewe di kantin waktu itu,” ucapnya. “Aku yakin banget, kalau memang Galih juga ada rasa ke aku!”

Ibarat bara api yang disiram bensin, sejak melihat dan mengenal Galih, Ratna memang jadi selalu bersemangat. Dia selalu ingin tampil cantik. Di mana pun dan kapan pun, bahasan yang keluar dari mulutnya hanyalah tentang Galih dan Galih. Tapi, sebagai sahabat yang baik, Mimi dan Erlin sebenarnya khawatir bila ekspektasi Ratna yang terlalu tinggi sehingga dia mudah salting. Apa pun yang dilakukan Galih selalu dicerna Ratna sebagai kode bahwa itu adalah rasa suka juga terhadapnya. Meski begitu, mereka tidak ingin meremehkan atau mengecilkan rasa bahagia Ratna.

“Iya udah gapapa kalau kamu yakinnya gitu, semoga aja dia emang beneran yaa suka sama kamu,” sahut Mimi. “Tapi, yang paling penting, kamu doain. Minta Tuhan kasih kamu petunjuk, apakah Galih itu memang beneran bisa jadi jodoh kamu atau nggak.”

Ratna menerima nasihat kedua temannya itu. Malam hari sebelum tidur, dia berdoa, “Tuhan, aku ingin Galih menjadi pacarku, dia orang yang mengasihi-Mu, orang yang baik kepada sesama dan cocok untuk jadi pacarku Tuhan…” ucapannya lalu terhenti. Segaris senyum tersungging di bibirnya, efek dari pikirannya yang berandai-andai jika Galih sungguh pacaran dengannya. Semenit kemudian, dilanjutkanlah lagi doanya.  “Tuhan, Engkau tahu bagaimana perasaanku saat ini, aku kesepian karena papa dan mama sibuk kerja. Jadi, kalau Galih mau jadi pacarku aku tidak akan kesepian lagi, Tuhan. Aku tidak akan mengeluh lagi kepada-Mu karena sudah ada dia yang menemaniku, dan melalui dia aku juga bisa merasakan kasih-Mu. Semoga Engkau berkenan menjodohkan aku dengan dia. Amin.”

Setelah berdoa, Ratna pun tidur sambil menanti hari esok di mana dia akan bertemu kembali dengan Galih.

Besoknya, apa yang Ratna harapkan pun terwujud. Dia bertemu Galih. Iya, bertemu! Selama ini dia hanya melihat Galih dari jauh dan belum ada kesempatan untuk mengobrol akrab. Tapi, entah kenapa hari ini tiba-tiba Galih sendiri menyapanya.

Belum sempat Galih mengucap sepatah kata, ekspektasi Ratna sudah keburu terbang mengangkasa. Jantungnya berdegup lebih kencang. Tangannya pun terasa gemetaran. Dalam hati dia mengucap syukur karena Tuhan dengan instan menjawab doanya semalam.

Galih berjalan mendekat. Kira-kira ketika jarak di antara mereka tinggal selangkah, Galih dengan agak malu berkata, “Ratna, kamu teman dekatnya Erlin, kan? Aku boleh titip coklat buat dia nggak?”

Kalimat pertanyaan yang barusan Ratna dengar ibarat sebuah torpedo menghantam lambung sebuah kapal hingga hancur dan tenggelam. Hati Ratna remuk berkeping-keping! Luntur sudah senyum di bibirnya. Rasa deg-degan terganti sempurna dengan kekecewaan. Namun, sadar bahwa dia tidak ingin rasa canggung ini tampak mencurigakan, Ratna berusaha menjawab.

“Kenapa?” tanya Ratna getir. “Kenapa gak kasih langsung aja ke orangnya?”

Galih malu-malu menjawab. “Aku suka sama dia. Dia manis kalau senyum.”

Peristiwa patah hati itu ikut mengubah sikap Ratna terhadap Tuhan. Ratna sedih dan kecewa karena Tuhan tidak menjawab doanya, padahal Ratna sudah yakin Galih itu cocok dengannya. Tapi, ternyata Galih tidak membalas cintanya. Sejak saat itu, lagu Tulus yang berjudul Hati-hati di Jalan jadi lagu favoritnya. Garis-garis senyum tak lagi terbit di wajahnya, tergantikan mimik masam sepanjang hari.

Melihat perubahan signifikan pada sikap Ratna, Mimi menghampirinya ketika jam istirahat.

“Rat…” katanya lembut sembari meletakkan tangan kanannya di pundak kanan Ratna. “Jangan patah semangat ya. Mungkin memang Galih belum cocok jadian sama kamu.”

“Ah, belum cocok gimana? Padahal kan aku sudah cocok sama Galih. Tapi, kenapa Tuhan gak menjodohkan aku dengan dia?” ungkap Ratna kesal.

“Kenapa kamu bisa yakin kalau kamu cocok sama Galih, Rat?”

“Karena Galih orangnya seru. Kami juga punya hobi sama!” Kalimat Ratna terhenti. Hening sejenak, lalu isak tangis pun terdengar. “Kalau aku sama Galih pacaran, pasti nyambung dan seru!” Mimi mendekatkan tubuhnya untuk merangkul Ratna.

“Kalau aku bisa punya pacar…” sambung Ratna terbata-bata. “Aku pasti tidak lagi merasa kesepian. Di dekat Galih aku bisa bahagia, apalagi kalau aku bisa bersama dia tiap waktu.”

Mimi merasa geli mendengar jawaban itu. Tapi, dia menahan diri untuk menjawab. Diusap-usapnya punggung sahabatnya itu tanpa saling bicara. Setelah tangisnya terhenti, barulah Mimi pelan-pelan berkata.

“Hmmm.. mendengar jawabanmu barusan, sepertinya aku bisa mengetahui kenapa Tuhan tidak memberi Galih jadi pacarmu.”

“Kenapa?”

“Karena, kalau Galih jadi pacarmu, aku yakin kamu akan melupakan Tuhan dan pasti kamu akan jadi bucin maksimal ke Galih.”

Tidak terima dengan asumsi seperti itu, Ratna segera menyanggah. Dengan nada tinggi dia menjawab, “Enggak! Aku nggak mungkin jauh dari Tuhan, apalagi melupakannya. Justru, dengan aku pacaran sama Galih, aku lebih sering bersyukur kepada Tuhan.”

“Ratna…” Mimi menurunkan dan melembutkan suaranya. “Kita kan manusia. Sebagai manusia, kita terbatas karena hanya bisa berandai dan berencana, berbeda dengan Tuhan yang tidak terbatas. Tuhan tahu masa depan kita dan Dia mengasihi kita sehingga tahu apa yang terbaik buat kita.”

Hening menyergap mereka berdua. Meski keras, tapi Ratna mulai mencerna apa yang Mimi sampaikan. Pelan-pelan hatinya melunak dan kebenaran yang disampaikan sahabatnya itu kini lebih terasa seperti kain perban lembut yang membalut luka-luka hatinya, alih-alih palu godam yang meremukkan.

“Mungkin menurutmu Galih adalah orang yang terbaik untukmu, tapi bisa saja bagi Tuhan mungkin ada yang jauh lebih tepat untukmu dan Dia mau memberikannya kepadamu, hanya mungkin bukan sekarang waktunya.” Sebelum Ratna kembali membantah, Mimi melanjutkan ucapannya, “Kalau tujuan pacaran supaya kita bahagia atau gak kesepian lagi, itu bukan tujuan yang benar, karena bahagia yang kita dapat dari manusia hanya sementara dan kita tidak bisa menuntut dari manusia untuk bikin kamu bahagia, karena lagi-lagi manusia itu terbatas.”

Mimi berhenti. Ditatapnya mata sahabatnya itu, tampak nanar dan sisa-sisa tangisan masih membasahi kelopak matanya. Apa yang terlontar dalam ucapan Mimi adalah buah dari ketekunannya membaca buku rohani, ikut komsel, dan… Mimi sendiri telah melihat betul bagaimana cinta yang dilakukan secara serampangan tidak akan berakhir dengan kesetiaan. Kedua orang tua Mimi telah bercerai, sehingga dia memahami mengapa dia tidak bisa mengandalkan manusia.

“Kalau manusia bisa membuat pasangannya atau sesamanya bahagia terus, harusnya tidak ada perceraian atau pertengkaran bukan?”

Mimi pernah marah dan kecewa kepada Tuhan karena dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu keluarga yang harmonis. Namun, bersyukur dia bisa mengenal Tuhan Yesus melalui sekolah Minggu yang dia ikuti karena diajak oleh neneknya. Melalui sekolah Minggu dia tahu bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Tuhan yang mengasihinya tanpa syarat dan adalah Juruselamatnya yang merelakan nyawa-Nya untuk Mimi. Orang tua Mimi memang tidak rujuk hingga kini. Namun setiap Mimi datang kepada Tuhan dan mengandalkan-Nya, dia merasakan ada damai sejahtera dan kekuatan dari Kristus. Perasaan ini tidak selalu dia dapatkan dari orang lain, hanya dekat dengan Kristus dia merasa cukup.

“Terima kasih Mimi,” kata Ratna dengan senyuman tulus. “Terima kasih ya sudah menyadarkan aku bahwa seharusnya aku mencari kehendak Tuhan ketika aku ingin memiliki pacar, bukan hanya karena atas dasar suka dan cocok saja karena belum tentu apa yang aku inginkan itu adalah yang terbaik untukku. Setelah ini aku akan meminta maaf kepada Tuhan,” lanjut Ratna.

“Iya Ratna, sama-sama. Semoga kamu segera menemukan jodoh yang tepat sesuai kehendak Tuhan ya, dan percayalah Tuhan mengampunimu sekalipun kamu sempat marah kepada-Nya,” balas Mimi. “Terima kasih juga sudah cerita kehidupanmu yang membuat aku menjadi sadar bahwa aku tidak bisa mengandalkan manusia untuk membuat aku bahagia, hanya Tuhan yang bisa aku andalkan.”

Hari itu, ketika hati Ratna laksana cawan yang pahit, penghiburan dari Tuhan yang disampaikan lewat dekapan hangat Mimi seperti madu yang memaniskan bibir. Mungkin bagi sebagian orang, apa yang Ratna alami hanyalah cinta monyet belaka, tetapi itu jelaslah menggores luka di hatinya. Namun, tak peduli besar atau kecil luka itu, Tuhan adalah Tuhan yang dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Dia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya (Mazmur 34:19).

Tidak lama setelah itu bel sekolah berbunyi tanda jam istirahat sudah selesai. Mimi kemudian kembali ke mejanya dan mereka kembali melanjutkan aktivitas belajar mereka.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu