Mengapa Menikah Bukan Satu-Satunya Cara Mengalami Cinta Sejati

Penulis: Adriel Yeo, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Marriage Isn’t The Only Way To Experience True Love

Mengapa-Pernikahan-Bukan-Satu-Satunya-Cara

Pada saat aku masih remaja, masa akil baliq itu salah satunya ditandai dengan izin untuk bisa membeli minuman beralkohol. Namun, ketika para pemuda sudah menyelesaikan wajib militer dan para pemudi menyelesaikan kuliah, hal itu sudah bukan sesuatu yang istimewa lagi.

Kita mulai memasuki fase pertumbuhan yang baru, dan muncullah ukuran yang baru untuk menandai kedewasaan itu. Aku mengamatinya pertama kali di akun Facebook-ku. Ya, aku sedang membicarakan tentang status “Hubungan”.

Masih segar di ingatanku hari Valentine dua tahun lalu, saat setidaknya empat temanku bertunangan. Setahun kemudian aku menghadiri pernikahan mereka satu demi satu. Meski aku tahu saat-saat itu akan datang, aku tidak menyangka datangnya akan secepat itu.

Sembari ikut bersukacita atas pernikahan teman-temanku, aku menyadari ada semacam pola pikir yang umum dijumpai di kalangan kaum muda Kristen. Banyak yang memiliki persepsi bahwa seseorang hanya dapat mengalami secara penuh apa yang disebut kasih “agape” atau kasih Allah yang tak bersyarat, melalui pernikahan. Mereka yang tidak dapat menemukan pasangan hidup, tidak akan pernah bisa mengalami kasih ini.

Aku tidak sependapat.

Jangan salah paham: Aku percaya bahwa pernikahan Kristen haruslah menyatakan kasih yang rela berkorban, tanpa syarat, sebagaimana yang telah ditunjukkan Kristus kepada jemaat (Efesus 5:25). Sebab itu, benar bahwa seseorang pasti dapat mengalami dan mempraktikkan kasih Kristus dalam hubungan pernikahan. Tetapi, aku tidak percaya bila dikatakan bahwa kasih Kristus hanya dapat dialami dalam pernikahan.

Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Perintah ini sangat jelas: komunitas Kristen diminta untuk menunjukkan kasih yang mencerminkan kasih Kristus kepada umat-Nya, kasih yang membawa-Nya ke atas salib.

Perintah ini menantang sekaligus memberi penghiburan. Menantang, karena perintah ini meminta kita untuk menunjukkan kasih yang rela berkorban, yang tidak bersyarat kepada semua orang, sama seperti Allah yang telah lebih dulu menunjukkan kasih-Nya kepada kita, orang-orang yang tadinya tidak layak untuk dikasihi. Memberi penghiburan, karena perintah ini mengingatkan kepada kita bahwa kasih Kristus dapat kita alami baik kita menikah maupun tidak menikah.

Perintah Yesus tidak dimaksudkan agar kita hanya mengasihi pasangan kita, tetapi agar kita mengasihi satu sama lain. Senada dengan itu, 1 Yohanes 4:19—“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”—tidak hanya ditujukan kepada pasangan yang sudah menikah, juga tidak membicarakan kasih yang hanya ada dalam pernikahan. Firman itu ditujukan kepada setiap orang yang mengaku percaya kepada Allah.

Pemahaman tentang kasih yang diajarkan Alkitab ini dapat menolong kita untuk lebih percaya diri. Bayangkan jika yang bisa mengalami kasih tak bersyarat hanyalah orang yang menikah. Bukankah itu berarti orang-orang yang tidak menikah kurang penting di mata Allah? Benar bahwa seseorang dapat mengalami kasih Allah di dalam pernikahan melalui hubungan kasih di antara suami dan istri yang seharusnya mencerminkan kasih Kristus kepada jemaat. Tetapi, sama benarnya dengan itu, seseorang juga dapat mengalami kasih Allah sebagai orang yang tidak menikah, melalui hubungan dengan sesama orang percaya dalam jemaat Tuhan.

Meskipun dengan sedih kita harus mengakui, banyak di antara kita gagal menunjukkan kasih Kristus dalam komunitas orang percaya, solusinya bukanlah dengan mencari kasih itu di dalam pernikahan atau berpikir bahwa kasih semacam itu hanya ada di dalam pernikahan. Solusinya adalah kembali kepada Sumber Kasih—Allah sendiri. Hanya di dalam Allah, kita dapat melihat kasih yang benar dan sempurna, yang telah ditunjukkan-Nya di dalam Pribadi Yesus Kristus, yang telah mengasihi kita dan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.

4 Pelajaran Penting Dalam Pernikahan

Penulis: Henry Jaya Teddy

empat-pelajaran-penting-dalam-pernikahan

Tak terasa sudah delapan tahun lamanya saya menikah. Sebagaimana semua orang lain pada umumnya, saya memimpikan rumah tangga yang bahagia bersama pasangan tercinta. Kami sudah lama berpacaran, dan saya merasa sangat siap untuk memulai hidup baru bersamanya. Namun, begitu menikah, saya harus berhadapan dengan banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Berikut ini beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan selama delapan tahun berumah tangga. Semoga bermanfaat bagi kamu yang sedang memikirkan untuk berumah tangga atau yang sedang menjalaninya.

1. Pasangan kita, sama seperti kita, bukanlah orang yang sempurna

Setiap orang yang menikah, tentu berharap bahwa pasangannya akan dapat melengkapi hidupnya. Namun kita perlu menyadari bahwa pasangan kita, sama seperti kita, adalah manusia yang terbatas. Kita sama-sama adalah manusia berdosa yang membutuhkan kasih karunia Tuhan.

Saya sendiri sudah menerapkan prinsip saling terbuka sejak awal masa pacaran. Saya mau pasangan saya mengetahui kelebihan dan kekurangan saya sejelas-jelasnya, demikian pula sebaliknya. Harapan saya, saat menikah nanti kami sudah siap untuk bisa saling menerima.

Namun, sekalipun kami sudah demikian terbuka, ternyata saat masuk dalam pernikahan, masih ada banyak hal yang harus kami sesuaikan. Kami sering bentrok di masa-masa awal pernikahan kami. Butuh waktu sekitar tiga tahun lamanya bagi saya untuk bisa benar-benar mengerti karakter dan kebiasaan istri saya. Inilah proses yang Tuhan izinkan kami alami, agar kami tidak bergantung pada kekuatan sendiri atau pasangan kami, tetapi pada anugerah Tuhan semata.

2. Menikah tidak membuat hidup kita jadi lebih mudah

Banyak orang muda berpikir, alangkah indahnya bila saya bisa menikah, hidup bersama orang yang saya cintai selamanya. Banyak yang bahkan menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Rasanya sengsara betul kalau harus hidup tanpa pasangan di dunia ini. Namun, kenyataannya menikah tidak membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Ada banyak masalah baru yang muncul justru setelah menikah. Hubungan yang harus kita perhatikan tidak hanya hubungan dengan pasangan kita, tetapi juga hubungan dengan mertua, ipar, dan segenap keluarga besar yang ada. Belum lagi saat kita dikaruniai anak.

Dalam kasus saya, Tuhan juga mengizinkan saya menderita penyakit autoimun (kelainan sistem tubuh yang menyerang organ tubuh sendiri) setelah saya menikah. Butuh dua tahun lebih bagi saya untuk bisa kembali beraktivitas normal. Bila saya hidup sendiri, kesulitan itu cukup saya tanggung sendiri. Karena saya menikah, kesulitan saya juga menjadi kesulitan keluarga saya. Berat sekali harus mengalami kondisi yang tidak berdaya sebagai seorang kepala rumah tangga. Namun, melalui masa-masa yang tidak mudah itu, kami (saya, istri, anak, dan keluarga) belajar untuk tetap saling mendukung dan mengandalkan pertolongan Tuhan.

3. Pernikahan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik

Terlepas dari segala kesulitannya, bila kita punya sikap yang mau diajar, pernikahan dapat menjadi sarana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Melalui pernikahan, Tuhan mengajar saya untuk tidak lagi berfokus pada diri sendiri. Menikah membuat saya harus memperhatikan orang lain: istri saya, keluarganya, juga anak saya. Bukan hanya sekali seminggu, atau kapan saja saya ingin, tetapi setiap hari! Apalagi ketika Tuhan lagi-lagi mengizinkan keluarga kami menghadapi kesulitan. Anak saya juga jatuh sakit. Ia mengalami spasme infantil (kejang akibat gelombang otak yang tidak normal, yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan). Hingga hari ini, ia masih harus menjalani terapi untuk bisa beraktivitas seperti anak yang normal.

Masa-masa sulit yang Tuhan izinkan saya alami membuat saya banyak berpikir ulang tentang arti hidup. Sebelum menikah, saya hanya memikirkan tentang diri sendiri dan semua yang ingin saya capai. Namun kini, saya menyadari bahwa hidup baru berarti ketika dijalani sesuai kehendak Sang Pencipta. Saya diciptakan Tuhan bukan untuk mementingkan diri sendiri, melainkan untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain.

4. Mengutamakan Tuhan adalah dasar keberhasilan sebuah rumah tangga

Merenungkan delapan tahun yang sudah saya lewati dalam pernikahan membuat saya yakin bahwa dasar terkuat bagi keberhasilan sebuah rumah tangga adalah mengutamakan Tuhan. Saya dan istri saya punya banyak perbedaan. Tidak mudah untuk hidup bersama. Namun, ada satu hal yang mengikat kami, yaitu janji kami di hadapan Tuhan. Kami menyatakan janji nikah kami tidak hanya di hadapan satu sama lain, tetapi juga di hadapan Tuhan. Dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, tidak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Ketika Tuhan menjadi yang utama, fokus kami bukanlah apa yang kami ingin atau tidak ingin lakukan, melainkan apa yang diinginkan Tuhan melalui pernikahan kami.

Saya ingat kisah yang dicatat dalam Daniel 3 tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka yakin Tuhan berkuasa melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala, namun bila Tuhan tidak melepaskan pun, mereka tidak goyah, karena mereka yakin Tuhan tahu cara terbaik untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Daniel 3:17-18). Saya tahu Tuhan bisa saja memberikan saya pernikahan yang mudah. Dia juga berkuasa untuk meluputkan saya dari penyakit autoimun dan segala macam masalah dalam rumah tangga saya. Namun, dalam hikmat-Nya, Tuhan mengizinkan saya mengalami semua masalah itu, supaya saya dapat makin bergantung kepada-Nya, dapat terus bertumbuh di dalam firman-Nya, dan bahkan dapat terus menyatakan kuasa Kristus yang selalu menaungi saya dalam setiap kelemahan yang ada (2 Korintus 12:9).

Seberapa Dalam Kita Harus Mengasihi?

Penulis: Melisa Marianni Manampiring

seberapa-dalam-harus-mengasihi

Bicara tentang kasih memang mudah. Namun, seberapa dalam sebenarnya kita harus mengasihi? Dalam pengalamanku, ketika kita benar-benar berhadapan dengan orang yang perilakunya menjengkelkan, tidak menghargai kita, apalagi pernah melukai hati kita, sungguh kasih itu tidak mudah dipraktikkan. Pertanyaan yang kemudian muncul, seberapa dalam sebenarnya kita harus mengasihi? Apakah mengasihi itu berarti menerima begitu saja perilaku orang lain yang tidak baik?

Aku terkesan dengan kasih yang ditunjukkan oleh seorang sahabatku. Ia adalah salah seorang pemimpin di kantornya, membawahi beberapa staf. Suatu kali, hasil kerja salah satu staf itu tidak memuaskan. Sebagai pemimpin, wajar jika ia jengkel dan memarahi staf tersebut. Namun, sahabatku itu mengambil sikap yang berbeda. Ia tidak langsung marah-marah, tetapi bertanya dengan baik, apa alasan staf tersebut tidak bekerja seperti biasanya hari itu. Sikapnya itu membuka dialog panjang yang membuat ia mengetahui bahwa staf tersebut sedang mengalami masalah keluarga yang cukup serius. Tidak sampai di sana, sahabatku ini berusaha memberikan bantuan yang ia bisa. Ia tidak “membenarkan” perilaku stafnya, namun ia memaafkan staf itu dengan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Ia tidak hanya peduli dengan hasil kerja staf itu, tetapi juga peduli dengan masalah yang dihadapinya. Aku belajar bahwa kasih itu berarti:

1. Tidak menilai orang lain hanya berdasarkan tindakannya saja.

Kita semua pernah mengalami masa-masa berat yang membuat kita tidak bisa berpikir jernih dan akhirnya melakukan sesuatu yang kita sesali. Adakalanya kita sendiri menjadi “orang sulit” bagi sesama kita. Betapa kita akan merasa sangat dikasihi ketika pada masa-masa semacam itu ada orang yang tidak menghakimi kita, tetapi sebaliknya mau mempercayai dan memahami kita, bahkan menolong kita untuk keluar dari masalah yang membuat kita tidak berdaya.

2. Menerima orang lain bukan karena perbuatannya, melainkan karena kasih Tuhan.

Sebagai manusia kasih kita terbatas. Sering kita merasa sudah tidak sanggup lagi mengasihi seseorang atau merasa bahwa orang tertentu tidak layak kita kasihi. Namun, kasih yang diajarkan Kristus bukanlah kasih yang bergantung pada layak tidaknya seseorang dikasihi. Kristus tidak menghendaki kita mengasihi sesama hanya ketika perbuatan orang itu membuat kita ingin mengasihinya. Dia sendiri mengasihi kita ketika kita masih berdosa (itu berarti saat perilaku kita sangat tidak menyenangkan bagi-Nya!), dan Dia memerintahkan kita untuk mengasihi seperti teladan-Nya (Roma 5:8; Yohanes 15:12).

3. Rela mengambil risiko untuk berkorban.

Memilih untuk percaya dan memahami situasi orang lain itu tidak mudah. Pasti ada yang harus dikorbankan. Pengorbanan itu bisa berupa waktu, tenaga, materi, bahkan harga diri kita. Lebih mudah untuk memutuskan hubungan dan tidak lagi berurusan dengan orang yang sudah menyusahkan kita. Namun, kalau kita kembali memandang kepada Kristus yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk memperdamaikan hubungan kita dengan Allah, kita tahu bahwa pengorbanan kita sebenarnya belum ada apa-apanya. Kristus mati supaya kita bisa hidup bagi Dia (2 Korintus 5:15), menyatakan kasih-Nya yang mau berkorban itu kepada orang-orang di sekitar kita.

 

“Kasih itu sabar ; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu.
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
1 Korintus 13:4-7

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Apa yang sering membuat kita sulit mengasihi orang lain? Bagaimana kita dapat mengatasi kesulitan-kesulitan itu dan menaati perintah Yesus untuk saling mengasihi?

Saat Dia Berkata Dia Tidak Mencintaiku

Penulis: Joanne Lau
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When He Said He Didn’t Like Me

When-He-Said-He-Did-Not-Like-Me

Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.–1 Yohanes 4:19

Punya pasangan. Banyak di antara kita, termasuk aku, sangat menginginkannya. Pada satu masa dalam hidupku, aku sangat menyukai seorang pemuda, sebut saja namanya Andy.

Aku ingat betapa aku memimpikan hari saat Andy akan mengajakku kencan, dan betapa aku ingin menghargai setiap momen yang kami lewatkan bersama. Kami sudah bersahabat di sekolah, dan sekalipun ada suara dalam hatiku yang berkata bahwa hubungan kami hanya sebatas sahabat, aku tetap saja suka dekat-dekat dengan dia dan selalu ingin mendapatkan perhatiannya.

Suatu malam, seperti biasa kami jalan-jalan bersama. Singkat cerita, Andy mengatakan dengan sangat jelas bahwa hubungan kami hanya sebatas sahabat, dan dia menganggapku sebagai seorang saudara perempuannya di dalam Kristus.

Harapanku hancur berkeping-keping. Malam itu aku hampir tidak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mata, aku teringat akan apa yang dia katakan. Aku menangis sepanjang malam. Aku merasa tidak mungkin mencintai orang lain lagi dalam hidup ini. Aku merasa frustrasi, marah, dan sangat sedih. Parahnya lagi, aku tidak bisa menceritakan apa yang kurasakan itu kepada siapa pun, termasuk kepada teman-temanku. Tidak pernah aku merasa sendirian seperti itu. Dalam rasa putus asaku, aku menangis di hadapan Tuhan, mohon agar Dia mengaruniakan sukacita dan damai di dalam hatiku. Setelah itu, aku pun tertidur, lelah dengan kesedihanku sendiri.

Keesokan paginya, setelah tidur selama tiga jam saja, aku terbangun. Yang mengejutkan, perasaan pedih dan frustrasi yang dalam itu telah lenyap, digantikan perasaan sukacita dan bahkan sebentuk kasih persaudaraan yang baru untuk Andy (bagiku ini sangat aneh, mengingat beberapa jam sebelumnya aku masih merasa begitu marah terhadapnya!)

Pertama-tama, aku harus menegaskan di sini bahwa aku bukan seorang perempuan super. Aku tahu betul bahwa mustahil bagiku bisa mengasihi Andy seperti itu dengan kekuatanku sendiri. Kebanyakan kita mengasihi dengan syarat-syarat tertentu. Kita mengasihi mereka yang membuat kita merasa berharga, jantung kita berdebar-debar, dan hati kita berbunga-bunga.

Satu-satunya alasan aku bisa mengasihi Andy sebagai seorang sahabat adalah karena Tuhan telah lebih dulu menyatakan kasih-Nya kepadaku. Sekalipun kata-kata Andy menyakitiku dan harapanku tidak terwujud, aku masih dapat mengasihinya karena Tuhan mengingatkan aku betapa Dia telah lebih dulu mengasihiku.

Tuhan telah menunjukkan kasih-Nya yang rela berkorban di dalam Yesus. Dia tidak menghukum kita yang sudah berdosa, namun justru memberikan anugerah yang sebenarnya tidak pantas kita terima. Dia bisa saja tidak mau lagi berurusan dengan kita, namun Dia malah mengulurkan tangan-Nya kepada kita, mengasihi kita agar kita juga dapat belajar mengasihi orang yang telah menyakiti kita, baik secara sengaja atau tidak.

Pengalaman telah mengajarkan aku bahwa memiliki pasangan itu tidak akan pernah bisa memuaskan kebutuhan kita untuk dicintai sepenuhnya. Hanya Tuhan yang dapat mengasihiku dengan sempurna. Kasih-Nya tidak akan pernah mengecewakan, tidak pernah gagal, dan selalu memuaskan hidupku.

Hari ini, aku memiliki pernikahan yang bahagia. Namun, meskipun pernikahan itu indah, pernikahan tetap tidak dapat memuaskan kita sepenuhnya. Pernikahan juga tidak dapat mengambil alih posisi Tuhan di dalam hidupku.

Tuhan selalu hadir, menanti kita untuk berseru kepada-Nya dan untuk menerima kasih-Nya. Semua kerinduan dan kebutuhan kita akan dipuaskan oleh kasih-Nya. Maukah kamu mengalami kasih-Nya hari ini juga?

Kepada Semua Pemuda Kristen yang Masih Lajang

Oleh Jeffrey Siauw

Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang pemuda lajang. Ya, kamu tidak salah baca: Tidak ada yang salah bila kamu tidak menikah, belum punya pacar, atau bahkan bila kamu belum pernah berpacaran sama sekali.

Benar bahwa Allah menciptakan kita dengan kebutuhan akan relasi dan kemampuan untuk tertarik pada lawan jenis. Sebab itu, sangatlah wajar kalau di samping relasi keluarga dan pertemanan, kita juga menginginkan relasi pernikahan (dan pacaran yang menuju ke pernikahan). Tetapi, nilai hidup kita sama sekali tidak berkurang atau bertambah dengan status hubungan yang kita miliki!

Salah satu pergumulan terbesar yang dihadapi para lajang adalah masalah kesepian (ini juga pergumulan saya saat masih lajang). Sebagian orang mencoba menghadapi kesepian dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan—berpikir bahwa dengan begitu ia bisa melupakan kesepiannya. Sebagian lainnya menghadapi kesepian dengan berbelanja banyak barang dan mencari banyak hiburan—berpikir bahwa ia bisa menemukan kepuasan hidup di dalamnya. Sebagian lagi membiarkan diri jatuh dalam dosa seksual, dari pornografi sampai pelacuran, dan berpikir bahwa keintiman palsu itu akan mengobati kesepiannya.

Banyak pemuda yang masih lajang memilih hidup dengan pola pikir “kalau saja”. Kalau saja saya punya pacar … Kalau saja saya menikah … pasti saya tidak akan kesepian! Atau, pola pikir “sudah seharusnya”. Sudah seharusnya setiap orang (paling tidak saya) punya pacar, menikah, punya anak, dan seterusnya. Sungguh tidak adil bila saya tidak mendapatkan semua itu!

Memelihara pola pikir yang demikian hanya akan menghasilkan kepahitan. Mengapa? Karena ketika kita hanya berfokus pada apa yang tidak kita miliki, kita tidak lagi bisa melihat kebaikan Tuhan di dalam hidup kita. Yang kita lihat hanyalah apa yang kurang dalam hidup kita, bukan apa yang menjadi tujuan Tuhan di dalam hidup kita. Kita menutup mata pada pekerjaan Tuhan yang justru bisa dilakukan karena status lajang kita. Padahal, Rasul Paulus sendiri menuliskan tentang sisi positif tidak menikah, mengingatkan jemaat bahwa orang-orang yang tidak menikah dapat dengan bebas memberi diri sepenuhnya untuk Tuhan dan pekerjaan-pekerjaan-Nya (1 Korintus 7:32-35). Kita menunda untuk bahagia karena merasa bahwa kita hanya bisa bahagia kalau punya pacar dan menikah. Yang paling celaka adalah jika kita membiarkan dosa akhirnya menguasai hidup kita. Dosa bukan saja akan menghancurkan hidup kita sekarang, tetapi juga akan ikut menghancurkan relasi dengan pasangan kita kelak, jikalau suatu saat Tuhan memberikannya.

Saya ingin berseru kepada semua pemuda Kristen yang masih lajang: mari isi masa lajangmu dengan cara yang berbeda. Jangan biarkan kesepian menguasai hidupmu dan kepahitan mengakar di dalam hatimu. Ingatlah bahwa kesepian itu bukan akibat kamu tidak punya pacar atau istri. Kesepian adalah masalah yang dihadapi semua orang, baik menikah atau tidak. Bahkan Yesus pun mengalami kesepian ketika murid-murid-Nya tidak berjaga-jaga dengan Dia di saat paling genting (Matius 26:36-40). Tetapi, kesepian adalah pencobaan, bukan dosa. Kesepian hanya akan menjadi dosa ketika kita membiarkan hidup kita dikuasai olehnya.

Ketika kesepian datang kembali, jadikanlah perasaan itu sebagai “pengingat” untuk membangun relasi dengan keluarga dan teman-teman. Pergunakanlah masa lajangmu untuk mengejar kekudusan. Kekudusan bukan sekadar menjauhi dosa (itu pasti salah satunya), tetapi juga membangun kehidupan yang diinginkan Tuhan. Belajarlah untuk percaya bahwa anugerah Tuhan itu selalu cukup bagimu dengan atau tanpa pasangan. Mintalah Tuhan mengubahmu menjadi seorang pria yang sepenuh hati mengasihi Dia dan mengasihi sesama.

Bila kelak kamu punya pasangan, kamu akan melihat dengan jelas bahwa belajar mengasihi Tuhan dan sesama semasa lajang akan menolongmu untuk mengasihi pasanganmu setelah kamu menikah. Saya sendiri menemukan bahwa ketika saya belajar mengasihi sesama sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, saya bisa lebih mengasihi istri saya apa adanya, sebagaimana Kristus mengasihi jemaat-Nya.

Bila kamu tidak punya pasangan pun, ingatlah bahwa hidupmu dapat tetap indah dan berarti di mata Tuhan dan semua orang yang melihatmu.

Baca juga: Kepada Semua Pemudi Kristen yang Masih Lajang

6 Cara Pandang Baru Tentang Kebebasan

Penulis: Jonathan Chandranegara

cara-pandang-tentang-kebebasan

Pernahkah kamu merasa terpenjara oleh peraturan? Hak-hakmu tidak dianggap, dan kamu harus mengikuti apa dipandang baik oleh mereka yang mengaku sebagai “wakil Tuhan”. Aku pernah. Orangtuaku bisa dibilang over-protective dalam membesarkan aku. Sebagai seorang muda, aku ingin mencoba berbagai hal yang baru, punya banyak teman, terlibat dalam beragam komunitas dan kegiatan. Tetapi, tidak selalu aku mendapat lampu hijau dari orangtuaku. Sering aku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa dewasa jika dilarang ini dan itu.

Dalam memberi nasihat, orangtuaku sering menggunakan firman Tuhan. Adakalanya aku bingung, mengapa ada begitu banyak aturan dalam firman Tuhan. Apakah Tuhan ingin mengikat kita? Anehnya, aku membaca dalam Yohanes 8:31-32, Yesus sendiri berkata kepada murid-murid-Nya, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Jelas sekali Yesus mengatakan, firman Tuhan itu akan menolong kita mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan membuat kita menjadi orang-orang yang bebas merdeka. Bila firman Tuhan itu tidak pernah salah, maka mungkin pemahamanku tentang “kebenaran” atau “kebebasan” itu yang keliru.

Berikut ini beberapa pelajaran yang mengubah cara pandangku tentang kebebasan:

1. Kebebasan itu tidak berarti hidup tanpa aturan

Ketika negara kita mengumumkan kemerdekaannya, para pendiri negara kita tidak mendirikan sebuah negara tanpa aturan. Yang mereka lakukan adalah menolak aturan negara penjajah yang dibuat untuk merugikan mereka. Mereka sendiri kemudian bersepakat untuk sama-sama tunduk di bawah aturan-aturan negara yang baru, aturan yang dibuat untuk kebaikan bangsa Indonesia. Sama halnya dengan itu, menjadi orang Kristen yang merdeka berarti kita menolak hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan, kebiasaan-kebiasaan lama yang “menjajah” hidup kita, dan memilih untuk hidup menurut kebenaran kerajaan Allah. Freedom is not a FREE Kingdom.

2. Peraturan dibuat untuk membebaskan kita

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul: kok bisa aturan itu memerdekakan kita? Yang namanya peraturan kan sifatnya mengikat, kita jadi tidak bebas lagi. Nanti dulu. Bayangkan jika peraturan ditiadakan dari dunia ini. Negara mana pun “bebas” menyerang negara lainnya. Orang “bebas” mengambil milik orang lain. Tidak ada rambu-rambu apa pun di jalanan. Apakah kita akan bisa hidup dengan bebas? Dijamin, kita akan hidup dalam kekacauan, banyak kekhawatiran, dan rasa tidak aman. Peraturan menolong kita untuk bisa hidup dengan bebas dengan memastikan tidak ada manusia yang bertindak sewenang-wenang dan mencuri hak milik orang lain. Demikian pula firman Tuhan diberikan untuk memastikan kita tidak hidup menurut kecenderungan hati kita yang berdosa. Bukan untuk membuat kita sengsara, melainkan untuk menolong kita agar bisa melakukan apa yang benar.

3. Apa yang tidak bisa kita kontrol akan mengontrol kehidupan kita

Aku pernah kesal karena dilarang untuk main game lama-lama, apalagi ikut komunitas dengan hobi yang sama. Namun, pengalaman mengajarku bahwa ketika kita tidak dapat mengatur atau mengontrol hobi kita, hobi itu akan mengontrol hidup kita. Aku jadi tidak punya cukup waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah, istirahat, dan melakukan banyak hal lainnya. Tadinya aku merasa peraturan itu menyusahkan, namun ternyata, peraturan itu dapat melindungi aku agar aku tidak diikat atau dijajah oleh hobiku.

Ada banyak hal di dunia ini yang sepertinya menawarkan kebebasan, namun sebenarnya akan membuat kita terikat atau kecanduan. Uang, seks, obat-obatan, dan sebagainya. Tuhan mau kita menaati firman-Nya agar kita tidak diikat atau dijajah oleh semua itu.

4. Makin besar ketaatan kita, makin besar pula kebebasan yang dapat kita raih

Aku pernah membaca tentang kisah hidup seorang petugas kebersihan yang kemudian menjadi seorang pemimpin perusahaan besar. Seorang pemimpin tentunya memiliki kebebasan yang jauh lebih besar daripada seorang petugas kebersihan. Namun, ada proses yang panjang sebelum kebebasan itu ia raih. Ia melakukan semua tugasnya secara bertanggung jawab, mengikuti semua aturan yang ada, dan bahkan memberikan hal terbaik yang bisa ia lakukan, lebih dari yang diminta. Kebebasan itu tidak akan ia nikmati bila ia hanya mau hidup sesuka hatinya sendiri.

Firman Tuhan diberikan untuk kebaikan kita. Makin kita taat, makin kita menerapkan kebenaran-Nya dalam hidup kita, makin leluasa pula kita menjalani hidup yang berhasil di mata Tuhan. Pemazmur berkata, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. …hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar” (Mazmur 19:8-12).

5. Kita benar-benar bebas bukan saat kita dapat melakukan apa saja yang kita sukai, melainkan saat kita dapat melakukan apa yang seharusnya kita lakukan

Umumnya orang berpikir bebas itu berarti bisa melakukan apa yang kita suka. Tetapi, sebenarnya kita baru benar-benar bebas jika kita dapat melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Mengapa? Karena dosa sudah merusak selera kita terhadap kebenaran. Apa yang kita sukai, belum tentu benar. Misalnya saja, kita suka belanja tanpa punya perencanaan. Sepertinya kita “bebas”, bisa memakai uang menurut keinginan hati kita. Padahal sebenarnya, tanpa disadari, kita sedang diperbudak oleh nafsu kita. Akibatnya, kita mungkin jadi menunggak uang kuliah, tidak punya cadangan uang saat sakit, tidak bisa membantu keluarga atau sahabat yang ditimpa musibah, dan sebagainya. Sebaliknya, ketika kita melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dengan uang kita, yaitu menggunakannya secara bertanggung jawab (merencanakan penggunaannya dengan bijak, membayar kewajiban kita pada waktunya, bahkan menyisihkan sebagian untuk ditabung), kita akan punya banyak kebebasan. Kita bisa memberi persembahan dengan setia dan sukacita, kita bisa membeli apa yang kita butuhkan pada waktunya, bahkan kita bisa membantu keluarga dan orang-orang yang membutuhkan.

Rasul Paulus sangat menyadari bahwa tanpa pertolongan Tuhan, ia tidak akan mampu melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ia ingin melakukan apa yang baik di mata Tuhan, tetapi sebagai manusia berdosa, ia justru lebih sering melakukan yang sebaliknya (lihat Roma 7:18-20). Kita semua membutuhkan firman Tuhan untuk menolong kita melakukan apa yang benar, yang seharusnya kita lakukan, sebagai anak-anak Tuhan.

6. Kita benar-benar bebas bukan dengan menuntut hak-hak kita, melainkan dengan menyerahkan hak-hak kita ke tangan yang tepat.

Seringkali kita mungkin berpikir bahwa bebas merdeka itu artinya bisa menuntut semua hak kita. Hak untuk melakukan apa yang kita mau, hak untuk bermain sepuas hati, hak untuk bergaul dengan semua orang, hak untuk menang, dan sebagainya. Padahal, saat kita sibuk menuntut “hak-hak kita”, kita malah akan banyak tertekan, penuh rasa kesal dan jengkel karena merasa hak-hak kita tidak dipenuhi. Akhirnya, kita malah tidak bisa bebas melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Menuntut “hak-hak kita” justru dapat menghilangkan semangat kita, menghambat hubungan kita dengan Tuhan, menghalangi proses pendewasaan kita, dan mengikat kita dari kebebasan yang sebenarnya.

Kita perlu menyadari bahwa yang punya kuasa untuk mengendalikan hidup ini adalah Tuhan, bukan kita. Ketika kita menyerahkan hak-hak kita ke tangan Tuhan, kita dapat menjalani hari-hari kita dengan penuh kelegaan. Tidak masalah bila keinginan kita belum terpenuhi. Tidak masalah bila kita belum berhasil. Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi anak-anak-Nya pada waktu-Nya (Pengkhotbah 3:11; 1 Petrus 5:6). Kebenaran firman Tuhan ini akan menolong kita untuk tidak diperbudak oleh pemikiran-pemikiran yang keliru. Kita dapat selalu bangkit dan terus bersemangat melakukan apa yang benar karena kita tahu Tuhan sedang membentuk kita dalam setiap proses yang Dia izinkan kita alami.

Untuk direnungkan lebih lanjut:
Apa makna kebebasan sejati bagimu? Apakah saat ini kamu sedang mengalaminya?

Saat Aku Merasa Tidak Dicintai

Penulis: Kelty Tjhin

saat-aku-merasa-tidak-dicintai

Semua manusia haus akan perhatian, cinta, dan kasih sayang. Tidak terkecuali diriku. Namun, sejak kecil hingga SMA, aku sangat sering merasa tidak dicintai, terutama oleh mamaku sendiri. Orang terdekat yang paling kuharapkan mencintaiku apa adanya itu sering sekali memarahi dan memukulku. Kata-katanya selalu menyakiti hatiku.

Kerap aku membandingkan mamaku dengan mama temanku. Aku sangat heran mengapa mamaku tidak bisa mencintaiku seperti mama temanku mencintai anaknya. Aku merasa marah, hatiku tidak terima. Tidak hanya kepada mama, tetapi juga kepada Tuhan yang memberiku mama seperti itu. Aku menyesal terlahir dalam keluargaku. Aku ingin punya mama yang penyayang, lembut, dan mendukung semua yang kulakukan. Aku tidak pernah menemukan semua itu dalam diri mamaku. Aku bahkan merasa keberadaanku, kehidupanku, sebenarnya tidak pernah diharapkan oleh mamaku.

Lulus SMA, aku pindah dari Aceh ke Jakarta untuk melanjutkan studi di sebuah universitas swasta. Setiap kali liburan, aku biasanya kembali ke Aceh. Suatu kali aku bertemu dengan seorang guru sekolahku dulu. Beliau memiliki perjalanan hidup yang mirip denganku. Ia membagikan sebuah ayat Alkitab yang tidak pernah aku lupakan: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yeremia 1:5).

Ayat itu adalah firman Tuhan kepada nabi Yeremia, yang merasa masih muda dan bukan siapa-siapa. Air mataku mengalir membacanya. Tuhan yang mengasihi dan merencanakan kehidupan nabi Yeremia juga adalah Tuhan yang sama, yang mengasihi dan merencanakan kehidupanku, bahkan sebelum aku dikandung oleh mamaku. Tuhan mengenal dan memperhatikan hidupku. Yesus bahkan mati untuk menggantikan hukumanku sebagai orang berdosa. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat dicintai.

Perlahan, Tuhan juga menyadarkanku bahwa aku pun sebenarnya dicintai oleh mamaku. Setelah kepergian papaku, mama harus membesarkan aku seorang diri. Setiap kali ia memandang wajahku, mungkin hatinya sakit mengingat wajah laki-laki yang telah meninggalkannya. Namun, ia tetap memeliharaku. Sikapnya memang keras, karena seperti itulah ia dulu dibesarkan oleh orangtuanya. Ia memang tidak bisa menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang sama seperti mama temanku, tetapi satu hal menjadi makin jelas bagiku: ia mencintaiku.

Aku pun mulai belajar untuk menerima mamaku seutuhnya sebagaimana Tuhan juga telah menerimaku seutuhnya. Aku tidak lagi menunggu mama mengekspresikan cintanya dengan cara yang aku mau. Aku mulai mengambil inisiatif untuk menunjukkan cinta kepada mamaku lebih dulu. Aku berusaha melakukan apa yang aku bisa untuk membuat mama tahu bahwa ia sangat dicintai. Tidak saja olehku, tetapi juga oleh Tuhan.

Hidup tidak akan pernah sama lagi ketika kita berjumpa dengan Tuhan secara pribadi dan mengetahui bahwa Dia sangat mengasihi kita. Firman-Nya akan mengubah cara kita berpikir dan bertindak. Kita tidak akan lagi menangisi diri karena merasa tidak dicintai. Sebaliknya, karena kita tahu bahwa kita dicintai Tuhan, kita akan makin mencintai orang-orang di sekitar kita. Kita ingin mereka juga tahu bahwa mereka sangat dicintai Tuhan.

Sebuah Surat Untuk Istriku (Kelak)

Penulis: Shawn Quah, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: A Letter To My Future Wife

A-letter-to-my-future-wife

Yang terkasih Istriku (kelak),

Rasanya seperti mimpi, sudah sehari kita menjadi suami-istri. Memandangmu selangkah demi selangkah mendekati altar dalam balutan gaun pengantin nan anggun kemarin, membuatku tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan yang telah membawa dirimu ke dalam hidupku.

Saat aku masih sendiri dan merasa kesepian, aku memohon kepada Tuhan untuk memberiku pasangan yang dapat mengisi hidupku dengan arti. Betapa salahnya berdoa seperti itu. Melalui seorang sahabatku, Tuhan mengajarkan apa yang seharusnya aku doakan. Aku seharusnya memohon Tuhan membentuk karakterku agar aku dapat menjadi pasangan yang tepat bagi istriku kelak.

Kita sudah saling mengenal cukup lama sebelum aku benar-benar memperhatikanmu. Kita bersahabat, masing-masing melayani Tuhan dalam bidang kita masing-masing. Aku sangat senang ketika kita mulai dekat dan aku tidak bisa berhenti tersenyum sendiri (apakah rasa sukaku saat itu terlalu kentara?)

Tuhan tahu betapa aku membutuhkan pasangan sepertimu, seseorang yang tidak hanya dapat menyemangatiku, tetapi juga yang bisa menjadi tempat aku membagikan pikiran dan perasaanku yang terdalam. Kamu juga sangat cocok dengan ibuku (sejak awal aku sudah yakin bahwa ibuku akan menyukaimu!), dan perhatianmu kepada adikku yang punya kebutuhan khusus sangat menyentuhku. Masakanmu yang enak jelas menjadi nilai tambah yang merebut hati keluarga besarku.

Harus kuakui, kamu tidak sama seperti sosok istri yang dulu aku bayangkan dalam puisi-puisiku—kamu jauh lebih baik. Tuhan tahu bahwa kamu adalah orang yang akan dapat menantangku untuk bertumbuh menjadi pribadi yang Dia inginkan.

Bulan-bulan menjelang pernikahan kita, aku sempat ragu apakah kita akan menjadi pasangan yang serasi—kita berdua tahu betapa berbedanya tipe kepribadian kita. Namun, kamu selalu mengingatkanku bahwa ini adalah perjalanan yang kita sepakati bersama, dan Yesus akan memelihara kita melaluinya. Dengan komitmen itu, kita bisa mengatasi setiap perbedaan pendapat yang muncul di antara kita. Proses yang kita lalui bersama juga menolongku lebih memahami kebiasaan-kebiasaanmu yang unik, hal-hal yang kamu anggap penting, juga besarnya cintamu kepadaku. Jelas kita juga telah melewati masa-masa yang sulit, namun ada banyak pelajaran berharga yang kudapatkan melaluinya, dan aku tidak akan pernah mau menukarkannya dengan apa pun juga.

Suaraku agak gemetar saat mengucapkan janji nikah kita kemarin, kamu tentu memperhatikannya (aku bahkan melihatmu menahan tawa). Belum pernah aku sebahagia itu dalam hidupku. Aku ingin bersamamu hingga tua dan keriput nanti. Bersama-sama kita akan saling berbagi rumah yang berantakan (kalau kita nanti punya anak, semoga), saling berbagi tawa, keluhan, air mata, dan juga kata-kata penuh cinta.

Aku berdoa agar Tuhan menuntunku untuk makin mengenal Dia setiap hari, supaya aku akan menjadi suami yang dapat memimpin, mengasihi, dan menghargaimu sebagaimana yang Dia kehendaki.

Suamimu (kelak)
Februari 2016

Rasaku luruh seperti daun yang jatuh
ditiup angin yang menemani dalam sepi
jauh dari keramaian, berpayung senyap
kukatup mata dan merajut harap
ingin berjumpa dia yang ‘kan buatku lengkap

Hingga hangat menyapa meski sekejap
mengembalikan rasaku yang hampir saja lenyap
perlahan kubuka mata, tersenyum pada cahaya
sambut Pribadi yang menghujaniku dengan cinta
lega menemukan, di dalam Dia sajalah aku lengkap

4 Cara Berhenti Mengasihani Diri

Penulis: Yahya A. Tioso

Aku punya banyak sekali alasan untuk mengasihani diri sendiri. Salah satu alasan terbesar adalah kondisiku yang tunarungu sejak lahir. Aku tunarungu berat dan tidak bisa bicara hingga usia sekolah. Orangtuaku kemudian menyekolahkan aku ke SLB-B Pangudi Luhur. Sejak kecil, aku selalu merasa paling nyaman di rumah bersama keluargaku dan di sekolah bersama teman-teman tunarungu. Aku sering merasa minder jika harus berinteraksi di tempat umum, misalnya saat memesan makanan di food court. Aku takut ditertawakan karena merasa suaraku bakal terdengar aneh dan orang tidak akan mengerti apa yang kukatakan. Sebab itu, aku sering meminta orang tua atau kakak memesankan makanan untukku. Aku menempatkan diri sebagai “korban”, pihak yang harus dikasihani orang lain, dan tidak berani melakukan banyak hal. “Apa boleh buat, aku ‘kan tunarungu, jadi memang perlu ditolong,” alasanku setiap kali. Saat itu aku tidak menyadari bahwa sikap mengasihani diri sendiri yang terus menerus dilakukan setiap hari justru bisa merusakku, membuatku kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dan talenta yang Tuhan berikan di dalam diriku.

Tetapi, Tuhan bekerja menunjukkan kasih dan kuasa-Nya yang tidak terbatas di dalam hidupku yang serba terbatas. Dia mengajarku untuk mengganti kebiasaan mengasihani diri sendiri itu dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai firman-Nya. Kupikir, empat kebiasaan berikut ini dapat menolongmu juga setiap kali perasaan mengasihani diri datang menghampiri:

1. Mengandalkan Tuhan dalam segala hal.
Setelah lulus dari SLB-B, orangtua menyekolahkan aku ke SMP Jubilee, sebuah sekolah normal yang tidak menyediakan penanganan khusus bagi siswa tunarungu seperti aku. Sekolah ini termasuk sekolah nasional plus yang memiliki kurikulum bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meski aku tahu orangtuaku telah banyak berdoa minta petunjuk Tuhan sebelum menyekolahkan aku di sana, tetap saja aku merasa takut. Aku merasa orang normal pasti jauh lebih pintar dan lebih kuat daripada aku.

Benar saja, saat mulai bersekolah di sana, aku merasa sangat frustrasi. Dunia tunarungu dan dunia normal itu sangat berbeda. Aku selalu merasa sendirian dan terkucil. Tidak ada teman sekelas yang mengajakku berbicara atau mendekati aku. Aku sama sekali tidak mengerti pelajaran yang diberikan karena gurunya berbicara terlalu cepat. Semua di luar kemampuanku. Aku sering sekali menangis di toilet. Di sekolahku dulu, para guru berbicara pelan-pelan dan aku mengerti pelajaran yang mereka berikan. Teman-teman tunarungu selalu memahamiku, bisa bermain dan ngobrol denganku. Semua menyenangkan dan mudah.

Suatu kali aku memberanikan diri mengangkat tangan dan meminta guru mengulangi kalimat yang tidak aku mengerti. Spontan, teman-teman sekelas tertawa mendengar suaraku. Aku menjadi makin minder dan menutup diri. Aku tidak mau berbicara lagi di sekolah. Kesehatanku mulai terganggu karena stres. Aku sering sakit diare. Namun, ketika dibawa ke rumah sakit, obat diare yang diberikan tidak efektif. Dokter menyimpulkan bahwa penyebab sakitku bukanlah bakteri, melainkan stres.

Di puncak stres aku minta orangtuaku untuk memindahkan aku ke sekolah khusus tunarungu. Mereka tidak setuju. Mereka bertanya, apa yang kubutuhkan agar bisa tetap bertahan. Aku langsung menjawab, “Satu teman.” Mereka pun mengajakku berdoa dengan sungguh-sungguh, meminta satu teman dari Tuhan.

Dan, Tuhan mendengar! Tanpa kuduga, ada satu teman yang kemudian menghampiriku dan bertanya apakah aku bisa bicara.

“Bisa sedikit,” kataku.

Teman itu sangat baik dan mau belajar berkomunikasi denganku. Ia minta aku mengulangi ucapanku jika ia tidak dapat menangkap maksudku. Bila setelah tiga kali diulang ia masih juga belum mengerti, barulah aku menulis apa yang kumaksudkan di sebuah buku. Demikian pula sebaliknya. Jika ia berbicara kepadaku dan aku tidak memahami maksudnya hingga tiga kali, ia juga akan menuliskannya di sebuah buku. Perlahan-lahan aku mulai berani bicara lagi.

Sungguh ini merupakan jawaban Tuhan yang luar biasa dan sangat sesuai dengan kebutuhanku untuk beradaptasi di sekolah. Aku terkagum-kagum. Pengalaman itu membuat imanku bertumbuh makin kuat. Aku percaya bahwa Tuhan itu hidup, dan Dia mendengarkan doa anak-anak-Nya. Aku dapat bergantung kepada-Nya dalam segala hal. Ketika masalah datang, aku belajar untuk tidak mengasihani diri, tetapi segera datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya.

2. Mengucap syukur.
Sikap mengasihani diri membuat kita berfokus pada hal-hal yang negatif dan lalai memperhatikan kebaikan-kebaikan Tuhan. Kita sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita menyalahkan situasi, menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan.
“Mengapa Tuhan menciptakan aku seperti ini?”
“Mengapa aku tidak secantik/setampan orang lain?”
“Mengapa Tuhan mengizinkan aku dilahirkan di keluarga ini dan bukan di keluarga itu?”
“Mengapa orang tuaku tidak sebaik orangtua temanku?”
“Seandainya aku seperti orang itu, hidup pasti jauh lebih menyenangkan dan lebih mudah.

Mengucap syukur adalah sikap hati yang mengubah fokus tersebut.

Tuhan membuka mataku untuk melihat bahwa sebenarnya ada begitu banyak hal yang bisa kusyukuri setiap hari. Dia memberiku keluarga yang menyayangi aku, tempat untuk tinggal, makanan yang cukup, kesempatan bersekolah, teman-teman yang baik, guru-guru yang sabar, dan banyak lagi.

Yang lebih luar biasa, Dia mengizinkan aku mengenal-Nya dan mengalami kasih-Nya. Firman Tuhan memberitahukan bahwa Dia menciptakan setiap orang—termasuk aku—secara istimewa (Mazmur 139:13-14). Karena begitu besar kasih-Nya kepada dunia ini, Dia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Kalau Tuhan itu tidak baik, tidak mengasihi kita, Yesus tidak akan turun ke dunia dan mati di kayu salib, dan kita tidak akan punya kesempatan menjadi anak-anak-Nya.

Ketika aku mulai berfokus pada kebaikan Tuhan, hatiku menjadi ringan dan penuh sukacita. Masalah yang aku hadapi jadi tampak sangat kecil dibandingkan dengan semua yang sudah Tuhan berikan kepadaku. Masalah-masalah itu memang tidak serta-merta pergi, tetapi aku mendapatkan kekuatan untuk menghadapinya bersama dengan Tuhan. Fokusku tidak lagi tertuju pada masalah, tetapi pada kebesaran Tuhan.

3. Menyerahkan hak pribadiku kepada Tuhan.
Sikap mengasihani diri membuat kita merasa berhak untuk diperhatikan, ditolong, dilayani, diberi perlakuan istimewa. Kita berfokus pada diri kita sendiri, dan kecewa ketika orang lain tidak memenuhi harapan kita. Aku pribadi mendapati diriku sering mengeluh, ”Ah, mengapa tidak ada orang yang memperhatikan aku, membantu aku, dan mau menjadi temanku?” Secara tidak sadar aku berharap orang lain melakukan ini dan itu untukku karena aku tunarungu. Ketika semua harapan itu tidak terwujud, aku menjadi sangat stres.

Aku ingat saat aku mulai kuliah di Malaysia dan untuk pertama kalinya harus hidup jauh dari keluarga dan teman-temanku di sana. Aku merasa sangat tertekan dan sulit beradaptasi. Aku berdoa, tetapi situasiku tidak kunjung membaik. Di tengah rasa frustrasi itu, Tuhan berbicara di dalam hatiku, “Anak-Ku, serahkan semua hak pribadimu kepada-Ku. Hak untuk diperhatikan. Hak untuk dibantu. Hak untuk mempunyai teman.”

Aku sungguh terkejut dengan permintaan Tuhan yang menurutku aneh dan sangat bergumul untuk menanggapi-Nya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk taat. Aku menyerahkan semua hak pribadiku kepada Tuhan, sekalipun aku belum begitu memahami apa artinya itu.

Keesokan harinya, hatiku berubah drastis. Aku menjadi sangat tenang. Pikiranku yang tadinya frustrasi kini diliputi damai sejahtera. Aku baru mengerti maksud Tuhan. Menyerahkan hak pribadi berarti aku tidak lagi menuntut orang lain untuk membantu, memperhatikan, dan memberiku perlakuan yang khusus karena situasiku. Sebaliknya, aku belajar percaya bahwa Tuhan akan menyediakan semua kebutuhanku pada waktu-Nya. Sebuah perubahan pola pikir yang radikal! Namun melaluinya, aku sungguh mengalami bagaimana Tuhan menyediakan semua yang terbaik bagi anak-anak-Nya!

4. Menerima dan mempercayai apa yang Tuhan rancangkan atas hidupku.
Waktu kecil, aku sering bertanya kepada mama, “Mengapa aku dilahirkan tunarungu?” Mama biasanya menjawab, “Oh karena mama sakit waktu hamil.” Tetapi, jawaban itu tidak pernah memuaskan aku. Suatu hari, aku bertanya lagi. Mama membuka Alkitab, lalu mengajak aku membaca Yohanes 9:1-3 bersamanya:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Jawaban Yesus sungguh luar biasa. Banyak yang berpikir bahwa cacat adalah hukuman atas dosa, baik dosa orang cacat itu sendiri ataupun dosa orangtuanya. Namun, Yesus menegaskan bahwa kondisi cacat itu berasal dari Allah sendiri, karena ada pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam diri orang tersebut.

Hatiku diliputi rasa tenteram mendengar jawaban itu. Aku menjadi tenang karena tahu bahwa aku bukan sebuah produk gagal. Tuhan punya rencana dengan menciptakan aku dalam kondisi yang tunarungu. Aku belum mengerti bagaimana pekerjaan Tuhan dapat dinyatakan di dalam hidupku, tetapi aku berusaha belajar dan melakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Aku mau hidup untuk menyenangkan Tuhan.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendapatkan lebih banyak teman dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Tanpa disangka, aku bahkan menjadi langganan juara 1. Aku kemudian mendapat kesempatan belajar di luar negeri, bekerja, dan bahkan membangun rumah tangga sendiri.

Menengok ke belakang, aku mulai mengerti bagaimana Tuhan menyatakan pekerjaan-Nya melalui hidupku. Jika orang normal bisa berprestasi, itu hal biasa. Tetapi, jika orang seperti aku yang susah berkomunikasi dan sulit menangkap apa yang disampaikan guru di kelas sampai bisa meraih juara pertama, jelas itu bukan hal yang bisa kulakukan dengan kemampuan sendiri.

Aku pernah melihat orang yang tidak punya tangan, tetapi bisa melukis dengan kaki jauh lebih indah daripada orang normal, membuat banyak orang takjub. Kupikir, Tuhan memakai orang cacat dan mereka yang dianggap lemah oleh dunia untuk menyatakan bahwa Dia sungguh HIDUP. Kesadaran ini membuatku tidak lagi punya alasan untuk mengasihani diri sendiri. Kelemahanku ternyata justru menjadi sarana Tuhan menyatakan kebesaran-Nya kepada banyak orang. Tuhan sanggup memakai situasi terburuk untuk mendatangkan kebaikan bagi anak-anak-Nya (Roma 8:28).

Temukan kisah lengkapnya di http://godisnotdeaf.com/