Ketika Aku Iri dengan Teman Baikku

ketika-aku-iri-dengan-teman-baikku

Oleh Natalie Hanna Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Was Jealous of My Best Friend

Aku mau mengakui sesuatu: Aku pernah iri dengan teman baikku.

Aku tidak bermaksud untuk iri dengannya, dan aku pun bingung bagaimana itu dapat terjadi. Kami tumbuh besar bersama dan berbagi banyak hal sejak kami masih kecil: sukacita dan tangisan, berbagai rahasia dan mimpi-mimpi kami. Kami memiliki banyak kesamaan—minat, kepribadian, dan apa yang kita sukai banyak yang sama. Bahkan ada orang-orang yang menyangka kami adalah saudara kandung.

Namun keadaan berubah di tahun 2013 ketika aku mulai merasakan ketegangan di dalam pertemanan kami. Itu dimulai dari sebuah pemikiran kecil: “Mengapa dia menjadi bagian dari kepanitiaan (acara gereja) dan aku tidak?” Pemikiran ini berkembang menjadi semakin besar seiring bulan berganti.

Ketika aku mencoba untuk menyingkirkan pemikiran itu, dengan harapan itu secara ajaib menghilang, Iblis, dengan caranya yang halus, mulai mempengaruhi pikiran dan emosiku. Seiring dengan teman baikku menjadi semakin terkenal di gereja, Iblis membuatku merasa inferior, membuatku menjadi iri hati dan kepahitan dengan teman baikku. Dia cantik, disukai banyak orang, berbakat . . . dan sempurna; aku selalu ingin menjadi seperti dia, dan dia mempunyai segala hal yang aku inginkan.

Aku menjadi frustrasi dengan Tuhan, dan berkali-kali bertanya kepada-Nya mengapa Dia sepertinya baik dengan teman baikku, tapi tidak denganku. Mengapa dia mendapat begitu banyak kesempatan untuk melayani? Mengapa aku tidak berhasil dalam pelayananku sedangkan dia menerima begitu banyak berkat? Mengapa semua orang sepertinya menyukai dia lebih daripadaku? Aku terus mencoba membuktikan diriku pada orang lain, bersusah payah “menjadi lebih baik” dan mencoba menjadi lebih baik daripada dia. Sebelum aku menyadarinya, aku telah terjebak dalam iri hati dan ambisiku yang egois; aku telah terjebak dalam keinginan dagingku.

Sebenarnya, aku telah kehilangan arti dari sukses yang sejati. Untuk menjadi sukses di gereja, aku pikir, adalah tentang seberapa aktifnya diriku. Aku pikir aku perlu melayani di banyak kelompok, merencanakan banyak acara untuk jemaat pemuda, para mentor anak-anak, berbicara dengan lancar di pertemuan pemuda, dan menyentuh banyak jiwa. Tapi Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa bukan apa yang kelihatan yang berarti. Dia menunjukkanku apa artinya menjadi seorang pengikut Kristus yang sukses.

Dalam Galatia 5:19-21, rasul Paulus menyebutkan perbuatan daging yang akan membuat kita tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Intinya, jika kita terus-menerus berkubang di dalam perlakuan-perlakuan tersebut, itu menunjukkan bahwa kita belum tunduk kepada penebusan Kristus dan pembaharuan Roh Kudus.

Lawan dari hidup oleh keinginan daging adalah hidup oleh Roh (Galatia 5:22-26). Ini ditunjukkan ketika hidup kita menunjukkan buah Roh dan bukan dosa, termasuk saling iri hati satu sama lain. Seiring Tuhan bekerja di dalam hidup kita dan membaharui kita, kita bertumbuh di dalam kerinduan kita untuk menyenangkan Dia dan mencerminkan hati-Nya dan karakter-Nya melalui hidup kita.

Dengan mengizinkan diriku untuk dikuasai oleh perasaan iri hati, secara tidak sadar aku sedang memberikan diriku kepada dunia; aku tidak mengizinkan Tuhan untuk bekerja di dalamku dan melalui aku. Aku tidak hidup menurut Roh.

Selama masa ini, teman baikku merasakan ketegangan di dalam pertemanan kami juga. Kami berhenti bertemu karena kami sama-sama tahu bahwa ada sesuatu yang salah—tapi kami tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Aku menceritakan kepada mentorku di gereja tentang rasa frustrasi yang aku alami. Kalau bukan karena mentorku yang mengajak kami untuk bersama-sama membicarakan masalah ini, kami mungkin telah melepaskan pertemanan kami seluruhnya.

Membutuhkan banyak doa dan percakapan dari hati ke hati sebelum akhirnya kami mendapatkan terobosan. Itu bukanlah percakapan “mari-duduk-dan-ngobrol-tentang-hidup” yang biasanya terjadi. Melainkan, kami harus dengan jujur memberitahu satu sama lain tentang apa yang kami tidak senangi dan berbagai rasa sakit yang kami rasakan.

Bagiku, aku harus menjaga ekspektasiku akan pertemanan ini dan ekspektasiku akan teman baikku. Aku perlu mengerti bahwa seberapa banyak pun kesamaan yang sepertinya kami miliki, Tuhan mempunyai rencana yang berbeda bagi kami. Kekuatan kami berbeda dan aku tidak seharusnya membandingkan diriku dengan dirinya. Melainkan, aku harus mendukungnya—tidak hanya dalam pelayanannya, tapi dalam semua hal di mana dia terlibat di dalamnya.

Sejujurnya, itu sama sekali tidak mudah. Tapi melalui waktu ini, aku belajar untuk menahan setiap pemikiran negatif dan menyerahkannya kepada Tuhan. Butuh begitu banyak malam yang menyakitkan dan malam-malam di mana aku tidak bisa tidur untuk akhirnya aku dapat melepaskan semua emosi dan membangun kembali pertemanan kami dari awal.

Tapi aku sekarang dapat berkata bahwa semuanya itu tidaklah sia-sia. Sudah 3 tahun berlalu sejak hal itu terjadi, dan dengan anugerah Tuhan, aku sangat senang untuk mengatakan bahwa kini pertemanan kami telah menjadi lebih dewasa, dan kami sama-sama bertumbuh dan mengarungi hidup lebih kuat daripada sebelumnya.

Sharing: Kesuksesan apa yang pernah kamu raih dan syukuri dalam hidupmu?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201608

Kesuksesan apa yang pernah kamu raih dan syukuri dalam hidupmu? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…

Mengapa Tuhan Memanggil Pulang Mike Mohede di Usia Mudanya?

Oleh Charles

Mike Mohede, penyanyi berusia 32 tahun yang menjadi pemenang Indonesian Idol musim kedua, dikabarkan meninggal dunia hari ini di RS Premiere Bintaro akibat serangan jantung.

Aku sangat terkejut ketika mendengar berita dukacita ini. Ini adalah kali kedua dalam dua hari terakhir aku mendengar kabar tentang musisi Kristen muda berbakat yang dipanggil Tuhan di usianya yang masih begitu belia karena serangan jantung. Seorang yang lain itu adalah Obedh, teman dari temanku, yang berusia 28 tahun ketika Tuhan memanggilnya pulang ke surga beberapa hari yang lalu. Mengapa Tuhan memanggil mereka pulang secepat itu?

Kedua orang ini memiliki banyak kesamaan: mereka sama-sama adalah musisi berbakat, mereka adalah seorang Kristen yang taat, begitu banyak teman dan kerabat yang menyatakan rasa belasungkawa di akun media sosial mereka, dan mereka berdua dipanggil Tuhan di usianya yang masih begitu muda. Lalu mengapa Tuhan mengizinkan ini semua terjadi? Tampaknya ini adalah sebuah pertanyaan yang juga ditanyakan banyak orang saat ini, termasuk diriku.

Berita dukacita itu membuatku mencari lebih jauh tentang pribadi Mike, dan aku menemukan sebuah kesaksian hidup yang pernah dibagikan oleh Mike. Aku begitu terharu ketika membaca kata-kata Mike di dalam kesaksian tersebut.

Semua yang saya inginkan selama saya hidup Tuhan selalu berikan. Saya cuma berdoa minta pada Tuhan dan Tuhan kasih. Saya hidup sebenarnya cuma modal dengkul.

Mike adalah seorang yang menyadari bahwa segala yang dia miliki dalam hidup ini adalah pemberian Tuhan. Meskipun tentunya, perjalanan hidupnya tidaklah selalu mulus. Dia menceritakan bagaimana pergumulannya ketika ayahnya dipanggil ke rumah Bapa di surga ketika dia masih berusia 18 tahun. Namun itu tidak membuatnya kehilangan pengharapan.

Awalnya saya nggak tahu mau ngapain? Papa itu tonggak kehidupan kami. Dari situ saya dapat satu hikmat. Saya sudah punya talenta yang Tuhan beri, punya keluarga yang selalu dukung saya. Kenapa harus sedih? Bukankah saya punya sosok Bapa yang lebih dahsyat, Bapa yang lebih mengenal saya, yang selalu lebih tahu saya. Saya punya pengharapan baru untuk menjalani hidup ini.

Ketika aku membaca kesaksian Mike di atas, aku menyadari bahwa aku mungkin tidak tahu jawaban dari pertanyaan yang menjadi judul artikel ini: “Mengapa Tuhan memanggil pulang Mike Mohede di usia mudanya?” Tetapi aku tahu satu hal: Bapa di surga lebih mengenal Mike, dan Dia tahu yang terbaik untuk Mike. Kita mungkin tidak dapat mengerti mengapa itu adalah yang terbaik untuk Mike, tapi Tuhan tahu. Dia lebih mengenal Mike lebih daripada siapapun di dunia ini. Dan itu cukup untuk memberikan kita pengharapan baru untuk menjalani hidup ini.

Sebagai orang percaya, aku percaya Mike dan Obedh saat ini telah ada di tempat yang lebih baik, sebuah kediaman yang kekal di surga bersama Allah, karena itu adalah janji yang Tuhan berikan kepada anak-anak-Nya.

“Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” (2 Korintus 5:1)

Mike dan Obedh telah mengakhiri pertandingan mereka dengan baik dalam hidup ini. Sedangkan bagi kita, Tuhan masih mengaruniakan kita kehidupan, untuk kita hidupi sebaik-baiknya bagi Dia, hingga waktunya Tuhan memanggil kita kembali kepada-Nya.

Selamat jalan Mike dan Obedh, kami akan senantiasa merindukanmu. Terima kasih untuk teladan iman yang telah kamu tinggalkan bagi kita semua.

Baca Juga:

Soul Surfer: Kehilangan Lengan, Tapi Merangkul Lebih Banyak Orang

Soul Surfer adalah film yang diangkat dari kisah nyata Bethany Hamilton, seorang peselancar profesional dari Amerika Serikat. Selamat dari serangan ikan hiu saat sedang berlatih, Bethany harus kehilangan lengan kirinya. Kejadian itu membuatnya sangat terpukul. Ia sempat bertanya kepada pemimpin komselnya, “Mengapa Tuhan mengizinkan ini terjadi? Aku tidak mengerti.”

Soul Surfer: Kehilangan Lengan, Tapi Merangkul Lebih Banyak Orang

soul-surfer

Ulasan oleh Kelty Tjhin

Soul Surfer adalah film yang diangkat dari kisah nyata Bethany Hamilton, seorang peselancar profesional dari Amerika Serikat. Selamat dari serangan ikan hiu saat sedang berlatih, Bethany harus kehilangan lengan kirinya. Kejadian itu membuatnya sangat terpukul. Ia sempat bertanya kepada pemimpin komselnya, “Mengapa Tuhan mengizinkan ini terjadi? Aku tidak mengerti.”

Namun, serangkaian peristiwa kemudian mengubahkan cara pandang Bethany. Ia akhirnya kembali bangkit, tidak membiarkan kekurangan fisik melumpuhkan hidupnya. Perjuangan hidupnya menginspirasi banyak remaja yang memiliki kelemahan fisik. Dalam sebuah wawancara Bethany menyatakan tidak menyesali kehilangan lengannya:

“Aku tidak ingin mengubah apa yang terjadi padaku, karena itu akan membuatku kehilangan kesempatan ini, di hadapan kamu semua, untuk merangkul lebih banyak orang daripada yang dapat aku rangkul saat aku mempunyai dua lengan…”

Film ini menyajikan hal yang sangat realistis. Bukankah dalam kehidupan ini, kita sering mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi? Kisah Bethany mengingatkan kita untuk tidak menyamakan perspektif manusia dengan perspektif Allah. Apa yang dilihat baik oleh kita belum tentu baik di mata Allah. Namun, apa yang baik di mata Allah sudah pasti baik untuk kehidupan kita.

Aku teringat janji Tuhan kepada umat-Nya dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Dengan mengimani bahwa Tuhan memiliki rancangan yang baik bagi anak-anak-Nya, kita dapat menghadapi setiap situasi yang tidak ideal dengan sikap yang positif. Kita tidak menyerah, kita terus berjuang, karena kita tahu Tuhan dapat memakai kelemahan kita untuk menguatkan orang lain, membawa mereka untuk melihat kehebatan kuasa-Nya!

Informasi Film:

Judul : SOUL SURFER
Sutradara : Sean McNamara
Penulis : Sean McNamara, Deborah Schwartz, Douglas Schwartz , dan Michael Berk
Tahun rilis : 2011

Baca Juga:

Tuhan Tahu Aku Butuh Penyakit Ini Agar Aku Berbalik Kepada-Nya

Dahulu, Mary adalah seorang yang amat berambisi. Mary ingin menjadi mahasiswi terbaik sehingga semua orang melihatnya. Namun kemudian keadaannya menjadi berbalik, ketika dia mulai kehilangan semua hal yang dia miliki: pekerjaan impiannya, pacarnya, dan kesehatannya.

Tuhan Tahu Aku Butuh Penyakit Ini Agar Aku Berbalik Kepada-Nya

tuhan-tahu-aku-butuh-penyakit-ini

Oleh Mary Ann
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Pneumonia Was What I Needed

Dahulu, aku adalah seorang yang amat berambisi. Saat kuliah, aku menikmati hidup dan bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kuinginkan—terutama ketika itu berhubungan dengan nilai. Aku ingin menjadi mahasiswi terbaik sehingga semua orang melihatku. Ambisiku ini membuatku mengorbankan banyak hal yang lain: Tuhan, keluarga, dan teman-teman. Namun kemudian keadaannya menjadi berbalik, ketika aku mulai kehilangan semua hal yang aku miliki—pekerjaan impianku, pacarku, dan kesehatanku.

Segera setelah lulus kuliah, sebuah perusahaan desain yang selalu kuimpi-impikan menjadi tempatku bekerja menolak lamaranku sebagai desainer grafis. Akibatnya, aku harus bekerja di perusahaan keluargaku sebagai seorang asisten penjualan. Sangat sulit bagiku untuk menceritakan pekerjaanku kepada teman-temanku karena mereka tahu betapa aku ingin bekerja di perusahaan desain tersebut. Hal itu bahkan menjadi semakin sulit ketika sebagian besar dari mereka mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang terkenal. Seakan segalanya belum cukup buruk, pacarku—yang aku pikir akan mendampingiku seumur hidup—memutuskanku beberapa bulan kemudian. Aku patah hati.

Ketika aku bergumul untuk move on, luka-luka lama dan berbagai perasaan datang kembali. Tiba-tiba aku mengingat kembali masa-masa di mana orang lain menyakitiku, dan aku menjadi kepahitan dengan mereka. Aku menjadi sangat sadar akan segala ketidakmampuan dan kegagalanku, dan menjadi marah kepada Tuhan karena mengizinkan semua hal ini terjadi padaku dalam waktu yang bersamaan. Aku kehilangan mimpi dan semangatku. Aku merasa seperti terombang-ambing di tengah kehidupan yang tidak bertujuan.

Jadi aku mulai menjauh dari keluarga dan teman-temanku, dan mendekam di kamarku untuk menangisi dan mengasihani diriku sendiri dalam kesedihan. Aku bergumul dengan banyak suara yang ada di kepalaku yang mengatakan bahwa aku payah dalam segala hal dan aku tidak akan pernah sukses.

Sementara itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap menjalani rutinitas Kristenku: aku pergi ke gereja, bersaat teduh, dan berdoa . . . tapi yang kurasakan hanyalah kekosongan. Aku tahu aku melakukan semua ini sebagai sebuah tugas, dan bukan karena aku secara sungguh-sungguh ingin mencari Tuhan. Bagaimana mungkin aku dapat mencari Tuhan ketika segala hal dalam hidupku seakan berantakan? Aku kecewa kepada Tuhan dan menjadi pahit hati kepada-Nya. Mengapa Dia harus mengambil semuanya dariku? Aku berulang kali mengatakan pada diriku bahwa Tuhan memegang kendali dan Dia tidak akan menyakitiku, tapi sekarang, aku begitu bergumul untuk mempercayai hal itu ketika semua yang aku lihat hanyalah hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku.

Suatu malam, aku bahkan bermimpi buruk dikejar oleh roh jahat. Ketika aku bertanya kepadanya mengapa dia mengejarku, roh jahat itu menjawab bahwa itu karena aku “lemah”. Aku melihat diriku berlari di dalam mimpi itu, ketakutan dan sendirian, sampai aku masuk ke dalam sebuah gereja untuk mencari perlindungan.

Suatu hari, aku menderita demam tinggi, batuk parah, dan sesak nafas saat terbangun dari tidurku. Semua gejala ini terus terjadi sepanjang minggu. Ketika aku pergi ke dokter, dokter memintaku untuk melakukan X-ray. Kemudian diketahuilah bahwa aku menderita pneumonia akut. Aku langsung diopname di rumah sakit dan diberikan pengobatan.

Malam itu, berbagai pertanyaan tentang kematian dan kehidupan berlarian di pikiranku: bagaimana jika aku tiba-tiba berhenti bernafas dan mati malam itu? Sudahkah aku memuliakan Tuhan dalam hidupku? Apakah Dia senang denganku? Ketika aku memikirkannya, aku berseru kepada Tuhan, mengakui kesalahan-kesalahanku dan kegagalan-kegagalanku. Saat itulah aku menyadari bahwa aku telah mengejar hal-hal yang salah selama ini. Yang kucari adalah kebahagiaan dalam karirku dan cinta yang diberikan oleh manusia, dan aku telah kehilangan sukacita dari mengikut Tuhan. Aku telah kehilangan arti sesungguhnya dari hidup—untuk mengikut Dia dan merindukan kehadiran-Nya.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar menginginkan kehadiran dan kasih Tuhan. Ketika aku berdoa, tiba-tiba aku merasakan sebuah kedamaian di dalam hatiku. Aku langsung tahu bahwa Tuhan hadir dalam ruangan itu bersamaku dan Dia mendengar semua tangisanku.

Setelah 3 hari di rumah sakit, dokter mengizinkanku untuk pulang. Aku pulang ke rumah beberapa hari kemudian dan diberikan 3 jenis obat yang berbeda untuk aku minum. Ketika aku kembali lagi untuk pemeriksaan X-ray yang terakhir, aku diberitahu bahwa aku telah sembuh. Pneumonia akut yang kuderita telah sirna! Aku tidak dapat mempercayainya. Tuhan telah mendengar doa-doaku dan menyembuhkanku sepenuhnya.

Aku bersyukur kepada Tuhan bukan hanya karena Dia telah menyembuhkan fisikku, tapi juga karena Dia memberikanku sebuah terobosan spiritual di tengah masa-masa sulit dalam hidupku. Aku merasa diperbarui dan diberikan kekuatan oleh kasih dan kebaikan-Nya di dalam hidupku. Aku belajar untuk mencari Dia, menginginkan Dia setiap hari, dan bersyukur bahkan di tengah masa-masa sulit kehidupan.

“Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab,
Aku akan menyertai dia dalam kesesakan,
Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.
Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia,
dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku.”
(Mazmur 91:15-16)

Baca Juga:

Tuhan Akan Menuntun Kita Melalui Kabut Kehidupan

Janji Tuhan buat kita anak-anak-Nya bukanlah jalan yang mulus tanpa lobang ataupun kerikil. Janji Tuhan kepada kita adalah bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Tuhan Akan Menuntun Kita Melalui Kabut Kehidupan

menuntun-melalui-kabut

Oleh Denissa K.

Kabut sering kita jumpai di daerah berdataran tinggi, misalnya di gunung. Kabut sering dimaknai negatif. Mengapa? Karena ketika kabut turun, pandangan akan terhalang. Jarak pandang yang biasanya bisa mencapai ratusan meter mungkin berkurang hingga hanya 1-2 meter karena terhalang oleh kabut. Kabut seringkali juga menjadi penyebab kecelakaan, misalnya mobil yang jatuh ke lereng atau menabrak tepi gunung atau pohon karena pengemudi tidak dapat melihat jalan dengan jelas.

Bulan lalu, aku berkesempatan untuk naik gunung bersalju dan bermain ski di daerah gunung tersebut. Hari pertama sampai ketiga di gunung tersebut cuaca sangat cerah, sehingga permainan ski dapat dilakukan dengan sangat lancar dan menyenangkan. Ketiga hari pertama tersebut aku hanya mengitari tempat yang sama dan dikategorikan sebagai rute pemula. Pada hari keempat, seorang teman yang sudah cukup mahir bermain ski mengajakku untuk mencoba rute yang lebih sulit dari rute sebelumnya karena harus melewati lembah. Aku tertantang dan akhirnya pagi hari keempat, kami melewati rute tersebut. Pada percobaan pertama aku berhasil tanpa jatuh!

Sore harinya, kami menantang seorang pemula yang lain untuk bersama-sama dengan kami melewati rute yang sama yang kami lewati pada pagi tadi. Namun berbeda dengan pengalamanku di pagi hari, perjalanan di sore itu membuat aku jatuh berkali-kali bahkan hampir jatuh melewati batas penghalang. Rute yang sama tidak menjamin jalan yang aku lalui selalu mulus. Mengapa demikian? Karena sore itu kabut tebal menutupi pandanganku. Aku panik, hilang arah, lupa ke arah mana aku harus berbelok. Aku takut!

Bukankah kehidupan kita juga demikian? Kita sering bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidupku?” atau “Jalan mana yang harus aku lalui?” Lalu Tuhan menjawab doa kita dan memberikan petunjuk yang sangat jelas, “Tujuan kamu adalah X, arah untuk mencapai X adalah J, lalu K, dan L” (hanya penggambaran, diimajinasikan saja) dan kita katakan kepada Tuhan, “Baik, Tuhan, aku taat.” Namun, ketika kita berkata “aku taat”, itu bukan berarti jalan yang akan kita lalui pasti mulus.

Janji Tuhan buat kita anak-anak-Nya bukanlah jalan yang mulus tanpa lobang ataupun kerikil. Janji Tuhan kepada kita adalah bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Dalam perjalanan menuju tujuan yang telah Tuhan tetapkan bagi kita, mungkin kita akan jatuh berkali-kali, tersandung, hilang arah, lupa ke mana harus berbelok untuk mencapai tujuan kita, panik, ketakutan, ingin menyerah karena mata kita terhalang oleh kabut-kabut yang ada di depan kita. Namun Firman Tuhan mengingatkan kita: “Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).

Pengharapan yang kita nanti-nantikan sangat jelas. Tujuan hidup kita sangat jelas. Rute hidup kita sangat jelas, tetapi kabut sering kali menghalangi pandangan kita dan membuat kita tidak fokus lagi kepada tujuan. Kabut itu membuat kita lebih fokus pada penderitaan, kesulitan, ketidakjelasan arah hidup, dan lain-lain.

Kabut yang dialami setiap orang mungkin berbeda-beda. Kesulitan-kesulitan yang ada mungkin membuatmu ketakutan, khawatir, hilang harapan, panik, patah semangat, ingin menyerah, jatuh, ingin mundur, bahkan mungkin ingin segera mengakhiri perjalananmu. Namun, fokuslah kembali kepada tujuan yang Tuhan sudah sampaikan kepadamu, karena dalam perjalanan mencapai tujuan itu, Tuhan tidak pernah meninggalkanmu.

“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

Ketika mata kita terhalang oleh kabut kehidupan, Tuhan sendiri yang akan menuntun kita. Oleh karena itu, jangan menyerah! Di akhir perjalanan kita, Tuhan akan menyambut kita yang sudah dipilih-Nya dengan kemuliaan yang tidak tertandingi. Ubahlah kabut kehidupan (dalam bahasa Inggris kabut disebut “FOG”) menjadi fokus kepada Tuhan (Focus On God, akronim dari FOG). Tetaplah setia pada komitmen awal kita: Taat kepada Tuhan!

Tuhan memberkati dan menyertai kita.

Baca Juga:

Mengapa Tuhan Mengambil Sesuatu yang Telah Dia Berikan Kepadaku?

Priscilla begitu bersukacita ketika Tuhan memberikannya beasiswa yang diidam-idamkannya. Tapi, ketika Tuhan seolah akan mengambilnya kembali, dia begitu bergumul.

Mengapa Tuhan Mengambil Sesuatu yang Telah Dia Berikan Kepadaku?

mengapa-tuhan-mengambil

Oleh Priscilla G.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good People Suffer

Pernahkah kamu menyesal memberikan sebuah kesaksian?

Ketika aku berusia 19 tahun, aku berdoa dengan sangat keras untuk mendapatkan beasiswa di sebuah universitas lokal. Hanya 3 persen mahasiswa yang diterima dalam program tersebut setiap tahun. Pengajuan beasiswaku diterima meskipun tidak semua hasil ujianku mendapatkan nilai A. Jadi aku memberikan sebuah kesaksian di sebuah pertemuan kelompok kecil, berterima kasih kepada Tuhan karena telah membukakanku pintu kesempatan ini.

Tapi kemudian, di semester pertama dan kedua, nilai-nilaiku tidak cukup baik dan aku diberikan surat peringatan—dua kali. Singkatnya, isi surat itu adalah: tingkatkan nilaimu atau kamu akan dikeluarkan dari program ini. Aku beralasan bahwa aku belum terbiasa dengan kehidupan universitas di semester pertama.

Aku melihat kembali caraku belajar dan mencoba untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas. Aku berusaha untuk mengatur waktuku dengan lebih baik. Aku pikir situasinya akan membaik.

Tapi itu tidak terjadi, dan surat peringatan kedua datang mengejutkanku. Aku tidak pernah mendapatkan satupun surat peringatan dalam seluruh pengalamanku bersekolah; tapi kini aku menerima 2 surat peringatan.

Setahuku, aku telah melakukan apapun yang aku bisa dan telah melakukan usaha terbaikku untuk mendapatkan nilai yang lebih baik di semester kedua. Jadi aku begitu bingung ketika melihat nilai akhirku setelah ujian.

Aku gagal paham kenapa nilaiku seburuk itu, di tengah semua hal yang telah kulakukan. Ya, aku tidak berharap mendapat nilai sempurna, tapi aku berharap mendapat nilai yang cukup baik. Aku bertanya dalam hati dan yakin bahwa aku telah melakukan yang terbaik yang dapat kulakukan. Aku mencoba bertanya kepada para profesorku—aku bahkan minta pemeriksaan ulang untuk ujian-ujianku, tapi nilainya tidak berubah. Kemudian, aku menyalahkan Tuhan, yang kepada-Nya aku berdoa untuk mendapatkan nilai yang baik.

Saat itu, aku menyesal telah memberikan kesaksian di awal. Aku pun bergumul untuk mencari maksud dari situasi yang kuhadapi. Aku bukannya tidak bersyukur kepada Tuhan ketika Dia memberikanku kesempatan untuk mengikuti program beasiswa ini. Jadi kenapa Tuhan mengambil sesuatu yang telah Dia berikan kepadaku?

Sejujurnya, Alkitab dan gereja bukanlah hal pertama yang kudatangi untuk mencari jawaban. Aku tidak yakin bagaimana respons orang-orang ketika aku berkata bahwa aku menyalahkan Tuhan. Jadi aku mengalihkan diriku ke Google dan mengetik “kekecewaan kepada Tuhan”, dan menemukan sebuah buku dengan judul yang sama oleh seorang penulis Kristen di Amerika bernama Philip Yancey.

Dalam buku itu, Philip Yancey membahas kitab Ayub, bersama dengan kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya di mana para nabi berseru kepada Tuhan. Setelah membaca buku itu, aku menjadi lebih memahami cara Tuhan bekerja.

3 Pelajaran dari Kitab Ayub

1. Orang benar juga dapat menderita

Philip Yancey menulis bahwa kitab Ayub “menggambarkan hal-hal terburuk yang terjadi kepada seorang yang terbaik”. Ayub adalah seorang yang benar dan tidak bersalah. Dia juga takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1). Allah bahkan mengatakannya sendiri, dan Dia berkata bahwa tiada seorangpun di bumi seperti Ayub (1:8, 2:3).

Tapi dalam sehari, Ayub kehilangan lembu sapi, keledai, kambing domba, unta-unta, dan seluruh anak-anaknya (1:14-19). Di hari yang lain, dia menderita barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya (2:7).

Ketiga temannya, Elifas, Bildad, dan Zofar menganggap bahwa penderitaan yang Ayub alami adalah akibat dosa yang dilakukannya, tapi Tuhan menegur mereka karena telah berkata hal yang tidak benar (42:7). Tuhan juga tidak menyebut dosa apapun yang menjadi alasan Ayub menderita.

Tidak semua penderitaan yang kita alami diakibatkan oleh dosa. Bagi beberapa dari kita, penderitaan yang kita alami bukanlah karena kesalahan kita.

Orang-orang kadang berkinerja buruk di sekolah atau pekerjaan karena mereka tidak bekerja dengan cukup keras, tapi tidak selalu demikian. Mungkin kamu memiliki pengalaman yang serupa denganku: kamu berpikir kamu telah belajar dengan keras, melakukan apapun yang kamu bisa, tapi itu masih tidak cukup untuk mendapatkan nilai yang cukup.

2. Respons kita akan penderitaan kita itu penting

Penderitaan yang Ayub alami diawali karena sebuah percakapan antara Tuhan dan Iblis. Philip Yancey menuliskan bahwa percakapan itu tergambar seperti sebuah taruhan.

Iblis berpendapat bahwa Ayub setia kepada Tuhan karena dia telah diberkati (1:10-11). Tantangan Iblis kepada Tuhan: ambillah semua yang Ayub miliki, dan dia pasti mengutuki Engkau (1:11, 2:5). Respons Tuhan: tantanganmu kuterima, tapi sayangkan nyawanya (1:12, 2:6).

Dan Ayub pun kehilangan segala kepunyaannya. “Ayub, tanpa diketahuinya, sedang beraksi di dalam sebuah pertunjukan kosmik di hadapan para penonton di dunia yang tak terlihat,” tulis Philip Yancey.

Alkitab mencatat contoh-contoh lainnya dari tindakan manusia yang memberikan dampak di dunia yang tak terlihat: sebuah perjalanan misi oleh para murid Yesus yang menyebabkan Iblis “jatuh seperti kilat dari langit” (Lukas 10:1-18), atau satu orang berdosa yang bertobat yang membuat sukacita di surga (Lukas 15:7).

Sulit dibayangkan bahwa respons seseorang dapat begitu berarti di alam spiritual, tapi itulah yang ditunjukkan oleh kitab Ayub. Respons kita akan ujian yang kita alami juga berarti. Ujian bagi Ayub adalah untuk mempercayai Tuhan di tengah segala hal yang terjadi, untuk mempertahankan imannya.

Dalam kasusku, aku percaya ujianku adalah menghadapi risiko dikeluarkan dari program beasiswa yang sangat kuinginkan. Akankah aku masih setia? Ataukah itu akan menunjukkan bahwa aku hanya percaya kepada Tuhan ketika hidupku baik-baik saja?

Aku tidak tahu apakah responsku akan ujian terhadap imanku itu mempengaruhi alam spiritual, tapi aku percaya bahwa responsku itu berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6). Aku percaya responsku juga berarti bagi-Nya karena itu meningkatkan imanku dan memperdalam hubunganku dengan Tuhan.

Hari ini, beberapa tahun setelah insiden tersebut, aku dapat mengatakan bahwa aku menjadi lebih tidak tergoyahkan ketika menghadapi masa-masa penderitaan yang lain, masa-masa ketika sepertinya Tuhan mengambil apa yang telah Dia berikan kepadaku. Aku masih menangis semalaman ketika mentorku di gereja (yang Tuhan tempatkan dalam hidupku) meninggalkan imannya dan meninggalkan gereja. Aku juga menangis ketika anggota keluargaku menderita keguguran setelah Tuhan memberikan janin di dalam rahimnya. Jika imanku diibaratkan sebuah rumah, rumah itu menjadi bergetar ketika diperhadapkan dengan masa-masa yang sulit ini, tapi rumah itu tidak runtuh, karena kepercayaan dasarku akan kebaikan Tuhan kini telah menjadi lebih kuat.

3. Ada beberapa hal yang takkan pernah dapat kita mengerti

Tuhan tidak menjawab pertanyaan Ayub, “Mengapa aku menderita?”. Melainkan, Tuhan menanyakan banyak pertanyaan kepada Ayub (Ayub 38-41).

Jawab Ayub: “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3).

R.C. Sproul, di dalam bukunya yang berjudul “Suprised by Suffering” (“Dikejutkan oleh Penderitaan”), menulis: “Satu-satunya jawaban yang Tuhan berikan kepada Ayub adalah pengungkapan akan siapa diri-Nya. Itu seperti Tuhan berkata kepadanya, ‘Ayub, aku ingin mendengar jawabanmu.’ Ayub tidak diminta untuk mempercayai sebuah rencana tapi mempercayai seorang Pribadi, Pribadi Allah yang berdaulat, bijaksana, dan baik.”

Jadi aku belajar untuk mengakui kekecewaanku, keraguanku, dan pertanyaanku kepada Tuhan, seperti yang Ayub lakukan (contoh: 7:11-21, 10:2-18). Aku memilih untuk melanjutkan mengambil tanggung jawab yang lebih besar di gereja, namun aku juga mengakui ketakutanku kepada Tuhan tentang bagaimana tanggung jawab tersebut mungkin mempengaruhi waktu belajar dan nilai-nilaiku. Atas anugerah Tuhan, nilai-nilaiku secara ajaib menjadi lebih baik di semester ketiga, yang ketika itu aku sedang menggumulkan kekecewaanku kepada Tuhan.

Faktanya, kita adalah manusia, bukan Tuhan. Persepsi kita akan waktu dan tempat berbeda dengan Tuhan yang Mahahadir yang melihat waktu dalam kekekalan yang tidak pernah berakhir.

Philip Yancey menulis: “Tidak peduli bagaimanapun kita mencoba merasionalisasikan, Tuhan kadang akan terasa tidak adil dari perspektif seseorang yang terjebak dalam waktu . . . Takkan pernah sampai sejarah berakhir, kita akan mengerti bagaimana ‘Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan’ (Roma 8:28).”

* * *

Atas anugerah Tuhan, aku memberikan kesaksian lagi setelah semester ketiga, tidak hanya karena berkat materi dari peningkatan nilai-nilaiku, tapi juga karena Tuhan yang menopangku dan meningkatkan imanku melalui semua yang aku alami.

Baca Juga:

Tugasku: Menangis dengan Orang yang Menangis

Michele adalah seorang jurnalis. Bagian dari tugasnya adalah mewawancarai keluarga yang sedang berduka untuk menuliskan kisah tentang mereka. Ada sebuah kisah yang dia tuliskan yang begitu berkesan baginya. Baca kesaksiannya selengkapnya dalam artikel ini.

Tugasku: Menangis dengan Orang yang Menangis

tugasku-menangis-dengan-orang-yang-menangis

Oleh Michele O.
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: Dealing with The “Death Knock”

Aku adalah seorang jurnalis. Bagian dari tugasku adalah mewawancarai keluarga yang sedang berduka untuk menuliskan kisah tentang mereka. Mendengar tugas itu saja sudah membuat kaki dan tanganku gemetar. Aku berdoa agar aku tidak mendapatkan tugas itu, tapi sayangnya tidak bisa, itu adalah bagian dari pekerjaanku. Aku harus menuliskan kisah tentang seorang anak muda yang menjadi korban tabrakan mobil, sebuah keluarga yang kehilangan seorang ibu karena seorang pengemudi mabuk, dan sebuah keluarga muda yang kehilangan anak mereka karena kanker.

Setiap kisah tersebut menggetarkan hati, dan setelah selesai menuliskannya, aku pulang ke rumah dan terbaring di tempat tidurku selama berjam-jam, tidak bisa tidur. Aku memikirkan apakah keluarga-keluarga tersebut tahu bahwa aku benar-benar turut merasakan kesedihan mereka, dan aku tidak sedang memanfaatkan momen duka mereka agar namaku dapat tercantum di halaman depan.

Dari beberapa kisah yang kutulis, ada satu kisah yang berkesan untukku. Itu adalah kisah tentang sebuah keluarga yang kehilangan seorang ibu dalam sebuah kecelakaan yang melibatkan seorang pengemudi yang mabuk.

Sebuah Keluarga yang Kehilangan Seorang Ibu

Suatu sore, aku sedang bekerja ketika aku diberitahu tentang sebuah kecelakaan yang terjadi tak jauh dari tempatku. Seorang pejalan kaki menderita luka di kepalanya setelah sebuah mobil menabraknya, dan dia telah dilarikan ke rumah sakit. Keesokan harinya, terungkap bahwa wanita itu adalah seorang seniman terkenal. Suaminya bekerja dalam sebuah organisasi seni, dan mereka mempunyai dua anak perempuan. Tak lama kemudian, terdengar kabar bahwa dia telah meninggal.

Hatiku sangat pilu ketika aku diminta untuk mendatangi keluarganya untuk menuliskan kisah tentangnya. Aku meninggalkan beberapa pesan suara ke telepon keluarganya dan mencoba untuk menghubungi salah satu temannya, tapi aku tidak berhasil terhubung dengan mereka. Jadi aku pergi ke rumah keluarganya malam-malam, di tengah hujan deras, berharap bertemu dengan keluarganya. Tapi mereka sedang tidak di rumah.

Aku kembali ke kantorku, dan ketika aku sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah, teleponku berdering. Suami wanita tersebut meneleponku balik. Dia terdengar tenang, namun mulutku terasa sekering kapas ketika mendengarnya. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku turut bersedih dengan apa yang telah terjadi, tapi kata-kataku seperti kosong dan kurang tulus.

Pria itu menceritakanku tentang istrinya, dan bagaimana cinta istrinya kepada anak-anaknya, pekerjaan seninya, dan kehidupannya. “Dia seorang yang jujur, amat sangat jujur. Tidak ada kepura-puraan di dalam dia,” katanya. Anak sulungnya menggambarkan ibunya sebagai “seorang yang luar biasa” dan berkata, “Aku tidak pernah bertemu dengan seorang yang begitu banyak memberi, ibuku sangat banyak memberi. Dia selalu ada untukku dan selalu menguatkanku.” Anak bungsunya terisak di ujung telepon, mengatakan betapa dia kehilangan ibunya, yang biasa bermain dengannya setiap hari, dan juga kehilangan pelukannya.

Hatiku hancur. Aku tidak habis pikir bagaimana seseorang dapat bertahan menghadapi tragedi seperti ini. Satu hal yang sangat mengejutkanku adalah ketika sang suami memutuskan untuk tidak menuntut orang yang menabrak istrinya untuk dipenjara. (Kemudian diketahui bahwa istrinya sedang membuka pintu mobilnya yang sedang diparkir ketika dia ditabrak. Pengemudi mobil yang menabraknya sedang begitu mabuk, sampai-sampai dia bahkan tidak tahu bahwa dia menabrak seseorang, dan dia terus melaju sampai seorang saksi mata memecahkan jendela mobilnya dan menarik kunci mobilnya.)

Sang suami berkata kepada sang hakim bahwa dia tidak ingin orang yang menabrak istrinya tersebut menyia-nyiakan waktunya di penjara. Dia juga mengatakan bahwa akan lebih baik jika sang penabrak tersebut “menggunakan waktunya untuk memberikan edukasi kepada orang lain tentang bahaya menyetir ketika sedang mabuk, termasuk juga ambil bagian dalam sebuah program dokumenter edukatif—yang mungkin dapat menyelamatkan nyawa-nyawa lainnya di kemudian hari.”

Aku begitu menghargai pandangannya. Tidak banyak dari kita dapat memberikan respons yang seperti itu.

Respons terhadap Penderitaan

Dari pengalaman ini, dan juga pengalamanku bersama dengan keluarga dari korban-korban lainnya, aku belajar bahwa bukan yang kita katakan, tetapi yang kita lakukan, yang menunjukkan bahwa kita turut berduka dengan mereka.

Bagiku, itu berarti mengetahui kapan aku perlu mundur ketika sebuah keluarga menolak untuk diwawancara, untuk menunjukkan bahwa aku menghargai keinginan mereka. Kadang, itu juga berarti berusaha sebisa mungkin untuk memenuhi permintaan mereka. Dalam kasus seorang wanita yang ditabrak oleh seorang pengemudi yang mabuk, itu berarti membacakan kembali kisah yang kutulis kepada keluarganya sebelum itu dicetak—sesuatu yang biasanya tidak kami lakukan. Beberapa bulan kemudian, aku menerima sebuah e-mail dari teman mereka yang mengatakan bahwa mereka sangat menghargai rasa hormat dan kepedulian yang kutunjukkan ketika aku melakukan wawancara tersebut.

Sebagai seorang Kristen, mudah bagi kita untuk mengatakan sesuatu seperti, “Tuhan mempunyai alasan di balik penderitaan ini”, atau “Tuhan turut berduka denganmu”. Namun dari cerita Alkitab tentang Ayub, aku belajar bagaimana berduka bersama dengan orang lain.

Ketika ketiga teman Ayub pertama kali mendengar tentang tragedi yang menimpa Ayub, mereka menghiburnya dengan cara berada di sana dan tidak mengatakan sepatah katapun. Mereka mulai “menangis dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya.” (Ayub 2:11-13).

Alkitab mengatakan agar kita bersukacita dengan orang yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang menangis (Roma 12:15). Itu termasuk memberikan pundak kita ketika mereka menangis, atau mengambil waktu untuk menanyakan keadaan mereka, dan mengingatkan mereka bahwa mereka tidak sendirian di dalam duka mereka.

Kadang, kita mungkin merasa seperti kita harus mencoba dan memulihkan hati seorang yang berduka—lupa bahwa kita punya seorang Bapa yang dekat kepada orang-orang yang patah hati (Mazmur 34:19) dan yang menangis bersama kita sama seperti Dia menangis bersama Marta dan Maria ketika Dia mendengar bahwa Lazarus telah mati (Yohanes 11:35). Alkitab juga mengatakan bahwa Dia bersama kita “melalui air, melalui sungai-sungai kesulitan, atau ketika kita berjalan melalui api penganiayaan” (Yesaya 43:2). Kematian mungkin kadang terasa seperti suatu akhir, tapi ketahuilah bahwa ketika Kristus mati di atas kayu salib bagi kita, Dia juga telah menang atas kematian!

Baca Juga:

4 Pelajaran tentang Pertumbuhan Rohani yang Kudapatkan Saat Bermain Pokemon Go

Pembicaraan tentang game ini telah mewarnai hampir semua group chat dan media sosialku. Pokemon Go adalah sebuah permainan yang baru saja dirilis 2 minggu lalu, namun sudah menjadi sangat populer di berbagai belahan dunia. Saat bermain game ini, ada beberapa pelajaran tentang pertumbuhan rohani yang aku dapatkan. Berikut adalah 4 pelajaran yang kudapatkan.

4 Pelajaran tentang Pertumbuhan Rohani yang Kudapatkan Saat Bermain Pokemon Go

pokemon-go

Oleh Sheila May

Pokemon Go!

Pembicaraan tentang game ini telah mewarnai hampir semua group chat dan media sosialku. Pokemon Go adalah sebuah permainan yang baru saja dirilis 2 minggu lalu, namun sudah menjadi sangat populer di berbagai belahan dunia. Misi dari game ini adalah untuk mengumpulkan berbagai jenis Pokemon di berbagai tempat yang ada di dunia maya yang adalah cermin dari tempat-tempat yang ada di dunia nyata.

Meskipun baru 2 minggu dirilis, game ini telah menyebar bagaikan virus, dan begitu banyak orang telah membicarakan dan memainkannya. Ada yang mengajak ibunya berburu Pokemon bersama. Ada yang menyewa jasa ojek untuk berburu Pokemon. Bahkan, Museum Nasional Indonesia mengajak para trainer (sebutan untuk pemain Pokemon Go) untuk datang dan berburu Pokemon di sana!

Karena penasaran, aku pun mencoba permainan ini. Ini adalah game pertama yang aku install di ponselku. Saat bermain game ini, ada beberapa pelajaran tentang pertumbuhan rohani yang aku dapatkan. Berikut adalah 4 pelajaran yang kudapatkan.

1. Aku perlu ikut dalam komunitas yang mendukung pertumbuhan rohani

Di dalam game Pokemon Go, Pokemon jenis tertentu berada di area tertentu. Misalnya, Pokemon jenis air biasanya bertebaran di area dekat laut, sungai, danau, atau area-area basah lainnya. Sedangkan Pokemon jenis tanah akan berkeliaran di taman, jalanan, dan area berumput.

Dari pengamatan tersebut, aku belajar bahwa jika aku menginginkan pertumbuhan rohani, aku perlu berada di tempat yang memungkinkanku untuk bertumbuh. Contohnya, aku dapat mengikuti persekutuan di gereja, atau ikut dalam komunitas yang berisi orang-orang yang juga rindu untuk bertumbuh. Lingkungan yang mendukung akan mendorongku untuk bertumbuh dengan lebih baik.

2. Aku perlu pertolongan Tuhan dan saudara seiman

Di dalam game Pokemon Go, saat berperang di gym (arena perang virtual), Pokemon akan banyak kehilangan darah dan melemah. Pokemon tidak dapat pulih dengan sendirinya, ia harus dibantu dengan potion dan revive.

Dari pengamatan tersebut, aku belajar bahwa ketika aku mengalami masa-masa sulit dalam hidupku, aku perlu meminta pertolongan Tuhan untuk memulihkan kondisiku. Aku sadar, tanpa Tuhan aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku belajar untuk menjadi rendah hati, dan meminta bantuan saudara seiman lainnya untuk menguatkanku.

3. Aku perlu melepaskan keinginan dagingku

Di dalam game Pokemon Go, kita dapat melepaskan Pokemon yang kita miliki kepada Profesor Willow, dan sebagai gantinya kita akan mendapatkan candy dan stardust. Candy berguna agar Pokemon dapat berevolusi. Stardust berguna untuk memperkuat Pokemon. Kadang, kita membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Dari pengamatan tersebut, aku belajar tentang pengorbanan. Kadang ada waktu di mana Tuhan menantangku untuk melepaskan keinginan dagingku. Aku bergumul antara menuruti keinginanku dan keinginan Tuhan. Ketika akhirnya aku melepaskan keinginan dagingku, Tuhan menggantinya dengan sukacita yang tidak bisa diberikan oleh hal yang aku korbankan tersebut.

4. Aku perlu setia menjalani proses pertumbuhan rohani

Di dalam game Pokemon Go, kita dapat menetaskan telur-telur Pokemon dengan cara berjalan kaki sejauh 2 km, 5 km, atau 10 km, sesuai dengan jenis telur Pokemon yang ingin ditetaskan. Telur-telur tersebut harus dimasukkan ke dalam inkubator dan akan menetas setelah kita berjalan dengan jarak tempuh yang sesuai dengan jenisnya. Game ini dapat mendeteksi kecepatan pergerakan kita. Jika kecepatan kita melebihi kecepatan rata-rata orang berjalan kaki, maka jarak tempuhnya tidak dihitung. Jadi, untuk menetaskan telur-telur ini, kita harus benar-benar berjalan kaki. Tidak ada cara instan.

Dari pengamatan tersebut, aku belajar bahwa tidak ada cara instan untuk mengalami pertumbuhan rohani. Aku harus menjalani sebuah proses sampai akhirnya aku belajar bagaimana aku dapat memiliki karakter yang serupa dengan Kristus. Proses ini seringkali tidak mudah, dan dalam menjalaninya, terkadang aku mengeluh dan meminta Tuhan segera mengangkat bebanku. Seringkali, aku merasa Tuhan seolah-olah mendiamkanku. Tapi pada akhirnya, aku menyadari bahwa Tuhan sebenarnya memperhatikanku meskipun aku mungkin tidak merasakannya, dan Dia ingin aku dengan setia menjalani proses yang akan membentukku untuk menjadi semakin serupa dengan Dia.

* * *

Meskipun game Pokemon Go ini bisa menjadi sangat menyenangkan dan aku belajar banyak hal yang baik saat bermain game tersebut, aku juga mengingatkan diriku untuk tidak tenggelam di dalamnya. Permainan ini hanyalah sebuah permainan. Kehidupanku yang sesungguhnya ada di dalam dunia nyata, jadi jangan sampai permainanku di dunia maya ini mengganggu kehidupanku di dunia nyata, apalagi relasiku dengan Tuhan dan sesama. Aku perlu mengejar pertumbuhan rohani dan relasiku dengan Tuhan dan sesama lebih daripada aku mengejar Pokemon!

Selamat bermain dan selamat bertumbuh!

Baca Juga:

Karena Penyakit Ini, Wajahku Membeku!

Suatu hari, Joey merasakan ada yang tidak beres dengan wajahnya. Sebuah penyakit membuatnya tidak dapat merasakan dan mengontrol wajahnya. Baca kesaksiannya tentang bagaimana dia menghadapi penyakit ini dalam artikel ini.