Pengalamanku Merasakan Gempa Nepal 2015

pengalamanku-merasakan-gempa-nepal-2015

Oleh S. A., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reliving the Horrific 2015 Nepal Earthquake

25 April 2015. Itulah hari di mana temanku datang ke Nepal untuk mengujungiku (aku sedang menjalani satu tahun tugas penginjilan di Nepal). Itu juga hari di mana dunia menjadi saksi akan gempa bumi terdahsyat di Nepal sejak tahun 1934. Lebih dari 8.000 orang tewas dan lebih dari 21.000 orang terluka.

Temanku dan aku sedang mengikuti sebuah kebaktian di lantai 3 sebuah gereja pagi itu. Saat itu sedang waktu penyampaian khotbah dan sang pengkhotbah sedang membacakan firman Tuhan dari Kejadian 17 ketika seluruh gedung gereja mulai bergetar dengan hebat. Aku dapat mendengar gemuruh dari lantai di bawah kami; burung-burung di luar beterbangan ke segala arah, dan segala benda di sekitar kami berderak.

Datang dari negara Singapura yang bebas gempa, aku perlu beberapa saat untuk menyadari bahwa aku sedang berada di tengah gempa bumi—yang kemudian aku ketahui berskala 7,8 skala richter. Hal pertama yang kupikirkan adalah, “Aku harus keluar dari gedung ini!” Jadi aku mengambil tasku dan berdiri, bersiap untuk turun ke lantai dasar.

Namun ketika aku melihat sekitarku, aku tidak melihat seorang pun orang Nepal yang bergerak. Mereka tetap duduk atau berdiri, tangan mereka terangkat kepada Tuhan ketika mereka berdoa dengan sungguh-sungguh.

Aku langsung merasa malu ketika menyadari bagaimana reaksi pertamaku, tidak seperti mereka, bukanlah meminta pertolongan Tuhan. Jadi aku duduk lagi dan berdoa dengan sungguh. Aku berdoa agar Tuhan menjaga gedung gereja itu tetap berdiri. Aku berdoa agar Tuhan mengehentikan gempa bumi itu. Aku berdoa agar Tuhan menyelamatkan kami. Tapi di pikiranku, aku tidak dapat tidak berpikir: “Ini adalah hari terakhir dalam hidupku.”

Setelah beberapa detik, getaran itu berhenti. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Lalu getaran itu datang lagi. Lalu kita kembali berdoa. Gempa bumi itu berakhir kurang dari satu menit, tapi saat itu, terasa seperti selamanya. Getaran itu pada akhirnya berhenti dan kami dapat menuruni tangga dengan normal.

Beberapa jemaat tetap berada di ruangan dan menyanyi, “Dhanyabaad Yesu mero man dheki”, yang artinya “Terima kasih Yesus dari dalam hatiku”. Air mata membasahi mataku melihat mereka bernyanyi kepada Tuhan.

Tiba-tiba, ada sejumlah petugas di luar. Aku tidak dapat benar-benar mengerti apa yang terjadi karena aku kurang menguasai bahasa Nepal. Kami melihat beberapa orang berlari menuju gerbang biru gereja yang besar dan menutup gerbang itu. Kemudian kami baru mengetahui bahwa ada sekumpulan gajah yang menyerbu di luar dan mereka mau mencegah gajah-gajah itu masuk ke lingkungan gereja. Situasinya terasa begitu sulit dipercaya.

Kemudian, ketika kami berjalan pulang, kami melihat banyak batu bata yang mengelilingi rumah-rumah orang-orang telah runtuh. Orang-orang berkumpul dalam kelompok-kelompok di tanah lapang terbuka, dan banyak yang berusaha menelepon. Di salah satu tempat, sebuah rumah berlantai tiga telah benar-benar hancur, dan polisi sedang mencoba untuk mengambil puing-puing yang ada. Sekitar 100 orang berkumpul di sana, beberapa menonton, beberapa mengambil foto. Kami tidak yakin apakah ada korban jiwa.

Selama sekitar satu jam, kami merasa seperti tanah di bawah kami bergoyang. Ada banyak kejutan-kejutan susulan di hari itu—dan beberapa hari, minggu, dan bulan setelahnya. Untuk beberapa hari berikutnya, kami tidur di tenda. Setiap pagi, kami menyanyikan lagu “10.000 Reasons” untuk mengingatkan kami bahwa setiap hari adalah hari untuk kita syukuri, dan berharap segala sesuatu menjadi lebih baik.

Orang-orang yang berbeda memberikan reaksi berbeda terhadap musibah itu. Beberapa rekan kerjaku mengalami trauma kecemasan pascatragedi dan harus pulang ke negara asal mereka untuk mendapatkan bantuan profesional dan menjalani proses pemulihan. Bagiku, aku tahu Tuhan memanggilku untuk tetap tinggal di sana—meskipun duta besar Singapura di New Delhi dan Menteri Luar Negeri telah menghubungi ibuku untuk bertanya tentang keadaanku dan menawarkan diri untuk mengevakuasi diriku. Saat itu, aku yakin bahwa aku harus tetap tinggal di sana sehingga aku dapat bersama orang-orang Nepal di sana, dan aku bersyukur karena orangtuaku menghormati keputusanku. Akhirnya aku tinggal di Nepal selama 18 bulan—hingga bulan Juli tahun ini.

Apakah gempa bumi itu masih berpengaruh kepadaku sekarang, setelah aku kembali ke Singapura?

Ya, dalam beberapa hal. Hingga sekarang, setiap kali aku mendengar suara yang serupa dengan alarm gempa bumi, tubuhku secara otomatis menjadi kaku dan langsung bereaksi seakan ada bahaya. Di minggu pertamaku setelah aku pulang ke rumah, ada beberapa kali ketika aku merasa tempat tidurku seperti bergoyang ketika aku sedang berbaring. Dan ketika aku naik kapal, getaran kapal yang ada di bawahku mengingatkanku akan gempa bumi itu.

Apakah itu berarti aku masih mengalami trauma? Tidak. Itu hanyalah sebuah “kebiasaan” yang aku perlu belajar hadapi. Melalui pengalamanku akan gempa bumi itu, aku kini mengerti lebih dalam akan ayat Alkitab dalam Yesaya 54:10, yang berbunyi, “Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”

Di tengah kekacauan, Tuhan tetap tidak tergoyahkan.

Baca Juga:

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu.

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

aku-menjalani-hidup-yang-sulit-di-afrika

Oleh Debra Ayis, Nigeria
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Africa: The Secret Behind Faith And Hope

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu. Seringkali yang penting bukanlah seberapa kaya kita terlihat di penampilan luar, tapi seberapa kaya kita di dalam diri kita.

Tidak peduli apa pun situasi yang kita hadapi, kita selalu mempunyai pilihan: tenggelam dalam kesedihan atau berharap yang terbaik; menyalahkan lingkungan atau mengizinkan mereka membangun karakter kita; mengeluh sepanjang waktu atau bersyukur untuk setiap hasil positif.

Ketika aku dibesarkan, keluargaku dipandang “beruntung” di mata banyak orang karena kedua orangtuaku mempunyai pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Meskipun demikian, kami tinggal di apartemen dengan 3 kamar tidur yang tidak memiliki keran air, dan listrik hanya datang sewaktu-waktu. Ketika tidak ada listrik, kami menggunakan lentera dan seringkali tidur di luar rumah, menikmati lingkungan sekitar dan membiarkan angin yang sejuk menerpa kami.

Seperti banyak keluarga lainnya, ketika aku dibesarkan aku juga mengenal bagaimana rasanya kelaparan. Namun, selain itu aku juga belajar, di usia yang dini, untuk berbicara kepada Tuhan dan memiliki iman kepada-Nya. Aku berusia 5 tahun ketika aku menerima Kristus.

Saat itu, aku mulai mengerti mengapa ibuku memberi makan aku dan saudara-saudaraku satu sendok kacang rebus untuk sarapan kami, tapi ibuku sendiri tidak makan.

Aku mengerti mengapa ibuku harus meminjam garam untuk memasak makanan kami.

Aku mengerti mengapa ciciku memetik buah dalam kebun kami yang kecil sehingga dia dapat menjualnya ke anak-anak sekolah untuk mendapatkan cukup uang bagi kami untuk membeli makan siang.

Aku mengerti mengapa peternak sapi diizinkan memberi makan sapi-sapinya di halaman depan rumah kami sebagai ganti susu sapi segar.

Aku mengerti mengapa kami mendapat baju baru hanya pada saat Natal.

Aku mengerti mengapa kami mengais tanah yang baru dipanen untuk mencari kentang-kentang dan kacang tanah yang terjatuh.

Aku juga mengerti mengapa kami harus mencari air setiap hari dari sebuah sumur atau lubang.

Tapi, aku tidak kecewa dengan ini semua. Aku selalu memiliki iman bahwa Allah akan menjaga keluarga kami dan menyediakan apa yang kami perlukan setiap hari (Mazmur 37:19).

Kisahku tidaklah terlalu berbeda dengan kebanyakan orang lain di benuaku. Meskipun tingginya tingkat pengangguran dan banyaknya masalah sosial dan ekonomi di sekitarku, aku telah menyaksikan orang-orang menemukan sukacita ketika berbagi “satu sendok kacang” mereka dengan tetangga-tetangga yang membutuhkan. Aku melihat keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas datang bersama untuk menghadapi berbagai tantangan, percaya sepenuhnya di tengah berbagai kesulitan, bahwa tidak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih Allah (Roma 8:31-39). Aku juga telah melihat saudara-saudari dalam Kristus bersatu bersama dalam pengharapan yang seakan mustahil, percaya hanya kepada satu nama yang berkuasa (Kisah Para Rasul 4:12).

Dan aku telah menyaksikan berbagai mukjizat pemeliharaan Tuhan seperti yang ada di dalam Alkitab, karena iman yang teguh kepada Tuhan yang empunya segalanya. Aku telah melihat Tuhan datang kepada para saudara-saudari yang mengorbankan segala yang mereka punya, sampai koin mereka yang terakhir, untuk memberitakan Injil.

Sepanjang hidupku, aku menyadari bahwa aku butuh berdoa setiap hari untuk kebutuhan-kebutuhan kami, seperti yang ada dalam Doa Bapa Kami (Matius 6:9-16). Namun, itu justru membuatku menyadari betapa aku membutuhkan Tuhan dalam kehidupanku. Aku menjadi benar-benar mengerti arti dari “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” yang ada dalam Doa Bapa Kami. Percaya kepada Tuhan menjadi sesuatu yang nyata. Situasi hidupku telah membuatku mengandalkan Dia untuk memimpin, melindungi, menjagaku. Dan hal itu membuatku semakin dekat dengan Tuhan, sesuatu yang lebih berharga daripada harta yang berlimpah.

Tuhan memberikan ujian kepada kita untuk membawa kita mendekat kepada-Nya. Untuk itu, aku memuji Dia dan senantiasa bersyukur karena aku telah dilahirkan di Nigeria.

Baca Juga:

Perpisahan Brad Pitt & Angelina Jolie – Inikah Akhir dari Cinta?

Itulah yang dikatakan dalam beberapa artikel, setelah berita yang merebak kemarin tentang pasangan emas Hollywood, Angelina Jolie dan Brad Pitt, yang mengakhiri pernikahan mereka yang berusia 2 tahun—setelah 12 tahun hidup bersama dan memiliki 6 anak.

Perpisahan Brad Pitt & Angelina Jolie – Inikah Akhir dari Cinta?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Brangelina Split – The End of Love?

Itulah yang dikatakan dalam beberapa artikel, setelah berita yang merebak kemarin tentang pasangan emas Hollywood, Angelina Jolie dan Brad Pitt, yang mengakhiri pernikahan mereka yang berusia 2 tahun—setelah 12 tahun hidup bersama dan memiliki 6 anak.

Berdasarkan dokumen-dokumen yang didapat dari berbagai agen surat kabar, aktris ternama dan sutradara Angelina Jolie mengakhiri pernikahannya dengan aktor Brad Pitt karena “perbedaan yang tidak dapat diperdamaikan”. Media berita lainnya mengatakan bahwa keputusan Angelina Jolie—yang pengacaranya deskripsikan secara samar dilakukan “untuk kebaikan keluarga”—mungkin dipicu oleh perbedaan dalam cara mengasuh anak atau masalah kemarahan Brad Pitt dan isu KDRT.

Angelina Jolie telah berulang kali meminta hak pengasuhan untuk keenam anak mereka dan izin bagi Brad Pitt untuk dapat mengunjungi mereka; dia tidak meminta untuk terus dinafkahi. Bagaimana dengan Brad Pitt? Berita-berita mengatakan bahwa dia “sangat sedih” karena perceraian itu dan memikirkan tentang “kesejahteraan anak-anaknya”.

Berita tentang perpisahan mereka telah membuat dunia berguncang, banyak yang mengekspresikan kesedihan mereka akan akhir dari Brangelina, julukan yang diberikan oleh media untuk hubungan mereka. Tapi mengapa dunia begitu kaget akan perpisahan mereka? Bukankah, kalau mau jujur, ada banyak pernikahan dan perceraian yang terjadi di Hollywood.

Mungkin itu karena kita percaya bahwa Brangelina berbeda. Sepanjang 12 tahun hubungan mereka, kita telah melihat komitmen pasangan tersebut dalam pekerjaan profesional mereka, pekerjaan kemanusiaan mereka, hubungan mereka satu dengan yang lain, dan terhadap anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan oleh salah satu artikel di media Independent, “Meskipun mereka sangat kaya dan tinggal ribuan mil jauhnya dari kebanyakan orang-orang Inggris, hubungan Brangelina mungkin adalah hubungan yang paling aspiratif—tidak ada luapan kemarahan, tidak ada teriakan, tidak ada pengkhianatan yang besar, hanya terus maju dalam hidup, bahkan dengan stress dan tekanan akan penyakit, operasi, dan 6 anak yang mereka miliki.” Singkatnya, mereka terlihat seperti pasangan Hollywood teladan.

Mungkin itulah mengapa banyak kaum milenial yang memberikan reaksi terhadap berita perceraian Brangelina dengan pemikiran “Jika mereka tidak dapat melakukannya, tidak ada seorangpun yang bisa”. Dan mungkin itulah mengapa banyak media memilih untuk menggunakan kata-kata berikut untuk menjadi judul berita mereka akan kasus perceraian ini: “Cinta sudah resmi mati” dan “Cinta berakhir hari ini”.

Namun tidak semua orang setuju. Seperti penulis Mashable, Martha Tesema, yang menulis, “Cinta masih jauh dari mati. Itu masih sangat hidup, bertumbuh dalam ribuan pasangan-pasangan yang luar biasa di dunia ini yang kita kagumi.”

Martha benar dalam satu hal—cinta masih jauh dari mati. Akhir dari Brangelina tidak berarti cinta menjadi punah. Sebesar apapun rasa kagum kita akan segala hal yang mereka raih, mereka hanyalah manusia yang fana—sama seperti setiap dari kita. Mereka juga dapat melakukan kesalahan, berkelahi, dan berpisah.

Namun, untuk menghibur dengan mengatakan bahwa cinta terus “hidup” karena pernikahan banyak pasangan luar biasa masih berkembang itu benar-benar naif—dan, jika aku boleh tambahkan, bodoh. Jika bukan untuk hal yang lain, perpisahan Brangelina seharusnya membunyikan alarm dalam pikiran kita bahwa tidak seorang pun menjadi kebal terhadap hubungan yang rusak. Meskipun kita adalah Presiden Amerika atau pemain sepak bola Inggris yang paling terkenal, kita semua dapat jatuh. Hanya dengan kekuatan kita sendiri, kita takkan pernah dapat menjamin konsistensi cinta kita kepada pasangan kita—dan sebaliknya.

Jadi siapakah yang harus kita pandang? Itu cukup jelas, kan?

Kristus.

Cinta masih jauh dari mati—karena Kristus. Itu masih sangat hidup, bertumbuh dalam diri orang-orang yang menerima kasih Kristus.

Jadi kiranya kita dikuatkan, bukan di dalam diri kita sendiri, tetapi di dalam Dia yang kasih-Nya tidak pernah gagal. Karena Dia telah lebih dahulu mengasihi kita, kita dapat terus mengasihi (1 Yohanes 4:19).

Photo credit: Filmstiftung via Foter.com / CC BY

Baca Juga:

Doa bagi Mereka yang Menderita

Peperangan. Kejahatan. Pembunuhan. Penindasan. Teror. Penyalahgunaan narkoba. Ini adalah doa Morentalisa bagi mereka yang menderita di dunia ini.

Doa bagi Mereka yang Menderita

Oleh Morentalisa Hutapea

Peperangan. Kejahatan. Pembunuhan. Penindasan. Teror. Penyalahgunaan narkoba.

Bapa, aku membaca berita-berita buruk setiap hari. Setiap kali aku melihat berita-berita yang muncul di akun media sosialku, hatiku hancur.

Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya ada dalam berbagai situasi yang menyedihkan itu. Aku mungkin saja menjadi salah satu dari mereka, seorang gadis yang dilahirkan di tengah konflik Syria, atau gadis lainnya yang terjebak dalam perdagangan manusia. Hanya karena anugerah-Mu, aku tidak dilahirkan di tengah segala penderitaan itu.

Jadi aku berdoa, ya Bapa, kiranya cahaya Injil-Mu dapat terlihat oleh segala bangsa. Aku berdoa agar setiap jiwa di bumi dapat disentuh oleh kasih-Mu yang begitu dalam, yang Engkau tunjukkan di Kalvari. Dan aku berdoa agar ketika mereka menerima kasih-Mu, mereka juga saling membagikan kasih itu kepada yang lain.

Kiranya mereka yang terluka oleh cobaan hidup mendapatkan pemulihan sejati di dalam dekapan kasih-Mu. Kiranya mereka menyadari bahwa Engkau memperhatikan mereka di dalam penderitaan dan tangisan mereka.

Meskipun mereka mungkin bertanya mengapa Allah yang baik mengizinkan hal-hal yang buruk terjadi, kiranya Engkau memberikan mereka kemampuan untuk melihat rencana-Mu yang sempurna. Berilah mereka iman untuk percaya bahwa Engkau berdaulat atas segala hal.

Ini sama sekali bukanlah hal yang mudah, karena kekuatan kegelapan dan dosa yang berkuasa di dalam hati banyak orang yang belum mengenal Engkau. Jadi aku berdoa agar kiranya kasih-Mu bersinar menerangi kami, anak-anak-Mu, sehingga kami dapat mengarahkan mereka kepada-Mu.

Berilah kami hati yang mengasihi sesama kami.

Berilah kami anugerah-Mu sehingga kami dapat membagikan anugerah itu kepada sesama kami.

Berilah kami kasih yang tak pernah berakhir sehingga kami dapat belajar untuk menunjukkan belas kasih, kebaikan, ketaatan, kelemahlembutan, dan kerendahhatian.

Kiranya kami dapat semakin mengenal-Mu melalui segala kesulitan hidup yang kami alami.

Amin.

* * *

Bagikan juga doa-doamu untuk mereka yang tertindas melalui kolom komentar di bawah ini.

Baca Juga:

Puisi: Rancangan Yesus Adalah yang Terbaik

Pernah kurasakan ketakutan dalam perjalanan hidupku.
Pernah kurasakan kekhawatiran dalam pikiranku.
Ketika yang aku alami tidak menyenangkanku,
aku kembali teringat bahwa Yesus ada bagiku.

Pergumulanku Sebagai Seorang Wanita Lajang

pegumulanku-sebagai-seorang-wanita-lajang

Oleh J. Koon, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Singleness Taught Me About Love

Ketika sedang makan siang dengan seorang temanku suatu hari, kami mengobrol tentang sebuah topik yang favorit di antara wanita lajang: tentang hubungan.

Berbeda dengan yang digambarkan oleh banyak serial drama romantis dan film-film, kehidupan seorang wanita profesional yang lajang (terutama jika dia adalah seorang Kristen) jauh dari kata-kata romantis dan aktivitas sosial. Malahan seringkali mereka dipenuhi oleh kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang menjadi rencana Tuhan bagi kehidupan percintaan mereka—di samping fokus mereka untuk meraih kemajuan karir dan finansial.

Di antara para teman-temanku yang masih lajang, aku sering mendengar keluhan-keluhan seperti:

“Tidak ada lagi pria Kristen lajang yang tersisa.”

“Aku telah berdoa tapi Tuhan tampaknya tidak mendengarkan doa-doaku.”

“Aku telah bertahan dengan seorang pria Kristen yang sulit selama bertahun-tahun. Mungkin sekarang saatnya aku mempertimbangkan orang lain yang datang dalam hidupku, apapun kepercayaannya.”

Aku dapat mengerti mereka, karena tahun lalu aku juga mengalami putus dengan pacarku. Mudah bagi kami, para lajang, untuk menjadi putus asa dan bertanya-tanya apakah kami akan benar-benar menemukan seseorang. Keadaannya bahkan menjadi lebih sulit ketika kami melihat orang-orang di sekitar kami berpasangan, menikah, dan seiring waktu memiliki keluarga mereka sendiri.

Tulisan-tulisan di media sosial tentang kehidupan pernikahan atau keluarga teman-temanku juga tidak membuat pergumulanku menjadi lebih mudah. Mereka bahkan memicu perasaan panik dalam diriku karena mereka mengingatkan usiaku yang semakin bertambah. Dengan tidak adanya pasangan potensial yang dapat kami lihat, kami kadang bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan diri kami.

Mungkin karena pemikiran-pemikiran ini di antara para lajang sehingga rasul Paulus menuliskan dalam 1 Korintus 7:7-8: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.”

Tidakkah menarik mengetahui bagaimana Paulus menggunakan kata “karunia” dan “baik” untuk menggambarkan mereka yang lajang? Paulus pasti tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lajang, karena dia juga adalah seorang lajang! Tapi mengapa kita juga tidak berpikir seperti itu?

Mungkin kita telah membiarkan ekspektasi masyarakat mempengaruhi kita. Mungkin kita sedang membangun identitas kita tentang apa yang orang lain pikirkan tentang kita dan kita juga membiarkan nilai diri kita ditentukan oleh apakah kita memiliki pasangan yang mengasihi kita atau tidak. Jadi bagaimana kalau kita tidak memiliki semua hal itu? Apakah itu berarti kita kehilangan identitas dan nilai diri kita? Siapa atau apa yang menentukan nilai diri kita?

Ketika orang-orang bertanya tentang kehidupan percintaanku, aku seringkali tergoda untuk menjawab, “Kehidupan percintaan apa?” Tapi kenyataannya, aku juga mempunyai sebuah kisah cinta, aku punya sebuah kehidupan percintaan. Aku mengingatkan diriku bahwa kisah cinta terbesar bukanlah Romeo dan Juliet, atau Mark Antony dan Cleopatra, atau bahkan Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Kisah cinta terbesar adalah ketika Allah mengutus Yesus untuk datang ke dalam dunia untuk hidup di antara kita dan mengorbankan nyawa-Nya bagi kita di atas kayu salib. Kisah cinta terbesar terjadi ketika Allah menawarkan kita pengampunan akan dosa-dosa kita dan memberikan kita kehidupan yang baru sebagai anak-anak-Nya.

Mengingat identitasku sebagai seorang anak Allah yang berharga memberikan perspektif yang baru bagi kekhawatiran dan masalah-masalahku. Ketika aku depresi dan kesepian, pemikiran bahwa aku adalah anak Allah mengingatkanku akan identitasku di dalam Kristus. Aku dikuatkan oleh Roh Kudus yang memampukanku untuk bisa yakin dengan nilai diriku dan dalam rencana Tuhan yang sempurna dalam hidupku.

Aku masih berharap aku akan menikah suatu hari nanti. Tapi aku tahu bahkan jika itu tidak terjadi, Allah adalah seorang Bapa yang selalu mengasihiku dan tahu yang terbaik bagiku. Aku tidak perlu takut akan masa depanku.

Mengapa Aku Menghapus Game Pokemon Go

mengapa-aku-menghapus-game-pokemon-go

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: Why I Deleted Pokemon Go

Semuanya berawal karena sebuah mimpi. Mimpi tentang Pokemon-Pokemon, atau lebih tepatnya, tentang mengembangkan (evolve) Pidgeotto menjadi Pidgeot.

Aku mengembangkan beberapa dari Pokemon-Pokemonku sebelum aku tidur, tapi tidak berhenti di situ: aku juga memimpikan monster-monster virtual itu. Aku ingat aku pernah terbangun tiba-tiba di tengah malam—kaget dan agak khawatir.

Aku menceritakan mimpi anehku itu dengan keluarga dan teman-temanku keesokan paginya. Aku mengatakan bahwa itu mungkin sebuah tanda aku terlalu banyak bermain Pokemon Go. Banyak yang tergelitik oleh ceritaku, dan beberapa mengatakan bahwa aku mungkin telah kecanduan game augmented-reality tersebut. Ya, jawabku, mungkin aku harus menghapus aplikasi itu.

Sebagai informasi, aku telah bermain game Pokemon Go selama tiga minggu, dan baru saja mencapai level 14. Dari 158 Pokemon yang aku tangkap (tidak termasuk Pokemon-Pokemon yang aku tukar dengan profesor untuk mendapatkan permen), ada beberapa Pokemon langka seperti Electrabuzz, Dratini, dan Jynx. Dan berkat usahaku malam itu untuk mengembangkan Pokemon-Pokemonku, aku juga memiliki beberapa Raticates, sebuah Golduck, sebuah Pidgeot, dan sebuah Weepinbell.

Namun mimpi itu membuatku sedikit bingung. Pertama, aku bukanlah seorang yang gemar bermain game sebelumnya, jadi jumlah waktu yang aku habiskan untuk bermain Pokemon Go ini begitu mengejutkanku. Kedua, meskipun game ini dapat menjadi topik awal pembicaraan dengan orang-orang yang aku jarang bicara dengannya, aku juga menyadari bahwa hal yang sebaliknya juga terjadi. Sering kali, aku dengan sengaja memilih untuk memutar Pokestop dan menangkap Pokemon daripada terlibat dalam percakapan dengan teman-temanku.

Ketiga, sejak aku bermain game ini, beberapa teman-temanku yang bermaksud baik telah mengirimiku artikel tentang bahaya bermain Pokemon Go. Seorang temanku bertanya apakah ada ayat Alkitab yang menyatakan bahwa bermain Pokemon Go itu salah. Beberapa temanku yang lain mengatakan bahwa game itu “berhubungan dengan kuasa gelap” dan juga “membuat kecanduan”. (Aku merasa kata-kata “berhubungan dengan kuasa gelap” ini cukup dalam, tapi aku tidak akan membahasnya sekarang. Aku lebih tertohok oleh alasan yang kedua.)

Jadi, aku memutuskan bahwa inilah waktunya untuk istirahat. Berhenti bermain Pokemon Go untuk beberapa hari.

Herannya, itu tidaklah terlalu sulit. Aku tidak tergoda untuk membuka aplikasi itu. Tapi sebelum aku sempat memuji diriku, aku mendengar hatiku berkata, “Tunggu, bukankah kamu mengatakan ingin menghapus aplikasi itu?”

Dan aku pun mulai tawar-menawar. “Tapi aku kan tidak kecanduan. Lihat, aku bahkan tidak membuka aplikasi itu selama dua hari! Sudahlah, biarkan saja. Mungkin teman-temanku juga nanti akan lupa akan kata-kataku, asalkan aku tidak ngomong-ngomong lagi akan menghapus aplikasi itu.” Aku hampir meyakinkan diriku sendiri—sampai ketika seorang temanku menanyakan apakah aku telah menghapus aplikasi itu sesuai dengan apa yang aku rencanakan.

Aku tidak mengaku dengannya, tapi kenyataannya aku bergumul untuk melepaskan Pokemon-Pokemonku. (Ya, aku tahu mereka tidaklah nyata dan ini terdengar menyedihkan.) Setiap kali aku melihat daftar Pokemon yang aku miliki, ada perasaan bangga yang aku rasakan.

Semakin lama aku menunda keputusan itu, semakin aku merasa terganggu. Masalahnya sekarang telah menjadi masalah memegang perkataanku. “Sekarang, kalau aku tidak menghapus aplikasi itu, itu hanya menunjukkan bahwa aku benar-benar kecanduan. Hapuslah game itu dan lanjutkan hidupmu,” kataku pada diriku sendiri.

Jadi, pada sebuah hari Senin pagi yang cerah, aku menguatkan hatiku dan menghapus aplikasi itu. Tak lama setelahnya, aku merasa lega, bebas, dan bangga. Akhirnya aku menghapus aplikasi itu. Siapa yang mengatakan bahwa aku kecanduan?

Lepas dari jerat Pokemon Go, apakah aku menjadi jauh lebih produktif dalam menggunakan waktuku setiap hari? Ternyata tidak.

Awalnya ya. Aku dengan sadar menggunakan waktu luangku dengan lebih efektif. Daripada terpaku dengan aplikasi itu dan mencoba untuk memutar sebanyak mungkin Pokestop selama dalam perjalananku di kereta menuju kantor setiap pagi, aku menggunakan waktu itu untuk membaca Alkitab. Dan tidak seperti dulu, aku dengan sengaja menyingkirkan ponselku setiap kali aku bertemu dengan teman-temanku untuk makan bersama atau mengobrol sehingga aku dapat memberi perhatian penuh terhadap percakapan yang terjadi.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Seiring waktu, aku menemukan diriku kembali ke diriku yang sebelumnya sebelum aku bermain Pokemon Go—menonton video-video Youtube dan mengecek akun Facebook dan Instagram yang aku miliki.

Berlawanan dengan apa yang aku percayai, menghapus Pokemon Go tidaklah membuatku menggunakan waktu luangku dengan lebih baik. Karena itu semua pada dasarnya bukanlah tentang Pokemon Go. Kenyataannya sangat sederhana: Aku memiliki sebuah kecenderungan membuang-buang waktu. Dengan atau tanpa Pokemon Go, aku selalu dapat menemukan sesuatu yang mengalihkan perhatianku. Aku tidak memecahkan akar masalahku—menghargai hal-hal di dunia ini lebih daripada Tuhan.

Game itu hanyalah sebuah kambing hitam yang aku salahkan untuk ketidakdisiplinan dan kegagalanku untuk memprioritaskan apa yang benar-benar penting. Benar, menghapus aplikasi itu mungkin berhasil mengubahku pada awalnya dan mungkin patut dipertimbangkan untuk dilakukan (oleh beberapa orang), tapi ada begitu banyak hal lain seperti itu di dunia ini. Hal-hal yang kelihatannya baik, seperti olahraga, makanan, atau bahkan pekerjaan, yang bisa jadi sama “berbahayanya” bagi beberapa dari kita.

Mereka yang bermain Pokemon Go tidaklah lebih baik atau lebih buruk daripada mereka yang tidak bermain game itu. Apa yang setiap kita perlu lakukan adalah dengan jujur bertanya kepada diri kita sendiri hal-hal apa yang mengambil waktu kita bersama dengan Tuhan—dan mengapa. Daripada mencari kambing hitam, marilah kita mengerahkan perhatian dan tenaga kita untuk lebih mengasihi Tuhan. Jika kita mengasihi Tuhan, tidak peduli apa pun yang muncul setelah Pokemon Go ini, kita akan tetap dalam iman kita kepada-Nya.

Marilah kita memuji dan menyembah Tuhan saja, dan bukan Pokemon Go.

Baca Juga:

Kisahku Berjumpa dengan Beberapa Pelaku Prostitusi

Suka atau tidak, industri seks telah merajalela karena banyaknya orang yang mencarinya. Jadi, bagaimana kita sebagai orang percaya meresponinya? Atau haruskah kita menutup mata akan fenomena itu?

Kisahku Berjumpa dengan Beberapa Pelaku Prostitusi

kisahku-berjumpa-dengan-beberapa-pelaku-prostitusi

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel dalam bahasa Inggris: What If Your Neighbor Is A Prostitute?

Beberapa wanita berpakaian minim terlihat sedang menggoda pejalan kaki yang lewat di sebuah jalan yang remang-remang. Beberapa dari mereka memulai percakapan dan melakukan tawar-menawar dengan calon pelanggan potensial, sedangkan yang lain menunggu pelanggan datang menawar mereka.

Itu bukanlah sebuah pemandangan yang asing bagi kebanyakan kita: kita mungkin pernah melihatnya di film-film atau menyaksikannya secara langsung di kehidupan nyata. Di Amsterdam, di mana prostitusi adalah sebuah hal yang legal, aku melihat para wanita dipajang di jendela kaca—seperti baju-baju dipamerkan di toko—untuk dipilih oleh para pelanggan.

Suka atau tidak, industri seks telah merajalela karena banyaknya orang yang mencarinya. Jadi, bagaimana kita sebagai orang percaya meresponinya? Atau haruskah kita menutup mata akan fenomena itu?

Beberapa tahun yang lalu ketika aku sedang dalam perjalanan perayaan kelulusan, aku bertemu dengan 3 orang wanita, kemungkinan besar usia 20-an, dalam sebuah bus di Pahang, Malaysia. Saat itu jam 6 pagi. Mereka berpakaian minim dan sedang menangis. Seorang di antara mereka memiliki wajah yang terluka parah. Para penumpang lain dalam bus itu mengabaikan mereka atau menatap mereka dengan aneh.

Salah seorang dari wanita tersebut menghampiriku dan bertanya dengan bahasa Inggris yang belepotan apakah mereka dapat meminjam ponselku untuk menelepon karena mereka tidak mempunyai uang. Temanku langsung menyikutku dan mengingatkanku untuk tidak meminjamkan ponselku kepada mereka, takut mereka membawa kabur ponsel itu. Tapi aku merasa iba kepada mereka, jadi aku memutuskan untuk meminjamkannya.

Tidak hanya mereka mengembalikan ponsel itu setelah memakainya, mereka juga tersenyum kepadaku dan berterima kasih akan keramahanku. Sebelum aku turun dari bus itu, aku memberikan mereka sejumlah uang. Beberapa saat kemudian, aku menerima telepon dari sebuah nomor yang tidak dikenal. Suara penelepon itu adalah suara seorang laki-laki. Dia bertanya di mana aku berada, sehingga dia dapat “membawa mereka kembali”. Setelah percakapan itu, aku cukup yakin para wanita yang aku temui itu adalah para pekerja seks.

Sampai hari ini, aku masih mengingat wajah penuh syukur yang mereka tunjukkan. Aku percaya Tuhan sedang mengajarkanku sebuah pelajaran tentang mengasihi semua orang—tidak peduli siapa diri mereka dan apa status mereka di masyarakat (Lukas 10:27; Matius 25:40).

Tuhan sendiri telah memberikan contoh akan kasih yang luar biasa ini dengan menjadikan seorang pelacur bernama Rahab menjadi bagian dari rencana-Nya bagi bangsa Israel. Dalam Yosua 2, kita membaca bagaimana dia menolong para pengintai Israel melarikan diri. Sebagai balasannya, Tuhan menyelamatkan seluruh keluarganya. Dia mengasihi Rahab. Rahab bahkan terdaftar di daftar silsilah Yesus! (Matius 1).

Kisah Rahab dan transformasi hidupnya menunjukkan kita bagaimana Tuhan tidak melihat latar belakang dan status kita. Dia hanya tertarik akan iman dan ketaatan kita. Jadi, jika Tuhan memperlakukan orang-orang ini dengan anugerah dan rahmat yang sama seperti Dia memperlakukan kita, siapakah kita sehingga kita mengabaikan atau mendiskriminasi mereka?

Berikut adalah 4 cara praktis yang aku percaya dapat kita lakukan menjadi respons kita:

1. Berdoa bagi mereka

Marilah berdoa agar kiranya para pelaku prostitusi ini dapat percaya kepada Tuhan dan menemukan kasih dan kedamaian daripada-Nya di dalam situasi yang mereka alami—khususnya jika keberadaan mereka di tempat itu bukanlah pilihan mereka. Kiranya Tuhan memberikan kepada mereka jalan untuk dapat keluar dari industri ini dan memperoleh pemulihan.

Berdoalah juga agar Tuhan membuka mata dari mereka yang terlibat dalam pengembangan industri ini, untuk menyadari jahatnya industri ini dan banyaknya jiwa yang telah dihancurkan.

2. Berdoa bagi diri kita

Kita perlu berdoa bagi diri kita. Kiranya Tuhan memberikan kita hati yang penuh belas kasih untuk mengasihi dan mempedulikan mereka di setiap kesempatan yang ada. Meskipun kita tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan, kita harus mengasihi setiap dari mereka, sama seperti Tuhan mengasihi kita dan memanggil kita untuk mengasihi sesama kita.

3. Pahami situasi mereka

Seringkali, kita bereaksi tanpa mengerti sepenuhnya situasi yang mereka alami. Kita perlu membaca tentang apa yang menjadi pergumulan mereka dan mencari tahu lebih banyak tentang isu ini. Ini akan menolong kita untuk lebih mengerti mereka dan tahu bagaimana dapat menolong mereka.

4. Menjadi sukarelawan dan berdonasi

Ada banyak kesempatan untuk menjadi sukarelawan. Itu bisa jadi berupa berteman dengan seorang mantan pekerja seks, menyediakan pekerjaan bagi mereka untuk mempelajari keahlian baru, atau memperhatikan anak-anak mereka. Kita juga dapat memberikan donasi untuk mendukung organisasi-organisasi yang menjangkau mereka.

* * *

Aku berusaha untuk dengan sadar membaca tentang penderitaan yang dialami mereka dan berdoa bagi mereka. Lebih dari segalanya, respons dasar kita haruslah lahir dari kasih. Apakah itu untuk seorang yang belum kita kenal atau seorang yang kita kenal secara pribadi, mereka adalah sesama kita.

Marilah kita penuhi panggilan yang ada dalam Lukas 10:27 dan Matius 25:40 untuk mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri.

Baca Juga:

Pekerjaan yang Paling Ideal: Ibu Rumah Tangga

Ketika pemimpin kelompok diskusi pemuda Christine memintanya menuliskan sebuah pekerjaan yang menurutnya ideal, dia menuliskan satu pekerjaan ini: “Ibu rumah tangga”. Kemudian, Tuhan membukakan kepada Christine mengenai sebuah kisah dari seorang ibu rumah tangga yang menginspirasinya.

Sharing: Masalah sosial apa yang paling membuatmu prihatin? Mengapa?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201609

Masalah sosial apa yang paling membuatmu prihatin? Mengapa? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…

Pekerjaan yang Paling Ideal: Ibu Rumah Tangga

pekerjaan-yang-paling-ideal-ibu-rumah-tangga

Oleh Christine E.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Most Ideal Job: Stay-At-Home Mom

Aku ingat saat aku mengobrol dengan temanku ketika aku duduk di bangku SMA tentang apa yang menjadi cita-cita kita saat kita dewasa kelak. Aku tidak ingat apa yang aku katakan saat itu, tapi kemungkinan aku menyebutkan ingin menjadi seorang pengacara yang membela hak asasi manusia atau seorang misionaris.

Kemudian dalam sebuah kelompok diskusi pemuda, pemimpin kelompok kami meminta kami menuliskan apa yang menurut kami adalah pekerjaan yang paling ideal. “Bagaimana mungkin ada sebuah pekerjaan yang sempurna?” pikirku. Jadi aku menuliskan “ibu rumah tangga”. Temanku yang mengobrol denganku sebelumnya menatapku dengan terkejut. “Ibu rumah tangga? Aku pikir kamu punya ambisi yang besar tadi! Mengapa sekarang kamu mau menjadi seorang ibu rumah tangga?”

Di satu sisi, reaksinya tidaklah mengejutkan. Kebanyakan orang takkan memikirkan menjadi seorang ibu rumah tangga sebagai sebuah pilihan karir yang “berambisi” atau “berpotensi sukses”.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku mengandung anak laki-lakiku, ibuku memberiku sebuah buku tentang seorang wanita bernama Sarah Edwards yang membesarkan 11 anak. Karena penasaran, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang wanita ini.

Sarah adalah istri dari seorang pengkhotbah asal Amerika, Jonathan Edwards, di abad ke-18.

Pastur Edwards adalah seorang pria yang sibuk, jadi Sarah yang dibebani tanggung jawab untuk membesarkan 11 anaknya. Dia mengatur rumah tangganya dengan cakap, mendisiplinkan anak-anaknya dengan cara yang baik untuk menanamkan kepatuhan di dalam diri mereka—bukan saja kepada suaminya dan dirinya, tapi terlebih lagi kepada Tuhan.

Doa adalah bagian yang penting dalam hidupnya. Sebelum anak-anaknya lahir, Sarah mendoakan mereka dengan tekun. Dia juga berdoa secara rutin dengan mereka sejak mereka masih kecil. Selain itu, dia juga mengambil waktu doa pribadi untuk meminta kekuatan dalam menghadapi hari di hadapannya, karena dia tahu betapa besar tanggung jawabnya dalam membesarkan jiwa-jiwa kekal dalam diri anak-anaknya.

Ketika Pastur Edwards secara tiba-tiba dikeluarkan dari gerejanya, Sarah terpaksa bekerja beberapa waktu untuk menghidupi keluarganya. Kemudian, Pastur Edwards membawa keluarganya untuk melayani sebagai misionaris di sebuah desa penduduk Amerika asli. Di sanalah Pastur Edwards dan Sarah wafat dengan tiba-tiba setelah 8 tahun melayani di ladang misi, meninggalkan anak-anaknya menjadi yatim-piatu. Anaknya yang terkecil masih berusia 8 tahun.

Bagi dunia, Sarah wafat dengan sedikit pencapaian. Umurnya tidak panjang, tidak banyak pengalaman bekerja yang dimilikinya, dan dia juga hidup di sebuah desa. Dia bukanlah seorang yang sukses atau kaya. Dia hanyalah seorang ibu rumah tangga.

Namun, di antara keturunan Sarah terdapat 13 presiden universitas, 65 profesor, 100 pengacara (termasuk seorang dekan di sebuah sekolah hukum), 30 hakim, 66 dokter (termasuk seorang dekan di sebuah sekolah kedokteran), 3 senator Amerika Serikat, 3 mayor (gubernur kota), 3 gubernur negara bagian, 1 orang bendahara negara Amerika Serikat, 1 wakil presiden, dan ratusan pendeta, misionaris, dan pelayan Tuhan.

Sebagian dari warisan ini adalah buah dari kesetiaan Sarah dalam membesarkan anak-anaknya di dalam Tuhan. Mengapa kita tidak melihat itu sebagai sebuah pencapaian yang berharga?

Ketika kita mengukur kesuksesan orang lain, mudah bagi kita untuk melihat hal-hal eksternal dan yang kelihatan: Apakah mereka mempunyai sebuah rumah yang besar dan sebuah mobil yang bagus? Apa pekerjaan mereka? Berapa gaji mereka? Kadang, kita juga melihat kontribusi mereka bagi masyarakat. Dengan sengaja atau tidak sengaja, kita menilai kesuksesan mereka berdasarkan pencapaian materi yang mereka raih.

Namun Alkitab mengingatkan kita untuk tidak mengumpulkan harta di bumi. “Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Matius 6:20-21). Tentunya, tidak salah menjadi kaya atau memiliki harta materi; kita dipanggil untuk bekerja keras untuk menghidupi diri kita dan keluarga kita (1 Timotius 5:8).

Namun dalam segala hal yang kita lakukan, Tuhan menanyakan kita pertanyaan ini: Di manakah hati kita berada? Apakah kita lebih mengutamakan harta materi kita lebih daripada Dia?

Hidup yang nyaman di bumi atau pengakuan atas pencapaian-pencapaian kita seharusnya bukanlah hal yang kita kejar. Kita seharusnya mengumpulkan harta di surga, dengan hidup yang melayani Yesus. Tuhan menginginkan kesetiaan kita. Seperti Sarah Edwards, jika kita setia dalam mencari Dia dan setia dalam hal-hal yang dipercayakan-Nya kepada kita, Tuhan dapat memakai kita untuk melakukan hal-hal besar bagi kerajaan-Nya.

Dalam hidup ini, Tuhan telah mengizinkanku untuk tinggal di rumah dengan bayi laki-lakiku. Setiap hari aku diberikan begitu banyak kesempatan untuk menyaksikan kebaikan Tuhan untuk anakku, dan aku pun mulai berdoa dengan tekun dan setia seperti yang telah dicontohkan Sarah Edwards dalam hidupnya. Kiranya interaksiku dengan anakku (dan juga dengan suamiku) menunjukkan dengan jelas anugerah yang daripada Tuhan.

Marilah kita bekerja bukan untuk pengakuan orang lain, tapi untuk memperoleh hadiah yang daripada Tuhan (Filipi 3:14).

Baca Juga:

Ulasan Buku: Just Do Something! (Lakukanlah Sesuatu!)

Buku ini ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan “kehendak Allah” dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, namun tetap bersifat Alkitabiah.