Berbagi Takjil di Perempatan Lampu Merah

berbagi-takjil-di-perempatan-lampu-merah

Oleh Noni Elina Kristiani, Surabaya

Langit senja begitu indah sore itu ketika aku tengah berada dalam perjalanan menuju rumah. Selama kuliah di luar kota, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman setiap dua minggu sekali. Hal yang paling aku sukai ketika dalam perjalanan adalah aku bisa menikmati waktu bersama Tuhan. Mengendarai sepeda motor selama satu setengah jam cukup membuat seorang sanguinis sepertiku bosan. Jadi aku sering menyanyikan lagu-lagu pujian atau mengobrol dengan Tuhan seakan Dia juga berkendara bersamaku. Aku hanya berharap pengguna jalan lain tidak menganggapku gila karena melihatku berbicara sendiri.

Di tengah-tengah perjalanan, suara azan magrib berkumandang bersama dengan suara sirine yang cukup panjang. Ya, saat itu adalah bulan puasa bagi umat Muslim. Terbersit dalam benakku, apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, akhirnya aku sampai dengan selamat di rumah. Suasana rumah memang selalu membuatku rindu. Bau temboknya, suhu ruangannya, bahkan wangi yang ada di dalam lemari pun begitu khas rasanya. Memang tidak ada yang lebih nyaman selain di rumah. Ketika di rumah, kegiatan memasak selalu tidak terlewatkan.

“Mbak Ana* juga pulang kampung lho,” kata adikku ketika makan malam.

“Oh ya? Kalau gitu Mbak mau WhatsApp dia ah, biar kita bisa ketemuan,” aku begitu antusias untuk bertemu dengan saudara perempuanku yang satu itu.

Meskipun kuliah di kota yang berbeda, aku dan Ana adalah teman satu sekolah selama SMK dan aku tinggal di rumahnya hingga lulus. Rumah kami berbeda kabupaten, jarak yang perlu ditempuh hanya 30 menit saja. Aku merindukannya, dia saudara perempuan yang sangat berarti bagiku. Meski aku dan dia berbeda iman, hubungan kami sangat dekat. Sejak kecil kami sering berbagi cerita, kami memiliki hobi dan selera makanan yang sama. Aku benar-benar kangen untuk bertemu Ana.

Malam itu setelah menikmati obrolan bersama adik laki-lakiku, aku memasuki kamar. Sedangkan obrolanku dengan Ana di WhatsApp terus berlanjut.

Noni: “Jadi besok sore aku ke sana yaa…”

Ana: “Oke, tapi sorenya aku ada kegiatan bagi-bagi takjil gratis lho.”

Noni: “Kalau gitu aku boleh ikutan?”

Aku kaget dengan pertanyaanku sendiri. Tapi mengapa tidak? Tiba-tiba hatiku begitu menggebu-gebu menantikan jawaban dari Ana. “Tuhan, mungkinkah ini kesempatan yang Kau beri?” ujarku dalam hati.

Beberapa menit kemudian Ana membalas chat-ku.

Ana: “Boleh. Ikut aja…”

* * *

Aku menatap diriku di cermin. Apakah aku sudah menggunakan baju yang tepat? Haruskah aku mengikat rambutku atau mengurainya saja? Padahal aku hanya akan pergi membagi-bagikan takjil di perempatan lampu merah, bukannya mau pergi kencan. Tapi mengapa aku begitu gugup? Ternyata hal ini tidak semudah yang aku pikirkan semalam. Sempat terbersit dipikiranku untuk membatalkannya, tapi setelah berdoa aku merasa Tuhan tetap ingin aku melakukannya. Oke, baiklah.

Aku jadi teringat ketika aku dan Ana masih kecil. Saat itu kami berumur 8 tahun, Ana tengah menginap di rumahku. Dia mengajarkanku cara membaca huruf Arab.

“Sini Nin, aku ajari kamu ngaji ya. Ini bacanya Alif, Ba’, Ta’, Tsa’…,” kata Ana.

Aku pun menirukan bagaimana caranya membaca sambil melihat huruf-huruf itu. Dan di hari Minggu aku mengajak Ana pergi ke gereja untuk ikut Sekolah Minggu. Kami begitu senang saat itu, kami berbagi apa pun yang kami ingin bagikan tanpa berpikir panjang. Setelah kami bertumbuh dewasa, aku dan Ana benar-benar mendalami iman kami masing-masing. Kami saling mengasihi satu sama lain, sehingga kalaupun bertengkar, kami bisa dengan mudah baikan. Aku jadi merindukan masa-masa kami bersama dahulu, saling berbagi dalam kasih tanpa mempertimbangkan banyak hal.

Aku memantapkan hatiku ketika bertemu dengan Ana. Seperti biasa kami selalu heboh ketika bercerita dan kami suka menertawakan hal-hal sepele yang kami anggap lucu. Hari sudah pukul 5 sore dan kami pun berangkat menuju perempatan lampu merah di pusat kota. Sesampainya di tempat, belum ada satu pun rekan yang hadir. Ana lalu menelepon seseorang dan menyalakan loudspeaker ponselnya sehingga aku bisa mendengar percakapan mereka.

“Halo Mbak, Aku sama Noni sudah di lokasi. Mbak lagi di mana?” tanya Ana kepada temannya yang ada di balik telepon.

“Ini dek, sebentar lagi kami berangkat. Eh iya, tapi Noni nggak pake kalung salib ‘kan? Atau atribut salib lainnya gitu?” tanyanya.

Ana kontan menatapku sambil tersenyum canggung. Aku hanya tidak tau harus bersikap bagaimana ketika mendengar pertanyaan itu dan hanya balas tersenyum.

“Eh, nggak kok mbak… Hehe.” jawab Ana.

Telepon berakhir dan kami berjalan menuju perempatan lampu merah yang dekat dengan alun-alun kota. Beberapa waktu kemudian berhentilah sebuah mobil di depan kami. Dari dalam mobil itu keluar remaja-remaja berhijab yang siap membagikan takjil. Mereka bersikap ramah kepadaku dan kami saling berkenalan. Ada banyak kardus yang perlu diturunkan dan gelas-gelas plastik berisi takjil. Setelah semuanya siap, kami pun berpencar dan membagikan takjil kepada setiap orang yang berhenti di lampu merah. Kami menghampiri pengendara sepeda motor, bapak becak, dan sopir angkot.

Ada perasaan aneh di hatiku ketika aku bisa melawan rasa gugup yang semula menghantuiku. Aku berhasil meruntuhkan keraguanku lalu kemudian perasaan itu berubah menjadi sukacita yang tak terkatakan. Dari seberang jalan aku menatap Ana yang dibalut dengan busana Muslim, termasuk hijab. Kemudian aku melihat diriku sendiri yang mengenakan pakaian biasa bahkan tanpa mengenakan tanda salib sebagai aksesoris yang menunjukkan kekristenanku. Mungkin saja dia akan menyuruhku melepaskan kalung salib itu jika memakainya. Akan tampak aneh jika bakti sosial dari organisasi Muslim mengikutsertakan seseorang yang mengenakan kalung salib di lehernya, kan?

Ya, aku memang yang paling berbeda di antara mereka semua. Tapi bagiku itu tidak masalah. Karena cukup bagiku untuk taat pada apa yang Tuhan Yesus ingin aku lakukan, yaitu mengasihi. Kini aku belajar bahwa kekristenan bukanlah tentang atribut yang menempel di tubuhku, tapi lebih daripada itu… Kekristenan adalah bagaimana kita memiliki hidup yang menggambarkan Kristus.

Saat itu langit senja tampak jauh lebih indah dari biasanya. Aku tengah menikmati cilok hangat di depan teras masjid sambil menunggu Ana menyelesaikan salat magrib. Aku asik bercengkrama meski kini tanpa suara. Ditemani angin semilir dan suara burung yang kembali ke sangkarnya. Betapa Allah telah mengerjakan sesuatu yang indah, di dunia ini dan juga di hati anak-anak-Nya yang mau taat. Aku hanya bisa berbisik dan berkata, “Selanjutnya apa yang Kau ingin aku lakukan, Tuhan?”

* bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Tuhan Merombak Kriteria Pacar Idamanku

Tidak banyak hal menarik yang dimiliki oleh pria ini. Dia bukanlah seorang yang tinggi, dia tidak memperhatikan penampilannya, dan dia juga seperti tipe pria yang membosankan. Dia bukanlah tipe pria yang dikagumi banyak wanita.

Namun akhirnya, dia menjadi pacarku.

Sharing: Bagikan Satu Pengalaman “Memberi” yang Membuatmu Bahagia!

warungsatekamu-sharing-201612

Bagikan satu pengalaman “memberi” yang membuatmu bahagia! Tuliskan pengalaman tersebut dalam kolom komentar berikut ini…

Tuhan Merombak Kriteria Pacar Idamanku

Oleh Yong Xin, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Simplified Chinese: 上帝打碎了我的择偶标准

Tidak banyak hal menarik yang dimiliki oleh pria ini. Dia bukanlah seorang yang tinggi, dia tidak memperhatikan penampilannya, dan dia juga seperti tipe pria yang membosankan. Dia bukanlah tipe pria yang dikagumi banyak wanita.

Namun akhirnya, dia menjadi pacarku.

Setahun sebelum aku bertemu dengannya, aku membuat sebuah komitmen dengan Tuhan. Tahun itu kondisi rohaniku sedang mengalami penurunan. Aku juga tidak mempunyai banyak teman-teman seiman yang baik di sekitarku. Jadi aku berdoa kepada Tuhan dan memutuskan bahwa aku akan menggunakan tahun itu untuk benar-benar mengenal Dia dan bertumbuh semakin dekat dengan Dia. Aku ingin kasih Tuhan memenuhi diriku, Roh-Nya tinggal di dalamku, dan aku ingin berhenti hidup dengan cara dunia.

Saat itu, aku dikelilingi beberapa pria yang luar biasa. Namun Tuhan mengatakan kepadaku untuk menjaga hatiku dan jangan menganggap enteng untuk masuk ke dalam sebuah hubungan. Aku memutuskan untuk menggunakan waktu itu untuk berpikir secara serius tentang kriteria-kriteria dari pasanganku di masa depan.

Di antara banyak hal lainnya, aku ingin seorang pasangan yang tampan, lebih tinggi daripadaku, dewasa, mengasihi, dan lembut. Dia juga harus memiliki keluarga yang baik, lebih cerdas daripadaku, dan lain sebagainya. Intinya, aku ingin seorang pasangan yang hebat dalam segala aspek. Jadi aku berdoa kepada Tuhan untuk mengaturkan yang terbaik bagiku, dan memberkatiku dengan seorang pasangan yang “sempurna”.

Lalu aku bertemu dengan pria ini ketika kami sedang sama-sama melayani di sebuah persekutuan kampus di sebuah gereja. Saat itu, aku tidak memiliki kesan yang positif terhadap dirinya. Aku merasa dia adalah seorang yang tidak peduli, tidak berpendirian, tidak dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu, dan tidak memperhatikan perasaan orang lain.

Setelah melayani bersama selama beberapa waktu, kami mulai bercakap-cakap satu sama lain. Awalnya, topik yang kami bicarakan adalah seputar pelayanan gereja; kami mendiskusikan kesulitan-kesulitan yang kami hadapi dalam melayani Tuhan dan saling menguatkan satu sama lain. Kemudian, kami mulai lebih banyak menceritakan tentang kehidupan kami. Seiring waktu, kami bercakap-cakap setiap malam sebelum tidur.

Pelan-pelan, aku menyadari bahwa dia tidak seburuk yang aku bayangkan sebelumnya. Berlawanan dari apa yang aku pikirkan, dia bukanlah seorang yang tidak peduli. Sebaliknya, dia adalah seorang yang bertanggung jawab, penuh perhatian, dan teliti.

Contohnya, ketika kami membuat sebuah acara, dia akan memastikan semua hal dipersiapkan dengan baik—termasuk pembagian tugas untuk setiap orang dan pengaturan transportasi. Aku juga dapat melihat kerendahan hatinya. Dia bukanlah seseorang yang suka tampil di hadapan banyak orang; sebaliknya, dia selalu melayani di balik layar. Ketika orang-orang bercakap-cakap dan bersenda gurau di meja makan, dia adalah seseorang yang menuangkan air ke dalam gelas-gelas mereka. Namun lebih dari segalanya, dia adalah seseorang yang mengasihi Tuhan. Selama dia diberikan kesempatan untuk melayani Tuhan, dia akan—tanpa banyak bertanya-tanya—melakukan yang terbaik yang dia bisa lakukan untuk Tuhan.

Pelan-pelan, aku menjadi tertarik dengannya. Kami lalu memutuskan untuk meminta petunjuk dari Tuhan ketika kami bersama menggumulkan untuk memiliki hubungan yang lebih dalam. Kami menjadi rekan rohani—kami membaca firman Tuhan dan saling berbagi pelajaran yang kami dapatkan. Semakin banyak kami belajar tentang Tuhan, semakin banyak kami mengenal satu sama lain. Kami berkomitmen untuk membaca seluruh Alkitab bersama-sama, dan saling mengingatkan satu sama lain untuk semakin bertumbuh secara rohani.

Dalam bulan-bulan ini, Tuhan memimpin hubungan kami; kami mengalami banyak berkat Tuhan, dan semakin yakin bahwa hubungan kami berkenan bagi Tuhan. Kami juga yakin bahwa kami dapat saling mengasihi karena Tuhan lebih dahulu mengasihi kami (1 Yohanes 4:19).

Tuhan telah merombak “kriteria-kriteria pacar idaman” yang aku buat, untuk membuatku sadar bahwa Dia telah merencanakan yang terbaik bagi diriku, dan agar aku tidak mengandalkan kepandaianku semata dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, aku seharusnya tidak mencari pasangan yang menyenangkan bagiku. Yang kucari seharusnya adalah seseorang yang menyenangkan Tuhan.

Memang pacarku mungkin bukanlah orang yang terhebat di mata banyak orang. Tapi aku tahu bahwa dia adalah seseorang yang mengasihi Tuhan, dan yang menebarkan keharuman Kristus. Dan yang terpenting, dia mengutamakan Tuhan lebih daripada segalanya, termasuk diriku. Dia menyadari kedaulatan Tuhan atas hidupnya, dan percaya akan kuasa-Nya.

Aku tidak percaya akan cinta pada pandangan pertama, karena bagiku cinta adalah sebuah keputusan yang dibuat secara sadar dan membutuhkan komitmen dari kedua belah pihak. Ketika aku memutuskan untuk menjalin hubungan bersama dengan pacarku, aku mengambil keputusan untuk mengasihi pria ini setiap hari, apa pun keadaannya. Dia bukanlah seseorang yang aku harapkan pada awalnya, namun aku melihat bagaimana tangan Tuhan telah memimpin kami berdua hingga bagaimana kami ada saat ini.

Amsal 3:5-6 berkata, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Marilah berhenti bersandar pada keinginan dan pengertian kita sendiri, dan percayalah bahwa Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita.

Baca Juga:

Lebih dari Optimisme, Inilah yang Harus Kita Lakukan untuk Menghadapi Realita Kehidupan

Seiring waktu, aku sadar bahwa akar dari ketidaksenangan kita—tidak peduli apakah kita seorang yang pesimis atau optimis—biasanya adalah hal yang sama: kita menginginkan sesuatu, tapi kita tidak mendapatkannya. Jadi bagaimana kita harus menyikapi akar masalah ini?

Lebih dari Optimisme, Inilah yang Harus Kita Lakukan untuk Menghadapi Realita Kehidupan

lebih-dari-optimisme

Oleh M.D. Valley, Afrika
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should Christians be Optimistic or Cynical?

Dulu, perasaanku sering berubah-ubah. Kadang aku menjadi seorang yang optimis, namun aku dapat berubah menjadi seorang yang pesimis.

Setiap kali aku menginginkan sesuatu, aku akan membulatkan tekadku dan memberikan usahaku (bahkan sampai 110 persen) dan juga mendoakannya. Namun ketika keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan yang kuinginkan, aku akan bereaksi seperti seorang anak manja yang tidak mendapatkan permen yang diinginkannya. Dalam momen-momen tersebut, dilingkupi dengan kekecewaan—dan kadang, kekecewaan kepada Tuhan—aku akan mengatakan kepada diriku bahwa lebih baik menjadi seorang yang pesimis daripada menjadi seorang yang optimis. Bukankah optimisme juga tidak selalu membuahkan hasil?

Temanku pernah mengatakan bahwa dia melakukan yang terbaik yang dapat dia lakukan, tapi selalu bersiap untuk gagal. Dia menjelaskannya seperti ini: “mengharapkan yang terburuk” menjaga seseorang dari kekecewaan yang besar ketika kegagalan menimpa.

Tapi itu tidak berlaku bagiku. Dalam kasusku, setiap kali kegagalan menimpaku, aku akan dihantui pikiran-pikiran yang mengatakan mungkin harapanku akan menjadi kenyataan jika aku lebih optimis. Bagaimanapun, jika orang buta yang dikisahkan dalam Alkitab tidak meminta belas kasihan Yesus dan tidak meminta-Nya untuk mencelikkan matanya, mungkin Yesus hanya akan melewatinya saja tanpa melakukan apa-apa. Jika dia duduk manis saja dengan segala ketidakmampuannya dan percaya bahwa Yesus tidak peduli dan dia tidak berharap kepada-Nya, mungkin dia takkan disembuhkan (Lukas 18:35-42).

Seiring waktu, aku sadar bahwa akar dari ketidaksenangan kita—tidak peduli apakah kita seorang yang pesimis atau optimis—biasanya adalah hal yang sama: kita menginginkan sesuatu, tapi kita tidak mendapatkannya. Jadi bagaimana kita harus menyikapi akar masalah ini?

Jawaban sederhananya adalah dengan berharap.

Filsuf dan penulis asal Ceko bernama Vaclav Havel pernah berkata bahwa “berharap tidak sama dengan optimisme. Itu bukan keyakinan bahwa segala sesuatu akan berhasil dengan baik, tapi kepastian bahwa apapun hasilnya, itu masuk akal”.

Ketika kita berharap kepada Tuhan, kita memiliki rasa percaya yang dalam kepada Tuhan. Kita percaya bahwa kehendak Tuhanlah yang terjadi, terlepas dari apapun hasil yang kita dapatkan. Yesus mengajar kita untuk berdoa agar kehendak Tuhan yang jadi, di bumi seperti di surga. Kalimat itu muncul sebelum kita berdoa agar kita mendapatkan makanan yang secukupnya (Matius 6:9-13). Itu adalah sesuatu yang Yesus telah contohkan pada titik terberat dalam pelayanan-Nya di bumi.

Di Taman Getsemani (Matius 26:36-46), Yesus berhadapan dengan realita akan kematian-Nya di kayu salib yang akan segera terjadi. Namun meskipun apa yang ada di hadapan-Nya itu begitu membuat-Nya tertekan hingga membuat peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Lukas 22:44), Dia tidak memaksakan kehendak-Nya tapi berserah kepada kehendak Allah.

Sejujurnya, mempercayai Allah sampai titik akhir kehidupan bukanlah perkara yang mudah. Sudah menjadi natur manusia untuk melarikan diri dari rasa sakit dan pengorbanan. Seorang temanku pernah bekerja di dalam sebuah pekerjaan yang tidak memuliakan Tuhan, dan jiwanya menjadi gelisah. Dia tahu jika dia berhenti dari pekerjaannya, dia takkan mendapatkan penghasilan untuk membiayai anaknya dan dirinya. Keluarganya juga tidak membantunya. Selain itu, dia tinggal di negara asing sebagai seorang imigran, sehingga akan sulit juga baginya untuk mendapatkan pekerjaan lain.

Namun sampailah dia kepada satu titik di mana dia sadar bahwa seharusnya dia menghormati Allah dalam pilihan karirnya. Jadi dia mengambil sebuah langkah iman yang besar dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Satu bulan berlalu dan tidak ada wawancara dan tawaran pekerjaan lain yang diterimanya, tapi dia tetap berharap dan beriman. Tiga bulan kemudian, dia mendapatkan sebuah panggilan telepon dan mendapatkan sebuah penawaran sebuah pekerjaan yang lebih baik. Perusahaan itu juga akan membayarkan visa kerja yang dia perlukan dan memberikan bantuan untuk anaknya.

Sejak saat itu aku belajar untuk mengubah doaku dari “aku ingin ini dan itu” menjadi “kiranya kehendak-Mu yang sempurna yang jadi”. Aku belajar bukan menjadi seorang yang optimis, tapi menjadi seorang yang beriman, tekun, dan berharap di dalam Tuhan.

Beberapa tahun lalu, aku ada dalam sebuah pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang aku doakan. Saat itu, aku tidak mengerti mengapa Tuhan menginginkan aku ada di tempat itu. Itu adalah sebuah pekerjaan yang sulit; bosku juga begitu menyulitkan sampai-sampai tidak ada seorang pun yang dapat bekerja dengannya selain aku. Namun setelah dua bulan Tuhan memberiku sebuah pekerjaan yang bahkan lebih baik daripada apa yang aku doakan. Ironisnya, aku diterima dalam pekerjaan itu karena pengalamanku dalam pekerjaanku yang sebelumnya—pekerjaan yang aku tidak sukai. Aku sadar bahwa segala hal yang baik akan muncul di balik setiap keadaan, tidak peduli seberapa sulitnya keadaan itu. Kebenaran itu telah memberikanku damai sejahtera.

Aku akhirnya menyadari bahwa Tuhan selalu menjawab doa-doa kita dengan apa yang baik untuk diri kita (Roma 8:28), meskipun apa yang kita harapkan mungkin tidak terjadi seperti apa yang kita bayangkan sebelumnya. Dia tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi Dia memberikan apa yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Senandung Masa Lajang

Teruntuk kekasih di masa depan
Kan kulalui malam kesekian tanpamu di sekitar
Meski tanya selalu mengusik pandangan
Aku percaya kita dipersiapkan untuk menjadi lebih bersinar

Ketika Aku Bertengkar dengan Pacarku

ketika-aku-bertengkar-dengan-pacarku

Oleh Edna Ho, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Day My Boyfriend And I Fought

Aku sangat kesal dengan pacarku―sebutlah dia “T”.

Ceritanya diawali ketika orangtuaku mengunjungiku di Kuala Lumpur, Malaysia, untuk menghadiri wisudaku. Saat itu akhir pekan dan aku begitu bersemangat. T tidak pernah bertemu dengan orangtuaku sebelumnya, jadi aku pikir ini adalah kesempatan yang baik baginya untuk bertemu dengan mereka.

Di saat yang sama, T juga harus mempersiapkan pernikahan teman baiknya. Ini adalah temannya yang dia kenal ketika dia menempuh studi di Australia, yang berarti banyak teman-temannya yang sudah lama tak dia jumpai akan datang juga ke Malaysia untuk menghadiri pernikahan teman mereka tersebut. T menjadi sangat bersemangat untuk bertemu mereka.

Orangtuaku ada di Kuala Lumpur selama dua malam. Di malam yang pertama, T memberitahuku bahwa dia ingin pergi bersama teman-temannya dari Australia. Aku dengan senang menyetujuinya karena aku pikir masih ada satu malam lagi bagi kita untuk pergi menemui orangtuaku.

Keesokan harinya adalah hari Minggu. Setelah kebaktian, aku ada sebuah latihan untuk memimpin pujian. Ketika latihan itu selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Aku menerima sebuah pesan dari orangtuaku yang menanyakan apakah kita akan makan malam bersama. Aku bertanya pada T, dan tak kusangka, dia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku tidak enak badan. Aku rasa aku tidak bisa makan malam dengan orangtuamu.”

Aku sangat kecewa, tapi aku berusaha menyembunyikannya. Aku segera membalas pesan ibuku dan berkata bahwa kami tidak akan makan malam bersama mereka. Ibuku membalas, “Mama sangat kecewa.”

T kemudian mengantarkanku dan beberapa rekan yang lain pulang. Di sebuah perempatan lampu merah, dia menengok ke arahku dan bertanya, “Apakah kamu masih akan makan malam dengan orangtuamu?” Aku menggelengkan kepala, karena orangtuaku tinggal di sebuah hotel yang cukup jauh, dan aku tidak punya mobil. T lalu bertanya lagi, “Lalu apakah kamu mau ikut aku makan malam dengan teman-temanku dari Australia?”

Mataku langsung terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dia bisa menolak ajakan makan malam dengan orangtuaku (yang kemungkinan akan jadi mertuanya), mengatakan bahwa dia sedang kurang enak badan, lalu sekarang akan pergi makan malam dengan teman-temannya dari Australia?

Kami bertengkar di dalam mobil, dan T menjadi frustrasi dan marah. Aku lalu mengatakan bahwa ibuku menjadi sangat kecewa. Berusaha untuk memperbaiki keadaan, dia berkata, “Oke, ayo kita temui orangtuamu sekarang.”

“Tapi tadi kamu bilang kamu kurang enak badan?”

“Iya, tapi aku tidak ingin mengecewakan mereka.”

“Sekarang sudah terlambat.”

Aku begitu marah dengannya sampai-sampai aku tidak dapat berkata apa-apa lagi dan langsung keluar dari mobil. Berbagai pikiran melayang di dalam kepalaku. Aku bertanya pada diriku sendiri, Ke mana semua keromantisan, kehangatan, dan perasaan itu pergi? Apakah aku telah salah mengambil keputusan dengan menjadikan dia pacarku? Mengapa dia berlaku seperti ini? Aku pikir dia seharusnya bisa menjadi lebih baik!

Keesokan harinya, kami saling mengirimkan pesan melalui ponsel. Setelah melihat keseluruhan keadaan, aku sadar bahwa aku telah terlalu cepat menghakimi T. Dia tidak berani bertemu orangtuaku karena dia merasa tidak dalam kondisi yang prima dan karena itu dia merasa tidak dapat “mengesankan” mereka. Dia lebih memilih untuk bertemu dengan teman-temannya dari Australia karena dia nyaman dengan mereka dan tidak merasa ada tekanan untuk “mempertunjukkan” dirinya. Selain itu, kami juga sudah memesan tiket untuk mengunjungi kampung halamanku di lain waktu.

Hari berikutnya, T datang ke rumahku dan kami pun baikan. Tuhan kemudian membuatku terkesan melalui ayat-ayat dalam 1 Korintus 13:4-8. Perikop ini tidak asing bagiku, tapi malam itu kata-kata itu terasa begitu menyentuh bagiku pribadi.

Jika T membaca artikel ini, inilah yang aku ingin katakan kepadanya:

Kasih itu sabar – Aku telah belajar untuk menjadi sabar ketika kamu belum menjadi seorang laki-laki yang aku harapkan, namun dalam waktu-Nya Tuhan, kamu terus diubahkan dalam kemuliaan yang semakin besar, dari hari ke hari (2 Korintus 3:18).

Kasih itu murah hati – Kiranya aku dapat menjadi murah hati kepadamu dalam kata-kata dan tindakanku.

Ia tidak cemburu – Aku takkan cemburu ketika aku melihatmu bersama dengan teman-temanmu.

Ia tidak memegahkan diri – Aku takkan membanding-bandingkan siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih lemah di antara kita.

Ia tidak sombong – Aku takkan membanding-bandingkan siapa yang lebih baik di antara kita.

Ia tidak melakukan yang tidak sopan – Ampuni aku jika kata-kataku begitu menyakitkan.

Ia tidak mencari keuntungan diri sendiri – Kiranya aku tidak menjadi seorang yang selalu menuntut.

Ia tidak pemarah – Kiranya aku tidak mudah tersinggung atau sensitif.

Ia tidak menyimpan kesalahan orang lain – Kiranya aku tidak mengungkit-ungkit kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Ia menutupi segala sesuatu – Aku ingin melindungimu: martabatmu, hatimu, pikiranmu, dan jiwamu.

Ia percaya segala sesuatu – Aku percaya pada apa yang kamu katakan.

Ia mengharapkan segala sesuatu – Kiranya kita senantiasa bersama-sama mengharapkan yang terbaik.

Ia sabar menanggung segala sesuatu – Kiranya kita tidak menyerah ketika masalah datang.

Kasih tidak berkesudahan – TUHAN tidak pernah gagal. Ketika kita lemah, Dia kuat dan mampu menjaga kita dengan kasih-Nya (2 Korintus 12:9-10).

Romantisme yang kita lihat di drama televisi dan film-film bukanlah kasih yang sejati. Kasih yang sejati adalah mengorbankan dirimu―waktumu, kesukaanmu, dan tenagamu―untuk orang yang kamu kasihi. Kasih yang sejati adalah memilih untuk senantiasa bersama orang yang telah kamu pilih untuk mengambil komitmen bersamanya.

Kiranya aku dapat mengasihi T seperti Yesus mengasihiku dan mengasihinya.

Baca Juga:

5 Tips Mengatasi Rasa Malas Beribadah

Apakah kamu pernah merasa malas beribadah? Aku pernah mengalaminya, dan aku ingin menceritakan pengalamanku tentang apa yang membuatku malas beribadah, dan beberapa tips yang aku rasakan efektif untuk mengusir rasa malasku tersebut.

5 Tips Mengatasi Rasa Malas Beribadah

5-tips-mengatasi-rasa-malas-beribadah

Oleh Helen Lee, Batam

Apakah kamu pernah merasa malas beribadah? Aku pernah mengalaminya, dan aku ingin menceritakan pengalamanku tentang apa yang membuatku malas beribadah, dan beberapa tips yang aku rasakan efektif untuk mengusir rasa malasku tersebut.

Aku bukan terlahir dalam keluarga Kristen. Jadi, ketika aku pertama kali mengenal Kristus, aku begitu bersemangat untuk mengenal Tuhan dan firman-Nya, dan beradaptasi di lingkungan Kristen.

Awalnya, aku tidak tahu apa itu ibadah atau bagaimana cara berdoa. Namun, karena ingin tahu, aku pun mencoba untuk pergi ke gereja dan ikut beribadah di sana. Saat pertama kali ibadah, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan dan semua lagu-lagu yang dinyanyikan terdengar asing bagiku. Aku hanya mengikuti teman-teman yang ada di sekitarku. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatku untuk beribadah dan mengenal Tuhan lebih dalam.

Aku pun mencari lagu-lagu yang dinyanyikan untuk aku dengarkan tiap hari dan aku juga mencari liriknya. Selain itu, aku juga membaca Alkitab agar aku dapat semakin memahaminya, apalagi setelah aku pindah ke kelas agama Kristen di sekolah. Aku perlu mempelajari sejarah tokoh-tokoh Alkitab sebagai persiapanku menghadapi ujian agama di sekolah. Intinya, aku begitu bersemangat untuk beribadah dan mengenal Tuhan lebih dalam.

Namun, keadaan itu berubah setelah beberapa tahun. Aku mulai sibuk bekerja sembari kuliah, yang menyebabkan waktu istirahatku berkurang. Aku hanya mempunyai waktu istirahat di hari Minggu dan hari libur. Hal itu membuatku lelah dan aku pun mulai malas ketika diajak beribadah. Banyak alasan yang aku kemukakan: banyak tugas, lelah karena kuliah, dan lain-lain. Namun, alasan sebenarnya tidak pernah aku katakan kepada mereka: aku malas. Sebenarnya, aku bisa saja bangun pagi di hari Minggu untuk beribadah, namun rasa malas itulah yang menghambatku.

Aku merasa, faktor kelelahan hanyalah salah satu faktor yang membuat seseorang malas beribadah. Beberapa alasan lain yang umum kutemukan adalah karena khotbah pendetanya membuat mengantuk, tidak ada teman, tidak diberi izin oleh orangtua, komunitasnya kurang asyik, ada si mantan di sana, kepahitan, atau kurang cocok dengan musiknya.

Tanpa kita sadari, alasan-alasan itu bisa jadi membuat kita menjauh dari gereja, dan kita pun mengalami yang namanya erosi rohani, di mana kerohanian kita sedikit demi sedikit terkikis. Awalnya mungkin ada perasaan tidak enak karena tidak beribadah. Namun, lambat laun perasaan itu pun hilang dan kita merasa baik-baik saja meskipun tidak beribadah dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan.

Aku pun sempat merasa malas untuk beribadah. Namun, aku berusaha untuk melawan rasa malas tersebut. Berikut adalah beberapa tips yang membantuku untuk melawan rasa malas beribadah.

1. Berdoa minta pertolongan Tuhan

Di saat kita merasa malas untuk berdoa atau beribadah, saat itulah kita perlu berdoa. Akuilah rasa malas itu di dalam doa kita, dan mintalah pertolongan Tuhan agar kita diberikan kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan melalui ibadah di gereja, dan diberikan kerinduan untuk mendengar dan melakukan firman-Nya.

2. Ajak teman-teman dan orang-orang yang kita kasihi untuk beribadah bersama

Dengan mengajak teman dan orang-orang yang kita kasihi seperti keluarga atau pacar untuk beribadah bersama, kita dapat saling mengingatkan dan bertumbuh bersama. Bahkan, kita juga dapat mengajak teman-teman kita yang juga malas beribadah untuk dapat beribadah bersama. Mungkin saja, mereka selama ini malas beribadah karena tidak ada yang mengajak mereka beribadah bersama.

3. Tolak godaan-godaan untuk tidak beribadah

“Sekali-sekali nggak ke gereja nggak apa-apa lah…”, “Enakan juga tidur daripada ke gereja…”, “Teman-teman juga banyak yang nggak ke gereja…”

Kata-kata di atas mungkin pernah melintas di pikiran kita yang menggoda kita untuk tidak beribadah. Atau mungkin ada juga teman-teman kita yang menggoda kita untuk tidak beribadah. Kita tidak dapat mencegah datangnya godaan, tetapi kita dapat menolak untuk mengikuti godaan tersebut. Godaan datang untuk menjatuhkan kita, tetapi kita dapat memilih untuk tetap teguh berdiri bersama dengan Tuhan.

4. Hindari ekspektasi yang berlebihan tentang gereja

Ada orang-orang yang malas datang beribadah karena mereka tidak suka dengan komunitas gereja. Mungkin ada hal-hal yang membuat kita kecewa atau tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Ingatlah bahwa tidak ada gereja yang sempurna, karena kita semua adalah orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa. Daripada menuntut gereja yang lebih baik, marilah kita turut membantu untuk membuat gereja kita menjadi lebih baik. Kita dapat menciptakan suasana yang lebih baik di gereja dan mengajak jiwa-jiwa baru untuk mengenal Tuhan dan bertumbuh bersama di gereja kita.

5. Cari firman Tuhan, bukan pendeta

Salah satu alasan umum yang membuat orang-orang malas beribadah adalah karena mereka merasa khotbah yang dibawakan oleh pendetanya membosankan. Sesungguhnya, setiap pendeta memiliki cara yang unik dalam membawakan firman. Ada yang menyampaikan dengan suara yang datar, ada yang humoris, ada pula yang menyampaikan dengan penuh semangat sehingga terdengar seperti teriakan. Namun, terlepas dari cara mereka membawakan firman tersebut, yang mereka bawakan adalah firman Tuhan.

2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Kita percaya firman Tuhan itulah yang berkuasa, bukan sang pendeta. Apabila kita dengan sungguh mendengar dan menyambut firman itu, dia akan berbuah. Ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat. (Markus 4:20).

* * *

Aku bersyukur karena Tuhan menolongku dalam perjuanganku untuk mengatasi rasa malas beribadah ini. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah ibadah yang dilihat oleh mata manusia, tetapi kerinduan hati kita untuk menemui Dia. “Karena bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Samuel 16:7).

Apakah teman-teman juga memiliki tips lain untuk mengatasi rasa malas ini? Silakan bagikan dalam kolom komentar di bawah ini ya.

“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:25)

Baca Juga:

Ketika Temanku Menjadi Tersangka Kasus Pembunuhan

Aku baru akan pergi tidur; waktu menunjukkan hampir jam 11 malam. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku untuk terakhir kalinya sebelum tidur. Teman baikku, Linda, baru saja mengirimiku serentetan pesan. Apa yang akan kubaca adalah sesuatu yang mengerikan dan menghancurkan hati.

Baca kesaksian Joanna selengkapnya dalam artikel ini.

Ketika Temanku Menjadi Tersangka Kasus Pembunuhan

ketika-temanku-menjadi-tersangka-kasus-pembunuhan

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend is Suspected of Rape and Murder

6 Maret 2016

Aku baru akan pergi tidur; waktu menunjukkan hampir jam 11 malam. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku untuk terakhir kalinya sebelum tidur. Teman baikku, Linda, baru saja mengirimiku serentetan pesan.

Apa yang akan kubaca adalah sesuatu yang mengerikan dan menghancurkan hati.

Pesan itu berbunyi: “Jo … sebuah kasus besar baru saja terjadi di Siem Reap dan foto laki-laki itu mirip Kosal … Kosal terlibat dalam sebuah kasus pemerkosaan…”

Kosal. Pemerkosaan. Kedua kata itu begitu tidak masuk akal ketika digabungkan. Aku pun membaca lagi pesan yang dikirimkan Linda tentang bagaimana dia melihat sebuah posting di Facebook yang dibagikan oleh beberapa pemuda Kambodia yang kami kenal ketika kami mengadakan perjalanan misi ke negara itu beberapa waktu lalu. Posting itu dilengkapi dengan sebuah foto seorang laki-laki berusia 25 tahun, seorang yang telah kami kenal selama 6 tahun.

Ketika Linda memasukkan tulisan dalam bahasa Khmer tersebut ke dalam Google Translate, terdapat beberapa kata yang muncul dari hasil terjemahannya: “pemerkosaan”, “pembunuhan”, “gadis berusia 11 tahun”, dan “Kosal”. Dia kemudian mengkonfirmasikan hal itu dengan seorang pemimpin gereja lokal, dan mendapati bahwa Kosal telah dituduh memerkosa dan membunuh seorang gadis berusia 11 tahun.

Itu bagaikan aku menerima kabar dukacita dari temanku. Atau bahkan lebih buruk. Perutku terasa sakit dan jantungku berdegup kencang ketika aku memikirkan apa yang baru saja kubaca. Kosal? Tidak mungkin. Wajahnya yang sedang tersenyum langsung melintas di pikiranku.

Kami baru bertemu Kosal dalam perjalanan misi terbaru kami ke Siem Reap, Kambodia. Itu adalah perjalananku yang kelima, dan perjalanan Linda yang ketujuh. Segalanya baik-baik saja saat itu. Hal apa yang membuat segalanya menjadi begitu buruk hanya dalam waktu empat bulan? Apa yang membuatnya melakukan tindakan yang mengerikan itu? Bagaimana keluarganya menanggapi berita ini? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku, namun tak ada jawaban yang kutemukan. Aku ingin menanyakan teman-temanku di Kambodia namun saat itu sudah terlalu malam. Aku merasa tidak berdaya dan tidak berguna.

Aku tidak dapat tidur nyenyak malam itu. Aku hanya tidak dapat percaya bagaimana seorang yang lemah lembut seperti Kosal dapat terlibat dalam kasus pembunuhan yang begitu keji.

Aku bertemu Kosal enam tahun lalu—ketika aku pertama kali pergi ke Kambodia—dalam sebuah sesi Pendalaman Alkitab yang diadakan oleh tim perjalanan misi gerejaku di Singapura untuk para pemuda di desa Pouk di Siem Reap. Pemalu, sopan, dan sederhana, Kosal diperkenalkan kepada kami sebagai seorang kerabat dari seorang pemimpin gereja lokal dalam komunitas tersebut.

Kosal yang saat itu berusia 18 tahun adalah salah satu dari beberapa orang non-Kristen yang hadir dalam sesi malam itu. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika salah satu rekanku membagikan Injil kepadanya melalui seorang penerjemah. Malam itu, dia menanyakan banyak pertanyaan yang dijawab dengan sabar oleh temanku. Beberapa bulan kemudian, kami mendapat kabar bahwa Kosal menerima Tuhan dan mengikuti kelas bahasa Inggris secara rutin.

Berikutnya, kami bertemu Kosal setiap kali kami melakukan kunjungan balik dan mengadakan program-program untuk para pemuda dan anak-anak. Dia telah menjadi seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah di desanya dan melayani secara aktif dan rutin di gereja. Karena dia kini semakin mengerti bahasa Inggris, kami dapat berkomunikasi lebih banyak dengannya. Dia masih pemalu, namun dia kini sudah bisa bercanda dan mengolok kami ketika kami mencoba berbicara dalam bahasa Khmer.

Bertemu dia kembali dalam perjalanan misi kami yang terakhir adalah bagikan bertemu seorang teman lama. Pertemuan itu menghangatkan hati kami. Kami begitu senang melihat pertumbuhannya. Dia telah menjadi salah satu pemimpin kunci dari para pemuda di desa Pouk dan sangat terkenal dan dipandang baik oleh komunitas di sana. Selama dia mengajar, murid-muridnya akan berpartisipasi secara aktif. Setelah kelas selesai, mereka akan berkumpul mengitarinya untuk bermain. Itu adalah bukti bagaimana dia begitu peduli dengan mereka dan bagaimana mereka menikmati kehadiran Kosal.

Itulah yang membuat berita ini menjadi begitu mengagetkan. Mengapa Kosal melakukan pemerkosaan dan pembunuhan—apalagi korbannya adalah muridnya sendiri, seperti yang kemudian kami ketahui? Kosal berulang kali menyatakan bahwa dia tidak bersalah, namun para pemimpin gereja lokal, yang mengabari kami secara rutin, memberitahu kami bahwa polisi mempunyai bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa dia adalah pelakunya.

Beberapa hari berikutnya, kami mengetahui bahwa Kosal, yang merupakan tetangga gadis tersebut, menjadi seorang tersangka karena dia berada di tempat kejadian perkara saat itu. Hari itu, bibi gadis itu baru saja kembali dari pasar dan menemukan diri gadis itu tergantung di jendela dengan kabel televisi, terlihat seperti sebuah bunuh diri. Kosal, yang mendengar teriakan minta tolong sang bibi, berlari untuk membantu memotong kabel tersebut. Polisi tiba di TKP tak lama kemudian. Setelah memeriksa tubuh gadis itu, mereka menyimpulkan bahwa korban telah diperkosa dan kemudian dibunuh. Tidak ada hal detail yang dibagikan pada saat tersebut. Tidak dijelaskan juga bagaimana polisi menentukan Kosal sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Yang kami tahu hanyalah dia ditangkap di tempat dan tes DNA kemudian dilakukan untuk menentukan apakah dia bersalah atau tidak. Kami diberitahu bahwa hasilnya akan keluar dalam waktu 10 hari. Jika dia terbukti bersalah, kemungkinan besar dia akan dipenjara seumur hidup.

Kami pun menunggu. Tapi bukan 10 hari. Kami harus menunggu sekitar 10 minggu sampai akhirnya kami mengetahui kebenaran di balik kasus ini.

Selama waktu tersebut, Kosal ditahan di penjara dan kami tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta kabar terbaru dari para pemimpin. Aku memikirkan betapa Kosal mungkin merasa kesepian dan ketakutan, dan para pemimpin juga merasa kecewa karena harus menghadapi fakta bahwa salah satu anggota mereka menjadi tersangka kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Begitu menyakitkan bagi kami mengetahui bahwa kami tidak dapat menawarkan bantuan apa-apa selain kata-kata penguatan dan berjanji kepada mereka bahwa kami juga turut mendoakan Kosal.

21 April 2016

Ketika segala hal terlihat begitu gelap, secercah harapan muncul. Hasil tes DNA akhirnya keluar dan hasilnya negatif! Kosal tidak bersalah. Dia terlibat dalam kasus ini hanya karena dia berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.

Rasa sukacita dan lega memenuhi hatiku ketika salah seorang pemimpin gereja lokal memberitahu kami tentang hasil tes tersebut. Pada saat yang sama, aku merasa kesal—karena Kosal telah diperlakukan dengan tidak adil—dan simpati yang dalam terhadapnya ketika aku memikirkan tentang penderitaan emosi dan psikologis yang dihadapinya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, aku juga bersemangat karena mengetahui bahwa penderitaan Kosal akan segera berakhir.

Sayangnya, sukacita kami tidak bertahan lama.

Kami diberitahu bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Kosal tidak akan dilepaskan dari penjara karena hakim menolak permintaan ditutupnya kasus itu. Kecuali para pemimpin gereja lokal bersedia membayar suap, Kosal akan tetap ditahan di penjara setidaknya untuk setahun ke depan untuk kejahatan yang tidak dia lakukan.

Itu menjadi sebuah pukulan bagi para pemimpin gereja lokal, yang telah bekerja tanpa mengenal lelah untuk membuktikan bahwa Kosal tidak bersalah. Mereka menjadi sangat marah dan tidak terima. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa itu sama saja dengan “menculik secara legal dan meminta tebusan”. Namun di tengah situasi yang sepertinya mustahil, mereka menolak untuk menggunakan cara yang tidak benar. Mereka memutuskan untuk berjuang untuk melepaskan Kosal dengan cara-cara yang benar.

Selama beberapa bulan berikutnya, para pemimpin itu berusaha keras untuk mengajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi, meskipun mereka telah diberitahu bahwa hal itu sia-sia saja. Gereja lokal juga bersatu dalam solidaritas untuk berdoa bagi Kosal dan keluarganya. Dan Tuhan menjawab doa mereka dengan cara yang tidak terbayangkan: Di tengah tragedi yang tidak masuk akal ini, kedua orang tua Kosal dan dua adik perempuannya mulai pergi ke gereja.

Jelas sekali bahwa Tuhan tidak melupakan Kosal dan keluarganya. Dan itu baru awalnya saja.

2 September 2016

4 bulan kemudian, kami mendengar kabar yang telah lama kami nanti-nantikan. Pada tanggal 2 September, Kosal akhirnya dibebaskan dari penjara. Setelah melalui 6 bulan penderitaan di dalam penjara untuk kejahatan yang tidak dilakukannya, dia akhirnya bebas.

Sore itu juga ketika Kosal dibebaskan, aku melihat sebuah foto di Facebook yang menunjukkan Kosal yang sedang makan malam bersama dengan beberapa pemimpin gereja lokal. Dia tersenyum dan keadaannya terlihat baik. Itu adalah sebuah foto yang indah yang menunjukkan kesetiaan, pemulihan, dan kasih Tuhan.

* * *

Sudah hampir dua bulan sejak Kosal dibebaskan dari penjara. Dia masih belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya selama di penjara: dia masih mengalami mimpi buruk, dan seringkali tidak dapat tidur. Tapi ada satu hal baik yang terlihat. Seluruh keluarga Kosal kini menerima Yesus dalam hidup mereka. Beberapa minggu yang lalu, seluruh keluarga Kosal memberikan kesaksian di gereja tentang anugerah dan kebaikan Tuhan.

Ketika aku melihat kembali keseluruhan kisah ini, hatiku dipenuhi oleh sukacita dan rasa syukur karena aku melihat bagaimana Tuhan menjawab doa anak-anak-Nya. Dia tidak hanya menyelamatkan Kosal, keluarganya, dan komunitasnya dari masa-masa yang sulit ini, tapi juga Dia melakukan sebuah pekerjaan yang indah dengan membawa seluruh keluarganya kepada Kristus. Kisah Kosal adalah sebuah kesaksian tentang kesetiaan Tuhan kepada anak-anak-Nya (Roma 8:28), dan kisah inilah yang akan aku ingat ketika aku menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupanku.

Aku berdoa agar Kosal terus bersaksi tentang kebaikan Tuhan. Bagi Tuhanlah kemuliaan sampai selama-lamanya!

Baca Juga:

Aku Tidak Memilih untuk Menjadi Gay

Aku pertama kali menyadari bahwa aku mempunyai perasaan-perasaan ini ketika aku mulai memasuki masa puber ketika aku SMP. Aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki di kelasku. Saat mulai kuliah, aku juga terkagum-kagum dengan seorang teman laki-laki di kampusku. Itulah saat di mana aku mengindentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”.

Baca kesaksian Raphael selengkapnya dalam artikel ini.

Aku Tidak Memilih untuk Menjadi Gay

aku-tidak-memilih-untuk-menjadi-gay

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Didn’t Choose to be Gay

Aku tidak pernah memilih untuk tertarik kepada sesama jenis.

Aku mempunyai masa kecil yang biasa-biasa saja di sebuah rumah yang juga biasa. Ayah, ibu, dan nenekku mengasihiku dan melakukan yang terbaik yang dapat mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhanku dan memperhatikanku.

Aku memiliki seorang adik laki-laki, tapi sejak kecil aku selalu menginginkan kehadiran seorang kakak laki-laki. Saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar, aku menjadikan seorang anak laki-laki yang lebih tua daripadaku di kelasku sebagai figur seorang kakak bagiku.

Aku pertama kali menyadari bahwa aku mempunyai perasaan-perasaan ini ketika aku mulai memasuki masa puber ketika aku SMP. Aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki di kelasku. Saat mulai kuliah, aku juga terkagum-kagum dengan seorang teman laki-laki di kampusku. Itulah saat di mana aku mengindentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”.

Tidak ada seorang pun yang dapat aku ceritakan tentang bagian dari hidupku ini—tidak dengan keluargaku atau juga dengan temanku. Jadi aku mencari di Internet tentang komunitas gay yang ada di sekitarku, dan aku menemukan beberapa. Aku ingat pertama kali aku chatting dengan seorang gay lainnya; aku begitu gugup sekaligus bergairah.

Awalnya, rasa ingin tahulah yang membawaku kepada komunitas-komunitas ini. Namun seiring berjalannya waktu, kesepianlah yang membuatku mencari orang-orang lain yang seperti diriku. Ketika rasa kesepianku bertambah, aku mulai menginginkan untuk menjalin hubungan yang romantis.

Aku tidak pernah pergi ke gereja sejak aku menjadi seorang Kristen saat aku SD. Aku juga tidak pernah diajarkan tentang kebenaran firman Tuhan tentang seksualitas. Karena itu, aku secara salah menyimpulkan bahwa Tuhan mengizinkanku mengejar hasratku untuk berhubungan dengan sesama jenis. Dan aku pun melakukannya, untuk 10 tahun berikutnya. Aku mencoba banyak cara untuk menjalin hubungan dengan sesama jenis dan, yang kusesalkan, aku juga jatuh ke dalam dosa seksual dengan banyak laki-laki berulang kali.

Beberapa tahun yang lalu, Tuhan meyakinkan hatiku bahwa itu bukanlah kehendak-Nya bagiku untuk mengejar hasratku terhadap sesama jenis. Sejak saat itu, Dia telah memimpinku melalui sebuah perjalanan pemulihan dan pengejaran akan kekudusan.

Meskipun aku tidak lagi mengidentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”, aku masih merasa tertarik dengan laki-laki. Aku begitu sadar akan hal itu. Aku tahu bahwa aku tidak boleh melakukannya, dan aku memilih untuk mematuhi Tuhan. Namun rasa tertarik itu masih terasa “alami” bagiku.

Jika aku mempunyai pilihan, aku akan memilih untuk menghilangkan hasrat ini sama sekali. Itu akan membuat hidupku jauh lebih mudah. Aku tidak tahu apakah suatu hari nanti aku akan mengalami pemulihan total di dunia ini, ataukah aku baru mendapatkan pemulihan total itu ketika aku telah mendapatkan tubuh yang baru, ketika aku bertemu dengan Tuhan nanti.

Meminjam kata-kata Wesley Hill, seorang penulis Kristen yang bergumul dengan ketertarikan terhadap sesama jenis yang telah memutuskan untuk tetap selibat (tidak menikah), aku kini hidup dalam fase “dibersihkan dan menanti”. Sebagai seorang Kristen, aku “dibersihkan, … dikuduskan [dan] dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Korintus 6:11), tapi aku juga “menanti-nantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (Roma 8:23-25).

Sementara itu, aku tahu bahwa meskipun aku tidak dapat memilih seksualitasku, ada pilihan-pilihan yang dapat kupilih yang menyenangkan Tuhan. Aku percaya bahwa mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis itu sendiri bukanlah sebuah dosa; tentunya Tuhan yang adil takkan memintaku untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang tidak dapat kupilih. Tapi bagaimana aku merespons terhadap perasaan itulah yang membuat perbedaan: itu bisa menjadi sebuah jalan yang membawaku kepada dosa, atau menjadi sebuah kesempatan untuk menyembah Tuhan dan mendapatkan pemulihan.

Aku berharap apa yang aku bagikan di sini juga dapat menolongmu untuk dapat memilih pilihan-pilihan yang benar bagi kemuliaan Tuhan dan bagi kebaikan dirimu ketika kamu menemukan dirimu diperhadapkan dalam situasi-situasi yang sulit.

Aku dapat memilih untuk percaya bahwa Tuhan peduli kepadaku

Pernah suatu kali aku marah kepada Tuhan karena mengizinkanku mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis, tapi melarangku untuk mengejarnya. Itu terasa kejam, dan aku menyalahkan Dia karena menempatkanku dalam sebuah situasi yang aku rasa mustahil untuk dilalui.

Namun, seiring berjalannya tahun, ketika aku mulai mengerti siapa Allah sebenarnya—betapa Allah Bapa begitu baik dan begitu mengasihiku, betapa besar pengorbanan yang diberikan oleh Yesus, Sahabat dan Juruselamatku, dan betapa terpercayanya Roh Kudus, Penghibur dan Guruku—amarahku juga pelan-pelan tergantikan dengan rasa kagum, rasa syukur, dan rasa cinta yang semakin dalam kepada Tuhan.

Aku masih belum tahu secara pasti mengapa Tuhan mengizinkanku mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis. Aku mungkin baru akan tahu ketika aku bertemu dengan-Nya muka dengan muka. Namun hingga hari itu tiba, aku memilih untuk memegang firman Tuhan yang mengatakan bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Aku tahu bahwa Dia peduli denganku dan Dia setia berjalan bersamaku untuk kebaikan diriku.

Aku dapat memilih untuk lebih mengandalkan Tuhan

Setiap kali mata atau hatiku tertarik pada seorang laki-laki yang secara fisik menarik bagiku atau yang membangkitkan hasratku, aku harus mengingatkan diriku untuk menjauh dari hal-hal itu dan mendekat kepada Tuhan. Suatu waktu ketika aku merasa begitu berat untuk menjaga mataku dari hawa nafsu, aku bertanya kepada Tuhan mengapa aku harus bergumul dengan hal ini. Aku mendengar Dia berkata, “Matamu berkeliling karena hatimu tidak berlabuh pada-Ku.”

Benar saja, setiap kali aku secara sengaja menyisihkan lebih banyak waktu bersama Tuhan—untuk menyembah Dia dengan puji-pujian, untuk bertemu dengan-Nya di dalam firman Tuhan dan doa, dan bersekutu bersama orang-orang Kristen lainnya—aku jauh lebih mampu untuk menjauh dari hasratku kepada sesama jenis. Melalui hal ini, aku mengerti mengapa Alkitab memberitahu kita untuk “hidup oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging” (Galatia 5:16-17).

Aku mengingatkan diriku bahwa “barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (Galatia 6:8). Setiap kali aku bergumul, aku dapat memilih untuk berjalan bersama Roh, menabur untuk menyenangkan Dia, untuk menuai hidup yang kekal.

Aku juga telah belajar untuk secara sadar membawa rasa sakit dan kebutuhanku kepada Tuhan. Tuhan membuatku mengerti bahwa di balik ketertarikanku terhadap sesama jenis ada sebuah relasi yang rusak. Hal ini menyebabkanku mencari sosok, perhatian, dan kasih sayang seorang laki-laki yang tidak kudapatkan ketika aku dibesarkan. (Aku tahu orang lain mungkin memiliki kasus yang berbeda denganku.)

Jadi setiap kali aku terseret ke dalam ketertarikan dengan sesama jenis, aku memilih untuk membawa kerinduan hatiku ini kepada Tuhan, meminta-Nya untuk menolong dan menguatkanku, dan memberikan pemulihan bagi luka-lukaku. Aku mengingatkan diriku bahwa identitasku sebagai laki-laki ditentukan oleh standar Tuhan yang telah Dia berikan di dalam firman-Nya, yang tidak diajarkan oleh budaya kita. Dan aku meminta Dia untuk menunjukkanku bagaimana aku dapat mencari dan menerima perhatian dari para laki-laki dalam cara-cara yang sehat.

Dalam hal ini, ketertarikanku terhadap sesama jenis telah memberiku banyak kesempatan untuk lebih mengandalkan Tuhan. Aku memilih untuk mendekat kepada-Nya dan menerima cara-Nya untuk memulihkanku yang lebih baik daripada cara yang dapat kupikirkan.

Aku dapat memilih untuk menggunakan pergumulanku untuk tujuan-Nya

Baru-baru ini, Tuhan menunjukkanku bagaimana aku dapat memilih untuk menggunakan pergumulanku dengan ketertarikan terhadap sesama jenis ini untuk tujuan Kerajaan Allah.

Tuhan telah mempertemukanku dengan beberapa orang Kristen yang juga mengalami pergumulan yang sama dan sedang mencari pertolongan. Aku begitu terbeban untuk menjangkau mereka, dan aku sadar bahwa pengalaman pribadiku inilah yang membuat mereka mau terbuka kepadaku.

Di satu sisi, pengalaman ketertarikanku terhadap sesama jenis telah menolongku untuk memahami mereka. Sebagai seseorang yang mengetahui sakitnya pergumulan ini, aku dapat memahami apa yang mereka rasakan. Empati itulah yang menghubungkan kami, dan memungkinkan diriku untuk berbagi dengan mereka tentang apa yang telah Tuhan ajarkan kepadaku di sepanjang perjalananku ini. Di sisi lain, aku harus dengan sadar memperhatikan batasan-batasan fisik dan emosi, agar kami tidak jatuh ke dalam dosa.

Aku pun belajar bagaimana menyeimbangkan kedua hal itu dengan bijak. Akhirnya, aku dapat menggunakan pergumulanku dengan ketertarikan terhadap sesama jenis ini untuk menolong orang lain dan mengarahkan mereka kepada Tuhan, untuk kemuliaan-Nya dan untuk kebaikan mereka.

Aku dapat memilih untuk berpegang kepada apa yang Tuhan katakan

Ada banyak orang dalam budaya kita sekarang yang berpikir bahwa aku tidak menjadi diriku sendiri. Mereka berpikir bahwa aku seharusnya bebas menjadi diriku sendiri. Mereka percaya bahwa kebebasan berarti memiliki kemampuan untuk mengekspresikan seksualitasku dengan melakukan sesuai dengan apa yang kurasakan.

Namun seorang teolog Amerika, Erik Thoennes, berkata, “Ada pemikiran yang mengatakan bahwa hidup berbeda dari apa yang aku rasakan adalah sebuah bentuk kemunafikan; tapi itu adalah definisi yang salah tentang kemunafikan. Hidup berbeda dari apa yang aku percayai, itu baru kemunafikan. Hidup sesuai dengan apa yang aku percayai, terlepas dari apa yang aku rasakan, bukanlah kemunafikan; itu adalah integritas.”

Tuhan telah mengajarkanku bahwa identitas diriku bukanlah apa yang kurasakan, tapi apa yang Dia katakan tentang diriku di dalam firman-Nya. Aku memilih untuk hidup dengan integritas dan berpegang kepada kebenaran itu, terlepas dari apa yang aku rasakan. Inilah bagaimana aku memilih untuk menjadi diriku sendiri. “Dalam tradisi Kristen,” kata penulis Richard John Neuhaus, “menjadi dirimu sendiri berarti menjadi diri yang sesuai dengan panggilan hidupmu.”

Tuhan mempunyai kuasa penuh terhadap hidupku. Dan aku dapat percaya kepada-Nya karena Dia, yang mengetahui yang terbaik untukku, mengasihiku dengan begitu dalam dan mampu membentukku untuk menjadi pribadi yang terbaik yang sesuai dengan panggilan-Nya bagiku.

Aku dapat memilih untuk mengasihi Tuhan dengan apa yang aku miliki

Seringkali aku merasa tidak punya banyak hal yang dapat kuberikan kepada Tuhan. Aku berpikir betapa aku dapat lebih mudah untuk taat kepada-Nya dan lebih efektif untuk melayani sesama jika aku tidak bergumul dengan masalah ketertarikan dengan sesama jenis ini. Namun, kini aku percaya bahwa Tuhan sesungguhnya jauh lebih peduli dengan hatiku yang ingin memberi daripada seberapa banyak yang dapat kuberikan kepada-Nya.

Ada dua kisah di Alkitab yang begitu melekat bagiku. Yang pertama adalah kisah tentang persembahan seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4), dan yang lain adalah kisah ketika Yesus diurapi oleh seorang perempuan dengan minyak wangi yang mahal (Matius 26:6-13; Markus 14:3-9). Yesus memuji janda miskin tersebut meskipun dia hanya mempersembahkan dua koin yang kecil, karena “janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya” (Markus 12:44). Kepada perempuan yang lain, Dia berkata, “Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku” (Markus 14:6). Yesus menghargai persembahan janda miskin tersebut sama seperti Dia menghargai tindakan perempuan yang mengurapi-Nya dengan minyak wangi yang mahal.

Kedua cerita ini mengajarkanku bahwa Tuhan berkenan kapan pun aku memberikan segala yang kumiliki kepada-Nya, tidak peduli seberapa banyak jumlahnya, dan Dia melihat ini sebagai suatu perbuatan yang baik. Segala yang Dia minta daripadaku adalah untuk percaya kepada-Nya dan mengasihi-Nya dengan segenap hatiku dan mempersembahkan seluruh hidupku—kekuatanku dan pergumulanku—kepada-Nya.

* * *

Dalam perjalanan untuk percaya kepada Tuhan dengan segenap hatiku dan mengakui Dia dalam segala lakuku ini, aku tahu bahwa Dia akan meluruskan jalanku (Amsal 3:5-6). Meskipun aku tidak mempunyai pilihan akan seksualitasku, aku dapat memilih untuk menaati dan mengasihi Dia. Ketika aku melakukannya, aku tahu pilihan-pilihanku akan berkenan bagi Tuhan, dan akan membawaku untuk menyembah Dia dengan lebih sungguh, membuatku dapat menerima lebih banyak pemulihan, dan memampukanku untuk menolong orang lain dengan pergumulan yang sama.

Aku menantikan datangnya hari ketika aku akhirnya dapat bertatap muka dengan Dia yang aku kasihi. Dan aku ingin menjalani sebuah hidup yang diisi dengan pilihan-pilihan yang menyenangkan-Nya, sehingga ketika Tuhan melihatku, Dia akan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia! (Matius 25:23) Kamu telah memberikan semua yang ada padamu (Markus 12:44). Kamu telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku (Markus 14:6).”

Segala usahaku takkan sia-sia bagi Dia yang layak menerima segala puji dan hormat.

Sharing: Kekecewaan Apa yang Pernah Kamu Alami dan Bagaimana Tuhan Menolongmu Menghadapinya?

warungsatekamu-sharing-201611

Kekecewaan apa yang pernah kamu alami dan bagaimana Tuhan menolongmu menghadapinya? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…