Ketika Tuhan Menolak Proposal Hidupku

Ketika-Tuhan-Menolak-Proposal-Hidupku

Oleh Listiyani Chita Ellary, Jember

Semua orang tentu bercita-cita untuk memiliki hidup yang damai, aman, semua impian tercapai, dan tentunya tidak ada orang yang ingin hidupnya dipenuhi kerikil-kerikil tajam. Aku pun bercita-cita demikian. Sudah sejak lama aku membuat daftar rencana hidupku ke depan, mulai dari tempat kuliah, target kelulusan, nanti akan bekerja di mana, bahkan menikah di umur berapa. Semua itu telah kurencanakan dengan rapi bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah.

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku itu, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, setelah tahun-tahun berlalu, aku terus menerus mengajukan proposal itu tanpa memohon persetujuan-Nya. Akhirnya tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai dengan rencanaku. Aku pun menjadi kecewa ketika ternyata Tuhan tidak mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.

Ketika Tuhan menjawab proposal itu dengan jawaban lain

Jurusan kuliah yang kutekuni ternyata melenceng jauh dari yang aku rencanakan. Sejak sekolah dulu aku selalu membayangkan diriku menjadi seorang interior designer ternama. Namun, impianku buyar ketika orangtuaku ternyata tidak setuju dengan keinganku berkuliah di jurusan itu. Kami pun berselisih paham dan akhirnya aku memilih untuk kuliah di fakultas teknik.

Selama kuliah pun indeks prestasi yang kuraih hanya pas-pasan, bahkan di beberapa semester aku sempat mendapatkan nilai yang sangat rendah. Aku sempat menyalahkan Tuhan dan mengeluh kepada-Nya. “Tuhan, aku sudah berusaha sebisa mungkin tapi kenapa hanya hasil seperti ini yang kudapatkan?” Aku juga menyalahkan kedua orangtuaku karena mereka menuntutku untuk kuliah di jurusan yang bukan keinginanku. Jadi, kupikir wajar saja jika nilai-nilai yang kuperoleh itu pas-pasan.

Setelah melewati pergumulan sepanjang kuliah, aku pun lulus dan menyandang gelar sarjana Teknik. Tapi, permasalahan tidak berhenti di situ. Pekerjaan yang kudapatkan ternyata jauh berbeda dengan bidang yang aku pelajari selama kuliah. Kok sarjana Teknik kerjanya di bidang marketing? Pertanyaan itu sering kudengar dari orang-orang sekitarku yang akhirnya membuatku gerah dan menggerutu.

Rasa kecewaku itu masih harus ditambah ketika aku dan kekasihku harus putus setelah menjalin hubungan selama 4 tahun. Aku merasa hatiku saat itu telah hancur dan aku kembali mengeluh kepada Tuhan. “Tuhan, aku sudah merencanakan pernikahanku dengannya, tapi kenapa kami harus berpisah?” Aku sudah mengenal kekasihku dengan baik, sikap buruk maupun baiknya aku sudah tahu, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengan keluarganya. Dan sekali lagi, Tuhan menolak kembali proposal terakhirku. Sirna sudah rencana pernikahan yang sudah aku susun dengan rapi.

Di mana Tuhan ketika aku kecewa?

Aku bertanya, “Di mana Tuhan ketika aku mengajukan banyak proposal hidupku? Tuhan diam saja kah? Atau Tuhan sudah tidak mau ambil bagian di hidupku? Kenapa semua proposal hidupku tidak satupun yang Tuhan kehendaki?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benakku hingga suatu ketika aku hadir di sebuah ibadah hari Minggu. Khotbah hari itu diambil dari Yeremia 29:11 yang berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sejenak aku merenung dan melontarkan pertanyaan kepada diriku sendiri. “Apakah selama ini semua rencanaku adalah rencana damai sejahtera? Ataukah semua rencanaku itu merupakan buah ambisiku semata?” Tentu aku hanya mengajukan permohonan, bukan lagi memohon revisi Tuhan atas semua proposal hidupku.

Aku mulai menyadari bahwa aku terpaku pada rencanaku tanpa mempedulikan rencana Tuhan yang sudah Dia rancangkan untukku. Aku telah melupakan Allah pencipta hidupku yang sudah tentu jauh lebih mengenalku bahkan sejak aku masih dalam kandungan.

Dari setiap kejadian “kegagalan proposal” ini aku menyadari banyak kesalahan yang terjadi pada diriku sendiri. Aku salah karena aku mengabaikan kehendak Tuhan tanpa bertanya terlebih dulu apakah Dia menyetujui proposalku. Aku malah bersikeras menganggap kalau proposal versiku sendiri adalah yang terbaik buatku.

Aku menyadari bahwa setiap proposal yang aku ajukan kepada Tuhan itu hanyalah ambisiku pribadi dan aku mengabaikan apakah proposal itu menyenangkan hati Tuhan? Apakah proposal hidupku itu memberi dampak baik bagi banyak orang, membuat makin mengasihi Tuhan, atau justru malah membuatku membanggakan diri dan menjauh dari Tuhan?

Kalau saja Tuhan menyetujui semua proposal hidupku, mungkin sekarang aku sudah semakin tinggi hati dan berbangga diri atas kemampuanku sendiri. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan sudah menolak bukan hanya sebagian, tapi seluruh proposal hidupku. Penolakan itu membuat aku bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Sekarang aku tidak lagi mengajukan proposal hidupku, melainkan aku menikmati Tuhan menyatakan semua rencana dan proses-Nya di dalam hidupku. Aku percaya bahwa aku sedang dibentuk-Nya untuk semakin baik dalam karakter, iman, dan cara pandangku terhadap hidup.

Kita dapat memandang kehidupan dengan cara yang berbeda ketika kita bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Kita percaya bahwa tangan Tuhan senantiasa tersedia bagi masa depan kita. Tidak ada yang patut ditakutkan dan dikhawatirkan lagi ketika kita memiliki penjamin hidup yang kekal. Sebuah kesia-siaan ketika kita hanya sibuk pada fokus pribadi tanpa mengerti tujuan kita. Apakah kita mau memuaskan keinginan diri sendiri atau menyenangkan hati Tuhan?

Aku pun mulai menyadari dan terus menghidupi firman-Nya di dalam hatiku. Bahwa bukan saja aku yang memiliki rencana melainkan Tuhan sudah berencana dan berkuasa penuh atas hidupku. Masa-masa mendatang tak perlu kucemaskan lagi, karena Sang Empunya hidup sudah memegang kendali penuh atas hidupku.

Lalu apakah aku hanya diam saja menanti kehendak Tuhan? Tentu tidak. Aku menjalani hidup dengan “proposal baru” dengan membiarkan Tuhan mengoreksi proposal-proposal baruku. Sehingga hidupku bukan hanya saja tentang aku melainkan tentang kehendak Tuhan atas hidupku.

Pekerjaanku sebagai seorang marketing bukan hal yang harus kututup-tutupi lagi. Aku bersyukur dan bangga bahwa melalui pekerjaan ini aku banyak bertemu orang dengan berbagai karakter, malah menjadi sarana untuk boleh mewartakan kasih Tuhan melalui perjumpaanku dengan mereka. Aku percaya melalui sikap yang baik, pikiran yang baik, dan tutur kata yang baik akan membawa orang-orang mencari sumber dari kebaikan tersebut dan dari situlah aku tahu bahwa Tuhan mengutusku bukan hanya mengerjakan bagianku ala kadarnya melainkan aku diutus untuk menjadi garam dan terang bagi sekelilingku.

Baca Juga:

Menikmati Anugerah Tuhan dalam Cacat Fisik yang Kualami

Perjalananku untuk menggapai cita-cita sebagai Sarjana Psikologi tidaklah mudah, terlebih karena sebuah cacat fisik yang kupunya sejak lahir. Tapi, ketika aku mengingat kembali bagaimana akhirnya aku bisa kuliah Psikologi, aku menyadari bahwa semuanya itu hanya karena anugerah Tuhan.

Menikmati Anugerah Tuhan dalam Cacat Fisik yang Kualami

Menikmati-Anugerah-Tuhan-dalam-Cacat-Fisik-yang-Kualami

Oleh Novianne Vebriani, Bandung

Terdiam sejenak aku menikmati dinginnya malam, ditemani oleh bunyi detik jam di kamarku. Aku sedang mempersiapkan tugas akhirku untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi. Jika aku mengingat kembali bagaimana akhirnya aku bisa kuliah Psikologi, aku menyadari bahwa itu semua hanya karena anugerah Tuhan. Perjalananku untuk menggapai cita-cita ini tidaklah mudah, terlebih karena sebuah cacat fisik yang kupunya sejak lahir.

Aku terlahir dalam keadaan prematur dan mengalami gangguan otot pada bagian kaki yang pada akhirnya menjadikan aku tidak bisa berjalan normal apalagi berlari. Saat masih duduk di bangku sekolah dulu, teman-teman sering memanggilku “pincang”. Tapi, meskipun aku memiliki cacat fisik dan ada teman-teman yang menjadikan kekuranganku itu sebagai candaan, aku tetap memiliki cita-cita.

Sejak masa SMP aku sering membaca buku dan salah satu buku yang pernah kubaca itu berjudul “Sheila” yang ditulis oleh Torey L. Hayden. Buku ini begitu istimewa karena menceritakan perjalanan seorang guru yang membaktikan hidupnya untuk mengajar di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui buku ini aku mulai merasa tertarik terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.

Saat itu aku menceritakan hal-hal yang aku baca itu kepada guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolahku. Aku menceritakan kepadanya tentang cita-citaku ingin menjadi guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Beliau menjelaskan kepadaku kalau untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan khusus maka aku harus mendaftar kuliah di Jurusan Psikologi.

Waktu terus berjalan, aku tetap memiliki minat terhadap psikologi hingga saat aku memasuki masa SMA. Selain membaca buku-buku tentang psikologi, aku juga menyiapkan diriku untuk menjadi pendengar yang baik. Kemampuan itu semakin terasah ketika aku bisa menjadi tempat curhat bagi sahabat-sahabatku. Aku juga bergabung dengan sebuah persekutuan doa di gereja supaya bisa saling menguatkan satu sama lain.

Jika kelak aku bisa kuliah di Jurusan Psikologi, aku sangat ingin membantu anak-anak yang memiliki kekurangan fisik sepertiku. Aku ingin membantu mereka meringankan hari-hari mereka yang berat. Untuk menggapai cita-cita itu aku pun melatih diriku, salah satunya adalah dengan menjadi pendengar yang baik.

Perjuanganku untuk menjadi Sarjana Psikologi

Tetapi, jalanku untuk bisa kuliah ke jurusan Psikologi itu tidaklah mudah. Tuhan mengizinkanku melewati berbagai tantangan yang harus aku lalui. Kadang aku terjatuh dan merasa sulit untuk bangkit, salah satunya adalah ketika aku diperhadapkan dengan masalah keluarga. Sejak aku masih kecil orangtuaku telah bercerai dan aku lebih banyak diasuh oleh kakek dan nenekku.

Dilahirkan di keluarga yang broken-home membuatku khawatir akan masa depanku. Seringkali aku berdoa kepada Tuhan memohon supaya Dia memulihkan kembali keluargaku. Aku hanya menceritakan pergumulan ini kepada sahabatku yang juga memiliki masalah keluarga sepertiku. Persahabatan inilah yang akhirnya membantuku untuk terus kuat menjalani kehidupanku.

Sahabatku itu selalu mengajarku untuk berdoa dalam keadaan apapun. Dia juga mengatakan kalau untuk kelak menjadi seorang psikolog, aku harus menjadi perempuan yang tegar menghadapi setiap persoalan kehidupan. “Kelak pengalaman hidup yang kamu rasakan sekarang akan menguatkan orang-orang lain yang juga mengalami pergumulan seperti kamu,” kata dia kepadaku.

Saat ini di usiaku yang menginjak usia ke-23 tahun, perlahan tetapi pasti aku dapat melihat penyertaan Tuhan yang sempurna. Memang kedua orangtuaku tidak menjadi rujuk kembali, tapi aku tetap mengucap syukur atas semua yang terjadi dalam kehidupanku.

Ada satu ayat Alkitab dari 1 Korintus 10:13 yang menguatkanku. “Pencobaan–pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Kini tinggal selangkah lagi aku dapat mewujudkan mimpiku sebagai seorang Sarjana Psikologi dan memulai karierku selanjutnya sebagai seorang pengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Apapun yang terjadi di dalam hidupku adalah rancangan Tuhan. Dia menenun kita dalam kandungan ibu kita. Memang setiap proses dalam kehidupan ini tidak selalu berjalan mulus. Kadang kita dihadapkan dengan keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi, Tuhan menempatkan kita di dunia ini bukanlah suatu kebetulan. Kita memiliki tugas untuk memuliakan Tuhan dan menjadi kesaksian bagi orang di sekitar kita. Semoga kita selalu melibatkan Tuhan di dalam setiap langkah kehidupan kita.

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (Mazmur 23:4).

Baca Juga:

Kisahku sebagai Putri Seorang Penarik Becak yang Belajar Mengampuni

Ibuku meninggal saat aku duduk di kelas 2 SD karena penyakit kanker. Beberapa tahun kemudian, ayahku yang bekerja sebagai penarik becak pun dipanggil Tuhan karena penyakit darah tinggi. Di tengah kemiskinan dan kehidupanku sebagai yatim piatu, Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik untukku. Inilah sepenggal kisahku yang ingin kubagikan kepadamu.

Kisahku sebagai Putri Seorang Penarik Becak yang Belajar Mengampuni

Oleh Yezia Sutrisni, Tangerang

Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ibuku menderita penyakit kanker payudara dan akhirnya meninggal saat aku duduk di kelas 2 SD. Selama hampir satu tahun ibuku terbaring lemah di tempat tidur melawan sakit kankernya.

Setelah ibuku meninggal, aku tinggal bersama ayah dan dua orang kakakku. Hari demi hari kami lewati tanpa kasih sayang seorang ibu. Sehari-harinya ayah bekerja sebagai penarik becak di kota Yogyakarta, sedangkan kami tinggal di kabupaten Klaten. Ayah hanya pulang menemui kami beberapa kali dalam satu bulan.

Ketika aku berusia 9 tahun, ayahku juga jatuh sakit sehingga tidak bisa bekerja maksimal. Penyakit darah tinggi akut yang diderita ayah membuatnya tidak bisa menarik becak setiap hari dan aku pun harus merawatnya. Di usiaku yang masih kecil itu aku harus menggantikan peran ibu.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku harus bangun jam 5 pagi dan memasak untuk seluruh isi rumah. Sebelum berangkat ke sekolah aku harus memastikan makanan untuk ayah sudah tersedia sehingga dia tidak harus berdiri untuk mengambil makan. Penyakit darah tinggi ayah membuatnya sulit berdiri, mungkin juga dia akan jatuh. Mau tidak mau aku harus membantunya makan, mandi, dan melakukan aktivitas lain.

Ketika tetangga-tetangga melihat keadaan kami waktu itu, mereka selalu bertanya, “Di mana saudara-saudaramu yang lain?” Usiaku dengan kakak-kakakku terpaut cukup jauh. Dengan kakak pertamaku saja kami berbeda hampir 20 tahun. Empat kakak-kakakku waktu itu telah sibuk sendiri. Ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang merantau jauh. Mereka seolah tidak peduli dengan keadaan ayah saat itu.

Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan keberadaan kakak-kakakku. Entah karena aku terlalu polos atau hanya menerima segalanya dengan ikhlas, aku lupa persisnya perasaanku seperti apa. Yang aku tahu adalah kakak-kakakku mungkin pernah mengalami kepahitan. Ayah memang orang yang keras, dia sering memukul dan melontarkan kata-kata kasar kepada anak-anaknya.

Ketika aku ditelantarkan oleh kakak-kakakku

Setelah sekitar tiga tahun hidup dalam keadaan sakit, ayahku dipanggil pulang oleh Tuhan. Kehidupan keluargaku semakin sulit dan aku pun tinggal berdua bersama kakakku yang kelima. Kakak-kakakku yang lain ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang merantau.
Kami berdua menjalani hidup tanpa orangtua. Kadang kami hanya makan menggunakan nasi putih dan sambal saja. Kadang kami pun menjual pohon bambu yang kami tanam di depan rumah untuk bisa membeli makanan. Beras pun kami dapat dari jatah beras miskin pemerintah. Kadang juga tetangga kami yang merasa iba memberi kami makanannya.

Aku sempat berpikir kalau kami ini enam bersaudara, maka seharusnya aku tidak sampai harus hidup seperti ini. Aku merasa ditinggalkan dan tidak memiliki siapapun dan bertanya-tanya mengapa kakak-kakakku yang lain itu tidak mau peduli dengan kedua adiknya? Sejujurnya kami punya alasan untuk menyimpan luka dan membenci mereka.

Ketika aku mengenal Yesus

Dulu aku bukanlah orang Kristen, demikian juga dengan kedua orangtuaku. Saat aku mulai duduk di bangku sekolah dasar, salah seorang kakakku yang telah menjadi Kristen terlebih dulu sempat membawaku untuk ikut ke sekolah minggu. Setelah itu aku menjadi lebih sering datang ke gereja walau tidak selalu hadir setiap minggunya. Sekalipun orangtuaku bukan Kristen, tapi mereka tidak melarangku untuk pergi ke gereja.

Setelah kedua orangtuaku dipanggil Tuhan, aku sendiri bingung akan masa depanku. Hingga pendeta di gerejaku mempertemukanku dengan seorang bapak dari Kalimantan. Akhirnya bapak ini secara tidak langsung “mengadopsiku” dengan membiayai seluruh kebutuhanku. Saat aku masuk SMA, aku pun pindah dari Klaten ke kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Aku memang tidak tinggal satu rumah dengan ayah angkatku itu, tapi beliau sering menyempatkan dirinya mengunjungiku di Yogyakarta dan memastikan kebutuhanku terpenuhi. Ketika liburan tiba, aku pun diajaknya ke Kalimantan dan tinggal bersama keluarga angkatku. Mereka begitu mengasihiku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri.

Kebaikan mereka itulah yang akhirnya semakin memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Mereka mendukungku selayaknya aku adalah anak kandung mereka sendiri. Ketika aku sudah lulus dari SMA, mereka mendukung penuh studiku di perguruan tinggi hingga akhirnya aku bisa lulus menjadi seorang sarjana.

Sekalipun sejak kecil aku datang ke gereja, tapi aku merasa hidupku datar. Aku membaca firman Tuhan, tapi tidak mengerti apa yang dimaksud. Barulah ketika aku mulai duduk di bangku kuliah, lambat laun aku mulai mengerti betapa baiknya Tuhan Yesus kepadaku. Lewat kasih sayang tulus yang diberikan oleh ayah angkatku, aku dapat merasakan kasih Tuhan bahwa Dia tidak pernah meninggalkanku seorang diri.

Saat ini aku telah menyelesaikan studiku dan bekerja di sebuah lembaga pelayanan di Tangerang. Sesekali ketika aku merenung, aku bisa saja berpikir untuk membenci saudara-saudaraku atas perbuatan mereka saat aku menderita susah dulu. Tapi, setiap kali bersaat teduh aku selalu ingat ayat di mana Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengampuni, bahkan lebih dari sekadar mengampuni, Tuhan meminta kita untuk mengasihi. “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagai Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32).

Aku manusia berdosa dan Tuhan sudah mengampuni dosaku. Ketika aku mulai berpikir untuk membenci kakak-kakakku, aku selalu melihat kembali kepada diriku sendiri yang penuh dosa dan Tuhan sudi mengampuniku. Betapa egoisnya aku ketika Tuhan sudah mengampuniku tetapi aku tidak mau mengampuni saudara-saudaraku.

Secara manusia memang berat untuk mengampuni orang yang telah menyakitiku, tapi aku selalu memohon agar Tuhan memampukanku. Setiap hari aku berdoa untuk semua kakak-kakakku, memohon agar mereka yang belum mengenal Tuhan dapat menjadi percaya. Aku belajar untuk sesekali menyapa mereka lewat telepon. Saat ini aku sudah mengampuni mereka dan mengasihi mereka.

Aku belajar dari kisah Yusuf yang tetap tekun dan berpengharapan sekalipun dia harus dibuang oleh kakak-kakakknya. Aku percaya bahwa kisah masa laluku yang kelam merupakan alat yang dipakai Tuhan untuk menyiapkan masa depanku. Tanpa masa lalu yang keras mungkin aku takkan menjadi seorang yang tegar.

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar,” (Kejadian 50:20). Seperti kisah Yusuf, mungkin ada rancangan-rancangan jahat yang dilakukan oleh manusia terhadap kita, tapi aku percaya bahwa Tuhan sanggup mengubah itu menjadi kebaikan untuk kita.

Tuhan telah menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Kita yang seharusnya dihukum karena dosa-dosa kita, tapi karena kematian-Nya kita beroleh keselamatan. Dari pengalaman hidupku, aku dapat memaknai Paskah sebagai momen ketika Tuhan mengampuni dosaku maka aku pun harus mengampuni orang lain yang bersalah kepadaku, bahkan mengasihi mereka sama seperti Tuhan mengasihiku.

Kita tidak akan pernah bisa mengampuni bahkan mengasihi orang yang sudah menyakiti kita dengan kekuatan sendiri. Kita membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan saja yang memampukan kita untuk mau mengampuni dan melembutkan hati mereka. Datanglah kepada Tuhan dan minta supaya Dia memampukan kita.

Baca Juga:

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Katie adalah seorang perempuan kecil yang harus melakukan transfusi darah karena penyakit langka yang dideritanya sejak lahir. Namun, kelak ia dapat disembuhkan ketika ada ada orang lain yang mau menjadi donor baginya. Kisah tentang Katie ini mengingatkanku kembali tentang anugerah keselamatan yang Tuhan Yesus berikan.

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Tuhan-Yesus-Terima-Kasih-untuk-Anugerah-Keselamatan-yang-Kau-Berikan

Oleh Suparlan Lingga, Amerika Serikat

“Selamat ya Pak, putri Anda sudah lahir dengan selamat,” ucap sang perawat kepada Steve atas kelahiran anak keduanya. Wajah Steve langsung berseri-seri, dia pun masuk ke ruang bersalin lalu memeluk dan mencium istrinya, Stacy. Hari itu, tanggal 12 Desember 2002, adalah hari yang penuh sukacita karena mereka menyambut kelahiran buah hati yang mereka namai “Katie”.

Semua kelihatan berjalan baik dan normal, namun beberapa jam kemudian tiba-tiba Katie mengalami sesak nafas dan lemas. Katie langsung dilarikan ke unit perawatan khusus bayi (NICU). Setelah diperiksa, ternyata kadar sel darah merahnya sangat rendah. Dokter pun langsung memberitahu orangtuanya bahwa Katie membutuhkan transfusi darah untuk menyelamatkan hidupnya.

Dua bulan kemudian, Katie kembali didiagnosa menderita Diamond-Blackfan Anemia (DBA), sebuah penyakit langka di mana tulang sumsum tidak bisa memproduksi cukup sel darah merah (sel darah merah berfungsi membawa oksigen ke jaringan tubuh). Jadi untuk bertahan hidup, Katie harus selalu mendapat transfusi darah rutin setiap bulan.

Perawatan inipun hanya bersifat sementara karena transfusi darah yang dilakukan secara rutin dapat membuat tubuh Katie menerima zat besi berlebih sehingga akan merusak organ-organ tubuh Katie yang lain. Apabila organ-organ tubuh vital mengalami kerusakan, penderita penyakit ini kemungkinan hanya bisa hidup mencapai usia 30 atau 40 tahunan.

Keluarga Katie sangat terpukul mendengar hasil diagnosa ini. Mereka berusaha keras mencari pengobatan alternatif untuk menyelamatkan Katie. Sambil menjalankan transfusi darah bulanan, mereka berusaha mencari informasi dari berbagai dokter dan pakar kesehatan.

Kemudian ada secercah harapan untuk menolong Katie, yaitu dengan melakukan transplantasi tulang sumsum. Syaratnya, itu harus dilakukan sebelum Katie berumur lima tahun. Transplantasi ini harus diambil dari saudara yang secara genetik memiliki Human Leucocyte Antigen (HLA) persis sama dengan Katie. Setelah diperiksa, ternyata tidak satupun saudara Katie yang memiliki genetik persis sama. Keluarga Katie kembali sedih dan putus harapan.

HLA merupakan suatu protein yang berfungsi mengatur sistem imun tubuh dan biasanya digunakan untuk proses pencocokkan antara donor dan resipien. Sebagian HLA ini diturunkan dari ayah, dan sebagian lagi dari ibu. Jadi, sekalipun saudara kandung, peluang kecocokan HLA ini hanya 25% saja.

Beberapa waktu kemudian, seorang dokter mengatakan bahwa Katie bisa diselamatkan apabila Katie memiliki adik yang genetiknya persis sama. Ini bisa dilakukan dengan metode In Vitro Fertilization (IVF) dan Pre-implantation Diagnosis (PGD). Dengan metode IVF (sering disebut bayi tabung), beberapa embrio akan dibuat dalam laboratorium khusus. Lalu sel embrio ini akan di-screening melalui PGD untuk melihat mana yang memiliki gen sama dengan Katie dan paling sehat.

Embrio terbaik akan dimasukkan ke rahim ibunya. Lalu lahirlah seorang bayi yang disebut ‘savior siblings’; seorang anak yang akan menyelamatkan saudaranya yang sakit dengan berperan sebagai donor hidup.

Meskipun diwarnai pro-kontra, keluarga Katie akhirnya menerima pilihan ini. Bulan Mei 2005, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Christopher. Setelah Christopher berumur setahun, dilakukan transplantasi tulang sumsum dan Katie pun sembuh.

* * *

Kisah Katie merupakan sebuah kisah nyata dari keluarga Steve dan Stacy Trebing yang ditulis lengkap oleh seorang jurnalis bernama Beth Whitehouse. Kisah itu kini dapat ditemukan dalam buku yang berjudul “The Match, Savior Siblings and One Family’s Battle to Heal Their Daughter.”

Sebagai seorang mahasiswa jurusan Health Care Management, kisah Katie ini menjadi bagian dari bahan presentasiku tentang ‘savior siblings’ atau ‘saudara penyelamat’ di kelas Etika dan Hukum Kesehatan, Universitas Massachusetts Lowell, Amerika Serikat. Terlepas dari pro-kontranya, konsep ‘savior siblings’ ini terbukti efektif menyelamatkan anak yang menderita penyakit langka.

Ketika mempersiapkan bahan presentasi, aku merasa diingatkan kembali tentang bagaimana Yesus menyelamatkan manusia. Kalau ‘savior siblings’ berarti harus memiliki genetik yang sama untuk menyelamatkan saudaranya, maka Yesus turun ke dunia dan menjadi sama seperti manusia untuk menyelamatkan kita yang berdosa. Hanya dengan cara seperti itulah, kita bisa diselamatkan dari maut.

Dengan kelahiran Yesus ke dunia, kita bisa melihat Allah dalam rupa manusia. Dengan penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, dosa kita ditebus sehingga kita tidak binasa. Inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita. Tidak ada jalan atau cara lain. Ini semua karena Allah sungguh mengasihi kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Hanya dengan pengorbanan Yesuslah, kita bisa diselamatkan. Dialah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak ada satu makhlukpun atau agama apapun yang bisa menjamin keselamatan selain Yesus. Dialah Tuhan dan Juruselamat kita. Seperti kata Yesus, ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

Jadi kita memang harus bersyukur dan bersukacita dengan anugerah keselamatan yang diberikan Allah melalui kelahiran Yesus ke dunia. Jangan pernah ragu dengan keselamatan yang dijamin Yesus. Mari kita hidupi anugerah keselamatan ini dengan pertobatan sejati dan menjalankan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur Meski Harus Kehilangan Impianku

Kehidupan perkuliahanku berjalan dengan lancar. Aku berhasil mendapatkan IPK di atas 3.50 dan tidak pernah mengulang mata kuliah. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir. Ada banyak masalah yang terjadi dan menghambatku untuk lulus tepat waktu. Dan inilah pengalamanku yang ingin kubagikan kepadamu.

Sharing: Selain Keselamatan, Anugerah Apa yang Sangat Kamu Syukuri?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201704

Selain keselamatan, anugerah apa yang sangat kamu syukuri? Bagikan sharing kamu di dalam kolom komentar. Kiranya sharingmu dapat memberkati sobat muda yang lain.

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur, Meski Harus Kehilangan Impianku

ketika-aku-berjuang-untuk-jujur-meski-harus-kehilangan-impianku

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Ketika memasuki dunia perkuliahan dulu, aku bersyukur karena bisa melaluinya dengan baik. Di semester pertama aku mendapat nilai A untuk semua mata kuliah sehingga aku meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 4.00. Di semester-semester selanjutnya aku sempat mengalami penurunan IPK, tetapi puji Tuhan karena aku masih boleh mendapatkan IPK di atas 3.50.

Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu pun mata kuliah yang harus aku ulang. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan psikologi, tugas akhir yang harus kuselesaikan itu terdiri dari dua tahapan. Pertama adalah usulan penelitian, kedua adalah skripsi. Di tahap pertama aku harus menyusun bab 1 sampai 3, sedangkan di tahapan skripsi aku harus menyusun bab 4 dan 5.

Di tahap pertama aku mengalami kesulitan. Seharusnya tahap pertama ini selesai dalam waktu satu semester saja, tetapi aku butuh waktu empat semester! Sekitar dua tahun kuhabiskan hanya untuk berkutat di bab satu sampai tiga.

Berulang kali aku harus merombak isi bab pertamaku karena ternyata masalah yang ada di lapangan itu tidak relevan dengan judul penelitan yang aku ambil. Sulit bagiku untuk memahami apa yang diinginkan oleh dosen pembimbing, sehingga ini juga menjadi salah satu hambatan di balik lamanya proses bab satu itu. Lalu, waktuku pun terbatas karena aku melakukan penelitian ini di sebuah sekolah. Kalau sekolah itu sedang libur atau ujian, tentu penelitian itu tidak bisa kulakukan.

Setelah berkutat selama empat semester, akhirnya aku bisa melanjutkan ke tahap kedua, yaitu skripsi.

Saat aku merasa putus asa

Ternyata proses penyusunan skripsi ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada saja hal yang membuatku merasa putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Aku pikir skripsi ini akan lebih mudah karena tinggal menyusun hasil temuan data. Tapi, ternyata hasil temuan dataku bermasalah.

Metode penelitian yang kugunakan ternyata kurang lengkap sehingga aku tidak mendapatkan data yang maksimal. Lambat laun aku mulai merasa jenuh karena proses skripsi ini tidak kunjung selesai. Aku harus pergi bolak-balik menemui dosen pembimbingku yang lokasi rumahnya cukup jauh, bahkan sering juga dosenku itu lupa kalau ada jadwal pertemuan denganku.

Aku bertambah bingung ketika teman-temanku sering berkomentar, “Kok lama amat sih ga beres-beres, padahal IPK kamu kan lumayan.” Aku hanya bisa tertawa ketika teman-teman berkata seperti itu walau di dalam hatiku komentar itu terasa “menusuk”. Di tengah frustrasiku, ayahku bahkan sempat memintaku untuk “memberi amplop” pada dosen pembimbingku supaya proses skripsiku bisa dipermudah. Namun aku menolak usulan ayahku itu.

Di tengah kebingungan itu teman-temanku memberi saran untuk memanipulasi data. Si A dan si B juga dimanipulasi sedikit datanya supaya bisa cepat lulus. “Udahlah, zaman sekarang mah gak usah terlalu suci, susah kalau gitu mah, ya diubah sedikit hasil penelitiannya mah ga apa-apa dong,” kata teman-temanku.

Aku merasa malu, aku merasa percuma saja mendapatkan IPK tinggi tetapi tidak bisa lulus tepat waktu dan mendapatkan predikat cum laude. Aku menganggap cum laude itu sebagai sesuatu yang nantinya bisa aku banggakan. Aku senang jika ada orang-orang yang memujiku dan menganggapku hebat. Walaupun ketika dipuji aku tetap berusaha rendah hati, tapi harus kuakui kalau ada perasaan bangga dan aku ingin supaya orang-orang menilaiku sebagai orang yang berprestasi.

Hal-hal itulah yang membuatku berpikir kalau dengan meraih predikat cum laude maka aku akan “terkenal”, apalagi saat wisuda nanti ada ribuan orang yang hadir, termasuk juga para orang tua mahasiswa. Aku ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarku kalau aku adalah mahasiswa berprestasi.

Tantangan untuk berlaku jujur

Sejujurnya, perkataan teman-temanku itu sempat membuatku berpikir. “Apa iya aku harus sedikit curang supaya bisa lulus?” Aku merasa sangat bingung waktu itu, apalagi untuk mendapatkan predikat cum laude itu pun ada batasan masa kuliahnya. Aku benar-benar menghadapi dilema saat itu.

Ketika menghadapi dilema ini aku hanya bisa terus berdoa. Aku menceritakan segala keluh kesahku kepada Tuhan dan meminta hikmat tentang apa yang harus aku lakukan. Aku juga bersyukur karena mempunyai teman yang selalu mendukung dan menguatkan aku. Dia cukup sering memantau kemajuan tugas akhirku dan berusaha menyemangatiku.

Salah satu ayat yang menguatkan aku adalah “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5 : 37). Ayat ini menantang aku sekaligus mengingatkan aku untuk tetap berlaku jujur dan setia. Tuhan tidak berjanji kalau jalan yang harus kita lalui adalah jalan yang mulus, tetapi Tuhan menjanjikan kekuatan bagi orang-orang yang berharap padaNya.

Aku bersyukur walaupun dengan perjuangan yang berat sampai kadang aku pun menangis, Tuhan masih menjagaku sehingga aku bisa tetap jujur dalam menyusun skripsiku. Aku mencoba untuk menikmati proses penyelesaian skripsi itu. Sekalipun predikat cum laude gagal aku raih karena aku butuh waktu lebih lama, tapi aku mengucap syukur karena aku bisa lulus dengan jujur dan tanpa memanipulasi data.

Memang waktu studi yang harus kutempuh tidak sebentar. Total enam tahun harus kutempuh untuk mendapatkan gelar sebagai sarjana psikologi. Kadang aku merasa sedih, kecewa, kesal, merasa percuma saja punya IPK tinggi tapi tidak berhasil meraih cum laude hanya karena terhambat di tugas akhir. Tapi, lewat proses ini aku merasa Tuhan tidak ingin aku menyombongkan diri lewat semua nilai yang sudah kuperoleh.

Tuhan ingin mengasah kesetiaanku untuk tetap hidup benar di hadapan-Nya walaupun jalan yang kulalui seringkali banyak kerikil-kerikil yang menghambat.

Baca Juga:

Haruskah Aku Pindah Gereja?

Aku pernah bergumul tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani. Sekalipun aku sudah memiliki gereja tetap, tetapi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku. Aku berada dalam sebuah dilema.

Haruskah Aku Pindah Gereja?

haruskah-aku-pindah-gereja

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Beberapa tahun yang lalu aku mengalami pergumulan tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani.

Aku memiliki tiga orang sahabat dekat sejak SMP. Bersama mereka kami membahas banyak hal, termasuk hal-hal rohani dan juga saling menguatkan di dalam doa. Persahabatan kami pun turut membentuk diriku dan juga memampukanku untuk memahami arti lahir baru.

Aku pernah beberapa kali diajak untuk beribadah di gereja mereka dan aku pun tertarik dengan cara pelayanan anak muda di sana. Akan tetapi, aku sendiri sudah memiliki gereja yang rutin aku datangi setiap hari Minggu bersama keluarga. Gerejaku dengan gereja sahabatku juga berbeda denominasi sehingga masing-masing memiliki caranya sendiri untuk menerima orang baru dalam pelayanan. Padahal waktu itu aku ingin sekali dipakai Tuhan lewat melayani di gereja. Akibatnya, aku pun sempat berpikir untuk pindah gereja saja.

Sebetulnya, selain karena ajakan teman-temanku, ada beberapa alasan lain yang membuatku merasa ingin berpindah gereja saja. Pertama, aku merasa gereja yang kutempati sekarang itu bukan gereja pilihanku, tetapi pilihan orangtuaku. Banyak teman-temanku yang memutuskan untuk memilih sendiri gereja tempat mereka bertumbuh, terlepas dari orang tua mereka.

Alasan kedua adalah jarak antara rumahku dengan gerejaku itu cukup jauh, sedangkan jika ke gereja sahabatku jaraknya lebih dekat. Selain itu, karena sistem perekrutan tim pelayanan yang belum baik maka jarang sekali anak muda yang terlibat pelayanan di gerejaku, padahal aku sangat ingin terlibat pelayanan dan melihat anak muda dipakai melayani-Nya.

Akhirnya aku pun mencoba untuk pergi beribadah di gereja sahabatku itu. Tapi seringkali ada saja halangan yang menghambatku. Seringkali waktu ibadahnya tidak sesuai, tidak ada kendaraan yang mengantar, dan orangtuaku selalu memintaku untuk tetap pergi beribadah bersama.

Sebuah jawaban yang menegurku

Aku berada dalam sebuah dilema. Di satu sisi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku itu, tapi di sisi yang lain aku juga harus tetap beribadah bersama keluargaku. Gereja sahabatku itu membuatku tertarik karena ada banyak anak muda di sana, lalu topik-topik yang dibahas di sana juga lebih sesuai dengan usiaku sehingga aku mudah mengerti dan mempraktikkannya.

Akhirnya aku mencoba menceritakan pergumulan ini kepada seorang kakak rohani di gereja sahabatku itu. Dan jawaban yang dia berikan itu seolah menegurku dan masih kuingat sampai sekarang. “Mungkin kamu di sini untuk mendapatkan berkat supaya bisa kembali menjadi berkat di sana,” ucapnya kepadaku.

Entah mengapa jawaban itu terngiang-ngiang dan sejak saat itu aku terus berdoa kepada Tuhan. Aku menyampaikan kerinduanku untuk bisa dipakai melayani-Nya dan bertanya di mana Tuhan mau menempatkanku.

Sambil terus berdoa aku pun belajar untuk memandang gerejaku dengan cara pandang yang baru. Aku tahu kalau tidak banyak anak muda yang terlibat pelayanan di gerejaku, oleh karena itu aku memiliki kerinduan untuk melibatkan diri dalam pelayanan. Hingga suatu saat, temanku mengajak untuk bergabung dengan persekutuan pemuda. Di situlah Tuhan mulai mengenalkanku kepada dunia pelayanan. Bahkan sekarang aku mendapatkan kemurahan Tuhan untuk menjadi ketua persekutuan pemuda di gerejaku. Selain itu aku pun melayani-Nya lewat pelayananku sebagai pemain musik, penerima tamu, dan juga pemimpin pujian.

Pertumbuhan itu membutuhkan waktu

Sekarang, aku dapat melayani, bersekutu, dan bertumbuh di gerejaku. Aku juga menemukan rekan-rekan sesama pemuda yang kini menjadi sahabatku. Aku menyadari kalau semua proses dan waktu menunggu itu tidak mudah, tapi akhirnya berbuah. Bahkan, semua alasan-alasanku dulu untuk pindah, sekarang telah menjadi alasanku untuk mengucap syukur.

Aku sangat menikmati persekutuan di gerejaku sekarang sehingga jarak rumah yang jauh bukan menjadi alasanku untuk menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah. Salah satu hal berharga yang kusadari dari persekutuan di gerejaku adalah aku dapat bertemu dengan teman-teman dan sahabat yang memiliki beban hidup serupa denganku. Kami dapat saling berbagi cerita, saling menguatkan, dan pertemanan ini tidak putus meskipun ada salah satu teman kami yang pergi kuliah ke luar kota ataupun ke luar negeri.

Aku juga bersyukur karena masih bisa pergi beribadah bersama keluargaku. Ketika aku mendengar banyak cerita dari teman-teman tentang kerinduan mereka untuk bisa beribadah bersama keluarga juga, di situlah aku bersyukur.

Ketika teman-temanku ada yang meninggalkan pelayanan karena kesulitan membagi waktu dengan kuliah, aku bersyukur karena masih bisa melayani di sela-sela kesibukan kuliahku sekarang. Bahkan bisa dikatakan juga kalau pelayanan di gereja ini juga yang menyeimbangkan kehidupanku. Persekutuan di gereja juga membantuku bertumbuh untuk lebih mengenal Yesus dan melatih diriku supaya menjadi lebih baik.

Tuhan yang kita sembah jauh lebih besar dari berbagai perbedaan

Aku belajar bahwa di gereja manapun kita beribadah, perbedaan-perbedaan yang ada itu tidak lebih besar dibandingkan Tuhan yang kita sembah. Mungkin tata cara ibadah, maupun sistem dalam gereja itu berbeda, tapi Tuhan Yesus tetaplah sama.

Aku juga bersyukur karena lewat gereja sahabatku dulu aku bisa mengenal Tuhan lebih lagi dan itu jugalah yang mengubah cara pandangku tentang menyikapi perbedaan latar belakang gereja-gereja. Perbedaan-perbedaan yang pernah kualami pada akhirnya mampu membantuku untuk melayani di gerejaku yang sekarang.

Memang, tidak ada yang sempurna, begitu pula dengan gereja. Tantangan-tantangan untuk menjadi tawar itu sangat banyak. Terkadang ada kalanya aku merasa kecewa dengan keadaan-keadaan gereja yang sedang buruk atau jika aku mendengar gosip-gosip yang tidak baik.

“Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi” (Yosua 1:9 TB)

Ayat inilah yang terus menguatkan dan mengingatkanku untuk tetap melayani Tuhan dalam segala keadaan.

Gereja bukan sekadar tempat untuk menerima

Mungkin beberapa orang ada yang lebih memilih untuk berpindah gereja karena mencari suasana dan materi ibadah yang sesuai. Tetapi, aku belajar bahwa gereja bukan tempat untuk menerima tetapi untuk memberi. Tuhan Yesus telah mengasihi kita terlebih dahulu ketika Dia memberikan diri-Nya sebagai tebusan atas dosa-dosa kita.

Alkitab mengatakan, “Dengan jalan inilah kita mengetahui cara mengasihi sesama: Kristus sudah menyerahkan hidup-Nya untuk kita. Sebab itu, kita juga harus menyerahkan hidup kita untuk saudara-saudara kita!” (1 Yohanes 3:16 BIS)

Ketika kita beribadah di gereja, itu bukan semata-mata kita hadir untuk menerima berkat. Tapi, kehadiran kita di gereja adalah sebagai ungkapan syukur kita kepada Yesus atas pengorbanan-Nya. Dan ungkapan syukur itu kita lakukan lewat melayani saudara-saudara kita di gereja.

Supaya kita bisa berakar, bertumbuh, dan berbuah, kita perlu sebuah fondasi yang kita dapatkan lewat bergereja. Walaupun gereja menjadi tempat untuk bertumbuh, tetapi untuk mengerjakan keselamatan adalah tetap tugas masing-masing pribadi.

Aku bersyukur karena Tuhan menempatkanku di gereja ini. Setiap kegiatan, materi, kejadian ataupun orang yang aku kenal di gereja ini membentuk diriku menjadi lebih dewasa secara rohani dan secara pribadi. Tuhan tidak pernah meninggalkan aku ketika aku bimbang dan Ia tidak tinggal diam sekarang. Sebab rancangan Tuhan itu indah pada waktunya dan tidak pernah gagal.

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2 TB)

Baca Juga:

Meninggalkan Karier Sebagai Pengacara Terkenal untuk Melayani Tuhan, Inilah Kisah Paul Wong

Pernahkan terpikir olehmu jika kamu harus meninggalkan karier cemerlang dengan gaji yang tinggi untuk sebuah alasan yang tidak kamu duga sebelumnya? Inilah yang terjadi pada Paul Wong, seorang pengacara terkenal yang melepaskan seluruh kariernya di Inggris untuk suatu alasan.

Meninggalkan Karier Sebagai Pengacara Terkenal untuk Melayani Tuhan, Inilah Kisah Paul Wong

meninggalkan-karier-sebagai-pengacara-terkenal-untuk-melayani-tuhan-inilah-kisah-paul-wong

Oleh Janice Tai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Paul Wong: Hotshot Lawyer to Devoted Campus Pastor

Sebagai putra dari seorang pengacara terkenal di Singapura, Paul Wong tampaknya akan mengikuti jejak ayahnya.

Setelah menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Cambridge, Paul kemudian bekerja di Linklaters, sebuah firma hukum terkemuka di London yang merupakan salah satu dari lima firma hukum terbaik di Inggris.

Sebagai seorang pengacara korporat, dia membantu perusahaan-perusahaan FTSE 100 (100 perusahaan dengan nilai pasar tertinggi di Bursa Saham London) untuk meraup miliaran dolar dengan membuatkan mereka dokumen yang membantu mereka dalam menjual saham-saham mereka.

Namun di masa keemasannya di usia 30 tahun, Paul memutuskan untuk melepaskan seluruh karier yang telah dibangunnya dan berjalan mengikuti arahan dari Tuhan.

Awalnya dia tidak pernah berpikir bahwa dia mampu atau mau meneruskan jejak ayahnya. Ayah Paul, Lucien Wong, baru-baru ini diangkat sebagai pengacara penasihat negara Singapura pada bulan November 2016. Sebelumnya, Lucien sempat memimpin firma Allen & Gledhill, salah satu firma hukum terbesar di Singapura.

Karier Paul di Inggris juga tampak sangat menjanjikan. Saat dia memutuskan untuk mengundurkan diri dua tahun yang lalu, gajinya sudah mencapai lebih dari Rp 1 miliar setahun. Dia mungkin juga bisa menjalin berbagai kemitraan jika saja dia bertahan selama dua hingga lima tahun lagi.

Namun, Paul memilih untuk mengundurkan diri dan mengikuti sebuah pelatihan untuk menjadi seorang pengkhotbah dan pengajar Alkitab. Di akhir bulan Agustus 2016, dia kembali ke Singapura untuk menjadi pendeta kampus dalam kelompok persekutuan Kristen di Singapore Management University (SMU).

Dari sebuah firma hukum raksasa yang mempekerjakan 2.000 pengacara, Paul pindah ke sebuah tempat kerja yang hanya memiliki seorang karyawan, yaitu dirinya, dan seorang pekerja magang.

Jadi mengapa dia membuat perubahan yang begitu besar ini dalam kariernya?

Paul-Wong-4

Ada di titik terbawah

Coba tanya seorang pemuda berusia 33 tahun, apakah dia pernah berpikir untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, dan mungkin kamu akan mendapat jawaban yang cepat: Tidak pernah.

Sewaktu Paul masih remaja, dia juga pernah melakukan kenakalan. Ketika SMP, dia sering bolos sekolah beberapa kali seminggu untuk bermain biliar di Lucky Plaza atau menonton bioskop.

Namun, dia memastikan dia menjalani “kewajibannya” sebagai orang Kristen. Setiap hari Minggu dia pergi ke Gereja Methodist Wesley dan bermain gitar dalam persekutuan pemuda. Ketika dia di London, dia pergi ke sebuah gereja lokal yang berjarak setengah jam perjalanan dari tempat dia tinggal dan bekerja.

“Gereja hanyalah aktivitas hari Minggu pagi bagiku dan tidak berdampak banyak bagi hidupku, keputusan-keputusanku, dan cara pandangku,” kata Paul. “Ketika aku menghadapi dilema antara pekerjaan atau gereja, pekerjaanlah yang selalu menang.”

Paul bekerja sangat keras. Dia ada di kantor enam hari seminggu. Sebuah hari yang baik baginya adalah jika dia dapat meninggalkan kantor sebelum tengah malam dan dapat cukup tidur sepanjang malam. Pernah suatu kali dia bekerja dua malam berturut-turut dan ada di kantor terus selama tiga hari untuk memenuhi tenggat waktu pekerjaannya.

“Dulu aku berpikir, jika Tuhan menempatkanmu di sebuah kampus atau firma hukum, hal terbaik yang memuliakan Tuhan yang dapat kamu lakukan adalah dengan menjadi mahasiswa terbaik atau menjadi pengacara terbaik. Tapi aku kemudian menyadari bahwa itu adalah pemikiran yang salah,” kata Paul.

Menurutnya, kehidupan rohaninya ada di “titik terbawah” ketika dia berhenti hidup dan berpikir seperti yang Tuhan inginkan.

Kebangkitan rohani

Pada sebuah hari Minggu di tahun 2011, Paul merasa malas pergi ke gereja. Dia sudah ada di kantornya, dan dia merasa malas jika dia harus pergi dan kemudian kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Rekan kerjanya menyarankannya untuk pergi ke gereja lain yang hanya berjarak lima menit perjalanan.

Dia akhirnya pergi ke gereja itu dan begitu terkesan dengan apa yang dilihat dan didengarnya di sana. “Aku telah mendengar banyak khotbah-khotbah bagus, tapi semuanya hanya masuk di telinga kiri lalu keluar di telinga kanan. Tapi, di gereja itu aku melihat firman Tuhan diberitakan dengan tegas dan bertujuan untuk mengoreksi diri. Dan orang-orang yang ada di sana menghidupi nilai-nilai itu. Roh Kudus bekerja melalui firman Tuhan yang mengubah segalanya,” kata Paul.

Dia mulai rutin datang ke gereja itu dan juga mengikuti kelompok pendalaman Alkitab yang ada. Mereka sedang mempelajari kitab Markus selama setahun penuh. Itu menjadi sebuah pengalaman yang mengajarkan Paul untuk menjadi rendah hati.

“Waktu itu aku berpikir, kitab Markus adalah kitab Injil terpendek di dalam Alkitab dan aku sudah membacanya setidaknya 10 kali. Mengapa kita perlu waktu setahun untuk mempelajarinya?” dia bertanya. “Tapi dalam prosesnya, aku baru tahu bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu cara membaca Alkitab. Itu adalah pengalaman yang mengajarkanku menjadi rendah hati. Dulu aku berpikir boleh-boleh saja menjadikan Alkitab seperti sebuah buku ajaib di mana aku bisa mengartikan isinya sesuka hati tanpa memperhatikan konteksnya. Ironisnya, sebagai seorang pengacara, aku tahu bahwa itu adalah cara terburuk dalam membaca sebuah tulisan.”

Suatu kali, kelompok pendalaman Alkitab Paul sedang membaca Markus 8, di mana Yesus memberitahukan kepada orang banyak bahwa setiap orang yang mau menjadi murid-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Dia. “Aku sadar bahwa meskipun aku menyebut diriku Kristen, aku masih hidup bagi diriku sendiri. Itu membuatku berpikir tentang apa artinya mengikut Tuhan, dan aku menyadari bahwa aku sama sekali belum mengerti tentang pemuridan,” kata Paul.

Setelah mendapatkan pencerahan itu, Paul mulai mengubah secara drastis bagaimana dia menggunakan waktunya. Dia mulai melayani dalam persekutuan jam makan siang di Linklaters dan melakukan pendalaman Alkitab privat dengan rekan-rekan di kantor dan gerejanya. Untuk melakukan itu, Paul harus mengurangi jam kerjanya setidaknya tujuh jam seminggu. Keputusannya mengurangi jam kerjanya itu pun mempengaruhi perusahaannya dan prospek kariernya.

“Aku punya seorang atasan yang pengertian dan aku merasa tidak perlu lagi menjadi seorang pengacara terbaik. Yang kuinginkan saat itu adalah menjadi pengacara yang paling setia. Yang harus aku lakukan adalah bekerja keras dan dengan integritas dan membuat Tuhan dikenal oleh orang-orang di sekitarku,” kata Paul.

Perubahan mendadak dalam cara Paul menyusun prioritas hidupnya itu membuat ibunya terkejut. Ibunya bahkan mengira Paul bergabung dengan sebuah kelompok sesat. Ibunya menginginkan Paul lebih berfokus ke kariernya di dunia hukum.

“Aku bisa saja jatuh semakin jauh dari imanku dalam tahun-tahun itu tapi Tuhan mengubah dosa-dosaku menjadi sebuah kebaikan,” kenang Paul. Dia menikahi Angela tiga tahun lalu dan kini mereka telah dikaruniai seorang putri yang telah berusia satu tahun, Elizabeth.

Kehidupan yang baru

Dukungan yang diberikan Angela sangat penting dalam titik balik kehidupan Paul selanjutnya.
Ketika Paul mulai mengajar Alkitab lebih sering, pemimpin gereja Paul mulai memintanya mempertimbangkan untuk melayani sepenuh waktu di tahun 2013. Paul kemudian mendiskusikannya dengan beberapa orang, termasuk Angela, dan mendoakannya.

Paul tidak mendapatkan “panggilan” berupa mimpi atau penglihatan yang supernatural dari Tuhan. “Beberapa orang mungkin mengalami itu, tapi aku pikir tidak semua orang harus mengalami panggilan yang khusus seperti itu. Satu-satunya panggilan yang ada dalam Alkitab adalah panggilan untuk merespons Yesus. Sejak aku diberitahu bahwa karuniaku adalah mengajar dan aku harus menggunakannya, aku memutuskan untuk taat dan menggunakan karunia itu untuk Tuhan,” kata Paul.

Selain itu, Paul berpikir, melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang pengacara akan membuat waktunya untuk mengajar semakin terbatas. Menurutnya, dampak yang dihasilkannya akan lebih besar jika dia menjadi seorang pengajar yang memperlengkapi siswa-siswa, daripada jika dia menjadi pekerja kantoran.

Jadi, di tahun 2014 dia mengambil keputusan untuk mengikuti dua tahun pelatihan untuk pelayanan penuh waktu, sebelum dia bergabung dengan persekutuan Kristen SMU di tahun 2016. Ada sekitar 90 mahasiswa dalam persekutuan itu. Mereka bersekutu setiap hari Selasa dan Paul berkhotbah di sana. Selain itu, Paul juga melatih para pemimpin kelompok mahasiswa untuk memulai kelompok pendalaman Alkitab di kampus. “Sungguh suatu sukacita ketika aku dapat melihat orang-orang yang merindukan Tuhan dan juga membimbing mereka dalam masa mereka membentuk identitas dan pemikiran mereka tentang dunia ini,” katanya.

Paul-Wong-3

Paul masih bekerja selama enam hari dalam seminggu karena dia lebih senang mempersiapkan khotbah di hari Minggu. Tapi menurutnya tekanan yang dihadapinya kini lebih berarti. Daripada mengejar tenggat waktu, dia kini lebih memperhatikan orang-orang dan pertumbuhan rohani mereka.

“Bagian tersulit dari pelayanan penuh waktu bukanlah ketika aku mengambil keputusan itu, tapi ketika aku harus menjelaskan kepada orang-orang di sekitarku mengapa aku mengambil keputusan itu,” kata Paul. Istrinya mendukung keputusannya. Dan yang tidak disangkanya, ayahnya juga mendukungnya dan mengatakan kepadanya untuk melakukan apapun yang dia pikir benar.

Uniknya, justru ibunya—yang adalah seorang pemimpin awam di gereja, dan yang membimbing Paul menjadi seorang Kristen setelah kedua orangtuanya berpisah—yang awalnya paling menentang keputusan Paul. Ibu Paul merasa tidak seharusnya Paul menyia-nyiakan “gelar sarjananya” atau “masa depannya yang cerah”. Seharusnya, Paul bekerja lebih keras untuk mempersiapkan tabungannya untuk masa pensiun kelak. Tapi, ibu Paul kini telah berubah dan akhirnya mendukung pelayanan Paul sepenuhnya.

Selama mengikuti pelatihan, Paul harus menekan pengeluarannya, karena dia tidak mendapatkan penghasilan apapun selama masa pelatihan itu. Itu berarti dia tidak dapat naik taksi atau makan di restoran-restoran. Kini, dia mendapatkan penghasilan rata-rata seorang guru. Istrinya merawat putri mereka dan menjadi ibu rumah tangga.

Paul-Wong-2

Namun bagi Paul, pengorbanan terbesarnya bukanlah karena dia harus melepas gajinya yang besar, tapi karena dia harus menurunkan harga diri dan ambisinya dahulu. “Selain karier dan penghasilan yang jauh berbeda, statusku pun menjadi sangat berbeda daripada teman-teman sepermainanku. Namun aku takkan menukar apa yang kulakukan saat ini dengan apapun yang ada di dunia ini,” kata Paul.

Bagian Alkitab favoritnya adalah Yesaya 25, yang melukiskan sebuah gambaran tentang masa depan dan harapan yang akan datang. Ayat-ayat dalam pasal itu memotivasi Paul untuk mengejar upah yang kekal—bukan harta duniawi.

“Ayat itu membentuk cara pandangku terhadap dunia ini,” katanya. “Dunia yang fana ini hanya akan berakhir pada kehancuran dan satu-satunya yang akan bertahan adalah orang-orang yang diselamatkan Tuhan. Itulah yang membangun alasanku untuk hidup, bagaimana aku hidup, dan mengapa aku melakukan pekerjaan ini.”

Photo credit: Ian Tan dan Paul Wong

Baca Juga:

SinemaKaMu: Silence—Siapkah Kamu Memikul Salib?

Apa yang akan kita lakukan jika kita dihadapkan pada keadaan yang menguji iman kita? Untuk menjawab pertayaan ini, aku ingin mengajakmu untuk berefleksi sejenak dari sebuah film berjudul “Silence” yang bercerita tentang dilema yang harus dihadapi oleh orang-orang Kristen di Jepang beberapa abad lalu.

SinemaKaMu: Silence—Siapkah Kamu Memikul Salib?

sinemakamu-silence-siapkah-kamu-memikul-salibnya

Oleh Denissa Krisfetson, Jakarta

Apa yang akan kita lakukan jika kita dihadapkan pada keadaan yang menguji iman kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, aku ingin mengajakmu untuk berefleksi sejenak dari sebuah film berjudul “Silence” yang bercerita tentang dilema yang harus dihadapi oleh orang-orang Kristen di Jepang beberapa abad lalu.

Silence adalah sebuah film karya Martin Scorsese yang diangkat dari sebuah novel. Pada tahun 1966, Shusako Endo menuliskan sebuah novel yang bercerita tentang dua orang misionaris bernama Rodrigues dan Garupe yang harus menghadapi tantangan ketika mereka memutuskan untuk pergi ke Jepang.

Perjalanan mereka berdua ke Jepang bertujuan untuk mencari guru mereka, Ferreira, yang telah lama hilang semenjak kunjungannya ke Jepang. Bahkan ada kabar yang beredar bahwa Ferreira sudah menyangkal imannya sebagai seorang pengikut Yesus dan beralih kepercayaan terhadap dewa-dewa Jepang.

Untuk melancarkan misi perjalanan mencari Ferreira, mereka dipertemukan dengan seorang Kristen Jepang yang bernama Kichijiro. Awalnya Kichijiro tidak mau membantu mereka untuk menjalankan misi pencarian itu, tapi setelah susah payah diyakinkan akhirnya dia bersedia untuk membantu dan mereka pun pergi ke Jepang dengan cara menyelundup di sebuah kapal.

Pada masa itu, kekaisaran Jepang yang digerakkan oleh Keshogunan Tokugawa sangat menutup diri dari pengaruh dunia luar, termasuk dari kedatangan para misionaris. Kebijakan kekaisaran untuk menutup diri itu juga berdampak kepada orang-orang asli Jepang yang sebelumnya telah memeluk iman Kristen. Jika mereka tetap memegang teguh imannya kepada Yesus mereka akan disiksa perlahan sampai akhirnya mati.

Semua misionaris yang sebelumnya telah datang di tanah Jepang harus memilih untuk menyangkal iman mereka atau dibunuh. Akibatnya, orang-orang Jepang yang telah menjadi Kristen tidak lagi memiliki pemimpin rohani. Ketika Rodrigues dan Garupe tiba di Jepang, mereka disambut begitu hangat oleh orang-orang Kristen yang telah menanti-nantikan pemimpin rohani.

Sambil melayani kebutuhan rohani orang-orang Kristen Jepang, Rodrigues dan Garupe juga berusaha mencari informasi tentang keberadaan Ferreira.

Setelah beberapa waktu berlalu, pihak kekaisaran berhasil menemukan keberadaan mereka berdua dan juga orang-orang Kristen Jepang lainnya. Mereka kemudian memaksa orang-orang Kristen di desa untuk menyangkal Yesus dan juga dianiaya. Rodrigues dan Garupe harus melarikan diri dan berpencar supaya tetap dapat melayani orang-orang Kristen yang masih bertahan.

Tapi, pelarian mereka tidak bertahan lama karena pihak kekaisaran Jepang berhasil menangkap mereka dan mereka pun dipaksa untuk menyangkal Yesus. Mereka berdua menghadapi dilema yang sangat berat, mereka takut kalau penolakan mereka untuk menyangkal Yesus akan menyebabkan orang-orang Kristen Jepang semakin dianiaya.

Setelah pergumulan dan penganiayaan yang sangat panjang, Garupe akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan Rodrigues seorang diri. Rodrigues pun dipenjara dan selama itu ia harus melihat orang-orang Kristen yang ditangkap, disiksa lalu dibunuh dengan sadis.

Pada puncaknya, akhirnya ia dipertemukan dengan Ferreira, guru yang selama itu dia cari. Namun pertemuan ini membuat dia sangat terkejut dan hatinya hancur. Ferreira telah menyangkal Yesus dan mengubah namanya dengan nama Jepang. Bahkan dia juga telah menikah dan mempunyai anak serta menjadi pendeta dewa-dewa.

Meskipun hatinya sangat hancur, Rodrigues masih menolak untuk menyangkal Yesus. Akibat keputusannya itu maka lebih banyak orang-orang Kristen Jepang yang dianiaya dengan sadis dan Rodrigues harus menyaksikan itu semua.

Pada akhirnya, Rodrigues menyerah dan memilih untuk menyangkal Yesus. Kemudian dia bergabung dengan Ferreira dan melakukan ritual penyembahan kepada dewa-dewa Jepang. Akhir film ini ditutup dengan adegan ketika Rodrigues meninggal dan memegang salib dalam peti jenazahnya.

Dari kisah ini, ada satu pertanyaan menarik yang bisa kita tanyakan dan renungkan kepada diri kita sendiri. Ketika datang pencobaan bahkan penganiayaan, apa yang akan kita lakukan? Maukah kita tetap setia kepada Yesus?

Mungkin di masa sekarang ini tantangan iman yang kita hadapi tidak selalu berupa penganiayaan fisik. Ada banyak hal yang menggoda dan “memaksa” kita untuk menyangkal iman kepada Yesus. Apakah itu kecanduan kita pada obat-obatan terlarang, pornografi, uang, bahkan hingga ketergantungan pada smart phone.

Tuhan Yesus berkata dalam Matius 16:24, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”

Ketika kita memutuskan untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus, itu berarti kita siap memikul salib-Nya. Memikul salib itu berarti melepaskan segala kenyamanan dan keterikatan kita dengan dosa.

Maukah kita tetap mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan kita dan memberikan seluruh hidup kita kepada-Nya?

Baca Juga:

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Tragedi Ini

Tak lama setelah aku memutuskan untuk mengikut Tuhan Yesus, ayahku dipanggil pulang ke surga. Ibu harus bekerja mengadu nasib ke luar negeri untuk menopang kehidupan keluarga, sementara itu adikku pun terjerat dalam narkoba. Tapi, itu semua bukanlah akhir, melainkan permulaan dari rencana Tuhan yang indah pada waktunya.