Aku Bergumul Karena Kehilangan Papa, Namun Jawaban Allah Membuatku Tertegun

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.

Ketika momen yang menyakitkan itu datang, aku bertanya-tanya mengapa Allah mengizinkan ini semua terjadi? Di awal kepergian Papa, aku berjuang untuk percaya bahwa Tuhan sungguh bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagiku sekeluarga. Tapi, tetap saja aku belum dapat memahami seutuhnya mengapa Dia memanggil Papa secara mendadak di saat masih banyak hal yang ingin kami lakukan bersama.

Dalam hati, aku sempat bertanya, “Tuhan, belasan tahun sudah Papa melayani Engkau dengan setia, tanpa mengeluh sedikit pun dalam kondisi apapun. Tuhan, keluarga kami begitu giat mendekatkan diri kepada-Mu, setiap hari berdoa dan bersaat teduh. Bahkan, aku telah mengabdikan masa mudaku untuk melayani Engkau di kampus dan gereja. Tapi, mengapa ini harus terjadi pada kami?” Walaupun aku berjuang untuk tidak menaruh rasa kecewa pada Tuhan, rasa sakit dan kehilangan memaksaku untuk berpikir demikian.

Seiring waktu berjalan, banyak orang datang untuk menghibur dan mendoakanku. Aku pun berusaha untuk melanjutkan hidupku dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Walaupun aku masih menyimpan rasa kecewa, tapi aku tetap berusaha mendekatkan diri pada Tuhan dengan berdoa, saat teduh, dan membaca buku atau artikel yang menguatkanku. Semua itu kulakukan dengan harapan supaya Tuhan memberiku alasan yang jelas mengapa Dia begitu cepat mengambil papa dari kami sekeluarga. Aku juga berharap supaya Tuhan menghiburku dan membantuku melupakan segala kesedihanku. Tapi, hari demi hari berlalu, perasaanku tidak bertambah baik. Aku masih sering menangis dan meratapi kepergian Papa.

Dalam kesedihanku itu, aku teringat akan kisah Ayub, seorang yang hidup berkelimpahan namun kehilangan segalanya dalam sekejap. Ayub kehilangan hartanya, anak-anaknya, istrinya, bahkan kesehatannya. Dalam kondisi Ayub yang mengenaskan, seharusnya Ayub bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Dia menimpakan malapateka ini. Ayub tidak pernah berbuat jahat, bahkan Tuhan sendiri pun menyatakan bahwa tidak ada orang lain di bumi yang saleh, jujur, dan takut akan Allah seperti Ayub (Ayub 1:8). Tetapi, karena kesalehan dan kejujurannya itu, Allah malah membiarkan Ayub dicobai oleh Iblis. Apakah ini berarti berarti Allah kejam?

Jika aku melihat dari perspektif manusia pada umumnya, maka aku akan menjawab “ya” bahwa Allah itu kejam. Allah adalah Allah yang kejam karena membalas kesalehan dan keujuran Ayub dengan kemalangan dan malapetaka. Namun, sekali lagi, itu jika aku hanya melihat dari perspektif manusia saja. Sebagai manusia, seringkali aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kepastian dan ketenangan dalam hidup. Salah satu caranya adalah dengan cara merasionalkan Allah dan memasukkan-Nya ke dalam kerangka berpikirku sendiri. Jika aku melayani Allah, maka Allah akan baik padaku. Jika aku setia dan taat, maka Allah akan melimpahiku dengan berkat. Begitu pula sebaliknya. Cara pikir seperti ini membuatku menganggap bahwa apa yang Allah lakukan atau berikan kepadaku itu tergantung dari sikap dan perbuatanku. Dengan demikian, sebenarnya aku sendirilah yang menentukan bagaimana Allah harus bersikap atau bertindak.

Kisah Ayub yang tertulis dalam Alkitab menyatakan bahwa Allah bekerja di luar kendali manusia. Pikiran Allah berada jauh di luar jangkauan pemikiran manusia. Dalam Ayub 38, Allah menjawab pertanyaan Ayub dengan menyatakan kedaulatan-Nya atas semesta.

Kisah Ayub membuatku tertegun. Siapakah aku sehingga aku dapat menerka-nerka jalan pikiran Allah yang begitu ajaib menciptakan alam semesta ini? Dalam perenunganku atas pertanyaan itu, aku jadi teringat akan penggalan lirik sebuah lagu yang berjudul “Behold Our God”. Baitnya yang kedua berkata demikian:

Who has given counsel to the Lord
Who can question any of His words
Who can teach the One who knows all things
Who can fathom all his wondrous deeds

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti:

Siapakah yang dapat menasihati Allah
Siapakah yang dapat mempertanyakan perkataan-Nya
Siapakah yang dapat mengajari Dia yang mengetahui segalanya
Siapakah yang dapat menghitung segala perbuatan-Nya yang ajaib

Lirik lagu ini menamparku. Aku begitu terbatas untuk mengerti pikiran Allah yang tidak terbatas. Allah adalah Allah yang berdaulat atas alam semesta untuk selama-lamanya. Cara kerja dan cara berpikir Allah tidak mungkin bisa diselami olehku, seorang manusia yang terbatas.

Ada begitu banyak hal dalam kehidupan ini yang sulit untuk dimengerti, termasuk mengapa Allah memanggil pulang Papa begitu cepat. Tetapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti yaitu Allah itu baik dan penuh kasih. Allah itu baik bukan hanya karena Dia memberikan keberhasilan atau kesuksesan, tetapi karena Dia memang baik. Allah penuh kasih bukan hanya karena Dia memberikan berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Oleh karena itu, aku belajar menerima bahwa di balik kepergian Papa, Allah melakukannya dalam hikmat dan kasih-Nya bagiku sekeluarga.

Ketika aku memahami kebenaran ini, aku bisa mengerti dan mendapatkan kekuatan untuk melewati hari-hariku. Seperti penggalan lagu “Trust His Heart” yang berkata:

God is too wise to be mistaken
God is too good to be unkind
So when you don’t understand
When you don’t see His plan
When you can’t trace His hand
Trust His heart

Aku percaya bahwa Allah begitu bijaksana dan Dia tidak mungkin salah. Allah begitu baik dan tidak mungkin berlaku jahat. Jadi, ketika aku tidak mengerti rencana-Nya, ketika aku tidak mampu melihat tangan-Nya, aku dapat mempercayai hati-Nya.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kamu Pernah Minder Karena Penampilanmu Diejek Teman? Aku Pernah. Inilah Kisahku.

Aku terlahir dengan rambut yang keriting, kasar, dan terkadang kusut seperti kabel telepon yang jarang dipakai. Sewaktu duduk di SD, teman-teman sering mengejekku karena kondisi rambutku. Akibatnya, aku tumbuh menjadi seorang yang begitu minder.

Kamu Pernah Minder Karena Penampilanmu Diejek Teman? Aku Pernah. Inilah Kisahku.

kamu-pernah-minder

Oleh Grace Anindya, Jakarta

Aku terlahir dengan rambut yang keriting. Tapi, jangan bayangkan ikal besar seperti rambut boneka. Rambutku cenderung kasar, dan terkadang kusut seperti kabel telepon yang jarang dipakai.

Sewaktu duduk di kelas 2 atau 3 SD, aku menganggap rambut keritingku ini mirip seperti rambut para putri kerajaan yang sering muncul di dalam film kartun. Jadi, dengan percaya diri, aku senang membuat rambutku tergerai. Tapi, teman-temanku tidak menganggapnya demikian. Bagi mereka, dengan rambut seperti itu, aku lebih mirip seperti singa yang sedang kelaparan daripada putri kerajaan. Awalnya aku bersikap biasa saja dengan candaan itu, namun lama kelamaan aku jadi merasa tidak nyaman.

Ketika aku duduk di bangku SMP, ada seorang guru yang suka memberikan julukan kepada murid-muridnya berdasakan kondisi fisik yang dia lihat. Dia menjulukiku dengan panggilan “Si Kribo”, “Si Keriting”, “Si Rambut Mi”, dan masih banyak nama lain. Teman-temanku menganggap julukan itu sebagai hal yang lucu, jadi mereka pun ikut-ikutan. Julukan yang terus menerus disematkan kepadaku itu membuatku makin merasa tidak nyaman dengan rambut keriting yang kumiliki.

Puncak kekesalanku tiba tatkala ada seseorang yang menempelkan kertas penuh double-tape bertuliskan “Aku orang gila” di rambutku. Awalnya aku tidak menyadari apapun. Tapi, aku merasa aneh karena semua orang tertawa apabila menaptaku. Ketika aku menyadari bahwa ada kertas itu di rambutku, aku menangis sejadi-jadinya. Rambutku rontok karena ada begitu banyak double-tape yang menempel. Bukannya permintaan maaf yang kudapat, teman-temanku malah menuntutku supaya tidak marah. Bagi mereka, apa yang dilakukan itu hanyalah sebuah candaan sehingga aku tidak boleh cengeng.

Semenjak peristiwa itu, aku jadi semakin minder. Aku jadi sensitif dengan candaan, tetapi aku juga takut apabila tidak punya teman. Aku merasa diriku tidak berharga ketika teman-teman menganggapku tidak asyik karena aku sering tersinggung jika diajak bercanda. Tak kupungkiri, aku juga menaruh rasa dendam kepada teman-teman yang pernah membuatku menangis. Bukan perasaan dendam ingin balik menyakiti mereka, tetapi dalam hati aku bertekad supaya suatu hari aku bisa membuktikan pada mereka kalau aku pun bisa sukses dan mereka “berlutut” di hadapanku.

Ketika aku masuk SMA, aku jadi semakin membenci rambutku. Berbagai perawatan rambut sudah kucoba lakukan. Mulai dari memakai sampo dan kondisioner terbaik, hingga mencoba berbagai produk pelurus lambut. Tetapi pada akhirnya rambutku selalu kembali lagi menjadi keriting. Aku putus asa. Alih-alih menjadi bagus, segala perawatan itu malah membuat rambutku menjadi kering dan rontok banyak. Selain itu, rasa minderku membuatku merasa kalau aku tidak memberikan kesan yang baik ketika aku pertama kali bertemu dengan orang lain. Banyak yang menganggapku terlalu pendiam bahkan sombong, padahal sebenarnya aku hanya malu dan tidak cukup percaya diri untuk memulai percakapan.

Singkat cerita, di tengah pergumulanku untuk bangkit dari rasa minder, aku bertemu dengan sebuah komunitas di gereja. Bermula dari sekolah minggu, lalu aku mengikuti kebaktian remaja. Di sana, aku diajak untuk bergabung dengan kelas pembinaan dan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Awalnya aku sempat merasa ragu. Aku masih merasa takut diejek karena rambut keritingku. Tapi, seiring berjalannya waktu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasa diterima. Untuk pertama kalinya aku merasa punya sahabat dan bertemu dengan orang-orang yang tidak memandang bentuk fisikku sebagai sebuah hal yang bisa dijadikan ejekan.

Selain mendapatkan relasi yang baik, dalam kelas pembinaan dan KTB ini juga aku banyak belajar tentang kebenaran firman Tuhan. Aku masih ingat dengan jelas bahwa tema yang dibahas pada pertemuan pertamaku adalah tentang penciptaan dan gambar diri manusia dari kitab Kejadian. Tuhan menciptakan segala sesuatu sungguh amat baik (Kejadian 1:31), termasuk juga manusia. Oleh karena itu, tidak seharusnya kita menghina ciptaan Tuhan yang unik, apalagi sesama manusia.

Aku juga diingatkan akan begitu besar kasih Allah bagi dunia ini. Ketika Yesus datang ke dunia, tidak semua orang mau menerima-Nya. Tetapi, Yesus tidak marah apalagi menaruh dendam. Padahal, jika dipikir dengan pola pikir dunia, bisa saja Yesus marah dan membinasakan semua orang yang menolak-Nya. Tetapi, karena kasih-Nya, Yesus tidak melakukan itu. Yesus memberi diri-Nya mati di kayu salib untuk menebus semua manusia, termasuk orang-orang yang juga menghina-Nya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Aku begitu tertegur. Hinaan dan celaan yang aku terima jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang Yesus terima. Setelah aku menerima kebenaran ini, aku belajar untuk tidak lagi menaruh dendam kepada teman-temanku. Aku belajar untuk tidak menganggap ejekan-ejekan teman-temanku itu sebagai sesuatu yang menjatuhkanku, tetapi merupakan sebuah sarana untuk aku belajar bijaksana merespons dan mengikuti teladan yang Tuhan Yesus berikan.

Kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti perlahan melatih diriku untuk percaya diri dan menerima keadaan diriku apa adanya. Akhirnya, aku bisa menerima bahwa dilahirkan dengan rambut keriting bukanlah suatu kesalahan, tetapi sebuah anugerah yang Tuhan berikan untukku. Yang perlu aku lakukan adalah merawat rambutku supaya tetap sehat, bukan memodifikasinya supaya disukai orang lain. Rambut keriting ini adalah bagian dari desain Tuhan yang sempurna atas tubuhku, oleh sebab itu aku tak perlu lagi malu jika bertemu dengan orang banyak.

Aku bersyukur karena lewat kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti, Tuhan menyadarkanku bahwa tidak seharusnya aku bersedih hati karena bentuk fisikku berbeda dari standar orang lain. Perlakuan yang kurang menyenangkan di masa lalu juga bukan jadi alasanku untuk bersedih, tetapi jadi pembelajaran buatku bahwa aku tidak boleh melakukan yang sama. Aku belajar untuk tidak menjadikan bentuk fisik orang lain sebagai bahan ejekan yang bisa menyakiti hati mereka.

Akhir kata, aku amat bersyukur bisa mengenal Tuhan di masa mudaku melalui komunitas yang menguatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diriku bila waktu itu aku tidak mengenal-Nya. Mungkin, aku akan terus menerus menyesali keadaanku. Melalui pengalaman ini, aku sadar bahwa ketika Tuhan menjadikan sesuatu yang seolah tampak tidak menyenangkan, sejatinya Dia sedang melatih imanku. Tuhan ingin aku mampu bersikap bijaksana dan memandang hanya kepada-Nya saja.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Bos yang Menyebalkan

Jika kamu membaca artikel ini karena kamu memiliki bos yang menyebalkan, aku mengerti perasaanmu. Dari pengalamanku, aku sangat paham betapa beratnya beban yang harus kamu pikul akibat memiliki bos seperti itu. Stres dan gelisah bahkan bisa menghantuimu hingga waktu di luar jam kerja dan bahkan saat kamu bangun pagi.

5 Tips Menghadapi Bos yang Menyebalkan

5-tips-menghadapi-bos-yang-menyebalkan

Oleh Amanda Lim, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 5 Ways To Deal With A Difficult Boss

Jika kamu membaca artikel ini karena kamu memiliki bos yang menyebalkan, aku mengerti perasaanmu. Dari pengalamanku, aku sangat paham betapa beratnya beban yang harus kamu pikul akibat memiliki bos seperti itu. Stres dan gelisah bahkan bisa menghantuimu hingga waktu di luar jam kerja dan bahkan saat kamu bangun pagi.

Jika kamu ingin tahu seperti apakah mantan bosku itu, cobalah bayangkan seseorang yang cerewet, suka menuntut, merasa tidak aman, dan suka mengawasi setiap hal yang kamu lakukan. Sebagai dampak dari bekerja dengannya, beberapa temanku bahkan sampai sempat mengalami sakit kepala, gangguan tidur, dan jantung mereka berdegup tidak beraturan.

Aku pun pernah menjadi korban. Masih teringat jelas dalam pikiranku bagaimana peristiwa itu terjadi. Waktu itu, bosku marah dan dia mengirimiku banyak e-mail yang berisi komentar-komentar tentang kesalahanku. Dia mengomentari tata bahasa, tanda baca, dan lambatnya responsku dalam membalas e-mail. Komentar-komentarnya membuat tenaga dan konsentrasiku terkuras habis hari itu. Saat aku pulang meninggalkan kantor, aku merasa seolah-olah aku adalah orang yang paling tidak berguna di muka bumi.

Ketika malam tiba, aku kira aku bisa beristirahat dengan tenang. Namun, tiba-tiba bosku mengirimiku sebuah pesan singkat. Dia ingin memastikan apakah aku sudah memeriksa data yang dia minta atau belum. Darahku seolah membeku tatkala aku sadar kalau aku belum memeriksanya. Saking paniknya, sampai-sampai aku tidak dapat mengingat kata sandi ponselku sendiri, padahal aku baru saja menggunakannya beberapa menit yang lalu.

Singkat cerita, aku bisa mengingat kembali kata sandi ponselku, tapi karena aku tidak ingat data mana yang bosku inginkan, maka keesokan harinya aku pun terkena masalah. Kemudian, selama beberapa bulan setelahnya, dia bersikap dingin dan selalu mengkritik pekerjaanku walaupun aku sudah berusaha sebisaku untuk menyenangkannya. Keadaan berubah membaik hanya ketika ada karyawan-karyawan baru yang bergabung dan perhatian bosku jadi teralih kepada mereka.

Ketika aku merenungkan kembali pengalaman burukku selama enam bulan bekerja untuk mantan bosku, ada beberapa pelajaran yang dapat kupetik. Jika saat ini kamu sedang berada dalam keadaan yang serupa denganku dulu, aku harap artikel ini dapat menolong dan memberimu semangat.

1. Cobalah berunding dengan bosmu

Sebisa mungkin, cobalah untuk tidak berpikir negatif terlebih dahulu, apalagi jika kamu masih karyawan baru (karena mungkin saja kamu belum kenal karakter bosmu). Mungkin saja bosmu sedang memiliki masalah, sehingga dia tidak sadar bahwa sikapnya itu mempengaruhi karyawan serta pekerjaannya. Atau bisa juga karena kamu dan bosmu mengalami miskomunikasi hingga terjadi salah paham.

Aku yakin bahwa ini adalah satu dari sekian cara yang dapat kita pratikkan untuk menghormati bos kita (1 Petrus 2:17). Dulu, aku pun sempat mencoba berunding dengan bosku soal beban pekerjaanku yang semakin berat. Namun, beban yang dia berikan padaku tidak semata-mata membuatku langsung membencinya, karena aku pun harus berusaha untuk melihat dari sudut pandang bosku.

Akan tetapi, perundingan tidak selalu menjamin adanya perubahan. Apalagi jika bosmu adalah tipe orang yang tidak dapat menerima kritik dan selalu merasa benar sendiri.

2. Sadarilah bahwa kamu tidak selalu dapat “mengatur” bosmu

Ada banyak artikel yang dapat memberimu informasi tentang cara-cara efektif dalam menghadapi bos yang menyebalkan. Contohnya: Cobalah cari tahu hal-hal apakah yang sekiranya bisa memancing emosi bosmu, sehingga kamu bisa bertindak lebih hati-hati. Bagi sebagian orang, cara ini mungkin akan berguna. Tapi, jika bosmu adalah seorang yang tidak rasional, maka cara ini tidak akan efektif.

Sebenarnya, sebelum aku mulai bekerja di divisi ini, aku sudah mendengar reputasi buruk tentang bosku. Bahkan, seniorku juga pernah menghimbau supaya aku jangan menerima pekerjaan ini. Tapi, dengan polosnya, aku pikir bahwa aku pasti bisa “mengubah” bosku apabila aku bekerja dengan baik dan mampu membuktikan kemampuanku padanya. Selama enam bulan pertama, aku giat bekerja dan keadaan terlihat baik. Bahkan, aku berhasil menjadi salah satu karyawan favorit bosku waktu itu.

Namun, seiring waktu berlalu, sekalipun cara pandang dan sikapku akan pekerjaan tidak berubah, keadaan mulai berubah. Hal-hal kecil yang tadinya tidak menjadi masalah, sekarang seakan menjadi masalah besar di mata bosku. Alhasil, tidak sehari pun dapat kulewati tanpa memohon maaf kepadanya.

Aku kehilangan sukacita dalam pekerjaanku dan rasa takut selalu menghantuiku setiap kali aku hendak berangkat ke kantor setiap pagi. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri setiap ada kesalahan kecil yang terjadi hingga aku kehilangan rasa percaya diriku. Ketika aku menyadari bahwa dengan kekuatanku sendiri aku tak mampu berbuat apa-apa, aku berpaling kepada Tuhan.

3. Ingatlah bahwa yang sesungguhnya memegang kendali adalah Tuhan

Aku teringat akan malam-malam ketika aku menulis doaku di sebuah jurnal. Di atas tempat tidur, aku menangis sembari berdoa supaya Tuhan memampukanku untuk memandang hanya kepada-Nya saja, dan bukan untuk menyenangkan manusia. (Kolose 3:23-24)

Dalam masa-masa sukar itu, inilah yang kutulis dalam jurnalku:

“Tuhan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa takut untuk berangkat kerja. Tadinya kukira aku tidak akan pernah mengalami masalah semacam ini, tapi komentar-komentar yang bosku lontarkan itu mempengaruhi pikiranku. Aku gelisah kalau membayangkan bosku kembali mengirimiku e-mail tentang masalah yang sama lagi. Tuhan, Engkaulah yang telah mengajariku sejak remaja untuk terus percaya kepada-Mu, mengutamakan-Mu, dan bekerja sepenuh hati demi Engkau, dan bukan demi manusia. Bantulah aku melepaskan segala kepahitan dan ketidaksenanganku kepada bosku, karena aku hanya ingin fokus kepada Engkau saja, oh Tuhan.”

Satu minggu sejak aku mengucapkan doaku itu, Tuhan mengubahkan cara pandangku dengan cara yang sangat tidak terduga. Anggota keluargaku mengalami kecelakaan sehingga aku harus izin kerja selama beberapa minggu. Di waktu inilah aku belajar untuk berhenti mengasihani diri sendiri dan meluruskan kembali pandanganku. Aku tidak lagi mendambakan pengakuan dan pujian dari bosku, karena semua hal ini kurasa tidak lagi penting buatku.

Selama ini, aku sudah terlalu fokus pada permasalahanku sendiri, sehingga aku lupa bahwa Tuhanlah yang sesungguhnya memegang kendali atas hidupku. Aku diingatkan kembali bahwa Ialah yang menciptakan dan mencukupkan segala kebutuhanku. Seperti halnya Ia memiliki kuasa untuk memberi nyawa bagi makhluk hidup dan mengambilnya kembali, demikianlah Ia juga memiliki kuasa untuk mempertemukan dan memisahkan aku dari bosku.

4. Temukan rekan-rekan kerja yang sehati dan dapat mendukungmu

Tuhan tidak meninggalkan aku sendiri. Aku mengucap syukur untuk rekan-rekan kerjaku yang Kristen dan rekan-rekan dari gereja yang terus menerus mengingatkanku akan kuasa dan kasih Tuhan. Bahkan, melalui masalah ini, beberapa dari mereka sekarang menjadi sahabatku.

Janganlah memendam segala rasa frustrasi dan kesedihanmu sendirian di dalam hati. Cobalah cari seorang teman yang dewasa dan peduli, supaya dia dapat berdoa bagimu dan memberimu nasihat. Tuhan telah memberikan bagi kita saudara-saudari seiman di dalam Kristus yang mengasihi dan menemani kita dalam melewati masa-masa yang sukar (Amsal 17:17). Jika waktunya tiba, mungkin kamulah yang justru akan menjadi penolong dan penasihat bagi saudara seimanmu ketika mereka menghadapi masalah yang serupa dengan masalahmu dulu.

5. Jangan bergosip

Ketika kamu telah menemukan sekelompok teman yang dapat menopangmu dalam menghadapi persoalan, salah satu godaan terbesar adalah mengubah kesempatan untuk berbagi pokok doa menjadi kesempatan untuk bergosip. Sejujurnya, aku telah jatuh dalam kesalahan ini berkali-kali. Semakin terbelalaknya mata mereka dan antusiasnya ekspresi wajah mereka ketika aku bercerita soal bosku, semakin berkobar semangatku untuk bergosip. Pada akhirnya, ketika aku bertemu dengan teman-temanku yang lain, aku jadi tergoda untuk menceritakan tentang bosku, bahkan terkadang sampai ke detail-detail terkecil.

Seiring aku berkumpul dengan mantan rekan-rekan kerjaku dari waktu ke waktu, kami pun banyak bertukar cerita. Karena kami semua telah merasakan sendiri bagaimana menderitanya bekerja bagi seorang bos yang menyebalkan, kami pun saling bertukar cerita. Semakin banyak cerita yang kudengar, semakin buruk aku memandang bosku. Tadinya kupikir kata “jahat” saja cukup untuk menggambarkan kepribadian bosku itu. Namun setelah kudengar cerita dari mantan rekan-rekan sekerjaku, kata “jahat” seakan tak cukup lagi. Dia sudah seperti “monster” yang tidak dapat ditolong lagi.

Tetapi, setiap kali aku pulang setelah bergosip, Tuhan menegurku di dalam hati karena cerita yang kubagikan itu tidaklah membawa kemuliaan bagi nama-Nya, baik di depan sesama orang percaya, maupun di depan teman-temanku yang bukanlah orang percaya. Pada akhirnya, aku berkali-kali harus mengaku dosa dan meminta ampun kepada Tuhan, karena telah menjelekkan bosku (Mazmur 34:13).

Sampai sekarang pun, aku masih terus belajar untuk mengekang mulutku. Inilah satu pelajaran yang masih terus kugumulkan sampai hari ini.

Sekarang, aku bekerja bagi seorang bos yang sifatnya bertolak belakang dengan bosku yang dulu. Selain mampu berpikir luas, dia juga sabar dan pengertian. Dia memberikan setiap karyawannya kesempatan untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Bila saja aku belum pernah bekerja bagi mantan bosku, mungkin aku takkan pernah sadar betapa beruntungnya aku memiliki bos yang baik seperti bosku sekarang.

Aku berdoa supaya kamu pun suatu saat dapat bersyukur kepada Tuhan ketika kamu mengingat kembali bagaimana Tuhan menolongmu untuk mengatasi pergumulanmu di masa lalu.

Baca Juga:

Untuk Indonesia, Aku Tetap Optimis!

Melihat negeriku dipenuhi dengan banyak masalah, seringkali aku jadi suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain dan bertanya-tanya: Mengapa aku seorang Indonesia? Namun, tatkala aku mulai pesimis akan kondisi bangsaku, di sinilah Tuhan mengingatkanku kembali bahwa negeri ini memiliki masa depan.

Sharing: Kelemahan Apa yang Kamu Miliki yang Membuatmu Semakin Dekat dengan Tuhan?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201709

Kelemahan apa yang kamu miliki yang membuatmu semakin dekat dengan Tuhan?
Bagikan sharing kamu di dalam kolom komentar. Kiranya sharingmu dapat memberkati sobat muda yang lain.

5 Alasan Mengapa Kita Perlu Mendoakan Orang Lain

5-alasan-mengapa-kita-perlu-mendoakan-orang-lain

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 代祷,真的有用吗?(有声中文)

“Aku akan berdoa untukmu.”

Aku yakin semua orang Kristen pasti tidak asing lagi dengan kalimat ini. Mungkin ini merupakan jawaban paling umum yang akan diberikan oleh sesama orang Kristen ketika kita bercerita tentang pergumulan yang sedang kita hadapi.

Tapi, apakah mendoakan orang lain itu memang benar-benar ada gunanya? Jujur saja, dulu aku merasa ragu. Jika mendoakan orang lain memang benar-benar ada gunanya, lalu mengapa masih ada kerabatku yang tak kunjung percaya kepada Tuhan? Jika mendoakan orang lain memang benar-benar efektif, lalu mengapa orang yang sakit belum juga sembuh? Jika doa itu memang besar kuasanya, mengapa masih ada orang Kristen yang teraniaya?

Lagipula, bukankah Tuhan itu Mahatahu? Bukankah Tuhan pasti sudah tahu apa yang seseorang butuhkan, bahkan jika kita tidak mendoakannya sekalipun?

Beberapa waktu lalu, aku membuka Alkitabku. Aku ingin mencari tahu lebih banyak apakah fungsi dan pentingnya berdoa untuk orang lain. Dari waktu singkat yang aku luangkan untuk membaca Alkitab, ada 5 hal yang firman Tuhan ajarkan kepadaku. Kelima hal inilah yang mendorongku untuk mengoreksi kembali cara pandang dan keraguanku akan gunanya mendoakan orang lain. Jika kamu mengalami keraguan yang sama sepertiku, aku berdoa supaya kelima hal yang aku coba jabarkan di bawah ini dapat membantumu untuk memahami pentingnya mendoakan orang lain.

1. Kita menyenangkan hati Tuhan ketika kita mendoakan orang lain

Dalam Yesaya 59, Tuhan tertegun karena tidak ada seorangpun yang berdoa kepada-Nya mewakili Israel. Yesaya menulis, “Ia melihat bahwa tidak seorangpun yang tampil, dan Ia tertegun karena tidak ada yang membela. Maka tangan-Nya sendiri memberi Dia pertolongan, dan keadilan-Nyalah yang membantu Dia” (Yesaya 59:16).

Jika kita ingin menyenangkan hati Tuhan, maka sudah seharusnya kita mengasihi sesama kita dan mendoakan mereka. Sebagai contoh, kita bisa datang ke ibadah doa mingguan yang diadakan di gereja dan berdoa bagi apa yang gereja kita butuhkan.

Bagiku pribadi, sejujurnya aku merasa kecewa dengan sebagian kebijakan hukum dan politik yang disahkan di negaraku. Mungkin jika aku memandang kondisi negaraku saat ini, aku dapat dengan mudahnya bersikap masa bodoh dan berhenti mendoakan negaraku. Namun, Tuhan meningatkan aku kembali lewat pasal ini supaya aku tetap bertekun di dalam doa, karena doa-doaku menyenangkan hati-Nya.

2. Kita mengikuti teladan Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya ketika kita mendoakan orang lain

Yesus mengajarkan kita demikian: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44). Yesus sendiri menjadi teladan ketika Dia meminta Bapa mengampuni orang-orang yang menganiaya-Nya. Padahal, Yesus bisa saja dengan mudah mengutuk mereka. Namun, Yesus memilih untuk mendoakan orang-orang yang menganiaya-Nya (Lukas 23:24). Yesus menjadi teladan bagi kita, supaya kita tahu bahwa di dalam Dia, kita juga mampu melakukannya.

Ketahui jugalah bahwa Yesus peduli akan mereka yang mendoakan orang lain. Dalam pelayanan-Nya yang berlangsung sekitar tiga tahun, Yesus menjawab banyak permohonan dari orang-orang yang datang kepada-Nya. Sebagai contoh, coba tengok kisah seorang perwira yang berdoa bagi hambanya (Matius 8:5-13), atau kisah kepala rumah ibadat yang berdoa bagi anak perempuannya yang sakit parah (Matius 9:18-26), atau kisah seorang ayah yang berdoa bagi anaknya yang kerasukan (Markus 9:14-29), dan banyak lagi. Maukah kita sekalian belajar dari teladan mereka dan mendoakan seseorang yang kita kenal?

Aku memiliki daftar nama orang-orang yang selalu kudoakan secara rutin. Di dalam daftar ini juga terdapat kerabat-kerabatku yang belum mengenal Yesus, teman-temanku yang pertumbuhan imannya stagnan, dan juga anak-anak yang kulayani melalui organisasi World Vision International. Satu hal yang membuatku tidak jemu-jemu mendoakan mereka adalah karena aku tahu Tuhan menjawab doa-doaku. Salah satu doa yang Tuhan jawab adalah doa bagi temanku yang sempat mengalami depresi. Sekarang, dia sudah mulai dapat kembali berinteraksi dengan orang-orang serta lebih banyak tersenyum. Aku sangat bersyukur karenanya.

3. Kita mendekatkan diri kita kepada hati Tuhan ketika kita mendoakan orang lain

Tuhan memiliki rencana dalam setiap keputusan yang diambil-Nya. Dosa yang begitu besar yang dilakukan oleh Sodom dan Gomora membuat Allah murka sehingga Dia ingin memusnahkan seluruh kota itu (Kejadian 18).

Namun, kala itu Abraham berdoa dan bahkan bernegosiasi dengan Allah supaya Sodom dan Gomora jangan dimusnahkan apabila sedikitnya ada 10 orang benar di dalamnya. Alih-alih marah atas permohonan Abraham, Allah malah menjawabnya dengan penuh kesabaran.

Mungkin saja Allah sebenarnya senang mendengar permintaan Abraham, karena Allah melihat betapa Abraham mengasihi dan menyayangi nyawa sesamanya manusia. Aku yakin peristiwa ini membuka mata Abraham akan betapa dalamnya kasih Allah terhadap manusia. Jika setidaknya masih ada satu saja orang benar di Sodom dan Gomora, Allah bisa saja membatalkan rencana-Nya.

Pada akhirnya, Allah mengirim dua malaikat-Nya untuk menyelamatkan keponakan Abraham, yaitu Lot berserta anak dan istrinya sebelum kota Sodom dimusnahkan. Melalui peristiwa ini, Allah kembali menunjukkan kasih setia-Nya. Oleh sebab itu, ketika kita tetap berdoa, perlahan-lahan kita akan dimampukan untuk mengerti hati Allah.

4. Kita meningkatkan kemampuan berempati ketika kita mendoakan orang lain

Ketika kita merasa tidak mampu dan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menolong sesama kita, jangan lupa bahwa sebagai orang Kristen, kita memiliki kuasa doa. Mungkin kita tidak mengerti sepenuhnya persoalan apa yang sedang dihadapi oleh mereka, namun ketekunan doa kita bagi mereka akan membuat kita belajar bagaimana rasanya berada di posisi mereka yang sedang bergumul. Dengan demikian, empati kita terhadap sesama akan terus bertumbuh.

Ketika aku berdoa bagi para misionaris, aku dapat membayangkan bagaimana sulitnya berada di luar negeri sendirian serta jauh dari rumah. Ketika aku berdoa bagi saudara-saudari seiman yang teraniaya, aku dapat merasakan bagaimana beratnya penderitaan mereka.

Terlebih lagi, mereka yang sedang bergumul akan merasa dikuatkan ketika mereka tahu bahwa ada orang-orang yang tekun berdoa untuk mereka. Ketika kita menunjukkan rasa empati kita terhadap orang lain, maka kita sedang mempraktikkan kasih Allah, dan menghibur mereka yang sedang berada dalam kesulitan.

5. Kita saling meringankan beban satu sama lain ketika berdoa untuk orang lain

Persoalan yang kita hadapi mungkin tidak akan selesai secara instan setelah didoakan. Namun, Roh Kudus mampu menguatkan dan menghibur mereka yang kita doakan.

Ketika aku sedang mengejar gelar S-2, aku pernah merasa kewalahan karena begitu banyak tugas yang harus aku kerjakan. Tapi, aku tidak mau menceritakan hal ini kepada keluargaku karena aku takut mereka akan mengkhawatirkanku. Di negeri yang asing, saat itu aku tidak memiliki teman untuk diajak berdiskusi. Akibatnya, aku tiba di titik di mana aku merasa ingin menyerah dan pulang ke negara asalku.

Sembari memikul semua beban itu sendiri, aku pergi ke ibadah doa di suatu gereja. Di sana, ada beberapa saudari seiman yang bersedia mendengarkan permasalahanku dan mendoakanku. Air mataku bercucuran ketika mereka berdoa untukku, dan barulah setelah itu aku merasa bebanku menjadi lebih ringan.

Sekarang aku sedang mengejar gelar S-3. Walaupun tugas-tugas yang harus kukerjakan tetap banyak hingga aku serasa ingin menyerah, tetapi aku tahu bahwa di luar sana ada orang-orang yang selalu mendoakanku supaya aku beroleh kekuatan dari Tuhan.

Ketika kita berdoa untuk orang lain, kita sedang mengubah diri kita dari seorang yang egois menjadi seorang yang mengasihi Allah dan sesama manusia.

Ketika teman kita menceritakan pergumulannya kepada kita, pernahkah kita menjawab: “Aku akan mendoakanmu”, tapi pada akhirnya kita tidak melakukannya? Atau mungkin kita malah menganggap jawaban itu sebagai cara ampuh supaya tidak diusik lagi? Ingatlah, bahwa doa bukanlah sesuatu yang bisa kita permainkan. Mulai sekarang, ketika teman kita menceritakan pergumulan mereka, cobalah ganti jawaban kita menjadi: “Aku mau mendoakanmu sekarang”. Lalu ajaklah dia berdoa bersama denganmu saat itu juga.

Mungkin kamu juga memiliki pokok doa yang sudah lama belum dijawab, namun janganlah kamu menjadi tawar hati karena setiap doa yang kamu naikkan takkan pernah sia-sia. Marilah kita belajar dari doa Yesus di Lukas 22:42. Mintalah supaya kehendak Allah yang jadi dalam hidup kita, dan bukan kehendak kita sendiri.

Baca Juga:

Untuk Indonesia, Aku Tetap Optimis!

Melihat negeriku dipenuhi dengan banyak masalah, seringkali aku jadi suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain dan bertanya-tanya: Mengapa aku seorang Indonesia? Namun, tatkala aku mulai pesimis akan kondisi bangsaku, di sinilah Tuhan mengingatkanku kembali bahwa negeri ini memiliki masa depan.

Untuk Indonesia, Aku Tetap Optimis!

Untuk-Indonesia-Aku-Tetap-Optimis

Oleh Sukma Sari

Tujuh puluh dua tahun bukanlah perjalanan yang singkat, apalagi bagi suatu bangsa. Jika kita menoleh sejenak ke belakang, ada begitu banyak peristiwa yang telah dialami oleh bangsa kita, Indonesia. Jauh sebelum mendeklarasikan kemerdekaannya, bangsa ini harus merasakan pedihnya masa-masa kolonialisme—dijajah oleh bangsa lain. Bahkan, setelah merdeka pun, bangsa ini tetap harus menghadapi banyak masalah.

Sebagai warga negara Indonesia yang lahir jauh setelah bangsa ini meraih kemerdekaannya, aku tidak tahu bagaimana euforia yang terjadi tatkala naskah proklamasi dibacakan. Yang aku ingat adalah masa ketika negeri ini memasuki masa transisi yang disebut dengan reformasi. Ruko miliki teman sekolahku habis terbakar. Sepanjang perjalananku dari rumah hingga ke sekolah, aku melihat banyak ujaran-ujaran kebencian bernada rasis yang dituliskan di warung atau toko-toko.

Karena segala kenangan buruk inilah, seringkali aku jadi membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju di Asia. Melihat praktik korupsi yang menggerogoti birokrasi, peredaran obat terlarang yang terselubung, kriminalitas, juga kasus-kasus intoleransi membuatku merasa jengah akan kondisi bangsa ini. Kadang, aku jadi bertanya-tanya: Mengapa aku seorang Indonesia? Mengapa aku lahir dan besar di Indonesia? Mengapa Indonesia tidak seperti negara lain yang lebih maju?

Namun, tatkala pikiranku bertanya-tanya demikian, ada sebuah ayat yang juga terlintas di benakku. Ayat ini seolah menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku itu. Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Yeremia 29:7). Ayat ini tidak asing di telingaku. Biasanya, ketika ibadah dengan tema kebangsaan, ayat ini sering disebutkan.

Ayat ini menegurku. Aku rasa bukan suatu kebetulan jika saat ini aku berstatus sebagai seorang warga negara Indonesia. Jika Tuhan begitu mengasihi Niniwe—kota besar yang berpenduduk lebih dari 120.000 jiwa, yang semuanya tidak bisa membedakan kanan dan kiri dan semua ternaknya (Yunus 4:11), lantas, siapakah aku sampai-sampai aku tidak mengasihi bangsa ini? Lambat laun, aku menyadari bahwa terlepas dari segala permasalahan yang menyelubungi negeri ini, masih ada banyak hal yang patut disyukuri. Terlepas dari segala kekurangannya, negeri ini adalah negeri yang indah.

Indonesia adalah negara kepulauan. Wilayahnya dikelilingi oleh perairan. Penduduknya beragam, berasal dari berbagai suku, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda namun bersepakat untuk bersatu menjadi suatu bangsa Indonesia. Orangtuaku adalah orang Kristen, sedangkan sebagian besar keluargaku menganut agama Islam. Selain berbeda kepercayaan, keluarga besarku juga berasal dari berbagai macam suku. Ketika tiba hari lebaran, kami turut mengikuti tradisi mudik dan menikmati sukacita kebersamaan. Keberagaman keluarga inilah yang mengajarkanku apa arti toleransi antar umat beragama sesungguhnya, bahkan sebelum aku duduk di bangku sekolah.

Ketika aku pergi menjelajah ke daerah Sukamade, aku bertemu dengan serombongan turis dari Swiss. Mereka mengungkapkan kekaguman mereka akan keindahan pantai-pantai Indonesia. Lalu, dalam perjalananku ke Yogyakarta bulan Maret lalu, aku bercakap-cakap dengan seorang turis dari Maroko. Katanya, satu hal yang amat dia sukai dari Indonesia adalah keramahan penduduknya. Jika orang luar saja mampu kagum terhadap Indonesia, masakan aku yang adalah warga Indonesia tidak bangga dan bersyukur atas negeri ini?

Bersyukur dan bangga saja aku rasa belum cukup untuk mencintai negeri ini. Aku jadi teringat akan sebuah kutipan yang pernah disebutkan oleh John F. Kennedy, seorang mantan presiden Amerika Serikat yang berkata: Jangan pernah tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu. Salah satu kontribusi yang telah kuberikan kepada Indonesia adalah dengan menjadi warga negara yang proaktif. Ketika tiba waktunya pesta demokrasi digelar, aku menggunakan hak suaraku. Ketika saat ini aku sudah bekerja sebagai karyawan swasta, aku memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan nomor ini, aku belajar untuk membayar pajak yang adalah kewajibanku sebagai warga negara. Setiap Rupiah pajak yang diserahkan kepada negara inilah yang akan menjadi penggerak pembangunan sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia. Tatkala kita membayar pajak, kita sedang berkontribusi untuk membangun negara ini.

Sahabatku, perjuangan kita saat ini belumlah usai. Perjuangan kita sekarang bukanlah perjuangan melawan penjajah dengan mengangkat bambu runcing seperti masa pra-kemerdekaan. Perjuangan kita adalah bagaimana kita bisa menjaga dan mengisi kemerdekaan yang Tuhan sudah berikan. Mari bersama-sama kita berjuang menjaga kesatuan dan persatuan, juga kerukunan antara suku, agama, dan budaya. Kita boleh bermimpi setinggi mungkin untuk bangsa ini. Jika kamu punya kesempatan untuk menuntut ilmu hingga ke luar negeri, pergilah. Tetapi, jangan lupa untuk kembali karena negeri ini membutuhkanmu.

Terlepas dari banyak permasalahan yang melanda negeri ini, aku tetap optimis. Negeri ini bisa menjadi lebih baik, selama aku dan kamu tetap percaya dan tidak berpangku tangan. Percayalah, Allah yang dahulu memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir adalah Allah yang sama yang memberkati Indonesia sekarang dan seterusnya.

Satu hal yang perlu kita imani adalah Allah selalu menyertai.

Baca Juga:

Mengapa Aku Mengagumi Superhero Sejak Kecil

Sejak aku masih kecil, aku begitu terobsesi akan superhero. Sebagai seorang anak SD yang sering diolok-olok oleh oleh teman-temanku, aku jadi berharap andai saja aku bisa memiliki superhero yang mampu melindungiku. Obsesiku akan superhero inilah yang akhirnya membuat teman-teman sekelasku menganggapku aneh.

Mengapa Aku Mengagumi Superhero Sejak Kecil

mengapa-aku-mengagumi-superhero-sejak-kecil

Oleh Desiree U. Angeles, Filipina
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I’ve Always Loved Superheroes

Sejak aku masih kecil, aku adalah penggemar berat karakter Batman. Mungkin tidak banyak anak perempuan yang mengagumi karakter ini, tapi kemampuan Batman untuk mengalahkan para penjahat selalu membuatku kagum. Padahal, dia sendiri tidak memiliki kekuatan supranatural.

Mungkin, alasan lain dari mengapa aku begitu mengagumi Batman adalah karena pengalaman masa laluku. Waktu aku masih duduk di bangku SD, teman-temanku sering mengolok-olokku. Setiap kali mereka mulai mengolokku, aku selalu berpikir andai saja aku memiliki sifat tegas, otak yang pintar, dan tubuh yang kuat sama seperti Batman. Bahkan, aku pernah meminta ibuku untuk mendaftarkanku di kelas pelatihan bela diri, tapi ibuku tidak setuju.

Alasan itulah yang membuatku begitu mengagumi segala tontonan tentang superhero. Semakin sering aku menontonnya, semakin aku berharap supaya bisa menjadi seperti mereka. Atau, paling tidak suatu hari nanti aku akan menemukan seorang superhero yang bisa melindungiku dari orang-orang yang menggangguku. Begitu terobsesinya aku pada superhero inilah yang membuat hubunganku dengan teman-teman sekelasku menjadi renggang karena mereka menganggapku aneh.

Keadaanku jadi semakin buruk karena teman-temanku tidak berhenti mengolok-olokku. Aku merasa bahwa tidak ada orang yang mau mengasihi atau menerimaku apa adanya. Tidak akan pernah ada orang yang mau mengerti perasaanku dan sudi menerima orang aneh sepertiku. Rasa penolakan ini membuatku tenggelam dalam fantasiku sendiri akan superhero yang kupikir bisa membuatku bahagia.

Tapi, cara pikirku berubah ketika aku mengenal Yesus. Aku masih ingat dengan jelas peristiwa ketika aku dan ibuku diundang untuk menghadiri ibadah Minggu di sebuah gereja dekat rumah kami. Di sanalah aku menyadari bahwa ada seorang superhero yang benar-benar nyata, tidak seperti Batman dan superhero lainnya yang hanyalah karakter fiksi. Superhero ini adalah Yesus Kristus, yang datang ke dunia sebagai manusia dan tinggal di tengah-tengah kita untuk memulihkan hubungan kita dengan Bapa. Berbeda dari superhero yang aku kenal di layar televisi, Yesus benar-benar mengasihiku, mengenalku seutuhnya, dan mengorbankan segalanya, termasuk nyawa-Nya demi menebusku (Yohanes 3:16).

Yesus adalah superhero yang selalu ada di sisiku dan membimbing setiap langkahku. Berbeda dari karakter-karakter fiksi dari komik DC, Yesus itu hidup dan begitu dekat denganku. Dia melindungiku dan mengasihiku tanpa syarat. Dia menerimaku di tengah keterpurukanku, Dia mengasihiku lebih dari siapapun juga, dan Dia mengubah diriku sepenuhnya.

Ketika aku menyadari semua kebenaran ini, rasa sedih dari olok-olokan yang kuterima dari teman-temanku perlahan menghilang. Seperti yang tertulis dalam kitab Mazmur 147:3, “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka,” demikianlah Yesus memulihkan segala luka-luka hatiku.

Ketika menghadapi masalah, beberapa dari kita mungkin berusaha mencari sosok superhero yang bisa menolong kita. Mungkin, kita akan mencari sosok itu dari orang-orang di sekitar kita, seperti teman-teman atau anggota keluarga kita. Tetapi, kita memiliki Tuhan yang sejati dan hidup, superhero kita sesungguhnya yang jauh lebih dahsyat dari segala karakter fiksi ataupun orang-orang yang kita kenal.

Baca Juga:

Yuk Belajar dari 5 Pasangan di dalam Alkitab yang Takut akan Allah

Dulu, aku selalu memandang sebuah hubungan hanya dari kacamataku sendiri. Ketika aku merasa cinta dengan seseorang, tanpa pikir panjang aku langsung berpacaran dengannya karena aku sangka itu perasaan dari “Roh Kudus”. Namun, suatu hari sebuah pikiran terlintas di kepalaku: Mengapa kita tidak belajar dari pernikahan-pernikahan kudus di dalam Alkitab untuk mencari tahu pemikiran Allah?

Yuk Belajar dari 5 Pasangan di dalam Alkitab yang Takut akan Allah

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 从圣经中的5对夫妇看上帝的感情观(有声中文)

Dulu, aku pikir oke-oke saja untuk berpacaran selama aku merasa cinta. Aku tidak sadar bahwa sebelum aku berpacaran, seharusnya aku mendoakannya terlebih dahulu kepada Allah.

Dulu, aku pikir ketika perasaan cinta itu pudar, maka itulah saatnya untuk putus. Aku tidak sadar bahwa sebuah hubungan itu perlu dipelihara.

Mulai dari cinta monyet semasa sekolah, berpacaran semasa kuliah, hingga kembali jomblo setelah lulus, aku telah merasakan perjalanan emosional yang berliku-liku. Aku sampai pada sebuah titik di mana aku merasa sepertinya Allah sudah tidak lagi mengasihiku. Mengapa orang lain bisa berhasil dalam membangun hubungan mereka, sedangkan aku terus gagal? Dan mengapa akhirnya bukan hanya aku yang sakit hati, tapi aku juga membuat mantan-mantan pasanganku sakit hati? Padahal, aku sudah serius dalam menjalin hubungan.

Setelah sekian lama, aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya memandang hubungan itu dari kacamataku sendiri. Ketika aku merasa cinta dengan seseorang, tanpa pikir panjang aku langsung berpacaran dengannya, karena aku menyangka perasaan itu berasal dari “Roh Kudus”. Namun, tanpa pikir panjang pula aku akhiri hubunganku ketika berbagai masalah membuatku lelah secara jasmani dan rohani. Dengan seenaknya sendiri aku menganggap bahwa berbagai masalah itu adalah tanda bahwa kami harus putus. Begitulah aku akhirnya putus dengan mantan-mantan pacarku.

Berbagai film dan tayangan televisi mengajak kita untuk mengandalkan perasaan kita sendiri. Kita diajak untuk mengejar hubungan-hubungan yang romantis, menyenangkan, dan luar biasa. Lalu, ketika segala perasaan cinta ini sirna, mereka mengatakan bahwa itulah saatnya untuk mengakhiri hubungan. Tapi, benarkah itu? Apa kata Alkitab tentang hal ini?

Suatu hari, sebuah pikiran terlintas di kepalaku: Mengapa kita tidak belajar dari pernikahan-pernikahan kudus di dalam Alkitab untuk mencari tahu pemikiran Allah?

Izinkanlah aku membagikan apa yang aku pelajari dari lima pasangan yang ada di dalam Alkitab berikut ini.

1. Ishak dan Ribka:
· Doakanlah pernikahanmu.
· Cinta bukanlah hanya sebuah perasaan, tapi juga sebuah komitmen yang penting.

Ribka adalah seorang perempuan yang berasal dari suku yang sama dengan Abraham. Dia dipilih oleh hamba Abraham untuk menjadi istri bagi Ishak (putra Abraham) setelah sang hamba menanyakannya kepada Allah di dalam doa. Di sini aku melihat sebuah prinsip yang sangat penting untuk sebuah hubungan: pilihlah seorang pasangan di antara orang-orang percaya. Memilih pasangan itu bukan secara acak ataupun hanya berdasarkan perasaan saja, tapi haruslah berdasarkan doa yang dilakukan dengan setia. Apabila kita memilih bersama dengan orang-orang yang belum percaya, kita akan menghadapi perbedaan prinsip dan kepercayaan, atau lebih parahnya lagi, bisa saja kita jadi mengikuti tradisi kepercayaan mereka dan meninggalkan Allah dan ajaran-Nya.

Hal kedua yang aku pelajari dari hubungan Ishak dan Ribka adalah ini: cinta adalah sebuah keputusan. Meskipun Ishak dan Ribka belum pernah bertemu sebelumnya, mereka dapat saling mencintai sepanjang hidup mereka. Pada zaman itu, cukup umum bagi laki-laki untuk memiliki lebih dari seorang istri. Tapi, Ishak memilih untuk menghabiskan hidupnya hanya dengan Ribka seorang. Hubungan pernikahan mereka menunjukkan pada kita bahwa saat kamu memutuskan untuk mencintai seseorang dan mengikatnya dengan janji suci, kita dapat percaya bahwa Allah akan terus memampukan kita untuk terus mencintai satu sama lain hingga pada akhirnya, bahkan ketika berbagai kesulitan muncul di dalam pernikahan.

2. Boas dan Rut:
· Dengarlah nasihat orang-orang yang lebih dewasa.
· Bagaimanapun masa lalumu, percayalah bahwa Allah selalu menerimamu.

Rut adalah seorang asing di antara bangsa Yahudi, dan juga seorang janda. Meskipun demikian, dia mengasihi ibu mertuanya, Naomi. Rut menaati nasihat Naomi untuk mendekati Boas. Lalu, seperti yang kita tahu, pada akhirnya kisah Rut, Boas, dan Naomi berakhir dengan bahagia. Dari kisah ini, aku belajar bahwa Allah tidak memandang rendah seseorang, apapun latar belakangnya. Yang Allah pedulikan adalah hati kita. Rut memilih untuk percaya kepada Allah—Allah yang sama yang kepada-Nya ibu mertuanya percaya. Dia juga taat kepada ibu mertuanya yang lebih dewasa ini, sehingga pada akhirnya Rut menjadi seorang yang diberkati Allah, dan bahkan namanya pun tercantum dalam silsilah Yesus.

Dulu, aku berpikir bahwa Allah hanya memberkati hubungan mereka yang menikah dengan pacar pertama mereka. Namun ternyata tidak demikian. Allah menerima kita, tidak peduli seperti apa masa lalu kita. Menariknya lagi, dari kisah Rut dan Boas aku belajar bahwa tidak selalu perempuan harus menunggu laki-laki untuk memulai suatu hubungan. Kadang, perempuan juga dapat memberikan tanda-tanda (yang pantas dan di waktu yang tepat) kepada laki-laki yang “lebih pasif”. Tentunya dengan catatan bahwa segala tindakan itu sesuai dengan kehendak Allah. Bagi laki-laki, mereka harus memikirkan matang-matang dan juga meminta nasihat saudara seiman yang lebih dewasa sebelum mendekati seorang perempuan.

3. Yusuf dan Maria:
· Cinta harus dibuktikan dengan tindakan.
· Kita dapat menyelesaikan pekerjaan Allah bersama-sama dengan cara menaati-Nya dan takut akan Dia.

Ketika Maria mengandung Yesus dari Roh Kudus, Yusuf menghindari untuk menceraikan Maria secara terang-terangan demi menjaga nama baik dan keselamatan Maria. Pada masa itu, apabila seorang perempuan melakukan zina dengan laki-laki lain yang bukan pasangannya, pasangannya itu berhak untuk menceraikan dia secara terang-terangan dan sang perempuan akan dirajam sampai mati. Namun, Yusuf tidak melakukan hal itu karena dia mencintai Maria dan takut akan Allah. Maria juga adalah seorang perempuan yang takut akan Allah, dan bersedia menanggung risiko dari mengandung Yesus.

Mencintai seseorang harus dibuktikan dengan tindakan. Yusuf membuktikan cintanya kepada Maria dengan cara menghormati, melindungi, dan menikahinya. Ketika orang-orang jahat mencari-cari mereka untuk membunuh bayi Yesus, mereka saling menopang melewati segala tantangan. Yusuf dan Maria adalah contoh pasangan yang takut akan Allah, yang bersama melewati masa-masa suka dan duka. Semuanya itu mereka lakukan bagi Allah. Betapa indahnya memiliki pasangan yang seiman dan yang dapat menjaga komitmennya terhadap Kristus dan terhadap pasangannya.

4. Akwila dan Priskila:
· Jadilah pasangan yang berkomitmen kepada Kristus.
· Bangunlah keluarga dengan Kristus sebagai kepalanya, dan berikan segala yang kamu miliki bagi Kerajaan Allah.

Meskipun pasangan ini tidak seterkenal pasangan-pasangan lain yang telah kita bahas sebelumnya, aku sungguh mengagumi komitmen mereka kepada Allah. Meskipun mereka sibuk bekerja, mereka selalu dengan hangat menyambut pelayan-pelayan Allah seperti Paulus dan Apolos (Kisah Para Rasul 18). Mereka membuka pintu rumah mereka untuk dipakai menjadi tempat pertemuan (1 Korintus 16) dan secara aktif mengejar segala kesempatan untuk memperluas Kerajaan Allah.

Allah tidak hanya ingin keluarga-keluarga diselamatkan, tapi juga melayani-Nya. Memberikan rumah kita untuk dijadikan tempat pertemuan tidak hanya membutuhkan uang, tapi juga waktu dan tenaga. Di sini kita melihat sebuah contoh pelayanan yang dilakukan oleh keluarga awam, yang merupakan wujud nyata dari ayat Alkitab berikut ini: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37), dan “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15).

Selain itu, dua lebih baik daripada satu. Selain dapat saling berbagi suka-duka kehidupan, sebuah pasangan dapat saling mendoakan, melayani Allah, dan melayani sesama bersama-sama. Ini adalah sebuah gambaran yang sangat indah. Ketika aku menyaksikan sendiri bagaimana tidak enaknya melihat pasangan yang tidak sepadan—yang seorang antusias melayani Allah, namun yang seorang lagi tidak—aku jadi semakin sadar akan betapa pentingnya doa dalam proses mencari seorang pasangan yang sepadan dengan kita. Hanya pasangan yang sepadan saja yang dapat membangun sebuah keluarga dengan Kristus sebagai kepalanya.

5. Zakharia dan Elisabet:
· Setialah berdoa dan sabarlah menunggu waktu Allah.
· Berserahlah penuh kepada kehendak Allah dengan penuh kerendahan hati.

Menurut Lukas 1, Zakharia dan Elisabet adalah pasangan yang tetap setia melayani Allah meskipun usia mereka telah lanjut. Secara khusus, aku mengingat kisah ketika Zakharia menjabat sebagai imam dan malaikat Allah datang kepadanya dan memberitahunya bahwa doanya sudah dijawab: Allah akan mengaruniakannya seorang anak. Kisah ini mengingatkanku bahwa Allah selalu mendengar doa-doa kita. Namun, bagaimana Allah menjawabnya adalah tergantung kepada kehendak-Nya.

Dalam kisah ini, kita juga melihat kelemahan Zakharia dan Elisabet. Zakharia menjadi bisu untuk sementara waktu karena kurang percaya, dan Elisabet juga takut untuk menceritakan kepada orang lain tentang kehamilannya. Namun, meskipun mereka memiliki kelemahan, itu tidak menjadi hambatan bagi Allah untuk memakai mereka untuk menggenapi rencana-Nya. Ketika bayi mereka lahir, mereka menaati Allah dan menamai bayi itu Yohanes. Setelah berdoa bertahun-tahun untuk memiliki anak, Zakharia dan Elisabet rela memberikan anak mereka bagi pekerjaan Allah, dan taat kepada Allah dalam memberikan nama bagi anak mereka. Penyerahan diri seperti itulah yang perlu aku pelajari.

* * *

Kelima pasangan ini memiliki kelemahan mereka masing-masing, namun ada satu persamaan yang mereka miliki: masing-masing dari mereka takut akan Allah dan taat kepada Allah. Teladan Akwila dan Priskila secara khusus mengingatkanku untuk terus melayani Allah kapan saja dan di mana saja.

Alkitab memiliki banyak contoh lain yang dapat mengajari kita tentang sebuah hubungan. Lima pasangan yang aku sebutkan di atas hanyalah beberapa saja dari sekian banyak itu, tapi kelima pasangan inilah yang begitu menyentuhku secara pribadi. Lewat mempelajari kisah-kisah kehidupan mereka, aku dapat menjadi lebih baik dalam menghadapi perasaan tidak aman yang diakibatkan hubungan-hubunganku di masa lalu. Kelima pasangan ini juga yang menginspirasiku untuk membangun hubungan yang berkenan kepada Allah dan membantuku untuk memfokuskan kembali pandanganku kepada Allah. Aku harap apa yang aku pelajari tentang hubungan dari kelima pasangan ini juga dapat bermanfaat bagimu dalam menjalin hubunganmu.

Baca Juga:

Ketika Malam Tirakatan Mengajariku Cara untuk Mencintai Indonesia

Satu hari menjelang peringatan hari kemerdekaan, lingkungan tempat tinggalku selalu mengadakan acara tirakatan—sebuah acara untuk merenungkan dan merefleksikan kembali makna kemerdekaan Indonesia. Di acara malam tirakatan, seluruh warga, tak peduli apapun latar belakangnya bersatu padu mensyukuri dan merayakan kemerdekaan Indonesia.

Ketika Malam Tirakatan Mengajariku Cara untuk Mencintai Indonesia

ketika-malam-tirakatan-mengajariku-cara-untuk-mencintai-indonesia

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo
Foto oleh Aryanto Wijaya

Satu hari menjelang peringatan hari kemerdekaan, lingkungan tempat tinggalku selalu mengadakan acara tirakatan—sebuah acara untuk merenungkan dan merefleksikan kembali makna kemerdekaan Indonesia. Di acara malam tirakatan, seluruh warga, tak peduli apapun latar belakangnya bersatu padu mensyukuri dan merayakan kemerdekaan Indonesia.

Sewaktu aku masih duduk di kelas 5 SD, aku dan teman-teman di sekitar rumahku begitu antusias untuk mengikuti lomba-lomba yang diselenggarakan di malam tirakatan. Ada yang berlatih membaca puisi, ada yang berlatih fashion show, ada pula yang berlatih menari dan menyanyikan lagu kebangsaan. Waktu itu aku mendapatkan kesempatan untuk membacakan puisi bersama kedua temanku. Acara malam tirakatan itu berlangsung dengan meriah. Tak hanya warga dari lingkungan RT-ku saja, tetapi RT-RT lain juga ikut bergabung.

Tahun demi tahun pun berlalu. Satu per satu temanku yang dulu selalu melewatkan tirakatan bersama-sama mulai pergi merantau. Ada yang ke luar kota, ada juga yang ke luar pulau. Malam tirakatan yang dulu aku lalui dengan sukacita pun akhirnya menjadi malam yang membosankan karena aku kehilangan teman-temanku. Ketika malam tirakatan itu tiba, aku tidak bergairah sama sekali untuk mengikutinya dan memilih untuk diam saja di rumah.

Melihat diriku yang tak bersemangat sama sekali, ibuku menghampiriku dan memberi nasihat. “Nak, kita tidak boleh jadi orang yang cuek dengan lingkungan kita. Kita harus membaur, mengetahui keberadaan mereka, belajar menyapa dan mengenalkan diri kita kepada mereka. Kita juga belajar untuk mengenal mereka. Jarang-jarang kita bisa ngumpul kalau bukan di acara malam tirakatan.” Perkataan ibuku itu membuatku jadi teringat akan sebuah ayat yang sering disebutkan di gereja. Ayat itu diambil dari Matius 5:16 di mana Tuhan Yesus berkata bahwa kita adalah terang dunia, dan kita harus menjadi terang bagi lingkungan sekitar kita.

Ayat tersebut membuatku berpikir: Bagaimana aku dapat menampilkan terang Kristus di lingkunganku jika aku sendiri tidak dikenal di lingkunganku? Bagaimana aku dapat menunjukkan terang Tuhan di RT-ku jika aku tidak berani mengenal dan dikenal oleh orang-orang di lingkunganku? Oleh karena itu, mulai tahun 2015 aku mulai aktif kembali mengikuti malam tirakatan yang diselenggarakan di RT-ku. Awalnya aku sempat merasa canggung karena aku tidak terlalu mengenal orang-orang yang hadir. Tetapi, puji Tuhan karena aku bisa fokus mengikuti acara itu tanpa merasa sedih sekalipun teman-temanku yang dahulu sering bersamaku di malam tirakatan telah pergi.

Di malam itu, ada seorang kakek yang bercerita di depan warga tentang perjuangannya dulu pada zaman kemerdekaan. Di usianya yang sudah sepuh, beliau tetap antusias menceritakan kisahnya. Tapi, kemudian beliau menangis apabila mengingat dan membandingkan kondisi anak-anak muda zaman dahulu dengan sekarang. Katanya, banyak anak muda sekarang yang bersifat tidak peduli dengan tanah airnya seakan-akan mereka lupa akan perjuangan para pahlawan. Bahkan, beliau juga mengkritik anak-anak muda di RT-ku yang menghilang dan tidak lagi terlihat di acara-acara kebersamaan seperti malam tirakatan ini. Di akhir ceritanya, kakek itu ingin sekali melihat anak-anak muda di RT-ku bisa membaur dengan warga lainnya, minimal di acara malam tirakatan.

Sebagai anak Tuhan, percakapan dengan kakek itu membuatku juga diingatkan kembali bahwa sudah seharusnya aku menjadi terang di manapun aku berada. Seringkali beberapa acara yang diselenggarakan di gereja membuatku lupa untuk ikut menyambut acara kemerdekaan di lingkungan tempat tinggalku sendiri. Aku lupa bahwa untuk menjadi pancaran terang kasih Tuhan bagi lingkunganku, aku harus terlebih dahulu mengenal mereka.

Mungkin tindakan yang aku lakukan hari ini hanyalah sebuah tindakan kecil yang mungkin juga dampaknya kecil. Tetapi, aku berharap bahwa tindakan nyata sekecil apapun kelak akan berdampak, minimal untuk pribadiku sendiri dan juga lingkunganku.

Sebelum aku dapat mencintai Indonesia, aku harus terlebih dahulu peduli dengan lingkungan tempat tinggalku. Untuk berbuat sesuatu tidak harus selalu dimulai dengan hal-hal yang luar biasa, cukup dimulai dari hal yang sederhana. Lewat hadir dan turut serta dalam acara lingkup lokal seperti malam tirakatan, di situlah sesungguhnya aku sedang belajar mencintai Indonesia dan memancarkan terangku sebagai orang Kristen bagi orang-orang di lingkungan tempat tinggalku.

Baca Juga:

1 Perjalanan yang Menginspirasiku untuk Berkarya bagi Indonesia

Keputusanku untuk belajar mengenal Indonesia lebih dekat dijawab Tuhan dengan sebuah kesempatan berharga. Bak gayung bersambut, aku diterima menjadi seorang relawan untuk mengajar di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Perjalanan inilah yang pada akhirnya memberiku jawaban dari bagaimana seharusnya aku mencintai Indonesia.