Apa yang Terjadi Jika Kita Lupa Berdoa?

Oleh Daniel Ryan Day
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Happens When We Forget To Pray

Tahun lalu, aku melamar pekerjaan di perusahaan yang sangat aku sukai. Aku sangat bersemangat dan percaya diri bahwa aku orang yang kompeten untuk masuk di posisi itu. Selama dua tahun, aku telah bekerja paruh waktu untuk perusahaan ini. Oleh karenanya, ketika muncul lowongan untuk menjadi staf sepenuh waktu, aku pun langsung memasukkan aplikasi lamaranku. Aku suka perusahaan ini, orang-orangnya, juga pekerjaannya.

Aku pun berdoa, berdoa dan berdoa. Suatu hari, aku menerima panggilan telepon. Aku diminta untuk datang ke sesi wawancara! Waaah! Aku mempersiapkan diri dengan mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan. Aku berdoa. Aku mencatat. Dan, aku menanti.

Seiring dengan hari wawancara mendekat, aku mulai gugup. Perutku sakit, kakiku tidak bisa diam, dan jantungku berdebar-debar.

Hari wawancara pun tiba. Namun, aku malah terlambat bangun dan lupa berdoa. Pagi itu, aku sempat berpikir Tuhan mungkin tidak akan memberkati wawancaraku karena aku lupa meluangkan waktuku untuk-Nya.

Menilik kembali ke masa itu, aku memahami bahwa ternyata aku mempercayai beberapa mitos tentang doa. Kepercayaanku akan mitos-mitos itu menunjukkan bahwa aku salah dalam memahami Tuhan. Aku berharap aku dapat mengatasi hal ini, namun terkadang pemikiran palsu tentang bagaimana Tuhan bekerja berkecamuk di dalam pikiranku, terutama di saat ada sesuatu yang aku inginkan dan butuhkan.

Inilah 3 kesalahpahaman tentang Tuhan yang aku temukan dalam proses pergumulanku ini:

1. Jika aku tidak berdoa, Tuhan mungkin akan menghukumku

Ketika aku lupa meluangkan waktu untuk Tuhan, seketika itu juga aku merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Aku juga merasakan hal yang sama tatkala aku berbuat dosa. Seperti halnya di hari wawancaraku, aku berandai-andai jika Tuhan tidak memberkatiku karena aku terlambat bangun dan lupa berdoa.

Namun sejatinya, tidak ada doa yang terlupakan atau kegagalan yang dapat menghentikan-Nya untuk tetap menjadi Tuhan yang baik dan peduli kepada kita. Contoh yang paling baik dapat kita temukan pada Roma 5:8, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”

Ayat di atas tidak menyebutkan bahwa “Jika kita hidup lebih baik, maka Kristus akan mati untuk kita,” atau “Karena kita berdoa dan membaca Kitab Suci, maka Kristus mati untuk kita” melainkan “Kristus telah mati bagi kita ketika kita masih berdosa.”

Kenyataannya ialah: kebaikan kita tidak akan pernah cukup. Namun, tidak ada kesalahan yang bisa memisahkan kita dari cinta Tuhan. Jadi, jika kamu lupa untuk berdoa atau tersandung di saat kamu berjalan bersama-Nya, ingatlah bahwa itu tidak akan mengubah pandangan-Nya terhadap dirimu. Kita akan selalu bisa berbalik kepada-Nya dan menemukan bahwa Dia masih mencintai kita dan menginginkan yang terbaik untuk kita.

2. Jika aku menggunakan kata-kata bagus dan banyak berdoa, maka Tuhan akan mendengarkanku

Sampai di hari wawancaraku, aku menghabiskan berjam-jam berdoa kepada Tuhan agar Ia mengabulkan keinginanku untuk bekerja di perusahaan yang aku impikan. Aku ingin terus mendaraskan keinginanku di hadapan-Nya. Aku merasa harus terus menerus mengingatkan-Nya akan permohonanku sehingga jika tiba saatnya, Ia akan melakukan kehendak-Nya.

Namun perlahan aku sadar, jika frekuensi doaku memengaruhi kehendak Tuhan, justru itu berarti Tuhan telah dimanipulasi oleh kehendakku. Itu pula yang dipikirkan oleh orang-orang dalam Perjanjian Baru! Seperti dalam Matius 6: 7-8, Yesus mengatakan, “Lagipula dalam doamu itu, janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah.

Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. “Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.” Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Kita bisa berdoa kepada-Nya dan percaya bahwa Ia senantiasa mendengarkan kita—bukan karena kita banyak berdoa atau menggunakan kata-kata yang fasih, namun karena Ia sendiri mengenal, mengasihi dan tidak akan pernah melupakan kita.

3. Berdoa dapat membantuku untuk mendapatkan keinginan yang spesifik

Aku melakukan riset dan menghitung berapa banyak uang yang harus aku keluarkan. Aku membuat daftar pro dan kontra tentang tanggung jawab baru yang aku emban. Aku bisa melihat dengan jelas apa yang akan terjadi pada keluargaku. Aku bisa menguasai segala yang terjadi dalam hidupku.

Kenyataannya, semua hal di atas adalah salah besar! Ya, nyatanya aku sendiri tidak pernah tahu tentang apa yang terbaik bagi diriku. Namun sebaliknya, Tuhan selalu tahu. Jika melihat ke belakang, sebenarnya ini bukan kali pertama aku berdoa untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa tahun silam, aku memohon kepada-Nya untuk memberikanku pekerjaan di perusahaan lain yang menurutku bisa membantu perekonomian keluargaku. Namun, aku justru tidak mendapatkannya. Aku kecewa dan frustasi. Aku bahkan bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doaku.

Sebenarnya tidak ada yang salah tatkala aku merencanakan apa yang terbaik bagiku. Namun semakin ke sini, aku belajar bahwa meskipun aku merencanakan segala sesuatunya, hanyalah Tuhan yang tahu dan bisa menuntun langkahku (Amsal 16: 9). Dalam kejadian ini, Tuhan menjawab tidak untuk pekerjaan pertamaku.

Bertolak ke setahun yang lalu, aku menyelesaikan wawancaraku dengan baik,padahal saat itu aku datang terlambat dan tidak sempat berdoa. Beberapa minggu kemudian, aku diterima untuk bekerja di perusahaan ini.

Melihat kebelakang, aku bersyukur tidak diterima di pekerjaan yang kupikir tepat buatku. Dalam beberapa aspek, pekerjaan yang kutekuni sekarang jauh lebih baik daripada pekerjaan yang dulu kudambakan, tapi butuh waktu sampai aku bisa melihat kebaikan ini. Tuhan tahu apa yang Dia sedang kerjakan. Tanggung jawab yang Tuhan percayakan padaku pada tahun-tahun sebelumnya menolongku untuk punya pengalaman yang bermanfaat bagi pekerjaanku sekarang.

Aku sangat bersyukur karena kasih sayang-Nya menuntun aku dan kamu. Ketika kita mengungkapkan kebutuhan kita, ketakutan, dan harapan kita kepada Bapa, Dia memberikan kita penghiburan dan jaminan bahwa segala sesuatu terjadi tidak lepas dari kendali tangan-Nya yang bijaksana.

Alih-alih memahami doa sebagai daftar kebutuhan atau cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita dapat berterima kasih pada Tuhan karena Dia telah mengundang kita untuk bersandar pada kebaikan-Nya. Doa adalah cara untuk kita tumbuh semakin dekat dengan Dia yang amat peduli pada kita. Dia yang tahu yang terbaik, dan Dia senantiasa dapat kita percaya. Tuhan melakukan segalanya demi kebaikan kita.

Baca Juga:

Berkat yang Kuterima dari Kegagalanku

Setiap tahun akan ada orang-orang yang gagal masuk PTN sepertiku. Gagal ini memilukan dan terasa getir. Namun, kawanku, ingatlah gagal bukanlah akhir kisah hidup kita.

Misteri Orang-orang Majus: Siapa, Dari Mana, Berapa, Kapan, dan Mengapa?

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Salah satu pertanyaan yang kerap kali ditujukan pada momen-momen Natal adalah seputar orang-orang Majus di Matius 2:1-12. Tokoh Alktab ini bukanlah figur asing pada perayaan Natal. Banyak drama Natal menampilkan kisah orang-orang Majus mengunjungi bayi Yesus. Pertanyaannya, apakah drama itu sudah merepresentasikan catatan dan ajaran Alkitab dengan tepat?

Siapakah orang Majus itu?

Alkitab menyebut orang-orang yang mengunjungi bayi Yesus di Matius 2:1-12 sebagai magoi (bentuk jamak dari magos), tetapi Alkitab tidak memberitahukan siapa sebenarnya mereka. Para penerjemah biasanya mempertahankan istilah yang dipakai tanpa bermaksud untuk menerjemahkannya (di Alkitab versi NIV/NASB disebut “Magi),, atau menerjemahkannya dengan “orang-orang bijaksana” (di Alkitab KJV/ASV/RSV/ESV disebut “wise men”). Perbedaan penerjemahan ini menyiratkan kerancuan arti di balik kata magos.

Kata magos tidak sering ditemui dalam Alkitab. Kalau pun ditemukan, kemunculannya hanya terbatas pada konteks-konteks tertentu. Dalam Perjanjian Baru, kata ini hanya muncul di Kisah Para RAsul 13:6, 8, dan dikenakan pada Baryesus atau Elimas yang adalah seorang tukang sihir. Dalam Perjanjian Lama, kata yang sama muncul beberapa kali di kitab Daniel (LXX) untuk para ahli nujum atau tafsir mimpi di Kerajaan Babilonia (2:2, 10, 27; 4:7; 5:7, 11, 15). Di berbagai tulisan kuno di luar Alkitab, kata magos juga memiliki arti yang variatif, walaupun tetap berdekatan. Kata ini bisa merujuk pada suku tertentu di antara bangsa Median, orang-orang yang bijaksana, ahli perbintangan dan ilmu lain, atau tukang sihir.

Berdasarkan konteks Matius 2:1-12, kita sebaiknya memahami magos sebagai “orang-orang yang memiliki kapasitas pemahaman yang istimewa berdasarkan ilmu perbintangan” (Louw-Nida Lexicon). Mereka sangat bergantung pada penampakan bintang (2:1). Ketika lokasi persis yang ditunjuk oleh bintang itu tidak bisa diketahui, mereka menggunakan cara-cara yang alamiah dan logis untuk mengetahuinya, yaitu dengan bertanya kepada para pemimpin Yahudi (2:2). Seandainya mereka adalah ahli sihir mungkin mereka akan melakukan ritual-ritual tertentu untuk mengetahui posisi Tuhan Yesus.

Dari mana orang-orang Majus berasal?

Alkitab hanya memberi keterangan bahwa hoi magoi berasal dari Timur, itu pun secara tidak langsung. Matius 2:2 hanya mencatat bahwa orang-orang Majus telah melihat bintang itu di timur, lalu memutuskan untuk mengikutinya sampai ke Yerusalem. Kata anatolē (timur) sendiri secara hurufiah berarti “tempat terbitnya matahari”, sehingga tepat jika diterjemahkan “timur”.

Keterangan ini sebenarnya tidak banyak membantu. Ada beragam alternatif tempat di daerah timur. Walaupun demikian, sebagian besar penafsir Alkitab menduga para majus berasal dari Babilonia atau Persia. Selain dari sisi geografis memungkinkan (Babel dan Persia sama-sama terletak di sebelah timur), dua kerajaan ini juga terkenal karena ilmu perbintangannya, apalagi di kemudian hari negara Babel juga dikalahkan oleh Media-Persia. Selain itu, pengetahuan para majus yang cukup spesifik—tentang kelahiran seorang raja Yahudi yang layak untuk dikunjungi dari jauh dan disembah—mungkin menyiratkan bahwa mereka sebelumnya sudah mengetahui pengharapan mesianis Yahudi dalam taraf tertentu. Jika ini benar, mereka mungkin mendapatkannya dari orang-orang Yahudi yang sudah lama ada di kerajaan Babel. Sekali lagi, ini hanyalah sebuah dugaan yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Hanya saja, dugaan ini lebih kuat daripada alternatif yang lain.

Berapa jumlah orang majus yang datang?

Drama-drama dan lukisan-lukisan Natal umumnya menampilkan tiga orang majus yang datang menjenguk bayi Yesus. Tradisi kekristenan bahkan menyebutkan nama mereka masing-masing: Gaspar, Melkhior, dan Balthasar. Tidak heran, banyak orang kristen berpikir bahwa jumlah orang majus di Matius 2:1-12 adalah tiga orang.

Pembacaan Alkitab yang lebih teliti menunjukkan bahwa dua hal tersebut—jumlah dan nama orang majus—hanyalah dugaan semata-mata. Alkitab tidak pernah menyebutkan jumlah orang majus secara spesifik. Kata magoi (2:1) hanya menunjukkan jumlah mereka yang jamak.

Jumlah “tiga” sangat mungkin didasarkan pada jenis persembahan yang diberikan kepada Tuhan Yesus, yaitu emas, mur, dan kemenyan (2:11). Persoalannya, Alkitab hanya memberitahukan jenis persembahan, bukan jumlah persembahan mereka. Siapa yang bisa memastikan bahwa emas yang dibawa hanya sebatang? Siapa yang tahu berapa banyak kemenyan dan mur yang dipersembahkan? Bahkan, sekalipun tiga hal ini dianggap sebagai jumlah persembahan, kita tetap tidak dapat memastikan bahwa satu orang majus hanya membawa satu persembahan.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita sebaiknya tidak membatasi jumlah orang majus yang datang kepada Yesus. Jumlah mereka bisa tiga atau lebih.

Kapankah orang-orang majus datang?

Kita terbiasa menyaksikan orang-orang majus sedang berlutut di depan bayi Yesus yang sedang dibalut kain lampin dan terbaring di palungan. Gambaran ini merupakan penggabungan dua kisah Natal yang berlainan (Matius 2:1-12 dan Lukas 2:8-20). Sayangnya, upaya ini tidak tepat.

Berita Natal pertama kali diberitahukan kepada para gembala yang berada tidak jauh dari Betlehem. Mereka pun langsung merespons berita itu dengan datang ke Betlehem. Jarak yang dekat dan durasi antara kelahiran-pemberitahuan-kedatangan yang tidak lama membuat para gembala berkesempatan melihat bayi Yesus di dalam palungan dan masih terbungkus dengan kain lampin.

Kisah orang-orang majus sedikit berbeda. Matius 2:10-11 mencatat bahwa para majus menemui bayi Yesus di sebuah rumah, bukan di palungan. Lagipula, keputusan Herodes untuk membunuh semua bayi yang berusia di bawah 2 tahun berkaitan dengan waktu yang diberitahukan oleh para majus (Matius 2:16). Ini menyiratkan bahwa pada saat orang majus sampai di Yerusalem atau Betlehem, Yesus bukan lagi seorang bayi mungil yang terbungkus dengan kain lampin. Ia kemungkinan besar sudah bisa berjalan dan bermain-main, karena usianya sudah di atas satu tahun. Orang tuanya pun sudah berpindah dari kandang ke rumah biasa.

Mengapa kisah orang-orang majus perlu dicatat?

Pertanyaan ini bisa dijawab secara beragam dan saling melengkapi. Walaupun demikian, berdasarkan konteks Matius 1-2, tujuan yang paling dominan adalah untuk menekankan status Tuhan Yesus sebagai raja, secara khusus raja dari keturunan Daud. Beberapa petunjuk teks mengarah pada kesimpulan ini.

Di awal silsilah, Yesus disebut sebagai “anak Daud” (Matius 1:1). Keturunan dari Daud ini bahkan lebih dominan daripada keturunan dari Abraham, yang ditunjukkan melalui keutamaan Daud dalam silsilah. Nama Daud muncul dua kali dalam ringkasan silsilah (Matius 1:17).

Yusuf pun disebut sebagai “anak Daud” (Matius 1:20). Kelahiran Yesus yang menggenapi nubuat Nabi Yesaya (Yesaya 7:14); Matius 1:22-23) selaras dengan janji TUHAN kepada keturunan Yehuda/Daud (Yesaya 7:2, 13) bahwa Ia akan meneguhkan kerajaan Yehuda melalui Daud atau keturunan Isai (Yesaya 9:7; 11:1). Posisi kelahiran di Betlehem pun turut mempertegas ide bahwa Yesus adalah raja dari keturunan Daud (Matius 2:5-6). Kegeraman Herodes di Matius 2:1-12 juga menunjukkan persaingan antara dua raja.

Dengan menampilkan kisah kedatangan orang-orang majus, Matius ingin menandaskan status Yesus sebagai Raja Israel. Kekuasan-Nya bukan hanya terbatas di wilayah Israel. Bangsa-bangsa lain pun datang untuk menyembah Dia. Ini sesuai dengan penutup Injil Matius: “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19). Penyertaan-Nya kepada murid-murid sampai kesudahan zaman (Matius 2:20) cocok dengan nama yang dilekatkan pada saat kelahiran-Nya, yaitu Imanuel, Allah beserta dengan kita (Matius 1:23).

Lihat Proyek Seni:

Fakta Seputar Orang-Orang Majus

Mengapa Kita Perlu Bersyukur atas Peristiwa Natal?

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Menjelang Natal, tak jarang aku mendengar khotbah-khotbah diwartakan dari atas mimbar, “Kita harus bersyukur atas peristiwa Natal.” Sejenak aku berpikir, mengapa kita perlu bersyukur atas Natal? Adakah hal istimewa yang sungguh menjadikan Natal sebagai peristiwa yang patut disyukuri?

Dulu, ketika aku masih kecil, jelas Natal adalah peristiwa yang patut disyukuri. Bagaimana tidak, selama Natal, sekolahku libur, acara di gereja meriah, dan tak jarang aku pun mendapat kado.

Namun, sungguhkah Natal patut disyukuri karena ia adalah masa yang memberi banyak hadiah dan libur?

Pertanyaan itu mendorongku untuk merenung lebih dalam.

Natal adalah peristiwa tentang Sang Putra Allah yang turun ke dunia, mengambil rupa sebagai manusia, dan mati disalib bagi manusia. Seberapa pentingkah manusia, hingga Allah yang Mahatinggi turun ke dunia, bahkan turunnya pun mengambil rupa seorang manusia?

Jawaban sederhananya: manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Namun, jawaban ini mungkin terkesan terlalu simpel. Aku yakin rekan-rekan pembaca sudah tahu jawaban itu. Jadi, aku ingin mengajak kita menjelajah lebih dalam.

Alkitab menggambarkan hidup manusia dan dunia di sekitarnya telah dipenuhi berbagai kejahatan, penderitaan, amoralitas, dan segala macam penyimpangan.

Kok bisa ini terjadi?

Kejadian 3 punya jawabannya. Peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa mengakibatkan seluruh keturunan Adam dan Hawa mewarisi dosa. Tidak ada satu pun dari kita yang tak mewarisi dosa, sebagaimana yang Paulus tuliskan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Roma 5:12).

Upah dosa ialah maut (Kejadian 2:17; Roma 3:23). Maut berarti terpisah dari Allah.

Dosa, selain merusak relasi manusia dengan Allah, juga merusak relasi manusia dengan sesamanya, pun itu berimbas pada alam. Lihatlah, alam menjadi rusak karena perbuatan manusia.

Karakter manusia jadi dipenuhi kejahatan, kecemaran, dan kerusakan. Kehidupan pun menjadi penuh penderitaan.

Namun, itu bukanlah kisah buruk yang tiada berakhir. Melalui momen Natal, kita diingatkan bahwa dalam anugerah-Nya, Allah berjanji akan memulihkan keadaan manusia yang telah berdosa melalui Sang Penebus yang akan lahir dari keturunan Hawa (Kejadian 3:15).

Inilah inti Natal yang sebenarnya. Natal adalah tentang Kristus, tentang kedatangan-Nya ke dunia yang membawa pemulihan, kedamaian, dan janji akan keselamatan bagi kita.

Jadi, ketika kita sudah tahu apa yang menjadi inti Natal, bagaimana seharusnya kita merayakan Natal tahun ini?

Apakah kita merayakan Natal dengan pesta pora dan hura-hura? Atau, apakah kita menyibukkan diri dengan segudang agenda kegiatan untuk kumpul-kumpul? Jika itu yang kita lakukan, maka Natal bagi kita tidaklah lebih dari sepaket acara hiburan atau selebrasi yang rutin kita laksanakan jelang akhir tahun.

Terlepas dari padatnya agenda kita menyambut Natal, adalah baik jika kita mengambil waktu sejenak. Jika selama ini ada di antara kita yang hanya hidup sebagai orang Kristen rata-rata, yang merasa ke gereja saja sudah cukup, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengikuti Dia dengan sungguh-sungguh.

Jika ada di antara kita yang merasa sudah menjadi Kristen yang saleh, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk memeriksa hati, apakah dalam kesalehan yang kita lakukan, kita melekat erat dengan Kristus dan mengizinkan-Nya lahir dan memerintah dalam hati kita?

Yuk sekarang juga kita merenungkannya. Sebab, hanya di dalam Kristus kita beroleh keselamatan dan luput dari murka Allah. Selagi ada waktu, yuk kita mengambil keputusan yang baik sekarang.

Bawalah diri kita masuk ke dalam iman yang membawa kepada kasih Allah yang sejati.

Natal adalah kisah tentang kasih Allah yang mengasihi dunia ini, tentang Allah yang mengorbankan Putra-Nya yang tunggal untuk mengalami maut agar kita memperoleh keselamatan.

Selamat memasuki masa-masa Natal.

Baca Juga:

Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Harus Kudoakan

Ketika banyak hal berkecamuk dalam pikiranku, sulit rasanya untuk berdoa.

Yesus Kristus dan Celana Kolor

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Judul di atas mungkin terasa aneh. Rasanya kok tidak sopan. Sepertinya kurang elok kalau menyandangkan Yesus Kristus dengan celana kolor.

Tetapi judul ini bukannya tanpa alasan. Ceritanya begini:

Beberapa waktu silam, saat jemaat di gereja kami sedang beribadah Jumat Agung, remaja kami menampilkan suatu drama Jalan Salib yang mengharukan.

Yesus Kristus diperankan dengan sangat hidup oleh Yordan, sang wakil ketua remaja, dan para pemeran prajurit Roma serta wanita-wanita yang menangisi kematian-Nya juga diperankan secara apik oleh anak-anak remaja belasan tahun itu.

Nah, puncak drama ini ada di adegan ketika Kristus disalibkan.

Tanpa sengaja, para “prajurit Roma” tadi melepaskan peniti di salah satu bagian jubah yang dikenakan oleh “Yesus Kristus”, yang mana peniti yang satu itu jangan sampai dilepas sebenarnya.

Yemima, pembina mereka yang menjadi sutradara drama ini, sudah mewanti-wanti mereka agar peniti yang satu itu jangan sampai dilepas.

Tetapi toh, para “prajurit Roma” itu lupa, atau mungkin karena terlalu menjiwai peran mereka, dengan semangat khas pasukan Roma, semua peniti di jubah “Yesus” itu pun dilepas.

Alhasil, seluruh kain atau jubah putih yang menutupi badan bagian atas dan bawah “Yesus” itu melorot semua.

Drama mengharukan yang mencapai puncaknya di penyaliban Sang Mesias itu mempertontonkan: Yesus Kristus yang disalibkan dengan celana kolor kotak-kotak.

Sebagian jemaat, termasuk paduan suara remaja yang sudah berbaris di depan, hampir tak bisa menahan tawa.

Namun tawa itu segera lari dari bibir kami sebab para pemain drama itu tidak menunjukkan mimik malu atau grogi sedikitpun akibat “kesalahan teknis” itu.

Bahkan mereka menganggap dilucutinya semua jubah Kristus itu adalah bagian dari skenario drama.

Semua pemeran berakting serius dan menghayati. Yordan, Daniel, Dylan, Adriel, Albert, Bhisma, dkk, yang berada di “Golgota” benar-benar tampil prima.

Mereka menjalankan detail instruksi sutradara dengan baik, kecuali urusan peniti tadi.

Melucuti jubah Yesus memang bagian dari skenario, tetapi tidak semua jubah perlu dilucuti, hanya yang bagian atas saja, yang bawah tidak perlu dilepas.

Namun, semua sudah terjadi. Peniti itu sudah tidak pada tempatnya, entah siapa yang mencabutnya. Celana kolor “Yesus” pun menjadi sorotan ratusan pasang mata yang memadati gereja kami.

Aku berdiri di belakang kamera milik Yordan. Tak kuhiraukan adegan ganjil itu. “Yang penting Yordan masih pakai kolor,” begitu pikirku.

Bayangkan jika tidak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya saat puncak drama ditampilkan?

Ahh, lebih baik jangan dibayangkan lah.. tak elok..

Aku teruskan tugasku memotret drama itu. Ironis memang karena ini seperti “senjata makan tuan”, kamera milik Yordan dipakai untuk memotret dia dan celana kolor kotak-kotak miliknya di puncak drama penyaliban Sang Juruselamat.

Tetapi Yordan memiliki hati yang luas dan mental yang matang, ia tetap bisa menguasai dirinya selama memerankan Yesus Kristus hingga akhir, sampai ia menjerit, “Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Salut kepada Yordan, ia sungguh berbakat sebagai aktor.

Celana kolor itu bukan alasan baginya untuk membuyarkan konsentrasi jemaat pada klimaks penyaliban Kristus.

Drama itu memang berlangsung tidak lebih dari 11 menit, tetapi drama itu takkan bisa dilupakan oleh jemaat.

Pesan sakral Jumat Agung yang terkandung drama remaja kemarin terasa lancar dan deras mengalir ke dalam sanubari kami.

Pikiranku pun terbang ke tanah Palestina dua puluh abad lampau.

Celana kolor yang dipakai “Yesus” di Golgota kemarin membuatku memikirkan lagi, “Bukankah Kristus sewaktu Ia disalibkan begitu menderita karena dosa-dosa kita?

Selain cambukan, hinaan, tonjokan, dan semua aksi memilukan itu, Kristus juga ditelanjangi.

Ya, Ia bukan hanya disalib, tetapi disalib dengan telanjang.

Mari kita perhatikan sejumlah nats berikut:

Matius 27:35,“Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaian-Nya dengan membuang undi”; Markus 15:24, “Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuang undi atasnya untuk menentukan bagian masing-masing”;

Lukas 23:34b, “Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya”.

Tiga ayat ini menunjukkan bahwa pada saat Yesus disalibkan, para prajurit yang menyalibkan-Nya membagi-bagi pakaian-Nya.

Injil Yohanes malah menginformasikan ternyata yang diambil dan dibagi-bagi oleh para prajurit itu bukan hanya pakaian-Nya, tetapi dikatakan juga jubah-Nya (19:23).

Kata “jubah” berasal dari kata Yunani “khitona” yang artinya adalah pakaian dalam.

Alkitab NIV menulis, “When the soldiers crucified Jesus, they took his clothes (pakaian), dividing them into four shares, one for each of them, with the undergarment (pakaian dalam) remaining. This garment was seamless, woven in one piece from top to bottom” (Yohanes 19:23).

Di sini NIV menerjemahkan kata pertama dan kedua dengan tepat tetapi kata ketiga diterjemahkan ‘garment’ (pakaian), yang agak kurang cocok karena dalam bahasa Yunani kata kedua dan ketiga adalah sama.

Jadi, kata “garment” pun sebaiknya diterjemahkan sebagai pakaian dalam (yang ikut dilucuti).

Karena itu, dari nats ini dapat dipahami bahwa Yesus disalibkan dalam keadaan telanjang.

Ini jelas adalah sesuatu yang sangat memalukan. Ia ditelanjangi dan menjadi tontonan semua orang yang melihat-Nya.

Maka tak heranlah para wanita yang menjadi murid Kristus tidak berani berdiri dekat salib-Nya ketika mereka di Golgota, sangat mungkin karena mereka tidak tega melihat guru mereka dalam kondisi telanjang seperti itu.

Drama yang tanpa sengaja mempertontonkan celana kolor kotak-kotak itu mengingatkan aku dan kamu bahwa Tuhan Yesus disalibkan dengan telanjang bulat.

Penelanjangan Kristus ini menunjukkan betapa rusaknya manusia berdosa.

Seharusnya kita yang ditelanjangi, dipermalukan, disiksa, dan mengerang di neraka sebagai hukuman atas keberdosaan kita, namun itu semua dipikul oleh Yesus Kristus.

Ia memikul itu semua agar kita tidak menerima hukuman Allah.

Yesus Kristus adalah Allah, Ia rela dipermalukan dan ditelanjangi, supaya manusia bisa diselamatkan dari hukuman Allah.

Upah dosa adalah maut, dan kita semua telah berdosa, tidak seorangpun dari kita yang tidak berdosa.

Oleh sebab itu kita perlu datang kepada Dia yang tersalib dengan telanjang itu, agar kita beroleh keselamatan dan jubah kebenaran yang membuat kita tidak lagi telanjang di hadapan Allah dan tidak lagi malu ketika berjumpa muka dengan muka di hadapan-Nya.

Baca Juga:

Panggilan Melayani di Pelosok Negeri

Lahir dan tinggal di Indonesia tentunya bukan sebuah kebetulan, memuliakan-Nya melalui panggilan kita masing-masing harus menjadi tujuan utama kita. Sudahkah kau temukan panggilanmu?

#GaliDasarIman: Apakah yang Tidak Tahu Tidak Berdosa?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Pertanyaan di atas mencoba mengeksplorasi keterkaitan antara kesalahan dan pengetahuan. Maksudnya, apakah seseorang yang tidak mengetahui bahwa tindakannya salah dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, apakah orang itu perlu diberi tahu bahwa tindakan itu adalah salah?

Terhadap pertanyaan ini Alkitab menyediakan jawaban yang cukup jelas dan konsisten. Ketidaktahuan tidak membebaskan seseorang dari dosa. Tindakan seseorang tetap diperhitungkan sebagai dosa walaupun orang itu tidak menyadarinya.

Poin ini diungkapkan dengan baik dalam sebuah perumpamaan Alkitab tentang hamba-hamba yang tidak taat (Lukas 12:37-48). Perumpamaan ini ditutup dengan sebuah kesimpulan: “Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan” (ayat 47-48a). Alasan di balik hal ini juga dijelaskan: “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (ayat 48b). Ketidaktahuan hanya mengurangi, bukan meniadakan, hukuman.

Alkitab juga mengajarkan bahwa dalam taraf tertentu semua manusia sebenarnya sudah mengetahui kehendak Allah. Persoalan manusia bukanlah “tidak tahu,” melainkan “tidak mau tahu” atau “tidak mampu”. Dosa manusia adalah “menindas kebenaran dengan kelaliman” (Roma 1:18). Kepada mereka sudah dinyatakan kebenaran-kebenaran ilahi melalui wahyu umum, misalnya ciptaan yang dapat dinalar (Roma 1:19-20) atau hukum moral dalam hati mereka (Roma 2:14-15). Permasalahannya, mereka tidak mau dan/atau tidak mampu menaati pengetahuan tersebut.

Untuk memperjelas hal ini, ada baiknya kita mengenal dua istilah: dosa dan pelanggaran. Dosa merujuk pada segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah yang sempurna. Pelanggaran berarti ketidaksesuaian dengan aturan (perintah atau larangan) tertentu. Ada dua teks Alkitab yang perlu untuk disinggung di sini. Roma 4:15 mengajarkan: “Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.” Selanjutnya dikatakan: “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm. 5:13). Dari teks ini terlihat bahwa semua kesalahan adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu pantas dikategorikan sebagai pelanggaran.

Ketidakmampuan untuk hidup seturut dengan wahyu Allah bersumber dari natur manusia yang berdosa. Hal yang sama bahkan menimpa mereka yang diberi wahyu khusus. Paulus dengan jujur mengungkapkan pengalamannya: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku” (Roma 7:15-17). Jadi, persoalan terbesar manusia bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmampuan.

Sebuah ilustrasi mungkin bermanfaat untuk menerangkan kebenaran di atas. Banyak orang di pedalaman terbiasa mandi di sungai yang kotor. Mereka bahkan menyikat gigi mereka dengan air yang sama. Dari kacamata orang perkotaan yang sudah mengenal beragam informasi kesehatan, kebiasaan ini sangat berbahaya. Dari kacamata mereka sendiri yang sudah tinggal di sana berabad-abad, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam kebiasaan tersebut. Mereka tidak tahu informasi kesehatan yang memadai. Kalaupun tahu, belum tentu mereka mempercayainya. Bahkan sekalipun mereka tahu dan mempercayainya, belum tentu mereka mau dan mampu hidup sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan itu. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman dan aman dengan apa yang mereka lakukan. Mereka belum tentu mampu mendapatkan air yang bersih dalam jumlah yang memadai.

Apakah ketidaktahuan penduduk setempat terhadap kesehatan menjadikan kebiasaan mereka dapat ditolerir? Apakah tindakan mereka dapat dianggap benar hanya gara-gara mereka tidak mengetahui apa yang ideal? Tentu saja tidak, bukan? Demikian pula dengan dosa dan pengetahuan kita. Apa saja yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu disebut pelanggaran. Bagi mereka yang tahu, kesalahan mereka tergolong dosa sekaligus pelanggaran. Dalam keadilan Allah yang sempurna, Ia akan mempertimbangkan ketidaktahuan seseorang (yang tidak tahu akan menerima hukuman lebih ringan), tetapi tetap tidak meniadakan hukuman sama sekali (yang tidak tahu tetap dihukum).

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Baca Juga:

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

Banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja.

Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

⠀⠀⠀⠀

Jika Tuhan Mahatahu, Mengapa Kita Harus Berdoa?

Subtitle oleh Felicia Shelly

“Jika Tuhan Mahatahu, mengapa kita harus berdoa?” Apakah sobat muda pernah bertanya atau mendapat pertanyaan seperti pertanyaan di atas?
Bagaimana respon sobat muda?

Ayo temukan jawabannya di video ini bersama Ev. Samuel Soegiarto (@s4m4jc) co-founder @apologetikaindonesia

Moderator oleh Grasella Mingkid (@grasellamingkid)
Video ini merupakan cuplikan Instagram Live @warungsatekamu pada hari Kamis, 25 April 2019.

Lihat video series lainnya:
Arti Doa menurut Iman Kristen
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa

#GaliDasarIman: Mengapa Kita Tidak Membela Agama Kita?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Serangan terhadap kekristenan terus dilancarkan sepanjang zaman. Salah satu bentuknya adalah pelecehan terhadap Yesus Kristus. Entah sudah berapa buku dan film yang diluncurkan untuk menampilkan Yesus Kristus yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab. Misalnya, Yesus yang bercumbu dan menikah dengan Maria Magdalena. Tidak terhitung lagi sikap-sikap lain yang merendahkan gereja, pendeta, atau orang Kristen. Artikel ini tidak akan cukup untuk memaparkan semua contoh serangan yang melecehkan atau menista tersebut.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Menariknya, banyak orang Kristen tampaknya tidak memberikan reaksi yang berlebihan terhadap isu ini. Bagi penganut agama-agama lain, sikap ini cukup mengejutkan. Jika hal yang sama ditujukan pada agama mereka, mereka tentu sudah mengambil tindakan yang tegas dan keras, bahkan kasar sekalipun (jika itu dirasa perlu). Jadi, mengapa kita tidak membela agama kita?⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Hal pertama yang perlu dijernihkan adalah ini: kita sungguh-sungguh membela. Alkitab memberikan banyak contoh tentang orang-orang Kristen yang berani membela keyakinannya. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan untuk Injil di ruang pengadilan (Kisah Para Rasul 24:10; 25:8, 16; 26:1; Filpi 1:7). Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk selalu bersiap-sedia memberikan pertanggungjawaban (lit. “pembelaan”; 1 Petrus 3:15-16). Jadi, orang-orang Kristen wajib membela keyakinannya.⠀⠀⠀

Yang menjadi perbedaan antara kita dengan penganut agama lain adalah bentuk pembelaan yang kita berikan. Yesus Kristus menentang segala bentuk kekerasan. Pada saat orang lain menolak Injil yang kita beritakan, kita hanya perlu untuk meninggalkan mereka (Matius 10:14; Markus 6:11; Lukas 9:5). Tidak boleh ada kekerasan, pembalasan, maupun pemaksaan. Sebagai contoh, ketika penduduk salah satu desa di Samaria tidak mengizinkan Yesus untuk melintasi daerah mereka, murid-murid-Nya sangat marah dan ingin menghukum penduduk tersebut, tetapi Yesus justru menghardik murid-murid itu (Lukas 9:53-55). Ketika Petrus melawan para tentara yang hendak menangkap Yesus, dia justru menerima teguran dari Yesus (Yohanes 18:10-11).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kebenaran di atas tidak hanya diajarkan oleh Yesus, melainkan juga dilakukan-Nya sendiri. Ketika Dia terpaku di atas kayu salib dan diolok-olok oleh banyak orang, Dia tidak membalas sekalipun. Kemarahan pun tidak ada pada-Nya. Sebaliknya, Dia justru melepaskan pengampunan untuk mereka (Lukas 23:34).⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pembelaan yang harus kita berikan adalah penjelasan rasional. Tatkala Yesus menerima serangan dan penolakan, Dia mengajak orang lain untuk berpikir secara jernih. Kepada orang-orang Yahudi yang hendak melempari-Nya dengan batu, Yesus bertanya: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” (Yohanes 10:32). Dia juga mengajak orang-orang Farisi memikirkan ke-Mesiasan-Nya secara logis dari kitab suci (Matius 22:41-46). Petrus menasihatkan kita untuk memberikan jawaban setiap kali ada orang yang menanyakan keyakinan dan pengharapan kita di dalam Kristus (1Petrus 3:15-16).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Bentuk pembelaan lain adalah melalui kesalehan hidup. Menghidupi kebenaran sama pentingnya dengan memberitakan kebenaran itu sendiri. Orang-orang Kristen diperintahkan untuk meresponi fitnahan dengan kesalehan (1 Petrus 2:12). Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, sebaliknya justru mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:17, 21). Kesalehan adalah senjata ampuh untuk menaklukkan para penentang (1 Petrus. 3:1-2). Ketika kita memberikan pembelaan secara rasional, kita harus melakukan itu dengan sikap yang saleh: lemah-lembut, hormat, dan tulus (1 Petrus 3:15-16). Sama sekali tidak ada kekerasan! Kebenaran harus dibela dengan cara yang benar pula.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pernahkah kita merasa tertantang dan bergumul untuk membela kepercayaan kita?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

⠀⠀
Bagaimana Jika Kekristenan Adalah Sebuah Kebohongan?

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”

Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).

#GaliDasarIman: Apakah Tujuan Hidup Manusia?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

“Apakah Tujuan Hidup Manusia?”

Pertanyaan yang sangat fundamental ini menyangkut aspek filosofis dan praktis. Para filsuf memikirkannya. Orang biasa pun menggumulkannya. Apakah jawabannya? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa hidup memiliki tujuan?

Hal PERTAMA yang perlu dipikirkan adalah kompleksitas dan keteraturan alam semesta maupun tubuh kita. Semua yang rumit dan teratur pasti menyiratkan sebuah tujuan. Kerumitan tanpa keteraturan adalah kekacauan dan hanya bersifat kebetulan. Tumpukan sampah, misalnya, mengandung kompleksitas tetapi tanpa keteraturan. Kita dapat melihat bahwa kerumitan dan keteraturan di alam semesta dan tubuh kita. Semua anggota tata surya bergerak dengan pola yang teratur. Dibutuhkan kesesuaian dengan hukum alam yang begitu kompleks untuk memiliki alam semesta seperti sekarang ini. Begitu pula dengan tubuh kita. Perkembangan ilmu biomolekuler menunjukkan bahwa DNA manusia jauh lebih kompleks daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Bukan hanya ada struktur yang jelas dan rumit, tetapi juga mengandung semacam informasi di dalamnya.

Hal KEDUA yang menyiratkan tujuan hidup adalah pencarian nilai hidup. Semua orang ingin hidupnya bermakna. Makna ini dipengaruhi oleh tujuan yang diyakini oleh orang tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak selaras atau mendukung pencapaian tujuan tersebut akan dianggap kurang bernilai. Begitu pula dengan sebaliknya. Hal-hal yang berhubungan dengan tujuan itu dipandang bernilai. Tanpa kesadaran tentang tujuan hidup, seseorang akan merasa hidupnya kurang bernilai. Apalah artinya seorang manusia di antara miliaran yang pernah ada di bumi? Apalah artinya seorang manusia di tengah-tengah alam semesta yang sedemikian besar?

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa hidup mempunyai tujuan karena Alkitab mengajarkan demikian. Misalnya, manusia diciptakan untuk memuliakan Allah (Yesaya 43:7). Segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Dia (Roma 11:36).

Hampir semua orang memikirkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Manusia ada untuk menikmati kebahagiaan. Menariknya, Alkitab maupun teologi Kristen yang benar tidak menolak hal ini. Allah menciptakan dunia yang sedemikian baik untuk didiami oleh manusia (Kejadian 1:31). Semua yang baik di dalamnya disediakan untuk dinikmati oleh manusia (1Timotius 4:4). Katekismus Singkat Westminster juga mengajarkan: “Tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Ada kenikmatan yang disinggung di sana. Tujuan hidup memang berkaitan dengan kebahagiaan. Persoalannya, manusia seringkali tidak memahami kebahagiaan yang sejati, pula bagaimana mencari kebahagiaan. Atau, benarkah kebahagiaan perlu dicari? Mungkinkah kebahagiaan merupakan konsekuensi (hasil) dari mencari yang lain?

Realita hidup mengungkapkan bahwa hal-hal yang non-material membawa kepuasan yang lebih daripada hal-hal yang material. Beragam survei menunjukkan bahwa manusia mendapatkan kepuasan yang lebih pada saat mereka membagi apa yang mereka miliki dengan orang lain daripada menggunakannya untuk diri sendiri.

Lalu, banyak orang juga menyetujui bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki oleh seseorang, tetapi seberapa banyak orang itu bisa mengapresiasi apa yang dia miliki. Ada orang kaya yang tidak berbahagia karena selalu merasa kurang. Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana namun bahagia.

Kenyataan juga mengajarkan bahwa orang rela menguras harta mereka demi sesuatu yang non-material. Sebagai contoh, semua orang yang berpikiran jernih pasti akan sependapat bahwa uang pada dirinya sendiri tidak membawa kebahagiaan. Uang hanyalah sarana untuk mendapatkan hal lain yang mampu memberi kebahagiaan. Dengan uang yang melimpah, seseorang bisa membeli barang-barang yang berharga, sehingga dia mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Orang mau kehilangan begitu banyak uang untuk operasi plastik dan perbaikan penampilan, demi mendapatkan pujian dari orang lain.

Lebih jauh, di antara semua hal yang non-material, kita menemukan bahwa hal-hal yang bermoral adalah lebih bernilai daripada yang lain. Kita mengeluarkan uang untuk berlibur dan menikmati keindahan alam. Yang kita peroleh dari aktivitas ini juga non-material, yaitu pengalaman, kenyamanan, dan ketakjuban. Namun, harus diakui, orang lain akan lebih mengapresiasi apabila kita menggunakan uang kita untuk sesuatu yang mengandung bobot moralitas, misalnya proyek misi atau kemanusiaan di pedesaan atau tempat terpencil.

Pengamatan terakhir: Keutamaan hal-hal yang personal juga terlihat pada saat manusia berada di penghujung hidupnya. Orang tidak lagi memusingkan hal-hal yang material. Bahkan pencapaian-pencapaian moral pun seringkali dianggap kurang begitu penting. Yang diutamakan adalah relasi. Keluarga. Orang-orang yang dia kasihi.

Semua penjelasan di atas – keutamaan hal-hal yang non-material, bermoral, dan personal – seyogyanya menuntun kita untuk memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Apa yang sering ditawarkan oleh dunia sebagai tujuan hidup atau kebahagiaan hidup ternyata tidak esensial, apalagi fundamental. Semua hanya di permukaan belaka (superfisial). Tidak heran, semakin besar upaya mereka untuk memperoleh kebahagiaan, semakin besar kekecewaan mereka.

Allah memang menyediakan kebahagiaan bagi manusia. Namun, jalan menuju ke sana sangat berbeda degan yang diberikan oleh dunia. Kebahagiaan bukan motivasi atau destinasi, namun sebuah KONSEKUENSI atau HASIL dari memuliakan Tuhan. Tatkala manusia berhasil mencapai tujuan hidupnya – yaitu memuliakan Penciptanya – manusia akan mendapatkan kenikmatan, sebab ia telah mendapatkan arti, nilai, serta tujuan hidup. Inilah pencapaian yang sesungguhnya. Inilah jalan menuju kebahagiaan versi Alkitab. Maka, jangan menyia-nyiakan hidupmu!

Renungkanlah:

Sudahkah kita menemukan tujuan hidup yang sejati dalam Kristus, serta menghidupinya?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Baca Juga:

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

Untuk menjawab pertanyaan di ini, ada lima pertanyaan yang dapat kita renungkan.

#GaliDasarIman: Apakah Keberadaan Allah Jelas Bagi Semua Orang?

Oleh Wilson Jeremiah
Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Maksud pertanyaan ini lebih tepatnya, “Apakah keberadaan Allah jelas bagi semua pada dirinya sendiri, tanpa diajarkan atau tanpa tanda-tanda khusus?” Mungkin sebagian orang berkata, “Jelas lah!”, dan juga akan berpikir pertanyaan seperti agak konyol. Juga sebagian mungkin berkata, “Kita ini di Indonesia, penuh dengan agama yang berbeda-beda. Pastilah orang percaya Tuhan itu ada!” Juga Menurut Roma 1:19-20, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada semua orang sehingga mereka sedikit banyak tahu bahwa Allah itu ada.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau begitu, untuk apa apologetika? Apalagi penginjilan? Toh, kalau semua orang tahu bahwa Allah ada dan beragama, ngapain lagi kita susah-susah belajar apologetika dan penginjilan yang berisiko kita menyinggung bahkan kehilangan teman atau orang lain di sekitar kita? Tentu saja jika kita menjawab pertanyaan utama kita bahwa keberadaan Allah JELAS bagi semua orang, pembelajaran apologetika serta praktek penginjilan menjadi kurang penting, bahkan sia-sia.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Tetapi, jika kita memikirkan lebih jauh, kita akan mendapati bahwa sesungguhnya keberadaan Allah tidak selalu jelas bagi semua orang. Jika kita memahami “semua orang” di sini termasuk orang di luar Indonesia, atau orang Indonesia yang sudah mencicipi budaya luar negeri, kita akan melihat jumlah orang agnostik dan ateis yang cukup signifikan sekalipun masih minoritas. Apalagi di era globalisasi serta kemajuan dalam sains dan teknologi, semakin banyak orang (Indonesia) yang mayoritas beragama yang mulai dipengaruhi oleh ateisme atau budaya sekularisme dari berbagai negara luar. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Alkitab, khususnya Roma 1:19-20, mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya mengetahui akan adanya Allah tetapi samar-samar dan tidak menyeluruh. Dosa manusia mengaburkan bahkan menjauhkan pikiran mereka dari Allah yang benar, sehingga mereka berkata bahwa Allah tidak ada (Mazmur 14:1-3; Roma 3:10-12). Apalagi, Allah dikatakan sebagai roh yang tidak kelihatan (Yohanes 4:24) dan tidak ada yang pernah melihat-Nya (Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Oleh sebab itu, aku beberapa kali menjumpai orang-orang yang tidak mengaku percaya akan Allah tetapi kepada “sebuah kuasa yang lebih tinggi dari dirinya” (a higher power). Kita juga mendapati bahwa banyak agama-agama yang tidak mengajarkan Allah yang berpribadi dan berkomunikasi dengan ciptaan-Nya, tetapi lebih kepada “Allah dalam diri kita” atau “dalam dunia ini.” Jadi, kita mungkin heran bahwa ada agama yang “tidak bertuhan” dan tidak menyinggung sedikitpun tentang Allah, lebih mirip dengan sebuah filsafat atau cara hidup saja.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Maka dari itu, sebagai orang Kristen, kita perlu belajar dan mempraktikkan apologetika, minimal karena dua alasan. PERTAMA, apologetika berguna untuk memperjelas bahwa Allah itu ada bagi orang-orang yang tidak percaya Allah ada, bahkan untuk mereka yang sudah percaya pada Allah dan beragama. Di zaman seperti sekarang ini, khususnya di mana kredibilitas agama dan iman sering dipertanyakan, apologetika dapat menolong kita untuk memahami bahwa lebih rasional dan masuk akal bagi kita untuk percaya akan keberadaan Allah dari pada tidak.

KEDUA, bukan hanya untuk memperjelas keberadaan Allah saja, tetapi apologetika berguna untuk memperjelas Allah seperti apa yang kita percayai dan sembah. Di tengah pasar global yang menawarkan begitu banyak ide dan gambaran (palsu) mengenai siapa Allah itu, kita perlu memahami bagaimana kita dapat mengenal Allah yang benar, sehingga kita dapat merespons dengan hidup tepat sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah yang benar itu. Tanpa pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah, kita tidak mungkin mampu memahami arti dan tujuan hidup kita di dunia yang kompleks ini.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kesimpulannya: Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan jelas akan keberadaan Allah, maka apologetika diperlukan untuk menunjukkan bahwa keberadaan Allah sesungguhnya cukup jelas dan Allah seperti apa yang harus kita percayai. Teolog Herman Bavinck berkata bahwa apologetika adalah ilmu Kristen yang pertama muncul (“the first Christian science”), dan yang tentunya akan terus dibutuhkan sepanjang zaman.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Apakah kita sudah meyakini akan keberadaan Allah, serta mengenal Allah yang kita yakini dan percayai itu?

* * *

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Wilson Jeremiah adalah anggota tim API yang sedang menempuh studi Ph.D. dalam bidang Systematic Theology di Trinity Evangelical Divinity School, USA.⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Artikel ini sebelumnya sudah pernah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API). Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?