Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Oleh Chintya Napitupulu, Bekasi

Minggu Palma selalu identik dengan peringatan disambutnya Tuhan Yesus saat Ia memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai. Beberapa Gereja—salah satunya Gereja Katolik—juga tidak lupa membawa daun-daun palma dalam liturgi ibadah. Akan tetapi, tidak semua orang menyadari bahwa Minggu Palma juga merupakan bayang-bayang akan penggenapan kedatangan kedua Yesus Kristus dan berdirinya Kerajaan Allah di Bumi seperti di Surga.

Dalam tulisan ini, aku ingin mengajakmu menikmati kelimpahan Firman Tuhan melalui Yohanes 12:12—19. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) memberi judul perikop ini sebagai Yesus Dielu-elukan di Yerusalem. Namun, perikop ini diberi judul berbeda oleh Alkitab Bahasa Inggris versi ESV. Mereka memberi judul The Triumphal Entry yang jika kita alihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira menjadi Dimulainya Kemenangan. Kalau kita perhatikan, suasana yang tergambar dalam Yohanes 12:12-19 memiliki kemiripan dengan apa yang tertulis di dalam Wahyu 7:9-10, yang menggambarkan orang-orang memuji Tuhan di hadapan takhta-Nya seraya melambai-lambaikan daun palma.

Daun palma sendiri merupakan simbol yang menyatakan bahwa Tuhan Yesus adalah penggenapan nubuat Daud mengenai Raja yang akan datang (Mazmur 118:26). Sayangnya, umat Israel zaman itu begitu ngotot menjadikan Kristus sebagai Raja yang membebaskan mereka dari penjajahan Kekasiran Romawi. Padahal, Kerajaan Kristus adalah kerajaan yang bertakhta bukan hanya untuk orang Israel, tetapi juga untuk orang-orang Batak, Jawa, Manado, dan setiap suku bangsa, oleh karena itu kita diperintahkan untuk memuridkan semua suku bangsa (Matius 28:18-20). Kita menyebut perintah ini dengan Amanat Agung. Sesuai dengan namanya, inilah perintah utama yang Tuhan amanatkan bagi tiap-tiap orang percaya—termasuk kamu dan aku. Bahkan Tuhan menjanjikan bahwa seluruh suku bangsa akan terlebih dulu mendengar Injil sebelum Tuhan Yesus datang dalam kemuliaan kelak (Matius 24:14).

Kedegilan hati Israel membuat mereka menolak kebenaran Firman Tuhan. Orang-orang Israel dalam perikop ini sebenarnya adalah representasi dari kita semua. Pasti pernah ada masa ketika kita menolak kebenaran Firman Tuhan dan memilih bersandar kepada standar kebenaran yang kita buat sendiri. Betapa kacau balau hidup ini jika kita tidak mau bersandar di dalam Tuhan dan Firman-Nya.

Janji-Janji Tuhan Mendasari Kita Berdoa

Seorang pengkhotbah bernama Voddie Baucham pernah mengatakan bahwa tidak mungkin keadilan di dunia dapat terwujud sampai Kristus bertakhta dalam kemuliaan. Hanya Kristus yang dapat mewujudkan keadilan. Mengharapkan manusia—yang naturnya sudah rusak oleh dosa—untuk mewujudkan keadilan adalah kemustahilan.

Aku ingat ketika Daniel menemukan janji Tuhan atas pemulihan Israel dalam kurun waktu 70 tahun, Daniel segera menghitung waktu yang tersisa menuju penggenapan janji tersebut. Ia mendapati bahwa waktunya telah sangat dekat, dan ia berdoa agar Tuhan segera menepati janji-Nya. Tuhan memang tidak perlu diingatkan, tetapi kita perlu mendoakan janji Tuhan. Hal ini adalah cara kita menunjukkan kepada Tuhan bahwa kita percaya penuh akan janji-janji-Nya (Daniel 9). Terlebih dahulu Daniel memohon pengampunan Tuhan dan belas kasihan-Nya kepada Israel, kemudian memohon agar Tuhan tidak membinasakan mereka. Menarik bahwa berikutnya, malaikat Gabriel memghampiri Daniel dan menyatakan bahwa Tuhan bukan hanya menyelamatkan kehidupan Israel seperti yang telah dijanjikan-Nya, tetapi juga mengutarakan janji lahirnya Mesias, yaitu Yesus Kristus, yang kelak akan menjadi Raja segala raja dan memulihkan segala sesuatu (Daniel 9:25-27)

Seperti Daniel, kita juga dapat mendoakan janji-janji Tuhan mengenai pemulihan dunia dan dipenuhinya seluruh dunia oleh kemuliaan Tuhan. Kita mungkin telah menemukan begitu banyak ketidakadilan yang menimpa umat manusia sepanjang zaman. Ketidakadilan membuat sulitnya akses terhadap pendidikan yang lebih baik, kualitas hidup yang lebih layak, fasilitas kesehatan yang memadai, dan perlakukan yang lebih manusiawi kepada para pekerja—entah itu pekerja kerah putih maupun kerah biru. Aku sendiri merasa lelah dengan berbagai berita mengenai ketidakadilan di mana-mana. Berita-berita itu terus mengalir dengan tidak henti-hentinya. Rasanya aku pun tidak tahan lagi dengan semua berita itu.

Janji kedatangan Kristus kedua kalinya bukan hanya bicara soal penghukuman atas orang-orang jahat, tetapi juga pemulihan dunia. Dunia yang telah rusak karena kejahatan akan dipulihkan menjadi dunia yang penuh damai sejahtera, kita menyebutnya Yerusalem yang baru (Wahyu 21:2). Di tempat inilah kita dapat merasakan kesempurnaan menikmati Allah. Bukankah setiap kita begitu merindukan hal-hal ini terjadi?

Mengingat janji-janji Tuhan akan pemulihan dunia yang rusak seharusnya membuat kita tidak jemu-jemu berdoa. Justru karena kita percaya Tuhan akan memulihkan dunia, kita tidak boleh berhenti menantikannya dengan cara mendoakan janji-janji pemulihan-Nya.

Di tengah dunia yang penuh sengsara, kedatangan kedua Kristus seharusnya menjadi sesuatu yang paling dinanti. Hanya Kristus yang sanggup memulihkan dunia. Berdoa atas janji-janji pemulihan dunia adalah bukti bahwa kita percaya penuh akan janji itu—bahkan janji-janji itulah yang mendasari kita untuk tidak berhenti berharap.

Kelak akan datang masanya, ketika dunia penuh damai sejahtera dan kita dapat menikmati persekutuan dengan Tuhan secara sempurna.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Renungan untuk Kaum Rebahan

Kala libur, paling asyik itu rebahan! Bangun pagi, berjalan ke meja untuk bersaat teduh, lalu kembali lagi ke kasur menikmati dinginnya udara pagi yang menempel di seluruh bagian kasur dan bantal. Ah nikmatnya!

Bukan Cuma Tentang Romantis, Inilah Sesungguhnya Kasih Itu

Oleh Aldi Darmawan Sie

Hari Valentine atau dikenal sebagai hari kasih sayang, sering kali menjadi momen yang dinanti, khususnya bagi kita para kaum muda. Kepada orang-orang yang kita kasihi, di tanggal 14 Februari kita mengungkapkan perasaan kasih itu, entah dengan sekadar ucapan selamat, atau juga dengan coklat.

Nuansa yang muncul pun identik dengan romantisme dan kemesraan. Di media sosial, orang-orang menyatakan kasih sayangnya dengan mengunggah gambar atau cerita romantis. Secara sederhana, hari Valentine membuat perasaan cinta diidentikkan dengan ungkapan perasaan suka atau sayang kepada seseorang. Bertepatan dengan momen hari kasih sayang inilah aku ingin mengajak kita memikirkan kembali tentang bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita. Apakah cinta Allah kepada kita hanya sekedar suatu perasaan suka atau sayang?

Di dalam Alkitab, terdapat suatu model relasi yang Allah gunakan sebagai landasan untuk berhubungan dengan umat-Nya. Model relasi itu adalah perjanjian atau kovenan. Model relasi ini sangat kuat mewarnai Alkitab, dimulai dari masa Perjanjian Lama hingga diperbarui di dalam dan melalui Yesus Kristus pada masa Perjanjian Baru. Segala rencana dan karya Allah bagi umat-Nya selalu berdiri di atas dasar kovenan. Perjanjian adalah inisiatif Allah. Tujuannya adalah agar umat Allah dapat menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Salah satu ide yang menggaung kuat dari konsep perjanjian ialah komitmen. Dua pihak yang terikat di dalam sebuah kovenan akan berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut. Sederhananya, kasih Allah di dalam kerangka konsep perjanjian, bukan hanya berbicara mengenai ungkapan perasaan yang muncul dari hati, melainkan terkandung suatu komitmen untuk mengasihi umat-Nya di dalam situasi apapun.

Hal ini secara konsisten Allah tunjukkan kepada bangsa Israel. Meskipun Alkitab secara gamblang mengungkapkan sederet kegagalan bangsa Israel dalam mengasihi Allah dan memelihara perjanjian-Nya, tetapi seruan kasih Allah terus bergema untuk menarik mereka kembali menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Seruan kasih Allah tentu saja tidak terlepas dari janji-Nya untuk menjadikan umat Allah sebagai milik kepunyaan-Nya. Salah satu seruan kasih Allah telah disampaikan melalui Nabi Yeremia kepada bangsa Israel, “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).

Kasih yang kekal. Begitulah kasih Allah kepada umat-Nya. Seruan kasih Allah inilah yang dinyatakan secara sempurna di dalam dan melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Salib menjadi sebuah “pertunjukkan” kasih Allah yang paling agung kepada manusia. Melalui salib, jelas bahwa kasih Allah tidak dapat kita maknai sekadar ungkapan perasaan belaka, tetapi sebagai komitmen nyata untuk mengasihi, bahkan hingga titik darah penghabisan.

Belajar dari Perjanjian Allah

Jika menilik kembali betapa indahnya kasih Allah yang terbingkai di dalam perjanjian-Nya, maka aku seolah ditarik untuk memikirkan kembali tentang apa artinya kasih. Aku merenungkan bagaimana model kasih yang sering kali dipertontonkan, entah itu melalui film, sinetron, atau lagu-lagu. Model kasih itu adalah kasih yang bersyarat. “Kamu cantik, karena itu aku jatuh cinta kepadamu. Kamu pintar, karena itu aku menyukaimu.” Mungkin saja itu membuat orang-orang terobsesi untuk tampil cantik atau tampan, hanya demi supaya dirinya dikasihi. Tentu saja, menjaga diri untuk tetap cantik atau tampan bukanlah suatu hal yang salah di dalam lensa kekristenan. Namun, ketampanan atau kecantikan seseorang seharusnya tidak menjadi dasar kelayakan mutlak agar seseorang dapat dikasihi. Model kasih seperti ini membuat kita perlu memenuhi standar yang menurut dunia sebagai suatu hal yang berharga dan diagung-agungkan, maka baru kemudian kita akan dikasihi. Jikalau model kasih ini yang diambil Allah, maka aku yakin sudah lama Allah tidak lagi mengasihi kita, karena kita jauh di bawah standar kasih Allah.

Lantas, mungkin kita bertanya-tanya, “mungkinkah ada kasih yang tak bersyarat di dunia? Mungkinkah ada kasih yang menerimaku apa adanya?”

Pencarian akan jawaban dari pertanyaan itu membuatku mengingat kembali pertunjukkan kasih Allah yang kekal, yang terekam jelas melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Dari sanalah tampak riil sebuah pernyataan kasih yang tidak didasari dengan apa yang kita miliki, tetapi sebuah pertunjukkan kasih yang tak bersyarat. Meskipun kita sebagai umat-Nya sering kali gagal mengasihi-Nya, tetapi Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Kasih Allah yang kekal itu, tidak pernah berhenti hanya sebatas ungkapan perasaan kasih sayang yang romantis, tetapi melampaui itu, adalah suatu demonstrasi kasih yang penuh komitmen yang begitu deras membanjiri diri kita melalui perjanjian-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Secuplik Mitos tentang LDR

Banyak survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami kandasnya hubungan. Tetapi, itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk. Yuk kenali mitos-mitos apa saja yang sering muncul tentang LDR.

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Pernahkah kamu mendengar nama Joe Biden, Xi Jinping, Camilla Rothe, Jennifer Hudson, dan Sundar Pichai? Mereka ialah segelintir dari 100 orang terpopuler di tahun 2020 versi majalah Time. Figur-figur ini dianggap memberi pengaruh besar pada masyarakat di generasi mereka. Contohnya, Camila Rothe. Pada Januari 2020 lalu spesialis penyakit menular di Munich itu menjadi salah satu orang pertama yang mendokumentasikan infeksi Covid-19 tanpa gejala. Laporannya itu pertama kali disambut dengan ketidakpercayaan, bahkan diremehkan. Tetapi, setelah banyak pasien mengalami kondisi tanpa gejala, laporan Camelia pun diterima secara luas. Kini, adanya Orang Tanpa Gejala (OTG) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam perang melawan pandemi corona. Temuan Camilia itu telah menyelamatkan banyak jiwa. Menurut TIME, jika saja banyak orang mau mendengarkan dia sebelumnya, penyebaran lebih besar mungkin akan bisa dicegah.

Daftar 100 nama orang terpopuler berubah tiap tahun. Ada yang bertahan, ada pula yang terlempar ke luar. Namun, dari sekian banyak nama populer di setiap zaman di dunia ini, ada satu figur yang namanya selalu menempati posisi tertinggi dalam daftar orang terpopuler di lebih dari 2000 tahun terakhir. Namanya Yesus Kristus. Dailymail pada 15 Desember 2013 lalu melaporkan, Yesus adalah orang paling populer dan terpenting dalam sejarah menurut program pencarian internet baru. Nama Yesus disusul Napoleon, ada Aristoteles di peringkat 8, dan seterusnya. Software program yang dikembangkan di Amerika Serikat itu bekerja dengan cara menjelajahi internet untuk mencari pendapat warganet di seluruh dunia tentang orang-orang terkenal, dengan menggunakan algoritma khusus untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh figur-figur populer itu hingga 200 tahun setelah kematian mereka

Yesus, Dia bukan hanya populer hingga 200 tahun setelah wafat-Nya, tetapi hingga kini pun nama-Nya masih dibicarakan orang. Putra Maria itu selama ribuan tahun telah menjadi titik tengkar sekaligus titik perdamaian. Selain karena popularitas-Nya, yang menjadi salah satu alasanku menulis tentang Dia adalah keinginan menjawab pertanyaan para sahabat kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Memang, dalam pergaulan di antara kawan yang multi agama dan ras, aku jarang membicarakan tentang imanku, kecuali kepada mereka yang bertanya. Pertanyaan-pertanyaan itu pun tak jarang muncul dalam kesempatan atau waktu yang sangat singkat, sehingga untuk menjawabnya pun tidak bisa berlama-lama.

Tulisan ini kubuat bagi para sahabat yang pernah bertanya tentang alasan mengapa aku percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, juga bagi kita yang ingin sedikit “me-refresh” ingatannya tentang sosok Yesus. Isi dari tulisan ini tidak ada yang baru. Aku hanya mengulangnya saja. Ada banyak buku dan artikel yang mengulas tentang Yesus dari berbagai tradisi, baik Katolik, Ortodoks, Protestan maupun Pentakosta/Karismatik. Semoga setelah tulisan ini dimuat, akan ada diskusi-diskusi lanjutan yang menarik dengan sahabat-sahabatku itu, seperti yang sudah-sudah.

Siapakah Yesus?

Pertanyaan tentang figur Yesus sudah muncul sejak 2000 tahun lalu. Banyak orang yang keliru menafsirkan identitas Yesus sesungguhnya. Ada yang mengira Dia Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Dia nabi Elia, nabi Yeremia atau salah seorang dari para nabi (Matius 16:14). Di tengah simpang-siurnya anggapan orang tentang siapa Yesus sesungguhnya, Dia bertanya kepada para murid-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Lukas 9:20; Matius 16:15). Yesus bertanya kepada pengikut-pengikut-Nya yang sudah sekian lama melihat karya dan mendengar pengajaran-Nya secara langsung.

Pada waktu Dia mengajukan pertanyaan itu, seolah-olah semua murid-Nya tidak mempunyai jawaban. Tetapi ada satu murid, yaitu Petrus, yang menjawab dengan tegas, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Matius 16:16). Petrus tahu bahwa Yesus bukanlah Yohanes Pembaptis atau Elia atau seorang nabi di masa lalu. Dia lebih dari sekadar seorang reformator spiritual, lebih dari seorang pembuat mukjizat, lebih dari seorang nabi. Yesus adalah Kristus, Mesias. Anak Allah yang hidup.

Mesias

Kata “Mesias” berasal dari bahasa Ibrani, “Mashiach,” artinya “yang diurapi” atau “yang terpilih.” Pada zaman Perjanjian Lama, nabi, imam, dan raja diurapi dengan minyak ketika mereka ditetapkan untuk posisi dengan tanggung jawab ini. Urapan adalah tanda bahwa Tuhan telah memilih mereka dan menguduskan mereka untuk pekerjaan yang Dia berikan kepada mereka. Christos (Kristus) adalah padanan Yunani dari istilah Ibrani, Mesias (Yohanes 1:41). Ketika Andreas berkenalan dengan Yesus, hal pertama yang ia lakukan adalah menemui saudaranya, Simon (Petrus) dan memberi tahu dia tentang pertemuannya dengan Yesus. Andreas memberi tahu saudaranya bahwa ia telah bertemu Mesias (Kristus), dan Andreas membawa Simon kepada Yesus (Yohanes 1:41).

Ketika dalam Yohanes 1:41 Andreas mengatakan, “Kami telah menemukan Mesias,” ia ingin mengatakan bahwa pengharapan orang-orang Yahudi agar Tuhan mengirim seorang Mesias kini sudah terjawab. Mesias itu adalah Yesus. Komunitas Yahudi telah membaca nubuatan Perjanjian Lama (Yesaya 42:1; 61: 1-3; Mazmur 16, 22; Daniel 9, Dsb) yang berjanji bahwa Tuhan akan mengirimkan seorang penyelamat bagi umat-Nya, dan Andreas ingin mengatakan kepada Simon bahwa Sang Mesias yang dijanjikan itu telah datang.

Namun sayangnya, orang-orang Yahudi salah paham tentang apa yang akan dilakukan Mesias ini. Mereka membaca nubuatan tentang bagaimana Mesias akan mengalahkan musuh-musuh Tuhan dan menganggap bahwa Yesus akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Mereka mengharapkan Mesias untuk mendirikan kerajaan di bumi, di mana mereka akan menjadi penguasanya, bukan yang dikuasai. Anggapan Mesianis politis dan militeristis ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi mengabaikan peran spiritual Mesias sebagai pembebasan dari dosa dan Setan. Mereka tidak memahami bahwa kerajaan Sang Mesias bersifat spiritual, bukan politik. Hasilnya, hanya sedikit orang Yahudi yang bersedia menerima Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, sebab Dia tidak sesuai dengan pemikiran dan harapan mereka tentang apa yang akan dilakukan Mesias.

Injil berulang kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias—Yang dipilih oleh Tuhan dan diurapi oleh-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa (Matius 16:16; Lukas 4: 17-21; Yohanes 1: 40-49; 4:25, 26). Setelah kebangkitan Yesus, Petrus mengingatkan orang-orang yang mendengarkan khotbahnya tentang “Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia berkeliling sambil berkeliling baik-baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, karena Allah menyertai Dia” (Kisah Para Rasul 10:38, 39). Yesus sendiri mengaku sebagai Mesias yang dijanjikan. Ketika seorang wanita di sebuah sumur di Samaria berkata kepada Yesus, “Aku tahu bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami. Kata Yesus kepadanya: Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yohanes 4:25, 26).

Dari apa yang Injil laporkan tampak jelas, warta kepada para pembaca bahwa Yesus sebagai Mesias begitu kuat. Seperti kata Yohanes, “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31). Yesus sebagai Mesias berarti Dia adalah yang dipilih Tuhan, yang diurapi untuk datang membebaskan manusia dari dosa dan Setan. Sebagai Mesias, Dia menawarkan pengampunan atas dosa-dosa manusia. Dia menjanjikan keselamatan dan tempat di kerajaan-Nya yang akan datang. “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu,… dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:28, 29).

Anak Allah

Istilah ini sering menimbulkan kesalahpahaman. “Anak Allah” merupakan istilah yang tidak bisa ditafsirkan tanpa kacamata teologi Kristiani. Yesus bukan Anak Allah dalam konteks hubungan antara ayah dan anak. Tentu, Allah tidak menikah kemudian memiliki seorang anak. Yesus sebagai Anak Allah perlu dipahami dalam konteks Dia sebagai Allah yang mengambil rupa manusia (Yohanes 1:1, 14). Yesus sebagai Anak Allah artinya, Ia dikandung oleh Roh Kudus, bukan hasil hubungan laki-laki dengan perempuan. Lukas 1:35 mengatakan, “Jawab malaikat itu kepadanya: ‘Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.’”

Dalam konteks zaman itu, frasa ”anak manusia” digunakan untuk merujuk seorang manusia. Jadi, “anak manusia” berarti manusia, dan “Anak Allah” berarti Allah itu sendiri. Pada waktu Yesus dihakimi para pemimpin Yahudi, Imam Agung memerintahkan Yesus, “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” (Matius 26:63). “Engkau telah mengatakannya,” Yesus menjawabnya. “Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (Matius 26:64). Para pemimpin Yahudi merespons dengan menuduh bahwa Yesus telah menghujat Allah (Matius 26:65-66). Kemudian, di hadapan Pontius Pilatus, “Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: ‘Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah'” (Yohanes 19:7).

Mengapa mengklaim sebagai Anak Allah dianggap penghujatan dan layak dihukum mati? Para pemimpin Yahudi tentu mengerti apa yang dimaksud Yesus dengan ungkapan “Anak Allah.” Menjadi Anak Allah adalah sama dengan Allah. Klaim yang menyamai natur Allah adalah sama dengan menjadi Allah, dan itu dianggap penghujatan bagi para pemimpin Yahudi, sehingga mereka menuntut kematian Yesus sesuai dengan Imamat 24:15. Ibrani 1:3 mengungkapkan hal ini secara jelas, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”

Mengapa Allah-Manusia?

Dari uraian di atas dapat kita pahami dwinatur Yesus, yaitu sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia. Di dalam Yohanes 1:14, kita mengetahui bahwa melalui sabda, Allah menyingkapkan diri-Nya dengan berbagai-bagai cara sampai dengan puncaknya, yaitu inkarnasi-Nya menjadi manusia Yesus. Namun pertanyaannya, “Mengapa Allah-manusia?” Atau, “Mengapa Person ilahi dengan hakikat Allah (Sang Putra) harus menambahkan hakikat kemanusiaan menjadi hakikat-Nya juga?” Jika Dia Allah yang Mahakuasa, mengapa inkarnasi menjadi satu-satunya pilihan-Nya untuk menyatakan karya penyelamatan?

“Mengapa Allah-manusia?” Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan umum. Tidak juga dialamatkan kepada pikiran umum. Mengapa Allah (mengambil rupa) manusia (Cur Deus Homo) adalah pergumulan khas komunitas Kristen, yaitu orang-orang yang mendapat sapaan intim dari Sang Pencipta. Ini pertanyaan untuk kita. Di dalam konteks inilah, Cur Deus Homo sejak awal memang tidak diarahkan kepada mereka yang tidak percaya, apa lagi sekadar untuk memuaskan dahaga intelektual mereka.

Secara doktrinal, banyak usaha telah dilakukan dalam konteks teologis dan filosofis untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Solusi yang ditawarkan Anselmus (bahwa iman akan menuntun kepada pengertian) sudah lama berlalu dan tidak membuahkan hasil yang manis, bahkan masih menyisakan pertanyaan. Cur Deus Homo adalah suatu pertanyaan yang menuntut respons, ketimbang jawaban. “Mengapa Allah mengambil rupa manusia” bukanlah pertanyaan yang mengetuk pintu kognitif, melainkan menggedor-gedor gerbang hati yang berkarat.

Secara teologis, Cur Deus Homo dipahami sebagai pertanyaan batiniah manusia, yang merupakan respons terhadap panggilan dan tindakan Allah yang menantang, karena Ia telah mengutus Putra-Nya ke dalam dunia. Tindakan Allah ini menuntut suatu respons yang penting, sehingga inti dari permasalahannya bukan terletak pada pertanyaan “Bagaimana?” melainkan “Mengapa?” dalam keperluan ontologis dan apriori. Aku percaya, filsafat analitis menyediakan beberapa titik terang bagi kita untuk memahami kata “Mengapa” dalam pertanyaan ini.

Kata “Mengapa” biasanya mengandung dua aspek umum, yaitu kepedulian pragmatis dan keperluan ontologis (mencari hakikat). Menerapkan orientasi pemikiran yang terarah pada pertanyaan teologis tentang Cur Deus Homo, sadar atau tidak sadar, kita selalu memusatkan perhatian kepada orang yang bertanya. Dalam hal ini, pertanyaan teologis menjadi pertanyaan antropologis, sehingga doktrin Kristen hanya akan melayani minat para pemercaya dan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sang Putra menjadi manusia dan berdiam di antara manusia karena kemauan Bapa-Nya (Yohanes 20:21). Tuntutan Allah adalah menghukum manusia berdosa, karena upah dosa adalah maut (Roma. 6:23), tetapi Dia rela mengutus Putra-Nya menggantikan manusia untuk menerima hukuman. Singkatnya, dalam drama ini Yesus Kristus harus memenuhi dua persyaratan sebagai Pengganti (penebus manusia berdosa): Pertama, Ia adalah manusia; Kedua, Ia tidak berdosa. Dan Ia memenuhinya.

Penjelasan di atas cukup memadai, namun pertanyaan “Mengapa Allah-manusia?” tahun demi tahun akan terus mewarnai hati orang percaya. Orang Kristiani yang rata-rata tidak akan menanyakannya, hanya yang bergumul serius dengan imannya yang melakukannya. Orang Kristiani sejati berkomitmen penuh menerima kedatangan-Nya sebagai Mesias dan Anak Allah, Raja di atas segala raja, dan selalu mengingat “Kita hidup oleh iman kepada Putra Allah yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita.” (Galatia 2:20).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman.

Jalan Sulit dan Memutar

Oleh Josephina Manurung

Beberapa hari lalu foto hitam putih dengan judul “adversity” muncul di linimasa Instagramku. Foto tersebut diunggah oleh seorang influencer yang menceritakan kondisi sulit sebagai minoritas yang pernah ia alami selama duduk di bangku sekolah. Ia bersyukur karena melalui masa sulit tersebut ia bertumbuh menjadi pribadi yang kuat. Saat ini, sebagai seorang bapak ia memiliki kekhawatiran jika anak-anaknya tumbuh terlalu nyaman tanpa adanya kesulitan sehingga kelak menjadi pribadi yang tidak tahan uji. Oleh karena itu di akhir captionnya ia berkata “Atas nama cinta seorang bapak, kelak saya akan mencari cara untuk mempersulit hidup kalian. “And then you can thank me later, if I’m still around.”

Setelah selesai membaca, pikiranku langsung melayang pada pengalaman pribadiku ketika papa secara sengaja “mempersulit” hidupku di bangku SMP-SMA. Saat menginjak bangku SMP, aku pindah rumah ke dekat sekolah. Jarak tempuh dari rumah baruku ke sekolah jika naik mobil hanya 5 menit. Saat itu aku sangat senang mengingat sebelumnya dari rumah lamaku ke sekolah memerlukan waktu 1 jam perjalanan menggunakan mobil. Aku berpikir enak banget nih mulai sekarang bisa bangun lebih siang, tidak perlu khawatir terjebak macet di jalan, tinggal naik mobil duduk manis lalu sampai deh di sekolah. Akan tetapi semua pikiran dan harapanku dalam sekejap dipatahkan ketika sehari sebelum sekolah dimulai, papa mengajakku berjalan kaki ke area perkampungan di belakang rumahku. Ia berjalan di depanku, memanduku menyeberangi jembatan gantung, menyusuri gang, menapaki 100 anak tangga yang membuatku super ngos-ngosan hingga akhirnya tiba di jalan raya seberang sekolahku.

“Oh ternyata ada jalan kecil yang bisa tembus kesini”, gumamku yang masih ngos-ngosan.
Papa yang melihat ku sangat capek kemudian berkomentar

“Tenang aja, lama-lama juga biasa kok”.

“Maksudnya?” Aku menyahut.

“Mulai besok kamu kalau ke sekolah dan gereja jalan kaki lewat jalan ini. Enggak akan dianter naik mobil”

Saat itu aku rasanya kesal banget dan ingin melawan, pikirku kenapa sih papaku jahat, kenapa harus susah-susah melalui jalan memutar yang memakan waktu lebih lama, kenapa harus jalan kaki kalau di rumah ada mobil dan ada mama papa yang bisa mengantarku? Apakah papaku tidak tahu kalau tas sekolahku yang berisi buku-buku cetak tebal itu amat berat dan tentunya akan sangat membuatku capek jika harus berjalan dan menanjak 100 anak tangga ini? Pertanyaan kenapa dan rasa kesal menyelimuti pikiranku, tapi aku tahu percuma melawan karena papa karena pasti tidak akan mengubah keputusannya.

Hari, minggu, bulan pertama perjalanan jalan kaki selama 15 menit ke sekolah terasa berat dan melelahkan. Tiap kali menaiki anak tangga aku selalu berhenti sejenak, mengatur napas, menurunkan tasku, lalu berjalan kembali. Tak jarang aku berkeringat ketika sampai di kelas. Setelah melewati bulan demi bulan hingga tahun demi tahun akhirnya aku pun terbiasa. Bahkan kini aku dapat menempuh perjalanan dengan setengah waktu yang lebih singkat tanpa harus merasa ngos-ngosan ketika berjalan dan menanjak anak tangga yang dahulu terasa amat berat.

Seiring beranjak dewasa, aku baru dapat memahami bahwa kesulitan yang papa “sengaja” ciptakan merupakan bentuk disiplin dalam mendidik aku sebagai anak remaja agar tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Tanpa aku sadari ketika aku harus melalui jalan yang lebih jauh, jalan yang memutar untuk sampai ke destinasi, jalan yang ada di luar zona nyaman tersebut, namun melaluinya dengan sikap hati yang taat maka perlahan demi perlahan ada banyak hal positif yang terbentuk dalam diriku dan bertahan sampai sekarang. Hal positif tersebut diantaranya ialah aku menjadi terbiasa hidup hemat, lebih mandiri, tidak manja, mau berjuang, dan belajar bersyukur.

Ketika aku merenungkan proses pendisiplinan yang secara sengaja papaku ciptakan untuk kebaikanku di masa depan, aku berpikir bahwa hal yang sama sebenarnya juga dilakukan oleh Bapa di Surga. Saking sayangnya Bapa kepada anak-anak-Nya, Dia tidak mau anak-Nya jadi anak dengan mental yang gampangan. Dia secara aktif mendisiplin dan mendidik anak-Nya dengan cara mengizinkan anak-anak-Nya melalui jalan yang memutar, jalan yang lebih jauh, jalan yang berada di luar zona nyaman, melalui jalan yang penuh kerikil dan kadang terjal, supaya dalam perjalanan tersebut pada akhirnya anak-anak-Nya sampai di destinasi yang hendak dicapai dengan sikap hati yang bergantung sepenuhnya pada Bapa, punya karakter-karakter positif baru, punya pengenalan yang makin dalam terhadap Bapa, dan memiliki iman yang semakin bertumbuh dewasa.

Aku percaya karakter Bapa adalah baik. Dalam tiap musim kehidupan yang Dia izinkan dalam hidupku, Dia tetap Allah Bapa yang baik. Dia mengizinkan semua hal terjadi untuk kebaikan anak-Nya. Dia tidak akan memberikan jalan terlalu sulit yang melampaui kekuatanku, pun ketika dalam perjalanan aku jatuh aku tidak akan sampai jatuh tergeletak, sebab tangan-Nya siap sedia menopangku. Aku juga sangat percaya semua rencananya, serumit dan semelelahkan apa pun, pada akhirnya akan membawa pada satu rancangan kebaikan selama aku berjalan dalam kehendak dan terang pimpinan-Nya.

Saat ini, di musim Covid-19 yang Tuhan izinkan terjadi di dunia, banyak dari kita yang mungkin bergumul dengan jalan yang terasa sulit, terjal, dan penuh ketidakpastian. Jalan sulit dan memutar apa yang saat ini sedang Tuhan izinkan untuk kamu lalui? Apapun itu, mari belajar taat melakukan kehendak-Nya, percaya bahwa rancangan-Nya mendatangkan kebaikan, dan berserah izinkan dirimu diproses oleh Bapa.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lebih Berharga Daripada Emas dan Permata

Apakah yang membuat manusia bernilai? Mungkin jawaban kita adalah karena “manusia diberikan pikiran atau akal budi”. Tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kendala kemampuan berpikir, atau masalah mental?

Menantikan Pertolongan Allah

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Ketika mengalami permasalahan, respons alami kita sebagai manusia adalah mencari jalan keluar. Caranya bisa beragam, tapi yang biasanya kita lakukan adalah dengan mencari pertolongan orang lain. Tidak ada yang salah dengan cara ini.

Namun, ketika membaca dan merenungkan Yesaya 30:8-17, aku menemukan perspektif yang menarik. Allah melalui nabi Yesaya menegur bangsa Israel, bahkan menghukum mereka karena di tengah situasi terjepit, bangsa Israel malah mencari pertolongan kepada bangsa Mesir. Allah pada ayat ke-9 lantas menyebut Israel sebagai bangsa pemberontak, suka berbohong, dan enggan mendengar pengajaran-Nya. Aku bertanya-tanya: apa yang salah dengan tindakan bangsa Israel ini? Bagaimana seharusnya kita mencari pertolongan ketika berada dalam situasi terjepit?

Firman Allah yang disampaikan melalui nabi Yesaya ini ditulis sebagai respons atas tindakan bangsa Israel yang kala itu sedang menghadapi tekanan hebat dari keadikuasaan Asyur. Alih-alih percaya dan menantikan pertolongan dari Allah YHWH, Israel malah menolak firman Allah dan meminta pertolongan pada bangsa Mesir. Peringatan demi peringatan firman Allah melalui nabi telah digaungkan pada mereka, namun tetap saja bangsa Israel menolak percaya dan mencari pertolongan dari bangsa yang pernah memperbudak dan memahitkan hidup mereka di masa lampau.

Sebagai pembaca kitab Yesaya di masa kini, kita mungkin bisa dengan mudah menilai salah tindakan bangsa Israel yang tidak mencari Allah. Tetapi, jika kita bayangkan situasi pada masa tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Dalam keadaan terjepit, sepertinya lebih mudah bagi bangsa Israel untuk mencari pertolongan dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang tidak mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Mungkin mereka melihat Mesir sebagai bangsa yang tangguh dan besar, atau super-power pada zaman itu. Mesir memiliki senjata perang yang mumpuni, dan strategi perangnya pun dianggap apik untuk menaklukkan Asyur. Besar kemungkinan inilah yang mendorong Israel untuk datang kepada Mesir, bahkan dengan rela hati memberikan kekayaan mereka demi mendapatkan pertolongan (ayat 6).

Kontras dengan pemikiran bangsa Israel, nabi Yesaya dengan begitu kuat menggambarkan dan menekankan tentang atribut Allah. Allah bukan hanya kudus, tetapi Mahakudus (The Holy One). Dalam perikop ini, tiga kali Yesaya menyebutkan atribut tersebut. Karena Allah yang bangsa Israel sembah adalah kudus, mereka pun dituntut untuk hidup kudus bagi Allah. Kekudusan itu harus diekspresikan dengan menghidupi kehidupan yang berbeda, terkhusus daripada bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Pada masa itu, perlengkapan perang seperti senjata, kuda-kuda, kereta besi, dan baju perang dianggap sebagai kunci memenangkan pertempuran. Namun, bagi Allah YHWH, kunci memenangkan perang adalah dengan percaya kepada-Nya. Itulah yang dituntut Allah dari bangsa Israel. Tindakan ini merupakan perwujudan dari keberserahan diri mereka kepada Allah Yang Mahakudus.

Ketika Israel menyimpang, Allah bukannya diam. Seruan pertobatan diberitakan pada mereka, tetapi Israel tetap menolak percaya pada Allah (ayat 15). Akibatnya dapat kita lihat dalam ayat 13 dan 14. Dosa mereka mengakibatkan ganjaran berupa kehancuran yang tiba-tiba dan sekejap. Ayat sebelumnya juga mengatakan, dengan datang ke Mesir, Israel bukannya mendapatkan pertolongan, malah mendapatkan malu (ayat 5), karena sesungguhnya pertolongan dari Mesir tidak akan berguna dan percuma (ayat 7). Terakhir, Israel menelan pil pahit berupa ditaklukkan oleh Asyur (ayat 16-17).

Belajar dari ketidakpercayaan Israel

Setelah merenungkan perikop itu, aku bertanya pada diriku sendiri. “Sebagai umat Allah Yang Mahakudus, ketika aku mengalami berbagai kesulitan, pertolongan siapa yang aku nantikan?”

Di dalam buku “Mengasihi Yang Mahakudus”, Aiden Wilson Tozer mengatakan, “Apa yang kita pikir tentang Allah, menjelaskan setiap aspek kehidupan kita.” Secara sederhana, kalimat itu dapat diartikan respons dan tindakan kita mencerminkan apa yang kita percayai tentang Allah. Tidak jarang untuk melepaskan diri dari masalah kita malah mencari pelarian, sesuatu yang tidak menyelesaikan masalah itu sendiri. Kita memberi diri untuk terjerat pada kecanduan gawai, pornografi, dan sederet hal lainnya. Respons tersebut sejatinya mencerminkan isi hati kita dan apa yang kita percayai tentang Allah.

Setelah merefleksikan seruan Allah melalui Nabi Yesaya ini, pesan yang menggema bagiku adalah percayalah kepada Allah dan nantikan pertolongan-Nya. Suara pertobatan dari Nabi Yesaya ini patut kita hidupi, bahwa “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (ayat 15). Sumber kekuatan kita sebagai umat Allah di dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, tidak terletak dari hebatnya pikiran kita dalam mengelola permasalahan kita, bukan juga dari kecanggihannya teknologi, dan bukan juga dari pertolongan orang lain, tetapi berasal dari Allah sendiri. Maka dari itu, respons yang tepat bagi kita, sebagai umat Allah Yang Mahakudus itu, adalah dengan percaya dan menantikan Allah.

Hal yang dapat kita lakukan sebagai wujud kita percaya dan menantikan pertolongan Tuhan adalah berdoa. Kita belajar menantikan pertolongan Allah di masa-masa sulit dengan datang kepada-Nya melalui doa. Kita belajar menyerahkan segala ketakutan dan kekhawatiran kita ke dalam tangan-Nya melalui doa. Di dalam doa juga, kita membuka ruang untuk mengalami pertolongan Tuhan yang sering kali tidak terlihat oleh mata jasmani, tetapi dapat kita rasakan melalui mata batiniah. Dengan berdoa, kita dibawa untuk semakin mengenal Allah, Yang Mahakudus dan rancangan-Nya bagi kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Mengasihi Mereka yang Tak Seiman

Tinggal dalam lingkungan homogen membuatku takut dengan orang yang berbeda iman. Di tempat kerja, aku merasa takut didiskriminasi. Tapi, kutahu ini pandangan yang salah dan Tuhan menolongku untuk mengubahnya.

Kristus dan Liverpool: Pengikut Sejati atau Penggemar Belaka?

Oleh Jefferson, Singapura

Kisah Liverpool 2005–2020

Bulan Juni tahun 2005: majalah Bobo menampilkan kemenangan Liverpool atas A. C. Milan di final Liga Champions. Pertandingan ini diingat sebagai salah satu kemenangan paling dramatis dalam dunia sepak bola, sebab Liverpool sempat tertinggal 3 gol di babak pertama sebelum membalas balik 3 gol di babak kedua dan pada akhirnya menang lewat adu penalti. Sejak membaca liputan itu, aku adalah penggemar dari kesebelasan Liverpool.

Tapi aku tidak selalu menggemari Liverpool. Klub yang bertanding di Liga Inggris ini tidak menjuarai kompetisi utama selama 14 tahun setelahnya. Ada beberapa kesempatan di mana Liverpool hampir memenangkan Liga Inggris, Liga Champions, dan turnamen besar lainnya, tetapi selalu kandas di babak terakhir. Jujur saja, di periode puasa gelar ini, aku jadi pesimistis terhadap kans Liverpool di berbagai kompetisi dan memperlakukannya bukan sebagai klub favoritku.

Aku baru kembali menggemari Liverpool dengan bergairah sejak mereka dilatih oleh Jürgen Klopp pada tahun 2015. Dalam wawancara pertamanya sebagai manajer Liverpool, Klopp yang adalah seorang Kristen mengajak seluruh jajaran dan pendukung klub untuk berubah dari “berhenti meragukan dan mulai percaya, dimulai dari sekarang”. Ia juga percaya bahwa di bawah kepemimpinannya Liverpool dapat kembali menjuarai kompetisi besar dalam kurun 4 tahun. Pernyataan yang terkesan terlalu percaya diri ini kemudian menjadi kenyataan: Liverpool menjuarai Liga Champions di musim 2018–2019 dan Liga Inggris baru-baru ini.

Sebagai penggemar Liverpool yang mengamati dekat sepak terjang mereka selama 4 tahun terakhir, aku dapat bilang bahwa perjalanan mereka tidaklah mudah. Liverpool tidak bisa menggelontorkan beratus-ratus juta pound untuk merekrut pemain-pemain terkenal seperti yang dilakukan pesaing-pesaing utama mereka di Liga Inggris. Jadi, bagaimana mereka dapat membangun tim yang kompetitif? Mengusung model tim yang menggabungkan ilmu data dan pengelolaan keuangan yang berkelanjutan, Liverpool mengidentifikasi para pemain yang secara statistik dan gaya bermain cocok dengan taktik gegenpressing khas Jürgen Klopp. Setelah benar-benar yakin bahwa ia dapat berkontribusi terhadap sistem permainan Liverpool, barulah pemain tersebut dikontrak dengan harga yang wajar. Perekrutan ini juga dilakukan sambil memastikan bahwa keuangan mereka tetap stabil, salah satunya dengan melepas anggota tim yang memang ingin keluar dari Liverpool dengan harga yang pantas.

Strategi perekrutan yang berkelanjutan dan efektif selama beberapa tahun ini memampukan Klopp untuk melatih pemain-pemainnya dalam taktik gegenpressing yang ia sukai. Alhasil, kesebelasannya bermain sebagai satu unit yang kompak dan berpikiran menyerang sejak detik pertama. Klopp juga mengembangkan variasi permainan dengan penguasaan bola untuk meningkatkan efektivitas serangan mereka sehingga pesaing pun kesulitan meredam gempuran-gempuran serangan Liverpool. Semuanya ini mereka lakukan demi satu tujuan: membangun kesuksesan yang berkelanjutan.

Kisah Bulan Pemuridan 2020 di gerejaku

Kuharap cerita singkatku di atas tentang klub sepak bola favoritku dapat kamu pahami dan nikmati sejauh ini. Sekarang kita berganti haluan dan melihat apa yang sedang terjadi di gerejaku, GKY Singapore, pada waktu yang bersamaan dengan dipastikannya Liverpool menjuarai Liga Inggris akhir Juni kemarin: dimulainya Bulan Pemuridan. Acara khusus ini diadakan oleh Bidang Fokus Pemuridan di gerejaku untuk mengingatkan jemaat bahwa TUJUAN HIDUP kita adalah menjadi murid Tuhan Yesus, tentang perlunya mengenali posisi kita saat ini dalam PERJALANAN pertumbuhan rohani kita masing-masing, dan bahwa sebagai satu tubuh Kristus kita BERSAMA-SAMA diutus oleh Tuhan untuk memuridkan segala bangsa.

Tim Kerja menerjemahkan ketiga tujuan ini dalam berbagai kegerakan dan kegiatan. Selama 6 minggu sejak awal bulan Juli, kami mengajak jemaat untuk membaca bab-bab pilihan dan bersaat teduh bersama dari buku “Not a Fan” karangan Kyle Idleman. Kami juga membuat seri Bulan Pemuridan di akun Instagram gereja untuk menjangkau lebih banyak orang-orang yang mengikuti kegerakan ini lewat media sosial. Bulan Pemuridan mencapai puncaknya selama 3 minggu terakhir di Agustus, di mana dalam ibadah Minggu, Tuhan meneguhkan identitas kami sebagai pengikut Kristus dan memperlihatkan kaitan erat antara pemuridan dengan misi-Nya.

Seorang teman menanyakan satu hal yang menurutku sangat penting bagi diriku sendiri sebagai bagian dari Tim Kerja Bulan Pemuridan, “Jadi, apa itu pemuridan buat kamu?” Aku sangat menghargai pertanyaannya yang mengingatkanku untuk mengaplikasikan kebenaran Alkitab yang telah kurenungkan selama beberapa bulan terakhir kepada diriku sendiri, agar jangan sampai “sesudah aku memberitakan [panggilan pemuridan Tuhan Yesus] kepada orang lain, aku sendiri… ditolak” (1 Kor. 9:27).

Waktu itu jam makan siangku hampir selesai, jadi aku hanya menjawab temanku dengan singkat. Di tulisan ini, aku akan membagikan jawabanku itu dalam bentuk tiga pelajaran yang kudapat tentang menjadi murid Kristus dari pengalamanku menggemari Liverpool dan menyelenggarakan Bulan Pemuridan di GKY Singapore.

Kisahku belajar bagaimana mengikut Yesus dari menggemari Liverpool

Setelah memastikan bahwa murid-murid-Nya benar-benar mengenali siapa diri-Nya, yaitu Mesias dari Allah (Lk. 9:20), Tuhan Yesus berkata kepada mereka (dan kita) semua, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (ay. 23).

#1. Pemuridan adalah sebuah komitmen, bukan hanya pilihan, untuk mengikut Yesus

Tuhan Yesus memulai panggilan-Nya dengan sebuah undangan. English Standard Version (ESV) menerjemahkan frasa “mengikut Aku” dari bahasa Yunani dengan lebih tepat, “come after me”. Kyle Idleman di dalam bukunya mengamati bahwa frasa ini umumnya digunakan dalam konteks romantik, sebuah “pengejaran yang dapat dengan mudah menyita pikiran, sumber daya, dan energi kita”. Layaknya sepasang kekasih yang berkomitmen untuk terus menjalin hubungan, Tuhan Yesus mengundang pengikut-pengikut-Nya untuk mengikut dan mengejar Dia dengan segala yang mereka punya.

Dalam pengalamanku menggemari Liverpool, aku sempat gagal dalam aspek ini selama beberapa tahun sebelum Jürgen Klopp tiba. Itulah yang dilakukan oleh penggemar: ketika masa susah tiba, banyak yang akan mundur dan tidak mengikut lagi. Pikiran-pikiran untuk melakukan hal itu sempat terlintas dalam benakku ketika melayani dalam Tim Kerja Bulan Pemuridan. Kondisiku terbilang unik: aku adalah yang paling muda dalam Tim Kerja dan pertama kalinya melayani seluruh golongan jemaat, tetapi aku ditunjuk sebagai koordinator acara umum. Melayani bersama rekan-rekan yang semuanya lebih tua dariku adalah pengalaman yang sangat menantang. Berbagai perbedaan karena faktor usia seperti gaya kerja, kesigapan tindakan, dan daya tangkap sering membuatku frustasi dan lelah; rasanya seperti ingin berhenti melayani saja.

Puji Tuhan, perenunganku terhadap frasa “mengikut Aku” dan kesaksian dari banyak jemaat yang terberkati oleh berbagai kegerakan Bulan Pemuridan yang kami selenggarakan menghentikan keinginan untuk mangkir itu pada pemikiran saja. Aku jadi melihat pelayanan ini sebagai sebuah berkat yang Tuhan anugerahkan padaku dan menghadapi rekan-rekan setim dengan lebih sabar dan penuh kasih.

Ke depannya pasti akan ada rintangan-rintangan seperti ini dalam pekerjaan dan pelayanan yang membuatku jadi ingin mangkir lagi, tapi dalam kasih karunia Allah aku berharap dapat berkomitmen untuk terus mengikut Yesus hingga akhirnya. Bersama Paulus, aku berpegang pada kebenaran Allah bahwa “penderitaan menghasilkan ketekunan, ketekunan menghasilkan karakter, dan karakter menghasilkan pengharapan, dan pengharapan tidak membuat kita malu, sebab kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm. 5:3-5 AYT).

#2. Pemuridan berarti bergantung pada kekuatan Roh Kudus, bukan diri sendiri

Menghadapi situasi pelayanan Bulan Pemuridan di atas, dalam rasa frustasi dan keletihanku aku jadi sering lupa bahwa di dalamku ada Roh Kudus yang memberikanku kekuatan yang yang juga membangkitkan Tuhan Yesus dari kematian (Rm. 8:11); aku lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan diriku sendiri. Padahal instruksi pertama Tuhan Yesus dalam Lukas 9:23 bagi pengikut-pengikut-Nya adalah “menyangkal diri”. Ada satu alasan mengapa para rasul membuka surat mereka dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai hamba Tuhan Yesus (2 Pet. 1:1; Yak. 1:1; Rm. 1:1): mereka sadar akan keberdosaan mereka dan betapa mulianya pribadi Allah yang menyelamatkan mereka dari keterpisahan kekal dengan-Nya. Menyangkal diri berarti menyadari penuh bahwa “aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20a), sebuah kehidupan yang “mematikan perbuatan-perbuatan tubuh” oleh kuasa Roh Kudus (Rm. 8:13).

Dalam kasus Liverpool, Klopp “menyangkal diri” dengan menyadari bahwa ia tidak mampu mengubah klubnya menjadi tim yang kompetitif seorang diri sehingga ia merangkul seluruh jajaran dan pendukung klub untuk bekerja bersama-sama dengannya. Dalam kasus Bulan Pemuridan, ada beberapa kesempatan di mana Roh Kudus bekerja dalam diri anggota Tim Kerja untuk membagikan pergumulan masing-masing dalam pelayanan secara terbuka. Lewat kesempatan-kesempatan itu, kami jadi bisa mengapresiasi kelebihan masing-masing, mengisi kekurangan satu sama lain, dan dipersatukan untuk menyelesaikan pelayanan yang Tuhan titipkan kepada kami dengan baik.

Murid yang mengikut Kristus dengan sungguh-sungguh tahu pasti bahwa penyangkalan diri tidak pernah membawa kerugian karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, “jauh lebih berharga dari apa pun” (Flp. 3:8 AYT).

#3. Pemuridan berarti makin mengenal dan menyerupai Kristus

Frasa berikutnya dalam panggilan pemuridan Tuhan Yesus memberitahukan bagaimana kita dapat menyangkal diri, yaitu dengan memikul salib kita setiap hari. Mengapa Tuhan Yesus memilih salib yang adalah simbol penghinaan, penderitaan, dan kematian untuk para pengikut-Nya? Karena Ia sendiri memilih untuk menyangkal diri dan memikul salib-Nya untuk mengerjakan kehendak Bapa-Nya di surga (Mat. 26:39). Mengikut Yesus berarti menjadi serupa dengan Dia (Rm. 8:29), bahkan dalam kematian-Nya (Flp. 3:10). Oleh karena itu, kita berkomitmen untuk memikul salib dan mati terhadap diri kita, terhadap segala keinginan, rencana, dan mimpi yang kita miliki, untuk mengikut Yesus setiap hari. Kyle Idleman menyampaikan dengan tegas, “Di momen kita menjadi pengikut Kristus, saat itu jugalah diri kita berakhir. … Ketika kita benar-benar mati terhadap diri kita, kita menemukan kehidupan yang sejati di dalam Kristus.”

Memikul salib setiap hari dalam kehidupanku saat ini berarti memahami komitmen pekerjaan dan pelayanan mana saja yang harus kuprioritaskan sehingga dapat benar-benar mengikut Tuhan Yesus dengan seluruh keberadaanku. Kesibukanku selama beberapa bulan terakhir mendorongku untuk merenungkan kehendak Tuhan terhadap kehidupanku ke depannya, terutama setelah Bulan Pemuridan berakhir. Kalau jumlah komitmen tetap sama, rasanya waktu istirahat sebanyak apapun tidak akan cukup, tidak peduli seberapa integralnya pekerjaan dan pelayanan dalam kehidupanku. Seperti Liverpool yang meragamkan taktik permainan mereka dan merekrut pemain dengan selektif, aku belajar untuk mengevaluasi komitmen-komitmen mana saja yang pernah kubuat; apakah mereka membantuku untuk menikmati dan memuliakan Tuhan, atau malah membuatku bertambah jauh dari Tuhan dan kelelahan. Itu berarti melepas sejumlah pelayanan yang sudah kukerjakan cukup lama.

Keputusan ini tidak kuambil dengan mudah dan iseng; berbulan-bulan aku merenungkan dan mendoakannya. Walaupun terkesan berat dan tegang, aku percaya keputusan ini pada akhirnya akan memberikanku sukacita lewat pengenalan akan dan keserupaan dengan Tuhan Yesus secara pribadi. Mengutip C. S. Lewis dalam “Mere Christianity”, “Hiduplah untuk dirimu sendiri, dan dalam jangka panjang kamu hanya akan menemukan kebencian, kesepian, keputusasaan, amukan, kehancuran, dan kerusakan. Tapi hiduplah untuk Kristus dan kamu akan menemukan Dia, dan bersama dengan-Nya segala hal yang akan dan pernah kamu butuhkan.”

“JF”: sebuah harapan, sebuah warisan

Singkatan di bagian belakang kaus Liverpool yang kupakai memiliki makna khusus. Selain untuk menghemat biaya pencetakan, pelafalan “JF” mirip dengan nama panggilanku (“Jeff”). Sambil mempersiapkan tulisan ini, aku menyadari ada satu makna lain di balik singkatan ini: “Jesus’ Fan” (Penggemar Yesus) atau “Jesus’ Follower” (Pengikut Yesus). Dengan “JF” sebagai nama punggungku, aku berharap dapat benar-benar menjalani dan mengakhiri kehidupan ini sebagai pengikut Kristus yang autentik, bukan sekadar penggemar. Sebab kepada penggemar, Tuhan Yesus akan berkata, “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan” (Mat. 7:23 TB), tetapi kepada para pengikut-Nya Ia akan menyambut mereka, “Masuklah ke dalam sukacita tuanmu” (Mat. 25:21, 23 AYT).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Pertanyaan refleksi dan aplikasi, diadaptasi dari panduan diskusi kelompok “Not a Fan”:

  1. Dalam buku “Not a Fan”, Kyle Idleman menantang pembacanya untuk memberikan definisi terhadap hubungan mereka dengan Tuhan Yesus. Bagaimana denganmu? Apakah selama ini kamu adalah seorang penggemar Yesus, pengikut-Nya, atau sesuatu yang lain? Bagaimana perasaanmu terhadap jawabanmu?
  2. Pernahkah kamu mangkir dari atau menolak pelayanan? Apa alasanmu? Apa kaitan jawabanmu ini dengan status hubunganmu dengan Tuhan di pertanyaan no. 1?
  3. Harga apa saja yang harus kamu bayar untuk mengikut Yesus selama ini?
  4. Adakah area-area dalam kehidupanmu yang belum kamu serahkan kepada Tuhan selama ini?
  5. Jika kamu mendadak meninggal, apa yang kamu yakini akan disebutkan oleh teman dan kerabat tentang dirimu? Apakah kamu ingin dikenang dan diingat seperti itu?

Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Tak Diajak Jalan-jalan Membuatku Insecure

Ketika kita menjadi bagian dari komunitas yang besar, kita tidak bisa selalu mengajak semua orang di semua agenda kita. Ada kendala yang mungkin tidak diceritakan teman kita. Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Kebahagiaan Sejati Hanya di Dalam Yesus

Oleh Pesta Manurung, Pekanbaru

Jika ditanya apa yang menjadi sumber kebahagiaan kita? Tentu jawabannya bisa beragam. Ada yang menjawab sumber kebahagiaannya adalah memiliki tabungan berlimpah, rumah, mobil, pekerjaan tetap, anak-anak yang sehat dan pintar, bahkan pensiun di masa tua dengan pemasukan yang terus berjalan.

Baru-baru ini, aku menonton sebuah video yang berjudul “Adulterous Woman, The Life of Jesus.” Video ini diambil dari Injil Yohanes 8:1-11. Dalam video, terlihat kaum Farisi membawa seorang wanita yang ketahuan berzinah ke hadapan Yesus. Mereka berniat mencobai Yesus, dengan bertanya, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita yang telah berzinah ini? Musa berkata kalau ada orang yang ketahuan berzinah, maka akan dilempari dengan batu sampai mati.” Yesus menjawab, “Siapa di antara kamu yang tidak berdosa hendaklah dia yang melempar terlebih dahulu.” Satu persatu mereka menjatuhkan batunya dan pergi meninggalkan tempat itu.

Aku membayangkan si wanita yang hendak dihukum tentu sangat ketakutan. Hidupnya sedang terancam mengingat hukum yang berlaku pada masa itu, wanita yang kedapatan berbuat zinah akan dirajam sampai mati. Satu-satunya yang menentukan hidupnya adalah keputusan dari Yesus. Jawaban Yesus pun tak terduga, “Pergilah, Aku pun tidak akan menghukum engkau, jangan berbuat dosa lagi.”

Cerita dalam video ini sebenarnya mengisahkan hidup kita semua, meskipun dalam konteks ini secara khusus diceritakan wanita yang berdosa karena berzinah. Namun terlepas dari jenis dosa yang dilakukan oleh si wanita ini, bukankah kita semua berdosa?

Aku pernah berada di posisi seperti si wanita yang kedapatan berzinah itu. Tahun 2013, ketika aku duduk di bangku perkuliahan, aku menghadiri suatu ibadah di kampus. Firman yang aku nikmati saat itu berbicara bahwa sesungguhnya aku adalah manusia yang berdosa. Segala kebaikan yang aku lakukan tidak dapat menyelamatkanku. Aku harusnya dihukum karena segala keberdosaan yang telah aku lakukan. Tetapi saat itu aku mendengar ada Pribadi yang berbicara kepadaku, “Aku mengampuni dosa-dosamu. Aku menerimamu, kembalilah kepada-Ku. Hanya Aku yang berhak menghakimimu, dan Aku tidak akan menghukummu.” Aku meyakini bahwa Roh Kuduslah yang bekerja saat itu, sehingga aku bisa mendengarkan Tuhan berbicara kepadaku. Momen yang aku ingat sampai saat ini. Momen di mana aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.

Allah begitu mengasihi kita. Kendati kita berdosa, Dia tidak menghukum kita setimpal. Dia justru mengampuni kita. Bukankah kita berulang kali jatuh ke dalam dosa? Tidak terhitung berapa kali kita berdosa. Setiap kita berdosa, kita bisa mengingat perkataan Yesus kepada wanita tersebut, “Pergilah Aku tidak menghukum engkau.” Namun, ini bukan berarti kita diperbolehkan untuk jatuh berulang kali ke dalam dosa. Perkataan Yesus dengan wanita itu diakhiri dengan “Jangan berbuat dosa lagi!” Kalimat ini memberikan kita pengertian bagaimana Yesus mengharapkan kita untuk meninggalkan dosa kita.

Inilah yang menjadi kebahagiaan sejati bagi aku pribadi, mengetahui bahwa Dia yang berhak menghukum aku justru berkata, “Pergilah, Aku tidak menghukum engkau.” Artinya, Dia menerimaku di tengah keberdosaanku dan memaafkanku yang penuh dengan dosa ini.

Baca Juga:

Tuhan, Mengapa Engkau Mengirimku Ke Padang Gurun?

Di saat kebanyakan temanku diterima di kampus negeri, aku melanjutkannya di kampus swasta, dan di jurusan yang tak kusuka pula. Tuhan, kenapa aku harus ke tempat ini? Keluhku pada-Nya.

Tak Diabaikan-Nya Ratapan Kita

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Jakarta

Karena pandemi, hari-hari ini kita mudah melihat orang-orang yang mengeluh dan meratap. Ada yang gajinya dipotong, kewalahan karena tugas sekolah yang sangat banyak, tak bisa hangout dengan teman atau pacar, atau bahkan ada pula yang meratap karena ditinggal selama-lamanya oleh orang-orang terkasih.

Aku sendiri pun tak luput dari kesusahan-kesusahan tersebut. Rasanya tugas-tugasku sangat banyak, kapan aku bisa istirahat? Aku bosan tidak bisa keluar untuk beli ini itu, kapan masa ini berakhir? Aku ingin pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga. Aku yakin setiap kita pun punya keluhannya sendiri-sendiri.

Di tengah beragam keluhan itu, beberapa hari ini aku teringat kembali akan renungan yang pernah dibawakan oleh seorang dosen di kampusku. Renungan ini bertajuk A Cry for Lament atau sebuah teriakan untuk ratapan, yang terambil dari Keluaran 2:23-25. Penggalan firman Tuhan itu menceritakan keadaan ketika bangsa Israel hidup dalam perbudakan bangsa Mesir. Mereka ditindas dengan cara melakukan kerja paksa. Bayi laki-laki dan perempuan Israel terancam dibunuh dan dilemparkan ke sungai Nil. Penderitaan ini membuat bangsa Israel mengerang dan berteriak pada Allah.

Allah mendengar seruan Israel. Allah mengingat kovenan yang dibuat-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. ‘Mengingat’ di sini bukan berarti Allah hanya mengenang, tapi Allah sungguh bertindak. Allah mengutus Musa sebagai pemimpin yang kelak membawa bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan.

Kisah pertolongan Allah atas Israel mengingatkanku bahwa Allah sejatinya tidak mengabaikan ratapan umat-Nya. Namun, ratapan seperti apakah yang seharusnya kita lakukan ketika kita menghadapi penindasan atau penderitaan? N.T Wright, seorang hamba Tuhan dan sarjana Perjanjian Baru mengatakan bahwa ratapan adalah momen ketika kita mengakui dengan jujur bahwa kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian ataupun hasil akhirnya.

Habakuk meratap pada Tuhan, “Berapa lama lagi Tuhan aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu ‘penindasan’ tetapi tidak Kau tolong” (Habakuk 1:2). Dalam ratapannya, Habakuk bertanya-tanya bilamana Allah akan menolong umat-Nya. Meskipun Habakuk kala itu tak tahu persis kapan pertolongan-Nya akan terjadi, ratapan Habakuk tidak membawanya menjadi semakin sedih dan terpuruk, tetapi iman dan harapan yang kembali ditambatkannya kepada Allah. Ungkapan iman dan harapan tersebut dapat kita simak di Habakuk 3:17-18.

Jika aku berkaca pada diriku sendiri, kadang ketika aku meratap, aku tidak berfokus kepada Tuhan. Aku meratap dan mengeluh hanya karena kesulitan dan kesakitan yang kualami, lalu aku berupaya mencari-cari cara sendiri untuk keluar dari permasalahan yang kuhadapi. Aku ingin supaya Tuhan cepat-cepat melepaskan semua pergumulanku, tanpa memberi ruang dalam hatiku untuk bertanya apa yang Allah kehendaki dari penderitaan ini? Apa yang Allah ingin aku pelajari dari penderitaan ini?

Seorang penulis terkenal, C.S Lewis dalam bukunya, The Problem of Pain, pernah melontarkan pertanyaan pada Tuhan:

“Tuhan mengapa Engkau lebih mudah ditemui saat hidup ini berjalan lancar, tetapi begitu sulit aku temui ketika hidup ini membutuhkan pertolongan-Mu?”

Pernyataan Lewis mungkin mewakili keadaan kita. Teriakan, jeritan, dan ratapan kita seolah tak mengubah keadaan. Kita merasa Tuhan berdiam diri tanpa memberi jawaban. Namun, itu terjadi karena seringkali kita hanya ingin jalan keluar yang instan. Dalam keadaan seperti itu, aku hanya menjadikan Allah sebagai alat untuk menyediakan jalan keluar atas masalah yang kuhadapi.

Sebagaimana Allah menjawab seruan Israel dan juga orang-orang pilihan-Nya, sejatinya ratapan kita pun tak diabaikan-Nya. Tidak semua pertanyaan Habakuk dijawab Tuhan, tapi di tengah situasi demikian, Habakuk memutuskan untuk tetap percaya dan berharap kepada Tuhan. Kita bisa meneladani Habakuk, bahwa dalam masa-masa sulit yang kita hadapi, biarlah iman kita menjadi murni.

Kita dapat membawa seluruh kegelisahan yang kita alami, keraguan yang kita miliki, kesakitan yang kita rasakan ke hadapan Allah tanpa perlu menyembunyikan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku ingin mengajak kita semua agar dalam masa-masa sulit sekalipun, kita membuka hati untuk menyampaikan ratapan kita dan berfokus kepada Allah saja.

Baca Juga:

Kebohongan yang Kita Genggam, Membuat Kita Mudah Menyerah

Kita sering diperhadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Misalnya, “Duh, ngapain pacaran jarak jauh, nanti ujung-ujungnya putus.”. Lantas, bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya?

Di Mana Kita Bisa Mengetahui Pimpinan Tuhan?

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Setiap hari kita selalu diperhadapkan dengan pilihan-pilihan. Entah itu kita harus bertahan atau pergi, kita dipaksa untuk memilih suatu keadaan yang sulit, yang mau tidak mau harus dipilih. Terkadang kita dengan yakin merasa bahwa pilihan kita merupakan hasil pimpinan Tuhan. Jadi, tidak salah apabila banyak orang yang yang menyalahkan Tuhan dalam hidupnya, karena merasa bahwa Tuhan telah memimpinnya ke jalan yang tidak benar. Atau mungkin kita marah, karena Tuhan seakan dengan sengaja membiarkan kita hidup tersesat. Bukankah Tuhan mengetahui segalanya, lalu mengapa Ia membiarkan kita untuk hidup di jalan yang yang seolah bukan pimpinan-Nya? Semua orang pasti pernah mengalami hal yang serupa—begitu juga dengan aku—tetapi tidak semua orang memiliki respons yang benar.

Sering sekali kita merasa bahwa Tuhan telah memimpin kita karena kita melihat kesan-kesan baik yang bisa kita terima. Tuhan bisa saja memakai petunjuk menggunakan kesan-kesan yang ada di dalam pikiran dan hati kita—toh, Dia adalah Allah yang berkuasa, yang dapat melakukan apa pun.

Tapi, pernahkah kita menyelidiki sungguhkah kesan yang baik itu pasti menunjukkan ke situlah jalan yang harus kita ambil? Bukankah iblis juga mampu untuk melakukan keajaiban-keajaiban demi membuat pandangan kita buram saat melihat Allah?

Iblis pernah mencoba untuk menggoda Tuhan Yesus dengan hal-hal yang ajaib yang bisa dilihat oleh mata (Matius 4:1-11, pencobaan di padang gurun). Sebenarnya cara kerja Iblis tidak pernah berubah, yaitu selalu memperlihatkan hal-hal yang ajaib dan indah, namun palsu untuk mengelabui kita dan membuat kita meninggalkan Tuhan.

Aku teringat akan sebuah lagu anak sekolah minggu “Firman Tuhan ada di hatiku ada di langkahku ada di hidupku selalu bertumbuh sirami jiwaku berbuah berbuah berbuah berbuah lebat”. Ternyata jawaban tentang bagaimana sebenarnya pimpinan Tuhan itu sudah lama kita ketahui, yaitu semenjak lagu ini dikumandangkan pada saat kita belajar firman Tuhan di sekolah Minggu. Untuk mengetahui pimpinan Tuhan dalam hidup kita hanya ada satu cara yaitu melalui Firman Tuhan yang terus bertumbuh di dalam diri kita. Jikalau Firman Tuhan itu ada di hati, di langkah, dan di hidup kita, maka apa pun yang menjadi keputusan atas pilihan yang kita pilih merupakan hasil dari kesan-kesan kuat yang ditimbulkan dari dalam hati kita melalui kerja Roh Kudus—bukan kesan-kesan palsu yang yang dikerjakan oleh tipu muslihat Iblis.

Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”.

Firman Tuhan merupakan landasan dan jawaban yang tepat untuk setiap pilihan yang kita pilih jikalau kita mau hidup di bawah pimpinan Tuhan. Itulah betapa pentingnya membaca Firman Tuhan setiap hari, bukan hanya di saat kita ingin mengetahui pimpinan Tuhan yang baik dan yang benar itu. Sama seperti tanaman yang disiram setiap hari akan tumbuh subur dan kita dapat melihat bunga yang cantik, begitu juga dengan orang-orang yang setiap hari mendengarkan Firman Tuhan. Mereka akan terus bertumbuh menghasilkan bunga yang cantik yaitu kehidupan yang indah di bawah pimpinan Tuhan. Hidup dibawah pimpinan Tuhan berarti memilih kesan-kesan yang kuat yang berasal dari pada Roh Kudus.

Richard L. Strauss dalam bukunya “Bagaimana memahami kehendak Tuhan” mengatakan Tuhan meletakkan hal-hal tertentu dalam pikiran kita ketika kita membaca Alkitab dengan hati terbuka dan kemauan kita diserahkan pada-Nya. Apa pun yang menjadi pengorbanan pribadi kita, dan kalau kita membuka Firman-Nya untuk mencari apa yang Dia ingin katakan kepada kita daripada hanya sekadar mencari apa yang ingin kita dapati, kita dapat percaya bahwa Dia akan berbicara kepada kita melalui Firman-Nya. Dia sudah berjanji bahwa Firman-Nya akan menjadi terang bagi jalan kita.

Kebingungan akan timbul apabila terlalu banyak pilihan yang terbuka bagi kita. Apalagi saat ini kita menghadapi zaman relativisme, yaitu setiap orang dapat melakukan apa pun yang baik menurut pengertian mereka. Meskipun pola ini adalah pola dosa yang berulang dari zaman perbudakan sampai pelepasan bangsa Israel dari Mesir—hingga saat ini—belum tentu semuanya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu, setiap keadaan harus dipertimbangkan di bawah penerangan Firman Tuhan, dalam sikap berdoa, disertai kepekaan terhadap kesaksian Roh Kudus di dalam batin kita, dan berdasarkan penyerahan total untuk mematuhi rencana-Nya daripada rencana kita sendiri (kutipan buku Bagaimana memahami kehendak Tuhan oleh Richard L. Strauss).

Aku menyelesaikan studiku di Pendidikan Biologi. Tetapi aku ditempatkan mengajar SD. Awalnya aku menangis karena aku tidak mengerti mengajar SD itu harus apa dan bagaimana. Di sisi lain juga karena kesombongan hatiku yang tidak mau mengajar SD dan merasa tidak percaya diri. Seolah-olah Tuhan tidak “mempercayakanku” untuk mengajar Biologi di senior (SMP-SMA) karena aku tidak layak. Tetapi saat itu tidak ada pilihan lain. Namun, aku meyakini itulah kehendak Tuhan. Tetapi, pilihan untuk menjalani kehendak Tuhan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pilihan untuk bertahan dan bertekun dalam kesetiaan serta sukacita menjalani panggilan pelayanan mengajar SD atau memilih pergi saja. Tetap mengajar demi menuntaskan masa penempatan karena beasiswa yang kuterima sewaktu kuliah, tetapi dengan setengah hati. Toh, semua ini akan berlalu dengan cepat. Keputusan yg aku ambil yaitu memilih untuk taat serta bersuka pada kehendak Tuhan. Saat ini aku mengajar kelas 1 SD dan aku menikmati setiap proses belajar yang Tuhan berikan padaku.

Beberapa minggu lalu, aku dipanggil oleh kepala sekolahku. Ternyata, mereka memberikanku kesempatan mengajar Biologi di SMA. Aku merasa bingung dan benar-benar tidak tau harus memilih apa. Aku teringat pada keinginanku dulu, tetapi aku juga sudah mencintai pengajaran dan anak-anak SD. Dengan pertimbangan yang terus aku gumulkan dan doakan, akhirnya aku menetapkan pilihanku. Bukan suatu keputusan yang mudah. Aku yakin dan percaya Tuhan sedang “mendidik” aku untuk mau terus merendahkan hatiku dan taat pada Kehendak-Nya.

Kini, aku mau terus berjalan di dalam kehendakNya, sampai selama-lamanya.

Mari menikmati setiap proses kehidupan kita dengan selalu mengejar hidup kudus di bawah pimpinan Tuhan. Kiranya apa pun yang kita pilih, biarlah hal itu merupakan pilihan yang tepat dan sudah dipertimbangkan di bawah penerangan firman Tuhan yang kita baca setiap hari.

Selamat bertumbuh dan menghasilkan buah. Tuhan Yesus menyertai kita sekalian.

Baca Juga:

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Bagaimana mengatasinya?