Mengapa Aku Takut Membagikan Imanku?

mengapa-aku-takut-membagikan-imanku

Oleh Aryanto Wijaya

Pernahkah kamu merasa takut untuk membagikan imanmu dengan orang lain? Aku pernah.

Ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, keluargaku adalah satu-satunya orang Kristen di lingkungan tempat tinggal kami. Suatu hari, ketika aku sedang bersepeda melewati sebuah rumah ibadah, beberapa anak sepantaranku datang dan menutup jalanku serta memaksaku turun dari sepeda. Aku mengelak untuk turun, lalu mereka mulai menendangi sepedaku dan memaksaku untuk mengakui agama apa yang kuanut. Mereka kemudian mulai mengejekku—karena aku orang Kristen dan keturunan Tionghoa.

Aku tidak tahu harus melakukan apa waktu itu hingga ada seorang dewasa yang kebetulan lewat lalu membubarkan anak-anak itu.

Sejak saat itu, aku menjadi takut untuk membagikan imanku dengan orang lain. Tapi, setelah aku berpikir baru-baru ini, aku menyadari kalau ada tiga alasan pokok yang membuatku takut membagikan iman kepada orang lain.

1. Aku takut menyinggung orang-orang dari kepercayaan lain

Tidak banyak orang Kristen tinggal di lingkunganku, jadi membicarakan soal iman bisa jadi hal yang sensitif. Suatu ketika, teman-teman ibuku datang untuk berdoa di rumah. Kami tidak menggunakan alat musik ataupun juga membuat suara-suara keras, tapi ada tetangga yang curiga karena rumahku dipenuhi orang. Mereka ketakutan apabila rumah kami berubah menjadi gereja. Dua orang datang ke rumah dan memberitahukan kalau tidak boleh melakukan aktivitas Kristen di wilayah itu.

Sekalipun insiden itu menggangguku, Tuhan memberikan kesempatan lain untuk membuatku belajar menyatakan iman. Suatu kali aku bermalam di rumah seorang ibu yang bukan Kristen. Saat pagi ketika aku tengah bersiap untuk berangkat ke gereja, dia bertanya, “Hei, mau ke mana pagi-pagi?”

Aku menjawabnya dengan jujur kalau aku akan pergi ke gereja. Aku tak menyangka ternyata dia menunjukkan rasa penasarannya tentang gereja. Ibu itu belum pernah bertemu orang Kristen sebelumnya! Lalu aku bercerita padanya tentang Tuhan dan apa itu gereja.

Sadar atau tidak, orang-orang di sekitar kita memperhatikan tingkah laku kita. Cara kita hidup kita bisa jadi membuat mereka penasaran dan ingin mengetahui tentang Yesus. Alkitab mengatakan pada kita, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16).

2. Aku takut teman-teman memandangku negatif

Aku masih ingat di suatu Minggu pagi ketika aku hendak berangkat ke gereja, teman serumahku mengatakan sembari bercanda, “Ngapain hari Minggu pagi-pagi ke gereja? Enakan juga tidur.” Baginya, hari Minggu seharusnya dipakai untuk tidur lebih lama setelah kita lelah beraktivitas sepanjang hari Senin hingga Sabtu.

Kuakui kalau seringkali aku mengalah dengan ajakan teman-teman sebayaku. Ketika seorang teman mengajakku lari pagi di hari Minggu, aku pun ikut—lalu menunda ibadah di gereja menjadi siang hari. Aku ingin diterima oleh teman-teman sebayaku; dan aku ingin dipandang sebagai teman yang setia.

Aku kembali mengingat apa alasanku melakukan semua hal yang teman-temanku anggap sebagai “hal yang ribet” ini. Beberapa dari mereka berpikir kalau menjadi Kristen itu “ribet” karena ada banyak aturan yang harus ditaati: perpuluhan, pergi ke gereja, baca Alkitab, dan berbagai hal lainnya. Aku takut dipandang sebagai orang yang “ribet”, oleh karenanya aku menyembunyikan imanku.

Tapi, Tuhan mengingatkanku lewat saat teduh kalau yang terpenting adalah pandangan Tuhan terhadapku dan bukan pandangan teman-teman terhadapku. Bagi Tuhan, Aku berharga di mata-Nya dan mulia, dan Dia mengasihiku (Yesaya 43:4). Yesus mengorbankan nyawa-Nya di atas kayu salib untukku. Oleh karena itu, aku harus mempersembahkan apapun yang kupunya―itu bisa jadi uangku, tenaga, dan pikiranku―sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah mengasihi dan menyelamatkanku.

Jadi, sekarang ketika temanku bertanya tentang imanku, aku tidak berpikir itu ribet. Pergi ke gereja, memberi persembahan persepuluhan, dan terlibat pelayanan adalah ungkapan syukurku kepada Tuhan yang kulakukan dengan sukacita, bukan karena paksaan.

3. Aku takut kalau tidak bisa menjawab pertanyaan tentang Kekristenan

Beberapa orang pernah memberitahuku bahwa iman Kristen itu tidak masuk akal. Contohnya, mereka pernah bertanya, “Kok Allah punya anak?” Aku merasa sulit untuk menjelaskannya pada mereka. Jadi, aku memilih untuk diam agar tidak ditanya-tanya.

Dalam suatu kebaktian di gereja, Tuhan berbicara kepadaku lewat khotbah yang mengingatkanku agar tak perlu khawatir dengan apa yang harus kujawab. Seharusnya aku mendoakan mereka supaya mereka boleh merasakan kasih Tuhan yang melampaui segala akal (Filipi 4:7).

Terkadang, ketika kita tidak mampu mengungkapkan iman kita lewat kata-kata, kita bisa melakukannya lewat tindakan. Semasa sekolah dulu ada seorang murid perempuan di kelasku yang tidak memiliki teman. Tak ada yang mau satu kelompok dengannya hingga ia merasa kesepian. Kuajak dia untuk bergabung denganku dalam satu kelompok.

Dia merasa heran dengan tindakanku dan bertanya, “Kok kamu mau berteman denganku?” Lalu aku menjawabnya, “Setiap kita diciptakan spesial sama Tuhan. Kalau kamu diciptakan spesial sama Tuhan, kenapa aku harus menjauhi kamu cuma karena hal-hal sepele?”

Aku tidak tahu apakah itu karena tindakan atau ucapanku, tapi sejak saat itu, dia bergabung dengan sebuah persekutuan dan imannya bertumbuh.

Iman kita adalah iman yang istimewa. Itu tidak hanya berbicara soal diri kita sendiri, atau bangunan gereja. Kekristenan adalah tentang Tuhan yang kudus dan peduli akan pendosa.

Menjadi orang Kristen adalah suatu anugerah yang bisa aku syukuri. Sekarang aku mengerti mengapa murid-murid Yesus tidak lagi khawatir ketika orang-orang melabeli mereka sebagai “Kristen”. Aku tak lagi takut untuk membagikan cerita imanku. Daripada aku menyimpan cerita berharga itu hanya untuk diriku, aku mau membagikan cerita tentang Yesus kepada orang lain.

Sekalipun orang-orang mungkin mengejek atau menekan kita karena iman, seperti pengalamanku pada kelas IV SD dulu, aku berdoa supaya kata-kata Yesus ini akan menguatkan kita di tengah penderitaan: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Matius 5:10-12).

Baca Juga:

3 Manfaat Melakukan Disiplin Rohani

Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar kata “disiplin”? Dulu kata “disiplin” membuatku membayangkan sesuatu yang menyeramkan, bisa jadi itu suatu hukuman, sesuatu yang membatasi, dan tidak keren. Tapi, semuanya berubah ketika aku mulai berkomitmen untuk melakukan disiplin rohani dengan cara bersaat teduh pribadi, membaca firman Tuhan secara teratur, dan mulai berpuasa. Disiplin rohani yang kulakukan itu memberiku tiga manfaat.

Aku Tidak Puas dengan Gerejaku, Haruskah Aku Bertahan?

Aku-Tidak-Puas-dengan-Gerejaku-Haruskah-Aku-Bertahan

Oleh Dorothy Norberg, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should I Stay If My Church Doesn’t Satisfy Me?

Aku berjemaat di sebuah gereja kecil yang dulu begitu aku sukai.

Tapi sekarang, setelah 5 tahun dan begitu banyak perubahan yang tak diduga sebelumnya, jumlah jemaat kami semakin berkurang. Tak ada lagi jemaat lain yang seusiaku saat ini, dan aku tidak lagi merasa nyaman berjemaat di gereja itu.

Jika kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan pindah ke gereja lain yang musik, khotbah, dan acara-acaranya lebih baik supaya kamu mendapatkan pengalaman bergereja yang “lebih”?

Beberapa orang mungkin menganggap itu seperti pergi ke berbagai pasar yang berbeda untuk mencari bahan-bahan yang kita perlukan untuk memasak makanan yang lezat. Mereka juga mungkin akan mengatakan bahwa kita perlu memilih gereja di mana kita dapat merasa puas dan merasakan kehadiran Tuhan di dalamnya.

Namun aku menyadari bahwa ketika kita hanya melihat pengalaman-pengalaman yang tampak di permukaan dan memutuskan untuk berpindah-pindah gereja, kita sedang menjauhkan diri kita dari sukacita akan rasa memiliki. Pertumbuhan terjadi ketika kita mau berakar dan berkomitmen.

Dari pendalaman Alkitab yang kulakukan, aku menjadi semakin yakin bahwa keanggotaan gereja adalah sebuah fondasi spiritual yang penting dan tidak dapat kita abaikan.

Di musim panas kali ini, teman baikku mengobrol denganku tentang mengunjungi berbagai gereja bersama di musim gugur nanti. Dia sedang bersiap-siap untuk masuk kuliah dan membutuhkan gereja yang lebih dekat dengan kampusnya. Dia mendorongku untuk pindah gereja dan mencari gereja yang usia jemaatnya sepantaran denganku. Tapi aku merasa belum siap mengambil keputusan itu. Di samping karena aku menghargai keanggotaan gereja, aku juga tidak mau berpindah gereja hanya karena mengikuti teman. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mencari kesempatan pelayanan di dalam gerejaku, dan berdoa tentang kehendak Tuhan bagi masa depanku.

Proses ini memaksaku untuk memeriksa apa yang sebenarnya menjadi motivasiku datang ke gereja. Apakah kriteria gereja yang utama bagiku adalah gereja yang memenuhi kebutuhan emosional dan sosialku? Atau aku datang ke gereja karena sebuah tujuan yang lebih besar? Seringkali aku merasa tidak termotivasi untuk datang ke gerejaku dan aku berharap aku pergi ke tempat lain, tapi aku peduli dengan jemaat-jemaat yang lain di sekitarku. Aku tahu bahwa peranku dalam gereja semakin dibutuhkan seiring dengan jumlah jemaat yang berkurang. Meskipun aku merasa peranku begitu terbatas dan tidak memuaskan, aku tahu bahwa inilah gereja di mana Tuhan menginginkanku berada di dalamnya saat ini.

Keadaanku saat ini tidaklah ideal atau memuaskan, tetapi aku tahu apa hal yang penting. Aku mendengar firman Tuhan dengan setia disampaikan, memuji Tuhan bersama orang-orang percaya, mengikuti perjamuan kudus, dan berbagi hidup dengan orang-orang yang aku pernah berjanji untuk saling berbagi, mengasihi, dan melindungi.

Ketika aku berjemaat di sebuah gereja, itu memungkinkanku untuk melakukan apa yang firman Tuhan perintahkan—agar kita saling mengasihi, saling mengampuni, saling menguatkan, dan saling menolong dalam menanggung beban. Ketika aku memutuskan untuk membagikan hidupku pada mereka, mereka juga membagikan hidup mereka padaku, dan kami memiliki kesempatan untuk dikenal dan dikasihi oleh sebuah komunitas yang kita pilih bukan karena kesamaan minat, tapi karena Kristus.

Tanpa komitmen pada sebuah gereja, memang kita masih bisa mendengar khotbah, menyanyikan lagu pujian, dan bertumbuh dalam iman lewat saat teduh pribadi. Tetapi, Tuhan tidak membentuk kita untuk menghidupi iman kita sendirian. Perjanjian Baru memberikan banyak contoh tentang kehidupan gereja dan mendeskripsikan gereja sebagai mempelai Kristus, tubuh Kristus di dunia, dan tempat di mana pertumbuhan rohani dan komunitas rohani terbentuk. Pergi ke gereja bukanlah tentang mencari sebuah pengalaman semata, tetapi tentang berkumpul bersama saudara seiman kita. Itu adalah sebuah disiplin rohani yang baik yang perlu kita bangun.

Aku tidak bisa menghidupi kehidupan Kristen seorang diri saja. Aku butuh masukan dari orang-orang percaya lainnya untuk melengkapi pemikiranku, mendorongku untuk melayani, menegurku untuk meninggalkan dosa-dosaku, dan mendukungku.

Aku tahu kalau aku berhenti pergi ke gereja, jemaat yang lain akan mencariku; dan jika aku bergumul dengan keputusanku atau tidak yakin dengan kehendak Tuhan bagiku, mereka yang mengenal dan mengasihiku dapat memberikan masukan. Aku juga akan melakukan hal serupa untuk mereka, dan aku tidak mau memutus hubungan yang erat ini hanya karena perasaan ketidakpuasanku yang sementara.

Berada di gereja bukanlah tentang kenyamananku, rasa pemenuhanku, atau tentang mudahnya membangun relasi dengan orang lain. Tapi, menjadi jemaat gereja adalah suatu hubungan yang diikat berdasarkan perjanjian, dan tak peduli apa pun perasaanku, aku tahu kalau aku dan jemaat gerejaku saling memperhatikan; ada rasa tanggung jawab di dalamnya. Sekalipun tanggung jawab ini mungkin terlihat seperti sebuah beban, aku tahu bahwa semua itu setimpal dengan apa yang kita dapatkan nantinya.

Bahkan ketika aku merasa terabaikan, aku tahu bahwa aku diperhatikan, dikasihi, dan dihargai, dan bahwa Tuhan menempatkanku di gerejaku ini untuk suatu alasan. Aku tidak mau menjadi apatis atau keras kepala, tapi aku beriman bahwa Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil yang kita temui sehari-hari. Dia menggenapi tujuan-Nya melalui mereka yang mau berkomitmen dan rindu dipakai oleh-Nya.

Baca Juga:

Aku Gak Pintar Berdoa

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.

Berbagi Takjil di Perempatan Lampu Merah

berbagi-takjil-di-perempatan-lampu-merah

Oleh Noni Elina Kristiani, Surabaya

Langit senja begitu indah sore itu ketika aku tengah berada dalam perjalanan menuju rumah. Selama kuliah di luar kota, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman setiap dua minggu sekali. Hal yang paling aku sukai ketika dalam perjalanan adalah aku bisa menikmati waktu bersama Tuhan. Mengendarai sepeda motor selama satu setengah jam cukup membuat seorang sanguinis sepertiku bosan. Jadi aku sering menyanyikan lagu-lagu pujian atau mengobrol dengan Tuhan seakan Dia juga berkendara bersamaku. Aku hanya berharap pengguna jalan lain tidak menganggapku gila karena melihatku berbicara sendiri.

Di tengah-tengah perjalanan, suara azan magrib berkumandang bersama dengan suara sirine yang cukup panjang. Ya, saat itu adalah bulan puasa bagi umat Muslim. Terbersit dalam benakku, apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, akhirnya aku sampai dengan selamat di rumah. Suasana rumah memang selalu membuatku rindu. Bau temboknya, suhu ruangannya, bahkan wangi yang ada di dalam lemari pun begitu khas rasanya. Memang tidak ada yang lebih nyaman selain di rumah. Ketika di rumah, kegiatan memasak selalu tidak terlewatkan.

“Mbak Ana* juga pulang kampung lho,” kata adikku ketika makan malam.

“Oh ya? Kalau gitu Mbak mau WhatsApp dia ah, biar kita bisa ketemuan,” aku begitu antusias untuk bertemu dengan saudara perempuanku yang satu itu.

Meskipun kuliah di kota yang berbeda, aku dan Ana adalah teman satu sekolah selama SMK dan aku tinggal di rumahnya hingga lulus. Rumah kami berbeda kabupaten, jarak yang perlu ditempuh hanya 30 menit saja. Aku merindukannya, dia saudara perempuan yang sangat berarti bagiku. Meski aku dan dia berbeda iman, hubungan kami sangat dekat. Sejak kecil kami sering berbagi cerita, kami memiliki hobi dan selera makanan yang sama. Aku benar-benar kangen untuk bertemu Ana.

Malam itu setelah menikmati obrolan bersama adik laki-lakiku, aku memasuki kamar. Sedangkan obrolanku dengan Ana di WhatsApp terus berlanjut.

Noni: “Jadi besok sore aku ke sana yaa…”

Ana: “Oke, tapi sorenya aku ada kegiatan bagi-bagi takjil gratis lho.”

Noni: “Kalau gitu aku boleh ikutan?”

Aku kaget dengan pertanyaanku sendiri. Tapi mengapa tidak? Tiba-tiba hatiku begitu menggebu-gebu menantikan jawaban dari Ana. “Tuhan, mungkinkah ini kesempatan yang Kau beri?” ujarku dalam hati.

Beberapa menit kemudian Ana membalas chat-ku.

Ana: “Boleh. Ikut aja…”

* * *

Aku menatap diriku di cermin. Apakah aku sudah menggunakan baju yang tepat? Haruskah aku mengikat rambutku atau mengurainya saja? Padahal aku hanya akan pergi membagi-bagikan takjil di perempatan lampu merah, bukannya mau pergi kencan. Tapi mengapa aku begitu gugup? Ternyata hal ini tidak semudah yang aku pikirkan semalam. Sempat terbersit dipikiranku untuk membatalkannya, tapi setelah berdoa aku merasa Tuhan tetap ingin aku melakukannya. Oke, baiklah.

Aku jadi teringat ketika aku dan Ana masih kecil. Saat itu kami berumur 8 tahun, Ana tengah menginap di rumahku. Dia mengajarkanku cara membaca huruf Arab.

“Sini Nin, aku ajari kamu ngaji ya. Ini bacanya Alif, Ba’, Ta’, Tsa’…,” kata Ana.

Aku pun menirukan bagaimana caranya membaca sambil melihat huruf-huruf itu. Dan di hari Minggu aku mengajak Ana pergi ke gereja untuk ikut Sekolah Minggu. Kami begitu senang saat itu, kami berbagi apa pun yang kami ingin bagikan tanpa berpikir panjang. Setelah kami bertumbuh dewasa, aku dan Ana benar-benar mendalami iman kami masing-masing. Kami saling mengasihi satu sama lain, sehingga kalaupun bertengkar, kami bisa dengan mudah baikan. Aku jadi merindukan masa-masa kami bersama dahulu, saling berbagi dalam kasih tanpa mempertimbangkan banyak hal.

Aku memantapkan hatiku ketika bertemu dengan Ana. Seperti biasa kami selalu heboh ketika bercerita dan kami suka menertawakan hal-hal sepele yang kami anggap lucu. Hari sudah pukul 5 sore dan kami pun berangkat menuju perempatan lampu merah di pusat kota. Sesampainya di tempat, belum ada satu pun rekan yang hadir. Ana lalu menelepon seseorang dan menyalakan loudspeaker ponselnya sehingga aku bisa mendengar percakapan mereka.

“Halo Mbak, Aku sama Noni sudah di lokasi. Mbak lagi di mana?” tanya Ana kepada temannya yang ada di balik telepon.

“Ini dek, sebentar lagi kami berangkat. Eh iya, tapi Noni nggak pake kalung salib ‘kan? Atau atribut salib lainnya gitu?” tanyanya.

Ana kontan menatapku sambil tersenyum canggung. Aku hanya tidak tau harus bersikap bagaimana ketika mendengar pertanyaan itu dan hanya balas tersenyum.

“Eh, nggak kok mbak… Hehe.” jawab Ana.

Telepon berakhir dan kami berjalan menuju perempatan lampu merah yang dekat dengan alun-alun kota. Beberapa waktu kemudian berhentilah sebuah mobil di depan kami. Dari dalam mobil itu keluar remaja-remaja berhijab yang siap membagikan takjil. Mereka bersikap ramah kepadaku dan kami saling berkenalan. Ada banyak kardus yang perlu diturunkan dan gelas-gelas plastik berisi takjil. Setelah semuanya siap, kami pun berpencar dan membagikan takjil kepada setiap orang yang berhenti di lampu merah. Kami menghampiri pengendara sepeda motor, bapak becak, dan sopir angkot.

Ada perasaan aneh di hatiku ketika aku bisa melawan rasa gugup yang semula menghantuiku. Aku berhasil meruntuhkan keraguanku lalu kemudian perasaan itu berubah menjadi sukacita yang tak terkatakan. Dari seberang jalan aku menatap Ana yang dibalut dengan busana Muslim, termasuk hijab. Kemudian aku melihat diriku sendiri yang mengenakan pakaian biasa bahkan tanpa mengenakan tanda salib sebagai aksesoris yang menunjukkan kekristenanku. Mungkin saja dia akan menyuruhku melepaskan kalung salib itu jika memakainya. Akan tampak aneh jika bakti sosial dari organisasi Muslim mengikutsertakan seseorang yang mengenakan kalung salib di lehernya, kan?

Ya, aku memang yang paling berbeda di antara mereka semua. Tapi bagiku itu tidak masalah. Karena cukup bagiku untuk taat pada apa yang Tuhan Yesus ingin aku lakukan, yaitu mengasihi. Kini aku belajar bahwa kekristenan bukanlah tentang atribut yang menempel di tubuhku, tapi lebih daripada itu… Kekristenan adalah bagaimana kita memiliki hidup yang menggambarkan Kristus.

Saat itu langit senja tampak jauh lebih indah dari biasanya. Aku tengah menikmati cilok hangat di depan teras masjid sambil menunggu Ana menyelesaikan salat magrib. Aku asik bercengkrama meski kini tanpa suara. Ditemani angin semilir dan suara burung yang kembali ke sangkarnya. Betapa Allah telah mengerjakan sesuatu yang indah, di dunia ini dan juga di hati anak-anak-Nya yang mau taat. Aku hanya bisa berbisik dan berkata, “Selanjutnya apa yang Kau ingin aku lakukan, Tuhan?”

* bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Tuhan Merombak Kriteria Pacar Idamanku

Tidak banyak hal menarik yang dimiliki oleh pria ini. Dia bukanlah seorang yang tinggi, dia tidak memperhatikan penampilannya, dan dia juga seperti tipe pria yang membosankan. Dia bukanlah tipe pria yang dikagumi banyak wanita.

Namun akhirnya, dia menjadi pacarku.

Doa bagi Mereka yang Menderita

Oleh Morentalisa Hutapea

Peperangan. Kejahatan. Pembunuhan. Penindasan. Teror. Penyalahgunaan narkoba.

Bapa, aku membaca berita-berita buruk setiap hari. Setiap kali aku melihat berita-berita yang muncul di akun media sosialku, hatiku hancur.

Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya ada dalam berbagai situasi yang menyedihkan itu. Aku mungkin saja menjadi salah satu dari mereka, seorang gadis yang dilahirkan di tengah konflik Syria, atau gadis lainnya yang terjebak dalam perdagangan manusia. Hanya karena anugerah-Mu, aku tidak dilahirkan di tengah segala penderitaan itu.

Jadi aku berdoa, ya Bapa, kiranya cahaya Injil-Mu dapat terlihat oleh segala bangsa. Aku berdoa agar setiap jiwa di bumi dapat disentuh oleh kasih-Mu yang begitu dalam, yang Engkau tunjukkan di Kalvari. Dan aku berdoa agar ketika mereka menerima kasih-Mu, mereka juga saling membagikan kasih itu kepada yang lain.

Kiranya mereka yang terluka oleh cobaan hidup mendapatkan pemulihan sejati di dalam dekapan kasih-Mu. Kiranya mereka menyadari bahwa Engkau memperhatikan mereka di dalam penderitaan dan tangisan mereka.

Meskipun mereka mungkin bertanya mengapa Allah yang baik mengizinkan hal-hal yang buruk terjadi, kiranya Engkau memberikan mereka kemampuan untuk melihat rencana-Mu yang sempurna. Berilah mereka iman untuk percaya bahwa Engkau berdaulat atas segala hal.

Ini sama sekali bukanlah hal yang mudah, karena kekuatan kegelapan dan dosa yang berkuasa di dalam hati banyak orang yang belum mengenal Engkau. Jadi aku berdoa agar kiranya kasih-Mu bersinar menerangi kami, anak-anak-Mu, sehingga kami dapat mengarahkan mereka kepada-Mu.

Berilah kami hati yang mengasihi sesama kami.

Berilah kami anugerah-Mu sehingga kami dapat membagikan anugerah itu kepada sesama kami.

Berilah kami kasih yang tak pernah berakhir sehingga kami dapat belajar untuk menunjukkan belas kasih, kebaikan, ketaatan, kelemahlembutan, dan kerendahhatian.

Kiranya kami dapat semakin mengenal-Mu melalui segala kesulitan hidup yang kami alami.

Amin.

* * *

Bagikan juga doa-doamu untuk mereka yang tertindas melalui kolom komentar di bawah ini.

Baca Juga:

Puisi: Rancangan Yesus Adalah yang Terbaik

Pernah kurasakan ketakutan dalam perjalanan hidupku.
Pernah kurasakan kekhawatiran dalam pikiranku.
Ketika yang aku alami tidak menyenangkanku,
aku kembali teringat bahwa Yesus ada bagiku.

4 Pergumulan yang Kita Hadapi dalam Pelayanan

4-pergumulan-yang-kita-hadapi-dalam-pelayanan

Oleh Abigail L.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Struggles We Face In Ministry

Melayani orang lain bisa menjadi pekerjaan yang berat, baik di dalam maupun di luar gereja.

Dalam gereja, aku bersyukur atas dukungan yang aku peroleh dari keluarga dan teman-temanku selama aku melayani. Namun ada saat-saat di mana aku merasa tidak mampu untuk melanjutkan pelayananku—dan hal ini kebanyakan disebabkan karena orang lain. Dalam saat-saat demikian, aku berusaha menghibur diriku dengan berkata: “Kalau tidak sulit, bukan pelayanan namanya.”

Tetapi, aku juga percaya bahwa Allah mau mengajarkan sesuatu melalui pergumulanku.

1. Orang-orang yang tidak tertarik

Apakah kamu sedang memimpin sebuah kelompok sel, membuat sebuah acara dan merencanakan kegiatan penjangkauan, dan menemukan bahwa anggota kelompokmu atau para pemimpin lain dalam kelompokmu tidak menunjukkan ketertarikan? Kadang, aku merasa paling tidak dihargai dan jengkel saat orang lain tidak bekerja dan tidak mendukungku sebanyak yang menurutku seharusnya mereka lakukan.

Namun Allah mengingatkanku untuk berhenti sejenak agar aku tidak melupakan tujuan dari pelayanan—pelayanan adalah tentang orang-orang, bukan tentang program-program dan rencana-rencanaku. Pelayanan adalah tentang menolong orang lain bertumbuh dalam iman dan kasih kepada Kristus, dan tentang mempedulikan kebutuhan mereka.

Jadi, aku pun belajar untuk memperhatikan orang-orang daripada program-program, dengan menunjukkan ketertarikan pada hidup mereka dan masalah yang sedang mereka hadapi. Aku juga belajar untuk terbuka terhadap masukan, dan belajar untuk membuat acara dan pertemuan kelompok sel yang dapat menjawab kebutuhan mereka.

2. Orang-orang yang mematahkan semangat

Kadang kita mendapatkan tanggapan yang mengecewakan atas pelayanan yang kita lakukan, atau masukan dari para pemimpin yang terkesan keras dan tidak adil. Terkadang pula, teman-teman kita bisa menjadi sangat mengkritik atau bahkan tidak membantu sama sekali. Ketika hal itu terjadi, aku dapat merasakan benih ketidakpuasan bertumbuh menjadi kepahitan dan membuat aku menyimpan dendam kepada mereka.

Namun Allah mengajarkanku untuk menunjukkan kasih—kepada para pemimpin, teman-teman, dan junior-juniorku. Aku menemukan bahwa orang-orang yang telah mengecewakanku ini ternyata memiliki kisah di balik layar yang menjelaskan tindakan mereka. Suatu kali, aku merasa amat malu terhadap diriku sendiri ketika seorang rekan kerjaku—yang aku kira bermalas-malasan—mengatakan bahwa orang tuanya yang belum percaya melarang dia terlibat aktif di gereja. Aku sadar bahwa aku sudah bersikap tidak adil dan menghakimi dia berdasarkan sikapnya, dan bahwa sikapku terhadapnya mungkin saja telah membuatnya semakin patah semangat.

Selama aku belum pernah menempatkan posisiku di sepatu orang lain, aku takkan pernah tahu seberapa berat pergumulan, perjuangan, dan usaha mereka untuk mengasihi Allah. Jadi, aku belajar untuk menunjukkan kasih karunia kepada orang lain, sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih karunia-Nya kepadaku.

3. Orang-orang yang berbeda

Apakah kamu menghadapi perbedaan dalam doktrin, kepercayaan, atau fokus pelayanan dengan sesama orang percaya? Apakah perbedaan ini menyebabkan perselisihan dan kesalahpahaman yang menghambat kemajuan pelayananmu dan mempengaruhi “efisiensi”-mu?

Mungkin ini adalah cara berpikir yang salah. Aku belajar bahwa perbedaan pendapat dapat memperluas dan memperkaya perspektifku—jika saja aku menyingkirkan kesombonganku. Aku adalah orang yang cenderung tidak sabar dengan orang-orang yang terlalu bersemangat tentang hal-hal yang berkaitan dengan karunia rohani, tetapi suatu hari salah seorang temanku berkata, “Kamu tidak akan pernah memahami mereka kalau kamu selalu lebih dulu menghakimi mereka!”

Kata-katanya menempelakku: dia mengingatkanku mengenai sikapku yang menghakimi orang-orang yang tidak memiliki ide yang sama dengan aku. Aku bersyukur atas teman-teman dan rekan-rekan kerja yang selalu ada untuk menolongku melihat suatu hal dari sisi yang berbeda.

4. Orang-orang yang menghakimi kita berdasarkan pelayanan kita

Apakah aku melayani terlalu banyak atau terlalu sedikit? Apakah aku orang yang suka mendominasi atau orang yang terlalu gampang dipengaruhi? Hal-hal demikian melintas dalam pikiranku setiap kali aku berusaha melakukan sesuatu. Aku tahu bahwa menjaga fokusku pada Kristus itu lebih penting, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal ini dan melihat kekuranganku.

Dulu aku biasa menilai keefektifan pelayananku dari jumlah orang yang datang dalam persekutuan, acara, atau apapun yang aku rencanakan, dan merasa kecewa setiap kali jumlah tersebut tidak mencapai target atau ketika orang-orang datang terlambat. Namun, aku belajar untuk mengingatkan diriku bahwa penilaian orang lain terhadap acara yang kubuat bukanlah merupakan penilaian terhadap karakter atau kepribadianku, dan bahwa tanggapan yang buruk terhadap acara yang kubuat bukanlah karena kurangnya iman atau keefektifanku. Setelah Allah mengubah diriku, aku dapat bersukacita melayani sekalipun ketika jumlah orang-orang yang hadir tidak banyak. Melayani menjadi jauh lebih mudah dan menyenangkan ketika aku berhenti mengkhawatirkan apa yang orang-orang pikirkan tentang aku.

 

Merasa kecewa dalam pelayanan merupakan hal yang normal; tidak ada seorang pun yang kebal terhadapnya. Namun, melalui kekecewaan-kekecewaan inilah Allah mendorong kita untuk lebih bergantung pada-Nya. Allah tidak butuh kita membantu Dia melakukan pekerjaan-Nya, tetapi Ia disukakan ketika kita bergantung kepada-Nya ketika kita melayani orang lain. Allah lebih tertarik pada siapa kita, daripada apa yang dapat kita lakukan untuk-Nya.

Baca Juga:

Ketika Saudara Seiman Mengganggumu

Di mana terdapat relasi, di sana selalu ada gesekan—bahkan juga relasi di dalam gereja. Satu alasan mengapa kita merasa terganggu oleh saudara seiman kita sebenarnya sederhana: kita mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu. Joshua pernah mengalami gesekan ini. Bagaimana respons yang dia berikan? Temukan dalam artikel ini.

Ketika Saudara Seiman Mengganggumu

ketika-saudara-seiman-mengganggumu

Oleh Joshua, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 当你对某位弟兄或姐妹感到恼怒时…

Di mana terdapat relasi, di sana selalu ada gesekan—bahkan juga relasi di dalam gereja. Satu alasan mengapa kita merasa terganggu oleh saudara seiman kita sebenarnya sederhana: kita mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu.

Aku memahami hal ini. Saat ini aku tinggal serumah dengan seorang saudara seiman. Kami juga kerap tidak cocok—kadang karena hal-hal kecil. Contohnya, temanku merasa aku mandi terlalu lama dan mengeluh karena itu bisa membuat biaya bulanan menjadi semakin mahal. Kadang, dia terganggu ketika aku meninggalkan piring kotor di tempat cuci piring. Sekali waktu dia menunjukkan ketidaksukaannya dengan kelakuanku, dia mengatakan bahwa dia kecewa karena harus terus mengingatkanku hal-hal yang sama berulang kali. Tapi meskipun demikian, dia tidak pernah sekalipun berdebat denganku atau marah denganku. Aku sangat menghargainya yang selalu dengan sabar menjelaskan hal-hal apa saja yang membuatnya tidak senang.

Mungkin kamu pernah mengalami situasi yang mirip, ketika kamu menjadi marah atau kecewa karena beberapa hal yang dilakukan oleh saudara/saudari seimanmu di dalam Kristus. Pada momen-momen tersebut, adalah bijak untuk kita mengingat apa yang Rasul Paulus katakan di dalam Efesus 4:26: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.”

Kemudian, ada pula sebuah panggilan untuk kita mengasihi sesama kita manusia seperti diri kita sendiri (Matius 22:39), yang seharusnya mengarahkan kita untuk berdamai. Selain itu, kalau kita tidak menyelesaikan ketidaksenangan yang kita alami dengan saudara-saudari kita, kita akan menjadi tercerai-berai dan tidak dapat menyembah Tuhan di dalam satu kesatuan.

Jadi apa yang dapat kita lakukan ketika kita kecewa dengan saudara-saudari kita?

1. Doakan relasi kita

Ini adalah sebuah hal yang paling jelas kelihatan dan paling butuh kita lakukan. Carilah bimbingan Tuhan, mintalah Dia untuk menghilangkan emosi-emosi negatif yang kita alami, dan carilah penghiburan dan kekuatan dari firman-Nya. Ketika kita menyerahkan relasi-relasi kita kepada Tuhan, Dia akan memimpin kita dalam mengambil keputusan atau melakukan hal-hal yang menyenangkan-Nya. Aku percaya bahwa dengan anugerah Tuhan, kita dapat memiliki relasi yang baik satu sama lain.

2. Nyatakan dengan jujur dan terbuka satu sama lain

Ketika temanku mengatakan dengan terbuka tentang beberapa kebiasaan burukku yang mengganggunya, dia memberikanku kesempatan untuk menjelaskan kejadian tersebut dari sudut pandangku—kadang aku juga bisa jadi pelupa. Sejak saat itu, dia mencoba mengingatkanku dengan lembut setiap kali aku lupa mencuci piring-piring kotor, untuk membantuku membuang kebiasaan burukku. Hal ini telah membantu kami untuk hidup harmonis.

Seringkali, komunikasi yang terbuka adalah kunci dari sebuah relasi yang baik. Dengan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” menjadi dasar motivasi kita, kita dapat berusaha menyelesaikan masalah-masalah kita melalui komunikasi. Mari kita menolong teman-teman kita untuk mengerti bagaimana tindakan mereka telah membuat kita tersinggung—dan sebaliknya—dan saling berikan kesempatan kepada satu sama lain untuk menjadi lebih baik dan memperbaiki tindakannya.

Pada saat yang sama, kita juga perlu berusaha untuk mendengarkan dari sudut pandang orang lain dan menaruh diri kita dalam sepatu mereka. Selama proses tersebut, kita perlu menjadi bijak dan menyampaikan perasaan kita dengan baik, seperti apa yang Amsal 25:11 katakan, “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.” Kiranya Tuhan melembutkan hati kita dan menolong kita untuk saling memahami satu sama lain sehingga kita dapat membangun relasi yang memuliakan Dia.

3. Carilah perdamaian

Selain memberitahu perasaan kita, kita juga perlu menunjukkan keinginan kita untuk berdamai dengan lawan kita. Ini harus lahir dari ketaatan dan kasih kita kepada Yesus. Artinya, kita perlu tetap rendah hati dan menghindari menggunakan kata-kata kasar dan menuduh orang lain, yang mungkin berakibat hilangnya kesempatan kita untuk menjalin sebuah relasi yang baik.

Mari ingatlah selalu bahwa lawan kita juga membutuhkan waktu untuk berubah; apa yang dapat kita lakukan adalah memahami mereka dan menjadi sabar selama waktu-waktu tersebut.

4. Ingatkan dirimu bahwa kamu dan temanmu adalah sama-sama pengikut Kristus yang telah diselamatkan oleh anugerah

Tidak ada seorang pun yang sempurna, termasuk orang-orang Kristen. Kita semua adalah para pendosa yang telah diselamatkan oleh anugerah, dan itulah mengapa setiap kita dapat berdosa kepada Tuhan atau kepada sesama kita. Dan meskipun kita mungkin melukai dan mengganggu satu sama lain, kita masih adalah sesama saudara di dalam Kristus. Ketika kita mengerti hal ini, perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita tidak akan lagi terlihat sebagai perbedaan-perbedaan yang tidak dapat didamaikan.

5. Awasi lidahmu

Ketika seorang saudara seiman mengganggumu, ambillah waktu untuk memutuskan apakah kamu harus bereaksi atau diam. Ini akan memberikanmu waktu untuk mencari Tuhan terlebih dahulu dan menilai apakah responsmu sesuai dengan kehendak-Nya. Itu juga membantu untuk mencegah konflik-konflik. Selama waktu ini, sangat penting untuk mengawasi apa yang kamu katakan. Pengamsal berkata, “Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin. Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia berdiam diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya” (Amsal 17:27-28).

Sebagai orang Kristen, marilah kita berusaha sebaik mungkin untuk mencari kesatuan di dalam Tuhan sehingga kita dapat memuliakan Dia. Kiranya Dia memberikan kita kebijaksanaan dan mengajarkan kita bagaimana kita dapat menyelesaikan konflik-konflik kita dengan orang lain.

“Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” (Efesus 4:1-3)

Baca Juga:

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

Tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik. Masalahnya, meskipun kita tahu bahwa bergosip itu tidak baik, kadang kita sulit untuk melepaskan kebiasaan buruk ini. Yuk temukan 5 tips menghentikan kebiasaan bergosip yang dibagikan Gracea di dalam artikel ini.

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

5-tips-menghentikan-kebiasaan-bergosip

Oleh Gracea E. S. Sembiring

Siapa yang tidak suka bergosip? Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak di kedai kopi, orang-orang di kantor, guru-guru di sekolah, mahasiswa-mahasiswi di kampus, anak sekolahan, bahkan anak-anak TK pun sudah ada yang suka bergosip. Aku baru menyadari hal ini ketika keponakanku menceritakan tentang perilaku teman-temannya di sekolah. Bahkan, beberapa orang di gereja pun turut ambil bagian dalam aktivitas ini. Tidak heran jika program gosip dengan berbagai nama dipertontonkan di layar televisi mulai dari pagi sampai sore.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip adalah “obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan”. Orang yang suka menggosip disebut sebagai penggosip. Jadi, jika mengacu kepada definisi KBBI, mungkin kita dapat menemukan banyak penggosip yang ada di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita juga adalah seorang di antaranya?

Bergosip mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan bagi kita. Bahkan ada perkataan yang mengatakan, “makin digosok, makin sip!” Namun, tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik. Masalahnya, meskipun kita tahu bahwa bergosip itu tidak baik, kadang kita sulit untuk melepaskan kebiasaan buruk ini. Oleh karena itu, saat ini aku ingin membagikan 5 tips yang menurutku efektif untuk membantuku menghentikan kebiasaan bergosip.

1. Berpikir sebelum berkata-kata

Kita dapat mulai belajar berhenti bergosip dengan belajar berpikir sebelum berkata-kata. Jangan terlalu cepat mengatakan sesuatu. Sebelum kita katakan, kita dapat pikirkan dulu baik-baik, apakah perkataan yang kita akan katakan ini adalah perkataan yang membangun.

Lidah kita yang kita gunakan untuk berbicara ini, meskipun kecil namun dapat mematikan. Tentang lidah, Tuhan telah memberi kita peringatan dalam Yakobus 3:5, “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.”

Ingatkah kamu dengan lagu sekolah minggu “Hati-Hati Gunakan Mulutmu”? Atau pernahkah kamu mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “fitnah (gosip) lebih kejam dari pembunuhan”? Lidah yang tidak dikendalikan dengan baik adalah awal mula dari gosip. Jadi, yuk mulai sekarang kita lebih hati-hati menggunakan lidah kita.

2. Alihkan gosip ke percakapan positif

Ketika kita diajak bergosip, kita dapat mengalihkan pembicaraan ke percakapan yang positif. Memang tidak mudah, apalagi ketika berkumpul dengan teman-teman yang suka bergosip. Tapi ini tidak mustahil.

Ketika percakapan sudah mulai mengarah kepada gosip, kita bisa mengambil peran untuk mengalihkan perbincangan. Misalnya membahas tentang buku, film, destinasi wisata yang baru, atau topik-topik lain yang membuat percakapan menjadi lebih positif. Ingatlah apa yang Paulus katakan dalam Efesus 4:29, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

3. Menghindar dari percakapan gosip

Aku teringat ketika masih kuliah, setiap kali aku janjian kerja kelompok dengan teman-teman cewek akan berujung dengan “ngobrol”. Apapun dibicarakan, mulai dari menggosipkan teman-teman kampus sampai kepada artis-artis yang bahkan kami tidak kenal sedikitpun. Dalam situasi seperti itu, kita dapat menghindar agar tidak jatuh dalam pencobaan untuk ikut-ikutan bergosip. Ini menjadi kesempatan kita untuk bersaksi dan memancarkan terang kita. Jika memungkinkan, kita juga dapat menegur teman-teman kita yang bergosip. Tentunya menegurnya di dalam kasih, ya.

4. Belajar untuk mengasihi

Saat kita tidak mengasihi seseorang, sangatlah mudah bagi kita untuk melihat dan membicarakan kelemahannya. Namun, jika kita menyadari bahwa kita tidaklah sempurna (tidak ada manusia yang sempurna), namun kita begitu dikasihi Tuhan, kita akan lebih mudah mengasihi orang lain. Ketika kita mengasihi seseorang, tentunya kita tidak akan menggosipkannya. Jadi, kita dapat belajar berhenti bergosip dengan belajar mengasihi sesama kita, seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Matius 22:39b, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

5. Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan

Seberapa dekat hubungan pribadi kita dengan Allah akan memberikan kita kepekaan untuk berhenti bergosip. Setiap kali Iblis mencoba untuk menggoda kita bergosip dan berbuat dosa, Roh Kudus akan mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam godaan itu. Tetaplah jaga hubungan yang akrab dengan Allah agar kita dapat lebih peka akan suara Roh Kudus di dalam hati kita.

Yuk kita hentikan bergosip dan mulai mengasihi!

Baca Juga:

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

“Apakah aku seorang munafik?” Inilah pertanyaan yang ditanyakan oleh Kezia. Ternyata ia mendapati jawabannya adalah ya, dia adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Pada akhirnya, ia menemukan mengapa ia menjadi seorang yang munafik. Temukan kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

ketika-pemimpin-gereja-kita-jatuh

Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: When Our Church Leaders Fail

Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan.

Ketika kita mendengar berita-berita seperti itu, seringkali kita “menyalibkan” para pemimpin ini. Kalau kita ada di dalam gereja-gereja tempat mereka melayani, kita mungkin menyangkal mereka, atau mengkritik mereka di depan seluruh dunia. Kita terluka, dan reaksi alami kita adalah membalas luka tersebut. Seperti seorang teman pernah berkata, “Orang yang terluka akan melukai orang lain.” Karena para pemimpin ini telah jatuh dan mengecewakan kita, kita merasa benar untuk menghukum mereka atas rasa sakit yang telah mereka perbuat kepada kita.

Namun mungkin, ada cara-cara yang lebih baik untuk meresponi kekecewaan kita.

Tunjukkan Kasih kepada Mereka

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35)

Ketika para pemimpin gereja jatuh, kita seharusnya menunjukkan kasih kepada mereka. Kita tidak membenarkan dosa-dosa mereka; kita juga tidak melindungi mereka dari konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka. Tapi kita tidak perlu menginjak-injak mereka, atau membuat mereka terlihat lebih buruk.

Bagaimana kita dapat mengaplikasikan hal ini? Dengan tidak menggosipi mereka. Kita dapat mulai dari rumah, dengan menunjukkan kasih persaudaraan kepada keluarga kita. Ketika hal-hal yang buruk seperti ini terjadi, kita cenderung untuk bergunjing dan ingin tahu lebih jauh tentang “kekurangan” para pemimpin gereja ini. Atau, mungkin kita berkumpul di dalam sebuah kelompok di dalam gereja atau komsel dan mengatakan bahwa kita ingin mendoakan mereka, namun akhirnya malah mengatakan hal-hal yang buruk tentang mereka.

Ketika kita melakukan hal buruk tersebut di depan anak-anak, sebenarnya kita seperti memberitahu mereka bahwa kita boleh-boleh saja menjelek-jelekkan saudara-saudara seiman kita. Kita menggambarkan mereka seperti penjahat yang selalu merencanakan malapetaka bagi gereja kita, seolah-olah mereka adalah monster. Kita melupakan hal-hal baik yang telah mereka lakukan dan hanya mengingat kesalahan-kesalahan mereka. Kita mengubur mereka hidup-hidup di dalam dosa-dosa mereka—dan lupa siapa diri mereka di dalam Tuhan.

Berdoa untuk Mereka

Para pemimpin gereja lebih mudah diserang secara spiritual karena mereka ada di garis depan. Sang musuh akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan mereka, karena dia tahu bahwa ketika dia dapat menghancurkan seorang pemimpin di dalam gereja Tuhan, dia dapat melemahkan orang-orang yang dipimpin sang pemimpin tersebut. Ketika seorang pemimpin gereja jatuh, kita bahkan dapat kehilangan saudara-saudari kita di dalam Kristus, yang meninggalkan Tuhan dan gereja-Nya secara total.

Jadi kita harus mendoakan para pemimpin gereja kita—selalu. Dan ketika mereka jatuh, kita seharusnya mendoakan mereka lebih lagi. Jangan biarkan sang musuh menang dan jangan masuk ke dalam taktiknya; jangan kita serahkan para pemimpin kita kepada sang musuh ketika mereka tersandung. Sebaliknya, kita dapat mengangkat mereka kembali kepada Yesus.

Para pendeta dan pemimpin gereja adalah sesama manusia sama seperti kita: mereka juga memiliki pergumulan-pergumulan di dalam hidup mereka, dan mereka juga menghadapi berbagai pencobaan sama seperti kita. Sama seperti keputusan-keputusan kita tidak menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya, keputusan-keputusan yang buruk tidaklah menjadi identitas para pemimpin gereja kita—indetitas sejati kita ada di dalam Yesus. Benar, kita dapat membuat kesalahan dan dapat membuat keputusan-keputusan yang buruk, tapi kesalahan-kesalahan bisa jadi sebuah awal dari hubungan yang lebih erat dengan Yesus. Marilah berdoa agar kiranya hal itu yang terjadi bagi para pemimpin kita juga.

Ada di Samping Mereka

Ketika para pemimpin gereja kita jatuh, kita perlu hadir bagi mereka sebagai saudara-saudari yang juga pernah terjatuh. Ini adalah sebuah cara menunjukkan kasih bagi mereka. Kita dapat mendatangi mereka, berdoa bersama mereka, dan menolong mereka untuk pulih dari segala kekacauan sehingga mereka dapat bangkit kembali. Jangan menyingkirkan mereka dari hidup kita atau gereja kita, karena di saat-saat seperti ini, mereka membutuhkan Yesus lebih daripada segalanya.

Seorang teman pernah berkata kepadaku: “Suamimu bukanlah Tuhan. Dia akan membuat kekacauan dan dia akan menyakitimu, sama seperti kamu juga akan membuat kekacauan dan menyakitinya juga. Bagaimanapun juga, dia adalah manusia.” Nasihat ini telah memberikanku kekuatan untuk lebih berbelas kasih kepada suamiku, sama seperti dia yang juga telah berbelas kasih kepadaku. Hubungan kami bersama dengan Yesus membuat kami dan hubungan kami menjadi kuat; Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang sempurna dan tidak bercela.

Aku percaya kita juga dapat mengaplikasikan hal ini bagi para pemimpin gereja kita. Mudah bagi kita untuk melihat mereka sebagai orang-orang yang tidak dapat jatuh dan orang-orang yang sempurna—kita tidak menyangka mereka dapat membuat kesalahan, dan kita lupa bahwa mereka bukan Tuhan. Kita lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang cacat dan mereka akan membuat kesalahan, bagaimanapun juga mereka adalah manusia.

Maka ketika mereka membuat kesalahan, janganlah terkejut dan menahan-nahan kasih kita. Daripada lari dari mereka seakan mereka terlalu kotor, hampirilah mereka dan angkatlah mereka kepada Yesus. Lihatlah diri kita sendiri dan ingatlah bahwa kita juga tidak lebih bersih, namun Yesus mau berkorban bagi kita.

Yesus mengasihi para pemimpin gereja kita bahkan ketika mereka jatuh; Dia akan mengampuni mereka dan ada untuk mereka di masa-masa tergelap dalam hidup mereka. Kita juga dapat melakukan hal yang sama.

Baca Juga:

Karena Perubahan Ini, Doa-Doaku Begitu Cepat Dijawab Tuhan

“Dalam berdoa tidak jarang kita menyatakan undangan kepada Tuhan untuk datang dan berkarya dalam hidup kita. … Belakangan sebuah kesadaran menyentakku. Di balik kalimat yang tampaknya penuh kerendahan hati dan penyerahan diri itu, aku sedang menempatkan Tuhan pada posisi pembantu, bukan pemilik hidupku.”

Bagaimana Claudya mengubah doa-doanya? Temukan kesaksiannya di dalam artikel ini.

Aku Kecewa Dan Meninggalkan Gerejaku, Tapi Satu Hal Membuatku Kembali

aku-kecewa-dan-meninggalkan-gerejaku

Oleh Amy J.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Hated The Youth Ministry

Setelah 6 tahun ada di Sekolah Minggu, aku merasa sudah tidak cocok lagi di sana. Menyanyi dengan bergaya yang aneh-aneh. Panggung boneka cerita Alkitab. Bahkan hadiah permen untuk menghafalkan ayat Alkitab mingguan sudah tidak menarik lagi buatku yang telah beranjak remaja.

Di sisi lain, komisi pemuda terlihat menarik. Beberapa kali, mereka datang untuk memimpin puji-pujian di kelas kami. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan sangat hidup dan bersemangat; mereka berpakaian rapi dan bernyanyi dengan penuh semangat. Singkat kata, aku menganggap mereka sangat keren.

Namun ketika akhirnya aku cukup dewasa untuk bergabung dengan mereka, aku hanya butuh waktu 3 minggu untuk sampai pada sebuah kesimpulan: Aku membenci komisi pemuda.

Di minggu pertama, gadis-gadis yang duduk di belakangku saling “membisikkan” komentar-komentar yang merendahkan tentang gaya berpakaian dan gaya rambutku yang tomboi. Di minggu kedua, teman baikku punya pacar dan mengabaikanku. Di minggu ketiga, aku tidak sengaja mendengar beberapa pembina pemuda berdiskusi tentang bagaimana “menghadapi” diriku yang “hiperaktif”. Menurut mereka, aku “tidak cocok” di komisi pemuda. Aku terlalu berisik dan mengganggu untuk mereka.

Jadi aku pergi meninggalkan mereka semua.

Beberapa bulan kemudian, aku kehabisan alasan untuk tidak datang ke kebaktian pemuda. Daripada mendengar ocehan ibuku, aku mulai mengunjungi kebaktian di gereja-gereja lain yang waktunya mirip-mirip dengan gerejaku. Setidaknya aku tidak berbohong ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku pergi ke gereja. Dan aku berharap bahwa pada akhirnya aku menemukan satu gereja yang cocok denganku—di mana aku akan dikasihi dan diterima sebagaimana adanya diriku.

Hal ini berlangsung selama sekitar satu setengah tahun. Mengunjungi gereja baru, menemukan teman-teman baru, menemukan masalah-masalah—siklus ini seakan terus berulang. Siklus ini tidak hanya membuat aku lelah, tapi juga mempengaruhi imanku kepada Tuhan. Apa yang tadinya terasa baru dan menarik kemudian menjadi melelahkan—sampai kepada sebuah titik di mana aku mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan imanku sepenuhnya.

Di saat inilah, ketika aku merasa ada di persimpangan, seorang pembina pemuda dari gereja asalku mengundangku untuk mengikuti sebuah kamp kepemimpinan Kristen. Dia telah mendengar dari seorang temanku tentang pergumulanku dalam perjalanan imanku dan penolakanku untuk kembali ke komunitas pemuda, maka dia tidak memaksaku. Yang dia lakukan adalah meyakinkanku bahwa kamp ini adalah kamp “eksternal” dan “interdenominasi”; hanya dua atau tiga orang lainnya dari gereja asalku yang mengikutinya. Awalnya aku menolak undangannya, namun kemudian aku memutuskan untuk mendaftarkan diriku setelah aku tahu bahwa beberapa teman-teman sekolahku juga mengikuti kamp itu.

Sejujurnya, aku tidak ingat lagi khotbah-khotbah yang disampaikan atau permainan-permainan yang dimainkan, namun ada satu sesi yang memberikan kesan yang begitu mendalam bagiku.

Pada malam kedua, ketika kami memasuki ruangan ibadah, kami terkejut ketika melihat panggung yang kosong dan banyak alat musik telah lenyap. Setelah menyanyi tiga lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar, kami diminta untuk tetap diam, dan membayangkan bahwa kami ada sendirian di dalam ruangan itu bersama dengan Tuhan, dan membaca apapun ayat Alkitab yang ada di pikiran.

Ini membuat banyak dari kami menjadi bingung. Pertama, menyanyikan lagu-lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar adalah sebuah hal yang tidak biasa kami lakukan. Selain itu, karena kami ada di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan perkotaan, suasana menjadi sangat hening sampai-sampai kami dapat mendengar suara jarum yang jatuh. Keheningan ini membuatku tidak nyaman, dan setiap menit yang berlalu menjadi seakan satu jam.

Setelah sekitar setengah jam mencoba untuk tidak tertidur, angka “27” dan “4” tiba-tiba muncul di pikiranku. Aku tidak tahu kitab apa yang harus kubuka, jadi aku buka saja kitab Mazmur—tepat di tengah-tengah Alkitab.

Ini adalah ayat yang aku baca:

Satu hal telah kuminta kepada TUHAN,
itulah yang kuingini:
diam di rumah TUHAN seumur hidupku,
menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.
(Mazmur 27:4)

Ketika aku membaca kata-kata itu, aku langsung merasa tertegur. Apa sebenarnya yang menjadi alasanku pergi ke gereja? Siapa yang aku ingin lihat? Siapa yang aku sembah? Apa yang sebenarnya aku cari?

Tanpa kusadari, air mata mulai menggenangi mataku. Aku langsung berdiri dan menghampiri pintu. Di luar, aku duduk dan menangis dengan lepas.

Malam itu, melalui kata-kata di dalam Mazmur 27:4, Tuhan membukakan kepadaku bahwa apa yang menjadi alasanku dahulu untuk menghadiri kebaktian pemuda adalah salah. Tidak peduli berapa banyak kebaktian pemuda yang berbeda yang aku kunjungi dan tidak peduli berapa banyak gereja yang aku coba, aku tidak akan pernah menemukan komunitas pemuda yang “sempurna”.

Pada malam yang sama, aku mengakui keegoisanku dan kesombonganku kepada pembina grupku di kamp tersebut. Aku juga meminta pengampunan Tuhan—untuk kepahitan yang aku miliki terhadap mereka yang mengkritik atau mengabaikanku. Seketika itu juga, aku merasa tenang dan damai bersama dengan Tuhan; itu adalah rasa damai yang sudah lama sekali aku tidak rasakan.

Momen tersebut mengajarkanku bahwa gereja ada bukan untuk melayani apa yang menjadi keinginanku. Jemaat mula-mula berkumpul untuk berdoa, memuji Tuhan, dan belajar firman Tuhan. Kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama, sehingga kita bisa mengenal Tuhan dengan lebih baik, menyembah Dia, dan memberitakan tentang Dia.

Seminggu kemudian, aku kembali ke gereja asalku dan mulai melayani sebagai seorang pemimpin kelompok kecil di komisi pemuda. Aku sudah melayani di sana selama 15 tahun hingga sekarang … dan masih terus kulakukan.

Artikel Lain:

Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua

Kesaksian dari seorang “Kristen-generasi-kedua” yang merasa semua hal yang berbau kekristenan sudah terlalu biasa dan membuatnya mati rasa. Namun sebuah lagu mengubahkan pandangannya dan membuatnya menyadari hak istimewa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Temukan kesaksian lengkapnya di dalam artikel ini.