3 Hal yang Kupelajari Tentang Hidup untuk Saat Ini

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

“Umur 25 udah bisa apa?” merupakan pembahasan yang cukup ramai dibahas di sosial media akhir-akhir ini. Ada sekelompok orang yang sudah berhasil mengumpulkan uang milyaran rupiah, membeli rumah, kuliah di luar negeri, atau lainnya. Namun, ada kelompok lain yang merasa relate dengan lirik lagu “Takut” oleh Idgitaf : Takut tambah dewasa, Takut aku kecewa, Takut tak seindah yang kukira..

Aku adalah bagian dari keduanya: terus bertanya “udah bisa apa dan mau apa lagi?”, namun juga yang terus merasa takut kecewa.

Orang-orang terdekatku mengenalku sebagai sosok yang ambisius. Banyak keinginan dan mimpi yang kuperjuangkan dengan keras. Satu tercapai, aku mengejar yang lain, begitu seterusnya. Dalam upaya mengejar berbagai hal tersebut, aku sangat takut kecewa dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Akibatnya, aku jadi tidak bisa menikmati anugerah Tuhan saat ini. Ketakutanku akan kekecewaan ini juga diperparah oleh berbagai pengalaman masa lalu yang seringkali membuatku berpikir, “kalau seperti itu lagi, nanti akan bagaimana?”

Pemikiran-pemikiran tersebut terus menerus menghantuiku, sehingga aku memilih mendiskusikan hal ini dengan dua orang kakak rohaniku, sebut saja kakak A dan kakak B. Mereka berdua memberi saran kepadaku untuk “hidup untuk saat ini” saja, yang sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya dan bagaimana caranya. Kakak B kemudian mengenalkanku pada sebuah buku yang mengulas tentang Kitab Pengkhotbah yang berjudul Living Life Backward.

Lewat diskusi dengan kedua kakak rohaniku dan pembahasan Kitab Pengkhotbah dalam buku Living Life Backward, berikut 3 hal yang kupelajari tentang hidup untuk saat ini:

1. Upaya menggenggam kebahagiaan masa depan adalah sia-sia

Tujuan utamaku ketika mengejar keinginan atau mimpi adalah agar aku bisa menikmati masa depan. Melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, mengejar karier yang lebih baik, semuanya demi menggenggam masa depan yang bahagia. Namun, bagaimana dengan masa kini? Apakah kebahagiaan hanya bisa kunikmati ketika aku sudah berhasil menggenggam masa depan?

Kitab Pengkhotbah 1:1 menyatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia. Terjemahan Ibrani dari kata “sia-sia” ini adalah hebel, yang secara literal artinya uap. Upaya menggenggam uap justru mempercepat hilangnya uap tersebut, sehingga upaya menggenggamnya membuat kita tidak bisa menikmatinya.

Bagian ini mengingatkanku bahwa upaya meraih kebahagiaan masa depan lewat ambisi-ambisi yang ada justru membuatku tidak bisa hidup untuk saat ini. Padahal ada banyak alasan yang membuatku bisa memilih untuk bahagia hari ini, seperti waktu berbincang dengan orang terkasih, pekerjaan dan kehidupan yang layak, serta waktu istirahat yang cukup.

Jadi, apakah ini berarti kita tidak boleh menyiapkan masa depan? Atau, haruskah kita hidup dengan prinsip gimana nanti aja?

Jawabannya: mempersiapkan masa depan tidaklah salah. Justru itu adalah langkah bijaksana, yang menolong kita untuk tidak serampangan dalam menghidupi hari-hari kita saat ini. Namun, apabila dalam upaya kita memikirkan masa depan itu membuat kita khawatir berlebihan dan meragukan penyertaan Allah, di sinilah letak permasalahannya. Padahal, Yesus menyatakan bahwa hidup setiap kita dijamin oleh-Nya, sebagaimana burung pipit di udara yang dipelihara-Nya (Matius 6:26). Rasa khawatir tidak memberikan manfaat apa pun, malahan itu membuat pandangan kita menjadi kabur akan banyak hal indah yang sejatinya bisa kita nikmati setiap hari.

Mari belajar untuk bahagia hari ini tanpa perlu risau memastikan kebahagiaan masa depan berada dalam genggaman, karena untuk segala sesuatu ada masanya (Pengkhotbah 3:1).

2. Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan

Aku sangat takut untuk kecewa. Sangat sulit bagiku berhadapan dengan perasaan kecewa. Hal ini selalu membuatku menyusun berbagai skenario terburuk untuk setiap hal yang akan kupilih dengan tujuan mempersiapkan diriku untuk tidak terlalu kecewa. Meski terlihat berlawanan dengan poin 1, hal ini juga merupakan upayaku untuk menggenggam kebahagiaan. Namun caranya adalah bukan dengan langsung mengejarnya, melainkan menghindari kekecewaan. Ketakutan berlebihan tentang masa depan lagi-lagi membuatku tidak bisa menikmati saat ini. Padahal, untuk segala sesuatu ada masanya.

Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan. Kakak A memberikanku sebuah trik untuk belajar melepaskan ketakutan ini, yaitu untuk berhenti memikirkan “what if” dan menggantinya dengan “what is”. Pikirkan berbagai hal yang terjadi saat ini, bukan masa depan.

Untukku yang biasa memikirkan berbagai kemungkinan terburuk, hal ini sangat sulit. Salah satu langkah awal yang akan kulakukan adalah memberikan proporsi untuk setiap kemungkinan yang kubuat dan menyertakan kemungkinan baik juga dalam pertimbangannya. Memahami hal ini membuatku sadar bahwa memang selalu ada kemungkinan untuk kecewa, tapi banyak juga kemungkinan baik yang bisa terjadi, dan ini menolongku untuk bisa menikmati saat ini. Hal ini sejalan dengan buku Living Life Backward yang mengajak kita untuk belajar memegang sesuatu dengan tangan terbuka, karena kita benar-benar hanya memiliki kendali atas satu hal, yaitu respon kita terhadap saat ini.

3. Kehidupan ini akan berakhir

Akhir dari kehidupan manusia di dunia ini adalah kematian. Semua hal yang kita alami dalam dunia ini suatu saat akan berakhir. Mengetahui dan memahami bahwa kehidupan akan berakhir mengubah perspektif kita untuk menjalani kehidupan saat ini.

David Gibson dalam buku Living Life Backward mengatakan bahwa pemahaman tentang hidup akan berakhir dapat menolong kita memiliki hati yang besar dan tangan yang terbuka, dan memungkinkan kita untuk menikmati semua hal kecil dalam hidup dengan cara yang sangat mendalam.

Mempelajari ketiga hal tersebut membuatku belajar memandang ambisi dan ketakutanku dengan cara yang baru. Perjuangan meraih mimpi bukan lagi sebuah upaya untuk menggenggam masa depan, dan ketakutan menghadapi kekecewaan masa depan harus segera kusampingkan. Bagianku adalah hidup untuk saat ini, yaitu dengan menikmati setiap keindahan dan rasa sakitnya, dengan tetap berpengharapan pada hari akhir kelak.

Mari hidup untuk saat ini dengan menyadari bahwa kehidupan adalah pemberian Tuhan, dan menjalaninya dengan hati yang besar serta tangan yang terbuka, sehingga pada akhirnya kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang mengatakan bahwa hidup kita adalah a life well lived.

Memulihkan Sisi “Parentless” Bersama Pacar, Mungkinkah?

Oleh Tabita Davinia Utomo

Pernahkah kamu berpikir mengapa pertengahan tahun sangat sering diwarnai dengan ketidakpastian dan gairah yang berkurang untuk melakukan apa pun? Kalau kamu pernah, well, kamu tidak sendirian, kok. Aku juga sedang mengalaminya saat ini, apalagi kalau bukan karena orang yang sedang mengerjakan tugasnya di depanku itu.

“Avery, kamu kenapa? ”

Aku menoleh ketika mendengar suara Matthew yang sedang menatap laptopnya, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Soalnya ekspresimu kelihatan beda, sih. Kayak lagi galau gitu. Ada yang kamu pikirin, ya?” Kali ini Matthew menatapku dalam-dalam.

Sebegitu jelasnyakah ekspresi wajahku di balik masker ini? batinku tak percaya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Matthew berkata, “Kita keluar sebentar, yuk. Biar nggak makin jompo badannya.”

Aku hampir saja tertawa, kalau tidak teringat bahwa sebentar lagi obrolan seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Namun, dengan pura-pura ceria, aku menjawab, “Boleh.”

Di luar dugaan, Matthew mengajakku ke coffee shop yang ada di dekat kampus. Tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Padahal selama ini, kami akan saling mengobrol ringan di dalam perjalanan kami. Rasanya aneh kalau kami diam saja. Kenapa, sih, aku ini? pikirku dengan tidak nyaman. Bahkan setibanya di coffee shop itu, kami masih tetap diam—kecuali saat memesan spicy bulgogi, creamy shroom, susu matcha, dan kopi pandan.

Setelah duduk di meja kami, Matthew kembali bertanya, “Ada yang menggelisahkan kamu, Ve?”

“Hmmm…” aku menggembungkan pipi, lalu berkata dengan pelan, “Kalau aku bilang nanti, kamu bakal kesel, nggak?”

Matthew mengerutkan dahi. “Kan, aku belum denger kamu mau bilang apa… Jadi belum tahu mau merespons apa…”

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Tanpa sadar, aku menyela perkataan Matthew. Aku tidak tahan untuk bersikap baik-baik saja saat Matthew akan pergi ke luar pulau selama beberapa bulan ke depan untuk melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bukannya ingin posesif: aku tahu kalau mengabdi di suku Asmat adalah salah satu cita-cita Matthew, dan aku senang kalau bisa mendukungnya berkarya di sana. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri saat ini. Rasanya senang, tetapi juga khawatir dan… sedih.

Seakan memikirkan hal yang sama, Matthew berujar, “Tapi nanti aku akan tetep dateng ke wisudamu, kok… Masih keburu…”

“Bukan, sih. Bukan itu,” selaku lagi. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke wisudaku setelah pengabdian itu. Cuma… aku juga bingung kenapa selebai ini buat LDR sebentar lagi. Sedih banget, ya.”

“Hmm… nggak juga.”

Jawaban Matthew membuatku menatapnya heran, karena selama berbicara tadi, aku berusaha menghindari tatapannya. Aku takut akan menangis di sini tanpa tahu alasan yang sebenarnya, dan itu justru membuat Matthew kesal. Tepat di waktu yang sama, sang pelayan memanggil Matthew untuk mengambil pesanannya, kemudian kami melanjutkan obrolan yang terputus.

“Maksudnya?” tanyaku sambil mengambil cream shroom-ku.

“Responsmu itu wajar, Avery.” Matthew tersenyum, sementara tangannya mengelus-elus tanganku dengan lembut. “Masa lalumu dengan papamu bisa membuatmu berespons demikian, dan aku bisa paham, kok. Nggak ada yang mau ditinggal pergi sama orang terdekat—apalagi saat kita masih bener-bener butuh perhatian dan kasih sayangnya, kan?”

“Iya, sih…” balasku dengan ragu-ragu, karena merasa titik lemahku dikulik-kulik.

Apa yang Matthew bilang membuatku teringat pada Papa yang meninggalkan Mama demi tugas negara, bahkan hingga hari kelahiranku tiba beliau tidak ada di samping Mama. Akibatnya, Mama jadi bersikap sangat keras padaku karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang Papa selama masa-masa kritisnya—bahkan hingga saat ini. Namun, mau bagaimana lagi? Tugas negara yang diemban itu membuat Papa terpaksa pergi dalam jangka waktu lama, sampai akhirnya beliau ditugaskan untuk bertugas di kota asalku hingga sekarang. Hanya saja, kebutuhan terhadap kelekatan yang sudah absen sejak kecil membuatku sangat canggung untuk berelasi dekat dengan Papa. Begitu pula dengan Mama yang otoriter. Tidak heran kalau kondisi seperti itu membuatku haus akan kasih sayang, bukan?

“Apa mungkin itu, ya, yang dibilang sama Kak Dhea?” tanyaku tiba-tiba saat teringat salah satu sesi konselingku bersama Kak Dhea, konselor kami (iya, kami mengikuti couple counseling bersamanya).

“Yang mana?” Matthew balik bertanya.

“Yang aku pernah ceritain itu… Waktu dia bilang, “Kepribadian Matthew yang friendly itu mengisi sisi “fatherless”-mu, kan?””

“Ohh…” Matthew tersenyum, lalu membalas, “Kamu juga, kok, Ve. Kamu juga mengisi sisi “motherless”-ku, bahkan lebih dari yang bisa aku bayangin sebelumnya.”

“Hmm… Kayak gimana maksudmu?” aku mengerucutkan bibir.

“Hehe… Dengan kamu mau dengerin dan kasih penguatan ke aku, itu lebih dari cukup. Aku jarang banget dengerin Mamaku kayak gitu.” Dia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.

“Iya, sih. Syukurlah kalau aku bisa memperlakukanmu sesuai kebutuhanmu.” Aku balas tersenyum, kemudian melanjutkan, “Tapi aku bersyukur karena bisa menjalin hubungan ini setelah punya gambaran yang baru tentang Bapa di surga…”

“Yaps. Kamu pernah share itu di paduan suara, kan? Waktu Bu Tracy tanya apa yang kamu bakal lakuin pertama kali kalau ketemu Dia?”

Aku mengangguk. “Dari dulu aku paling nggak suka kalau harus peluk Papaku. Entah. Aku merasa canggung, tapi juga ambigu. Mungkin antara love and hatred kali, ya. Tapi akhirnya aku sadar kalau seburuk-buruknya Papaku, aku punya Bapa yang pelukan-Nya selalu menyambutku, bahkan kalaupun aku nggak bisa peluk Papaku buat cari perlindungan…”

Sambil menyesap kopi pandannya yang sudah dingin, Matthew berujar, “Iya, ya… Pada akhirnya, nggak ada siapa pun atau apa pun yang bisa gantiin “parentless” yang kita alami—kecuali Tuhan sendiri.”

Matthew benar. Dulu, aku berpikir bahwa ironis ketika orang tua kita merelakan diri untuk menolong orang lain dan berjibaku di medan yang berbahaya, tetapi kehadirannya justru absen dari anggota keluarganya sendiri. Aku butuh beberapa tahun untuk bisa pulih dari cara pandang bahwa aku berhak untuk tidak mengasihi orang tuaku, sampai akhirnya membuat rasa haus akan kasih sayang itu mendorongku mencari pemenuhannya dari orang lain. Berkali-kali aku ingin punya pacar yang mampu menyayangi dan menerimaku, tetapi hasilnya selalu nihil. Entah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, perbedaan latar belakang yang menjadi “tembok” bagi relasiku, hingga verbal abuse yang aku terima dari mantanku.

“Kamu nggak akan bisa nemuin orang lain sebaik aku, Avery!” kata mantanku itu dengan keras saat aku mau putus. “Aku cinta kamu sampai mau ngalah terus-terusan, tapi ini balasanmu!? Haha! Kamu egois banget!!”

Padahal momen itu adalah awal mula dari pemulihan hidupku. Aku—yang sedang menjalani konseling dengan konselor lain—pelan-pelan sadar bahwa karena sisi parentless-ku, aku menurunkan standarku dalam mencari pasangan hidup. Aku seolah-olah rela berelasi dengan siapa saja, selama dia seiman dan sanggup mengayomiku sebagai wanita. Namun, kenyataannya berkata lain: secara tidak sadar, hal itu juga membuatku ingin “kabur” dari orang tuaku sendiri tanpa mengalami rekonsiliasi yang diperlukan. Mungkin itu juga yang menyebabkan relasiku dengan mereka makin menjauh.

“He’em,” aku mengiyakan Matthew, “kalau bukan karena Tuhan, aku nggak akan sadar secepat ini kalau isu “parentless” bisa jadi “tembok” untuk relasi kita. Jadi… maafkan aku, ya, Matt, kalau tadi aku kedengarannya egois.”

“Nggak apa-apa, kok, Ve…,” balas Matthew. “Aku juga bersyukur karena lewat relasi ini, aku merasa Tuhan sedang memulihkanku. Bukan berarti aku pengen pacaran biar bisa pulih dari “parentless”-ku, ya. Tapi aku juga mau konteks relasi ini jadi sesuatu yang mendewasakan kita dan bikin kita makin kenal Tuhan dan saling kenal diri sendiri.”

“Iya. Makasih udah ingetin aku, Matthew.” Aku tersenyum, mengingat naik-turunnya relasi kami ternyata tidak sia-sia untuk dijalani.

“Jadi, aku dibolehin pergi nggak, nih?” Matthew bertanya dengan iseng.

Aku tertawa dan mengangguk. “Iya. Hahaha… Pergilah dengan damai sejahtera, Kakakk. Dua bulan LDR mah bisalah, yaa.”

Di luar dugaan, Matthew membalas dengan kalimat dan gestur yang menghangatkan hatiku.

“Kalau pun nanti aku pergi, Avery tetep pegang tangan Tuhan, ya. Dia akan selalu bersamamu, dan cuma Dia yang layak untuk Avery percayai sepenuhnya. Tapi kalau Tuhan berkenan kasih kesempatan buatku…”

Tiba-tiba Matthew menggenggam tanganku yang sedang memegang susu matcha di meja. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tangan yang digenggamnya, dia melanjutkan, “Aku mau diutus-Nya untuk pegang tangan ini dan melindungi pemiliknya sebagai pendamping hidupku.”

Ya, sisi parentless yang kami miliki mungkin dapat membuat kami kehilangan harapan akan adanya kasih sayang dan penerimaan yang utuh. Ada kalanya pula Matthew mengecewakanku, pun sebaliknya. Namun, relasi ini justru mengajarkan kami bahwa ketika Tuhan memulihkan anak-anak-Nya dengan cara-Nya, Dia bisa memakai apa pun—termasuk relasi yang Dia anugerahkan pada mereka. Terlepas bagaimana ujung kisah kami, aku berdoa agar aku tidak menyesali relasi ini, karena kami sama-sama melihat bahwa ada pertumbuhan dan pemulihan yang Tuhan hadirkan bagi kami secara pribadi—maupun sebagai pasangan.

trauma

Apa yang Aku Pelajari dari Pengalaman Traumatis

Oleh Yohanes Alexander

Trauma bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Penyebabnya pun bermacam-macam, bisa disebabkan oleh keluarga, lingkungan pertemanan, kecelakaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tentu memiliki dampak bagi seseorang, baik secara fisik maupun psikis (keadaan jiwa/mental). Sayangnya, seringkali kita hanya berfokus pada luka fisik, tapi kurang memperhatikan luka psikis, sehingga trauma secara psikis seringkali membutuhkan waktu sembuh yang lama, seperti yang pernah kualami beberapa tahun lalu di suatu sore..

Saat itu aku berencana mengunjungi rumah pacarku. Kukendarai motor besarku dengan perasaan berseri-seri karena tak sabar menemuinya. Lagi pula, ada nggak sih hal yang lebih menyenangkan selain “ngapel-in” pacar? Seakan-akan seluruh duniaku teralihkan padanya, hingga membuatku begitu bersemangat mengunjunginya.

Aku pun mengendarai motorku dengan cepat. Untunglah jalanan lengang. Saat aku berkendara di belakang sebuah mobil, tiba-tiba mobil itu berbelok ke arah kanan secara mendadak seperti sedang menghindari sesuatu. Seketika itu pula aku terkejut karena tepat di depanku ada 2 gadis kecil yang sedang tergesa-gesa menyeberangi jalan. Aku pun berusaha menghindari mereka dengan memiringkan bagian depan motorku. Namun tak ayal, bagian samping motorku menghantam mereka, hingga kecelakaan tersebut tak terelakkan.

Aku pun terjatuh dengan kepala yang membentur aspal. Helm yang aku gunakan rusak dan kelopak mataku mengucurkan darah. Dalam hitungan detik, banyak orang mulai berkerumun menyaksikan kecelakaan itu. Beberapa tukang ojek pangkalan pun dengan sigap membopong aku ke sebuah mobil bak terbuka. Aku dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa menderita gegar otak ringan. Benturan itu mengakibatkan aku muntah dan merasakan pusing yang luar biasa.

Saat alis dan kelopak mataku sedang dijahit di ruang IGD, aku merasa kalut dan sedih membayangkan apa yang telah terjadi. Aku benar-benar merasa down, apalagi saat tahu bahwa dua gadis cilik yang aku tabrak ada di rumah sakit yang sama. Satu gadis cilik mendapatkan perawatan secukupnya dan diperbolehkan pulang karena lukanya cukup ringan, sedangkan gadis cilik lainnya masih berjuang hidup karena harus menjalani operasi di kepala.

Perasaan khawatir sekaligus bersalah sungguh memenuhi rongga dadaku, tapi aku memilih untuk bertanggung jawab atas keadaan mereka.

Namun, aku kembali dikejutkan dengan mahalnya biaya perawatan medis untuk si gadis kecil dan aku harus menanggungnya sendiri. Entah siapa yang salah dalam kasus ini, tapi lingkungan kita terbiasa menuntut pertanggungjawaban hanya pada si penabrak, bagaimanapun kejadiannya. Karena itu aku harus menguras semua dana di tabunganku dan mencari sisanya dalam bentuk pinjaman agar dapat melunasi biaya pengobatan tersebut.

Dengan semua yang telah kualami, aku tetap bersyukur si gadis cilik ini dapat selamat dan beraktivitas kembali seperti biasanya.

Walau begitu, untuk beberapa waktu lamanya aku mengalami trauma. Aku tidak berani menyentuh motorku terlebih mengendarainya. Ya, secara fisik aku sudah pulih, tapi secara mental aku kacau dan hancur. Aku perlu waktu untuk menata emosi dan perasaanku. Trauma ini begitu membekas. Entah kapan aku bisa pulih dari perasaan ini.

Hingga beberapa tahun kemudian aku diingatkan akan sosok Musa di Alkitab.

Sepanjang yang aku baca, Musa mengalami banyak trauma dalam hidupnya. Sejak bayi ia sudah masuk dalam pusaran trauma bangsanya sendiri yang saat itu ditindas oleh bangsa Mesir kuno, disembunyikan di semak-semak tepi sungai karena semua bayi yang lahir masa itu akan dibunuh atas perintah raja Firaun. Hal lain yang aku pelajari adalah jati dirinya yang seorang Israel pun disembunyikan. 

Meskipun Musa memiliki wajah dan jubah seperti pangeran Mesir, ia tetap menjadi bagian dari bangsa Israel yang saat itu menderita di bawah perbudakan. Setelah Israel melewati berbagai rintangan dan penderitaan, Musa akhirnya menjadi pemimpin mereka, walau pengalamannya memimpin bangsa Israel dipenuhi trauma dan banyak tantangan.

Jika kita ada di posisi Musa, bisa dimaklumi kalau ia geram terhadap dirinya sendiri, terhadap rakyat yang ia pimpin, bahkan terhadap Tuhan. Ia bisa saja berkeluh kesah dan mengomel, namun Musa tidak melakukannya. Sampai titik akhir hidupnya, ia masih memperhatikan masa depan rakyatnya. Musa berpesan, “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan…” (Ulangan 30:19-20).

Bagaimana Musa meresponi “traumanya” memberikan inspirasi padaku. Ia tidak menyalahkan diri sendiri atau orang lain, tidak terjebak dalam penyesalan diri, dan tidak mengingat-ingat trauma yang ia alami atau melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi. Musa dapat menempatkan rasa traumanya dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya trauma yang ia rasakan sendiri, tetapi trauma yang dirasakan bangsa Israel. Trauma tersebut pun tidak membuat Musa berhenti melayani bangsa Israel. Sikap inilah yang membuatku dimampukan untuk mengatasi trauma yang aku alami.

Melalui apa yang kualami, aku juga belajar bahwa trauma adalah perasaan tak berdaya atas kejadian yang terjadi di luar kemampuan kita mengontrolnya, apalagi mencegahnya. Padahal perasaan tak berdaya itu tidak apa-apa, sebab tidak semua hal dapat kita kendalikan atau cegah, bagaimanapun usaha terbaik yang dapat kita lakukan. Terlebih ada satu pribadi yang akan selalu menemani, seperti yang Musa katakan:

“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.” (Ulangan 31:8).

Tetapi ketika kita memilih berlarut dalam penyesalan dan rasa bersalah, maka kita akan semakin sulit keluar dari trauma. Trauma yang tinggal dalam hati bisa menggerogoti seluruh diri, termasuk mengganggu dan menghambat kita. Sikap kita terhadap diri sendiri dan dalam berelasi dengan sesama pun dapat terganggu. Kita menjadi getir dan geram, serta energi, pikiran, dan tubuh pun jadi tersedot karena luka itu. Karena itu, bawalah segala kekhawatiran kita pada Pribadi yang selalu memelihara kita (1 Petrus 5:7).

Kalau kita pikirkan kembali, bukankah Alkitab adalah buku yang menceritakan tentang Allah yang mau ikut merasakan trauma yang dialami sebuah bangsa yang tertindas?

Untuk alasan tersebutlah Kristus datang, sebuah rencana agung yang tak terperi. Dan kita dapat bercerita tentang trauma itu dengan mengenang kematian dan kebangkitan Kristus yang telah menanggung setiap dosa kita, menebus kita dari hidup yang sia-sia, dan melepaskan kita dari trauma yang tidak seharusnya kita alami, sembari berharap kelak Kristus akan datang kembali untuk menyongsong kita di awan-awan permai.

Hidup Sederhana di Tengah Orang-orang yang Ingin Tajir

Oleh Agustinus Ryanto

Sebagai generasi milenial, aku menganggap diriku cukup gaptek dalam urusan investasi. Saat teman-temanku sudah mulai melek kripto, aku baru mulai menabung reksadana. Saat yang lain sibuk-sibuk-gelisah memantau grafik saham setiap hari, aku masih anteng-anteng saja memikirkan gurihnya sebungkus pecel lele yang nanti bakal kubeli sepulang kerja.

Dalam urusan penghasilan—jika aku membandingkan diriku dengan teman-teman satu lingkaranku—akulah yang paling bontot. Uang dingin dan dana darurat juga tidak banyak, namun sangatlah cukup untuk menghidupi diriku serta memberi sedikit nominal pada anggota keluargaku.

Perasaan stabil dalam diriku mulai bergejolak memasuki tahun 2020. Pandemi terjadi dan orang-orang mulai memikirkan bagimana caranya memutar uang agar bisa menghasilkan uang lagi. Seorang temanku yang menurutku cukup kompeten dalam dunia finansial menawarkanku untuk mulai belajar instrumen investasi, mulai dari reksadana, saham, sampai ke kripto. Itulah awal perkenalanku dengan dunia finansial digital, yang puji Tuhan sampai saat ini menolongku untuk lebih bijak mengelola keuanganku.

Namun, dalam dua tahun ke belakang aku melihat media sosialku banyak diwarnai oleh para influencer, juga segelintir temanku yang mengajak orang berinvestasi tetapi dengan narasi yang berbeda. Bukan agar punya tabungan untuk masa depan dan hidup cukup, tapi untuk mencapai kebebasan finansial segera, sesegera mungkin! Kebebasan finansial yang mereka tawarkan bukan sekadar hidup cukup, tapi hidup bermewah-mewah bergelimang harta. Dibalut dengan kata-kata promosi yang menggugah, serta video-video testimoni yang isinya flexing alias pamer harta, tak sedikit orang yang menyetor uangnya dalam jumlah besar, dengan harapan bahwa timbal baliknya akan sepadan, atau kalau bisa jauh melampaui modalnya.

Hasilnya? Tahun 2022 ini kita melihat satu per satu influencer yang gemar flexing diringkus polisi. Mereka memang tampak kaya, tapi kekayaannya itu diraih dari kekalahan orang-orang yang mereka persuasi. Para korbannya gigit jari karena merasa dibodohi.

Gugurnya para penganut flexing di media sosial ini lantas menggemakan refleksi dalam batinku. Apakah tajir yang sesungguhnya itu? Bagaimana jalan menuju kebebasan finansial yang berkenan bagi Tuhan dan tepat bagi kita? Apakah kita sebagai orang Kristen harus proaktif dan kreatif dalam mengejar kekayaan, atau berpasrah saja?

Psikologi tentang uang

Untuk menjawab perenunganku di atas, aku tidak akan membeberkan detail-detail teknis meraih untung dalam instrumen investasi A atau B, toh memang aku bukan ahlinya.

Namun, aku ingat sebuah buku berjudul The Psychology of Money yang kubaca bilang begini: “Mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku Anda.”

Pada bagian pengantar buku itu diceritakan kisah tentang dua orang: Ronald dan Richard. Ronald adalah seorang petugas kebersihan tanpa gelar akademik, sedangkan Richard adalah seorang mantan CEO dengan gelar perguruan tinggi. Namun, di akhir hidupnya dua sosok ini punya kisah yang amat berbeda. Saat meninggal di usia 92 tahun, orang-orang kaget karena Ronald memiliki aset di atas $8 juta! Sementara Richard kehilangan semua rumah mewahnya karena disita.

Selidik demi selidik, rupanya diketahui kalau Ronald tak pernah menang undian atau dapat warisan. Dia cuma rajin menabung berapa pun yang dia bisa tabung di saham-saham blue chip. Setelah puluhan tahun, saham-saham itu berkembang dan bertambah nilainya. Sementara itu, Richard dengan segala kegelimangan hartanya berbuat tamak. Dia berutang untuk memperluas rumah mewahnya dan krisis keuangan pun terjadi, menghantamnya dari miliader kaya raya menjadi orang miskin yang terjerat utang.

Kisah Ronald dan Richard menggemakan bagi kita pertanyaan: dalam bidang apa lagi seseorang yang tak punya gelar sarjana, pelatihan, latar belakang, pengalaman formal, dan koneksi bisa mengalahkan seseorang dengan pendidikan, pelatihan, dan koneksi terbaik?

Pengantar buku tersebut mengatakan sulit untuk menemukan jawabannya selain pada bidang keuangan. Kita pun tentu tak asing dengan pepatah yang sudah diajarkan sejak dulu kala: jangan besar pasak daripada tiang; rajin pangkal pandai, menabung pangkal kaya. Baik pepatah lawas maupun kisah Ronald menunjukkan pada kita sebuah benang merah: ada upaya dan proses dalam menumbuhkan nilai uang yang kita miliki. Tidak dalam sekejap, tetapi bisa bertahun-tahun. Dan yang paling menentukan ialah: sikap hati.

Tentang sikap tamak

Dari artikel yang kubaca, ada sekitar 2000 ayat di Alkitab yang bicara soal uang. Tapi, hanya sekitar 500 yang bicara tentang doa. Ini bukan berarti doa dan iman tidak penting, bukan sama sekali. Bisa dikatakan, Alkitab menegaskan kita bahwa masalah uang tidak boleh diabaikan.

Uang adalah benda netral. Baik atau buruknya tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Uang bukan akar dari segala kejahatan, cinta akan uanglah yang jadi akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Cinta akan uang mewujud dalam sikap tamak manusia. KBBI mengartikan tamak sebagai sebuah sikap yang selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri. Ketamakan adalah sebuah sikap dan pengejaran yang tak akan pernah berujung. Saat seseorang telah mendapat sekian jumlah, ketamakan akan merongrongnya untuk meraih lebih dan lebih sampai dia sendiri pun tak tahu pasti seberapa banyak yang dia butuhkan. Alhasil, beragam cara pun dihalalkan. Logika menjadi nomor sekian. Ambisi untuk meraih lebih selalu menempati nomor wahid.

Uang yang sedianya netral bisa berubah menjadi jerat yang menghancurkan kita, jika sikap tamak itu tidak segera kita singkirkan, sebagaimana Alkitab berkata, “…tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yakobus 1:14).

Bukan tentang miskin atau kaya

Dalam artikel berjudul Teologi Kemakmuran, Kemiskinan, dan Kekristenan sang penulis menekankan bahwa kekristenan bukanlah tentang kaya atau miskin. Tuhan tak pernah menjanjikan umat-Nya hidup makmur setiap saat, tapi di sisi lain Dia juga tidak mengharapkan kemiskinan dan kesukaran bagi anak-anak-Nya.

Mengutip satu paragraf penuh dari artikel tersebut, tertulis demikian: “Lebih dari itu, Injil mengajar kita bahwa Yesuslah Raja pemilik segalanya, yang menanggalkan kejayaan-Nya untuk menjadi miskin dan melayani kita (Filipi 2). Jika kekayaan atau kemiskinan menjadi pusat identitas kita, kita telah memposisikan uang sebagai tuan dalam kehidupan kita. Kesetiaan pada Tuhan dan firman-Nya tidak diukur dari kekayaan atau kemiskinan kita dalam ukuran dunia. Karena sesungguhnya, kesetiaan pada Tuhan adalah pengertian bahwa sebenarnya kita adalah “miskin di hadapan Allah,” namun, dalam Kristus telah “mempunyai [hidup] dalam segala kelimpahan.”

Pada akhirnya kita perlu menyadari kembali bahwa kita hidup dan diutus di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Tidak ada yang sempurna di sini. Proses yang kita lakukan mungkin tak sejalan dengan akhir yang kita harapkan. Kita mungkin telah berusaha gigih untuk menabung, menekan pengeluaran, belajar investasi secara benar dan dan meletakkan uang kita pada lembaga-lembaga yang legal dan kredibel, namun bisa saja nominal yang kita raih malah membuat kecewa.

Dari perenungan panjang ini, aku berkomitmen untuk belajar menjauhkan diriku dari sikap tamak, dan menanamkan pemahaman bahwa segala yang ada padaku adalah milik Tuhan sehingga aku harus menggunakannya secara bertanggung jawab.

Aku akan menginvestasikan uangku dengan cara yang berkenan bagi Tuhan, agar uang itu dapat dipergunakan kembali untuk melayani-Nya.

Menyinggung judul tulisan ini, apabila aku, atau kamu sempat atau sedang merasa miskin karena pencapaian dan proses finansial kita tertinggal jauh dari orang lain, itu bukanlah fakta sebenarnya. Kita diberkati dan dipelihara Tuhan untuk hidup cukup. Bisa jadi kata “miskin” itu hanyalah label yang secara personal kita sematkan pada diri kita sendiri, sebuah hukuman yang kita timpakan ke diri sendiri atas perasaan gagal mengikuti standar hidup orang lain.

Kita tak perlu minder dengan pencapaian atau flexing yang dilakukan orang-orang di media sosial, karena dalam segala kondisi kita telah diberikan kasih karunia yang sangat mahal.

Di era keterbukaan informasi seperti ini, kita bisa belajar dan belajar lagi bukan hanya untuk menjadi cerdas, tetapi juga untuk menjadi bijak, agar dari kebijaksanaan itu lahir sikap dan perilaku yang menyenangkan hati Tuhan.

Merespons “Tamparan” Orang Pada Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kejahatan. Kriminalitas terjadi di mana-mana. Hubungan yang hancur ada di berbagai tempat. Kita melihat berbagai berita yang membuat mata kita terbelalak dan kepala kita bergeleng terheran-heran. Ada seorang ayah yang begitu tega memerkosa anak kandungnya sendiri yang masih kecil. Ada seorang ibu yang dibunuh oleh anaknya karena tidak membelikannya gawai yang diinginkan. Dunia benar-benar telah dirusak oleh dosa.

Namun, di dalam dunia yang semengerikan ini, di mana kecurangan dan ketidakadilan seakan-akan berkuasa, kita diperintahkan Kristus untuk tetap hidup dengan penuh kasih—sesuatu yang terdengar menggelikan dan mungkin agak menjengkelkan bagi banyak orang. “Kenapa aku harus baik pada orang yang telah merusak hidupku?” Gumamku ketika difitnah oleh orang yang sering aku tolong. “Pembalasan harus lebih kejam dari perbuatan yang telah dia lakukan” adalah semboyan yang terdengar lebih masuk akal untuk mereka yang sudah dilukai berkali-kali.

Itu sebabnya pernyataan Yesus yang sangat terkenal, “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Matius 5:39), telah membingungkan banyak orang, khususnya para pembaca masa kini. Seorang teman dari keyakinan lain bahkan menantangku untuk mempraktikannya. Apakah orang Kristen benar-benar mampu melakukannya? Jika iya, berapa kali?

Kita harus tahu bahwa bagian ini hanyalah salah satu bagian dari panjangnya khotbah Yesus di atas bukit, sehingga untuk memahaminya secara lebih komprehensif, membutuhkan ruang cukup besar karena kita harus mempertimbangkan konteks budaya pada saat itu. Oleh karena itu, aku akan mengajak kita untuk melihat beberapa titik penting yang akan membawa kita pada pengertian yang benar terhadap perkataan kontroversial Yesus yang sedang kita bahas.

Secara umum sejak pasal 5 ayat 17, Yesus mulai berbicara tentang hukum kasih. Pada momen itu, Sang Juruselamat juga mengoreksi pemahaman-pemahaman yang keliru dari orang-orang Yahudi terhadap Hukum Musa. Sebenarnya Hukum itu sengaja diberikan agar mereka dapat hidup dengan teratur dan tidak saling merugikan. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika mereka mengeksploitasi hukum-hukum yang ada itu untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Mungkin, Imamat 19:18 menjadi salah satu contoh yang paling nyata: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”. Berdasarkan ayat ini, para pengajar saat itu malah memelintirnya dengan mengajarkan “bencilah musuhmu” (Matius 5:43).

Mengatasnamakan hukum-hukum itu mereka lantas meluapkan kebencian mereka pada orang lain. Itu sebabnya, di dalam ayat 44 pada pasal yang sama, Yesus memberikan satu kalimat yang semakin membuat mereka mengernyitkan dahi, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, karena bagian ini berbicara tentang kasih, maka kita harus memberikan definisi yang benar terhadap istilah kasih sendiri. Meskipun kata “kasih” memiliki makna yang amat luas, aku tetap yakin kita akan setuju jika kasih itu tidak egois. Dengan kata lain, kasih membuat kita mengupayakan kebaikan terjadi kepada orang lain.

Tetapi yang harus dicatat, kasih sama sekali tidak mengizinkan orang lain melakukan segala sesuatu yang dia inginkan. Mengasihi bukan berarti kita membiarkan orang lain melakukan apapun yang dia mau lakukan terhadap kita bahkan jika itu melukai kita dan orang yang kita sayangi.

Jadi, kasih juga bisa terwujud dalam rupa menghukum. Semua yang sudah punya anak pasti memahaminya. Namun, kasih menghukum bukan didasari karena benci, melainkan dengan harapan agar orang yang dihukum itu menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri menjadi lebih baik, sehingga apa yang sedang dikatakan Yesus Kristus tentang memberi pipi yang lain pada saat pipi yang satu ditampar orang, bukan dimaksudkan secara hurufiah, melainkan dalam arti simbolik untuk mengajak kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia sedang mendorong kita menjadi pribadi yang tidak suka mendendam. Malahan Dia ingin kita memberi respon berkelas pada saat kita dilukai, yaitu mengasihi!

Namun, di sisi yang lain Yesus tidak berharap kita semua menjadi bodoh. Kita tidak boleh membiarkan diri kita dan mereka yang kita cintai diperlakukan semena-mena. Melindungi diri dan orang sekitar kita adalah tanggung jawab kita. Kita juga harus tahu bahwa pada saat kita membiarkan seseorang berlaku semaunya sendiri pada kita, sama dengan membiarkannya menuju pada kecelakaan, dan itu bukan kasih. Jangan lupa, kasih juga bisa diwujudkan dalam rupa menghukum, bahkan dalam kondisi tertentu hukumannya harus keras. Tetapi sekali lagi, kita menghukum karena kita mau dia menjadi lebih baik.

Jadi, jika kita ditempatkan pada kondisi di mana kita terpaksa harus melaporkan oknum-oknum tertentu kepada pihak berwajib demi melindungi diri dan orang lain, maka lakukanlah tanpa kebencian. Berdoalah juga untuk melepaskan pengampunan.

Lagipula ada satu peristiwa dalam Injil Yohanes yang tidak boleh lolos dari pengamatan kita, yaitu respon Yesus ketika Dia ditampar oleh seorang bawahan si Imam Besar (Yoh. 18:23). Alkitab sama sekali tidak memberikan keterangan bahwa setelah Yesus ditampar, Ia menawarkan pipi-Nya yang lain. Ia memang mengajukan beberapa pertanyaan, tetapi Ia tidak membenci. Ia tidak mendendam. Dan Ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.

Yang aku tidak habis pikir mengapa Sang Penguasa jagad raya, Allah yang berkuasa atas semua nyawa, membiarkan diri-Nya ditampar oleh ciptaan-Nya, bahkan dibunuh, untuk aku. Aku tidak habis pikir, tetapi itulah keagungan kasih-Nya yang melampaui segala akal dan pengertianku

Belajar Berserah pada Tuhan lewat Perubahan yang Terjadi di Luar Kendali

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Rifa menghitung jumlah partisipan yang sudah dikontaknya.

“Yes, ada 5!” Artinya dia sudah berhasil mencapai target harian dalam mencari partisipan penelitian untuk riset yang sedang dikerjakan kantornya.

Dialihkan lagi pandangannya pada list partisipan yang belum di kontaknya.

“1, 2, 5, 7, ini kontak besok aja, ini besoknya lagi. Aman berarti.”

Ia kemudian meneguk teh yang ada di depannya, sambil memperhatikan mobil berseliweran dari kaca yang membatasi.

Nanti profiling dari komunitas di media sosial ah, bisa banyak nih partisipan sampai riset selanjutnya,” pikir Rifa saat itu. Ia mulai mencoret-coret bukunya, dengan berbagai perhitungan yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Namun, baru saja ia ingin terhanyut dalam rasa tenang bahwa partisipan penelitiannya sudah aman, ia dibangunkan oleh notifikasi yang kurang menyenangkan.

“Kak, maaf, jadwal saya boleh dipindah minggu depan gak ya? Saya lupa ada kuliah sore di jam 4.”

Seolah belum cukup, notifikasi lain muncul di layar ponselnya.

“Hi Rifa, sebenarnya aku ada rencana untuk keluar kota besok, jadi mau prepare dari sore ini. Kalau aku ikutnya di hari Jumat boleh?”

Rifa mendadak pusing. 5 partisipan hari ini berkurang drastis menjadi 3. Ia harus mencoba menghubungi daftar partisipan cadangan.

Kring!

Sorry mendadak Mba Rifa, hari ini kan jam 4 ya, tapi saya masih di jalan. Ban saya bocor dan ini masih di bengkel. Kemungkinan saya telat mba, mungkin baru nyampe jam 5 kurang 15 menit. Bisa gak Mba?”

Astaga! Apa-apaan nih, kok mereka seperti janjian? Walau partisipan terakhir tidak memindahkan hari, Rifa tetap saja pening dan perlu melakukan penyesuaian.

Ya Tuhan, tadi baru aja ngerasa aman, kok sekarang tiba-tiba hilang 3?

Cerita di atas adalah modifikasi dari apa yang sedang kurasakan akhir-akhir ini dalam pekerjaan. Perasaan yang cepat sekali berubah. Baru saja aku merasa senang karena mencapai target, tapi perasaan itu harus digantikan oleh rasa gelisah karena perubahan yang datang mendadak. Harusnya A jadi C, harusnya B jadi X. Lebih menyebalkannya, perubahan itu bahkan kadang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 1 jam, sehingga aku harus cepat mempersiapkan alternatif lain.

Namun, perubahan yang terjadi cukup berulang ini dalam beberapa minggu memaksaku untuk belajar satu hal: perubahan adalah hal yang nyata, pergerakan adalah hal yang pasti.

Manusia selalu mengusahakan kestabilan dan tidak ada hal yang salah dengan itu, namun aku belajar, perubahan—yang di luar kontrol kita—bisa terjadi kapan saja, suka atau tidak suka.

Aku juga belajar untuk tidak berpuas diri pada usaha menstabilkan target, pekerjaan, atau apapun itu. Bergantung pada rasa nyaman atas usaha kita adalah hal yang sia-sia, karena kita tahu bahwa keberhasilan usaha kita pun adalah dengan seizin Tuhan.

Perasaan bangga yang melingkupiku karena merasa usahaku keren, dengan cepat berganti menjadi keluhan karena perubahan itu. Aku kembali tersadar bahwa keberhasilan mencapai target harusnya disambut dengan rendah hati karena Tuhan telah menyanggupkan kita, terlepas bahwa kita bekerja keras. Bukan berarti bangga tidak diperbolehkan, namun alangkah baiknya jika rasa bangga tersebut dilanjutkan dengan ucapan syukur.

Cerita itu bukan satu-satunya yang menjadi bahan refleksi bahwa Tuhan memegang kendali akan hidupku. Ada juga beberapa cerita lain.

Tahun lalu menjelang Desember, aku mengira bahwa 2022 akan semakin normal dengan pembatasan sana-sini yang lebih minimal, namun tiba-tiba varian baru Omicron muncul dan membuat kepusingan baru. Pembatasan sana sini tetap dilanjutkan. Munculnya varian baru ini seolah-olah menentang harapan kumpul-kumpulnya manusia pasca pandemi. Mungkin ada pelajaran lain yang tetap harus kita cari.

Di cerita lain lagi, seorang jemaat di gerejaku tiba-tiba meninggal beberapa jam sebelum ia berangkat ke luar kota. Aku tidak mengetahui jelas kronologinya, namun ia ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya tanpa bukti yang jelas sebelum meninggal. Padahal berdasarkan keterangan, ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit lain yang berpotensi mengalami serangan mendadak. Hampir semua jemaat kaget mendengar berita kepergian seorang jemaat ini. Ia adalah seorang pelayan Tuhan di gereja, memiliki keteladanan yang baik lewat keluarganya yang harmonis dan sifat suka membantu jemaat yang sedang dalam kesulitan.

Peristiwa ini masih membuatku suka menggumam “Kok bisa ya?” ketika aku sedang merenung. Aku tidak bisa menemukan jawabannya melainkan meyakini bahwa perubahan itu dekat dengan kita, dan mengajarkanku lagi bahwa kejadian-kejadian ini telah diatur oleh Tuhan dan kehidupan ini dikendalikan Tuhan. Jika sehelai rambut jatuh saja terjadi dengan seizin Tuhan, apalagi perkara besar tentang keinginan dan anganmu? Tentu Tuhan akan memperhatikannya satu per satu.

Hampir melewati 2 bulan di 2022, aku hanya ingin mengatakan bahwa apapun bisa terjadi jika Tuhan menginginkan dan semoga kita bisa sebaik-baiknya mengerti bahwa kita bisa mengusahakan yang terbaik dan berdoa agar Tuhan pun berkenan atas usaha kita.

Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19:21).

Suatu Sore, Saat Aku Pulang Kampung

Sebuah cerpen oleh Santi Jaya Hutabarat

Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

“Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

“Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

“Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

“Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

“Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

“Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

“Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

“Nanti aja pa,” balasku datar.

“Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

“Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

“Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

“Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

“Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

“Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

“Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

“Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.

Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

“Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

“Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

“Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

“Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

“Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

“Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

Soli Deo Gloria

Penderitaan yang Tak Akan Menjatuhkanmu

Oleh Toar Luwuk, Minahasa

Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir, yang juga terlibat dalam pelayanan mahasiswa. Aku bersyukur karena terlibat dalam pelayanan ini mengajariku banyak hal yang menolongku bertumbuh bersama-sama dengan mahasiswa lain. Wadah pelayanan ini pun menjadi tempat perjumpaanku dengan Kristus. Aku menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi.

Suatu saat, tim pelayanan kami sedang mempersiapkan suatu kegiatan dan membutuhkan dana. Kami memutuskan untuk mencari dana dengan menawarkan paket kue ke rumah-rumah warga. Selain melakukan pencarian dana, kami juga melakukan pelayanan doa bagi keluarga yang rumahnya kami sambangi. Di satu rumah, terjadi perbincangan.

“Jadi, selain kami melakukan pencarian dana, kami melakukan pelayanan doa bagi setiap keluarga yang telah dikunjungi. Jika ibu tidak sibuk, mari sama-sama berdoa”, kataku.

“Oh iya bisa, dek. Kebetulan baru selesai memasak”, jawab si ibu dengan penuh senyuman.

“Jadi, sebelum berdoa, apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan saja semoga sehat-sehat dan semoga tidak mengalami masalah atau kesusahan”, jawab si ibu.

Setelah berdoa kami mengucapkan terima kasih dan melanjutkan kegiatan pencarian dana

Dan setelah beberapa rumah kami melakukan hal yang sama, terjadi obrolan yang serupa.

“Apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan diberikan kesehatan dan diberikan kekuatan menghadapi pergumulan”, kata bapak dan ibu. Dari sharing singkat rupanya keluarga itu sedang mengalami pergumulan finansial.

Dari kedua jawaban di atas terdapat perbedaan sikap:

1. Yang pertama meminta untuk dijauhkan dari masalah/kesusahan
2. Yang Kedua meminta untuk dikuatkan dalam menghadapi pergumulan

Dari kedua jawaban tersebut, timbul kejanggalan dalam benak pikiranku dan memutuskan untuk merenungkan hal ini untuk mengetahui apa sebenarnya yang Tuhan ingin sampaikan kepadaku lewat kejadian hari itu.

Masalah selalu datang dalam bentuk penderitaan atau kesusahan. Oleh karena itu, semua orang tidak menyukainya. Banyak juga orang Kristen mengharapkan hidupnya selalu mulus tanpa mengalami masalah atau penderitaan. Bahkan ada yang melibatkan diri dalam pelayanan hanya karena meyakini hidupnya akan selalu diberkati hingga berlimpah-limpah dan enak-enak saja.

Aku pikir pemahaman seperti itu keliru dan itu bertentangan dengan Lukas 9:23 yang tertulis, “Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.”

Penderitaan atau masalah bisa menjadi sarana kasih Allah kepada kita. Ibarat sebuah permainan yang untuk naik level kita perlu menghadapi tantangan, dalam hidup pun kadang rumus tersebut berlaku.

“Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:3-4).

Alih-alih membuat kita jatuh tak berdaya, tujuan dari penderitaan adalah supaya naik level. Untuk bisa naik tingkat, caranya adalah dengan taat dan berserah kepada Dia yang berdaulat atas hidup kita. Ujian-ujian hidup juga menjadi sarana agar kita terus dimurnikan dan dibentuk, supaya makin serupa dengan Dia. Kedagingan kita perlahan akan terkikis ketika kita tekun menghadapi penderitaan.

Sebagai orang Kristen, bagaimana sikap kita merespon masalah yang terjadi?

Tak mudah untuk menghadapi penderitaan. Aku pun sering emosi duluan jika ada masalah yang datang dan mungkin orang lain pun seperti itu. Seperti yang tertulis dalam kitab Yakobus 1:5-7, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, – yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit –, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin.”

Ketika penderitaan datang, kita dapat berdoa minta hikmat dengan penuh kesungguhan hati dan jangan goyah. Seperti cerita di awal tulisan tadi, alangkah lebih baik jika kita berdoa bukan untuk menjauhkan masalah, tetapi meminta hikmat dan kekuatan menghadapi penderitaan. Kita tidak berjalan sendiri. Ada Tuhan yang setia menyertai kita, dan bersukacitalah jika kita berada dalam masalah. Dengan iman kita mengetahui bahwa penderitaan sementara ini adalah cara Tuhan membentuk kita makin serupa dengan Dia.

Aku Pendeta dan Aku Bergumul dengan Depresi

Ditulis oleh Hannah Go, berdasarkan cerita dari Jordan Stoyanoff
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Confessions Of A Pastor Who Wrestles With Anxiety

Aku memulai perjalanan karierku sebagai pendeta muda yang bersemangat, yang punya mimpi mengubah dunia. Aku mau melakukan apa pun yang bisa kulakukan buat Tuhan… tapi di tahun kedua pelayananku, aku bergumul dengan depresi dan kecemasan.

Setiap hari, aku merasa waktuku tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Kesibukan makin banyak dan setiap kritik terasa menyengat. Aku tidak bisa berpikir jernih, dan seringkali merasa frustrasi hanya karena hal-hal kecil.

Bebanku terasa makin berat, ditambah lagi beban dari harapan-harapan yang aku sendiri dan orang lain buat untukku. Aku berpikir bagaimana seharusnya aku memperhatikan orang-orang muda yang Tuhan hantarkan kepadaku. Suatu hari nanti aku harus mempertanggungjawabkan bagaimana aku telah membina dan menggembalakan mereka karena kita sedang berurusan dengan kehidupan kekal mereka kelak.


Semua ekspektasi itu membuatku tertekan. Aku mengalami burnout dan kelelahan. Semua harapanku lenyap. Aku tidak bisa membayangkan keadaanku akan membaik. Penderitaan mentalku terlalu besar, sampai-sampai aku merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri hidupku dan segera bertemu Yesus.

Pemikiran itu membuatku kaget sendiri. Padahal selama ini aku menganggap diriku itu orang yang tabah dan kuat, sehingga gulatan perasaan seperti ini sungguh terasa aneh dan tidak nyaman.

Setelahnya, kupikir aku butuh liburan karena aku kelelahan. Mungkin pergi liburan akan menolongku lepas dari stres dan menjernihkan pikiran untuk menyusun rencana ke depan. Aku perlu mencari tahu bagaimana caranya bertahan melayani di pelayanan anak-anak muda, tidak sekadar jadi pendeta yang cuma hadir lalu gagal. Maka aku pun mengambil cuti seperti yang disarankan oleh salah satu mentorku, dan orang-orang di sekitarku yang mengerti pergumulanku.

Tapi, liburan selama satu minggu tidaklah cukup, dan aku tahu itu. Aku harus kembali lagi ke pekerjaanku, berjibaku kembali dengan rutinitas yang menantang. Meskipun ada sesi follow-up setelahnya, itu tidak menyelesaikan masalah utama. Tidak ada seorang pun yang hadir untuk mengajakku bicara terkait masalahku. Aku tetap tampil ‘baik-baik saja’, sementara dalam diriku bergumul hebat.

Semua hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku meragukan imanku dan motivasi pelayananku. Di satu titik, semua beban itu bertumpuk dalam kepalaku.

Sebagai pendeta, aku memiliki kemampuan intelektual yang ‘baik’ tentang siapa Tuhan dan apa yang Dia katakan tentang aku. Namun, yang kutemukan setelahnya adalah justru aku tidak memahami diriku sendiri dengan baik, sehingga tidak dapat menerapkan kebenaran tentang siapa aku di hadapan Tuhan. Aku tahu keadaanku cukup sulit, tapi aku masih merasa cukup kuat untuk mengatasinya. Aku tidak menyadari bagaimana dunia di sekitarku mempengaruhiku dan turut berkontribusi menghadirkan pola-pola negatif di hidupku.

Bagaimana konseling menolongku mengatasi pergumulan

Suatu malam, aku berada di titik nadir. Harapan yang ditumpukan orang kepadaku terasa amat berat, dan aku merasa tidak sanggup lagi. Aku diliputi keputusasaan. Aku yakin aku tidak layak mengemban tanggung jawab di hadapanku. Aku lalu pergi ke sofa, dan tidur meringkuk seperti bola. Aku tak bisa berpikir jernih, tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh bantuan.

Malam itu juga, atas arahan dari salah seorang pendeta, aku pergi menjumpai seorang dokter umum yang memberiku obat dan menyarankan agar aku berkonsultasi dengan psikolog.

Melihat ke belakang, aku merasa tindakan dokter yang segera memberiku obat bukanlah langkah yang tepat. Kadang obat-obatan memang bisa dipakai Tuhan untuk mengatasi masalah, tapi itu bukan solusi sesungguhnya. Kurasa ada banyak dokter di luar sana juga seperti itu, langsung memberi resep obat antidepresan kepada pasien yang belum pernah menjalani psikoterapi. Meski merasakan banyak progres positif, tetapi setelah sembilan bulan mengonsumsi obat, aku berhenti.

Aku memutuskan menemui konselor Kristen karena aku tahu pada intinya, masalah yang kuhadapi adalah masalah spiritual. Aku membutuhkan Yesus untuk mengubah hati dan pikiranku, sebab konselor sekuler hanya akan menolongku mengatasi gejala-gejala klinis dari masalah yang sebenarnya. Aku perlu memahami diriku seperti cara Tuhan melihatku. Aku perlu menemukan identitasku dalam Kristus, bukan dalam berhasil atau gagalnya pelayananku. Aku membutuhkan pertolongan dari sesama orang Kristen.

Hal lain yang juga menolongku (pada tahun-tahun menjelang pernikahanku), adalah bagaimana aku belajar mengasihi seseorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan—istriku sendiri.

Istriku pernah melalui tantangan-tantangan mental seperti yang kualami ini sebelumnya, maka aku pun paham bahwa menemui konselor adalah keputusan yang baik. Aku tahu bahwa aku tak perlu menjadi sempurna—karena pada dasarnya memang kita tak bisa sempurna, dan itu tidak masalah. Melihat sendiri bagaimana istriku melewati masa-masa tersebut, memberiku keberanian untuk mencari pertolongan, meskipun aku masih merasa kaget karena tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan mengalami masalah seperti ini juga. Selama proses konseling berlangsung, aku tetap melanjutkan peranku sebagai pendeta sampai beberapa tahun setelahnya.

Menjalani konseling merupakan hal yang paling penting, pertolongan terbesar yang kudapat dalam perjalananku mengatasi kesehatan mental. Konseling adalah tempat yang aman karena segala data dan informasi kita bersifat rahasia. Dari sana, aku mulai mengerti bahwamasalah yang kualami itu berkaitan dengan identitasku, dan kemudian aku melihat bagaimana identitasku itu menentukan apa yang kulakukan. Sebelumnya, aku punya konsep sendiri tentang siapakah aku, bagaimana dunia itu, dan siapakah Tuhan—beberapa konsepku itu tidaklah sejalan dengan perspektif Yesus. Cara pandangku akan realitas tidaklah benar, baik, dan sejalan dengan apa yang Yesus katakan padaku. Aku butuh Yesus untuk menunjukkan kebohongan yang telah kupercaya selama ini, baik secara sadar maupun tidak. Aku butuh percaya kebenaran dari Yesus melebihi apa yang kupikir dan kurasa.

Sesi-sesi konseling menolongku mengurai masalahku. Aku juga mendapat terapi perilaku kognitif Kristiani yang menolongku untuk mengerti apa yang terjadi dalam pikiranku, alasan mengapa aku melakukan sesuatunya, sehingga aku bisa merespons dengan efektif terhadap pikiran-pikiran, perasaan, tindakan, serta melepas konsep yang keliru.

Sebelumnya, aku tak menyadari bahwa iman berkaitan dengan kesehatan mental. Aku tidak sepenuhnya mengerti bahwa identitasku dalam Kristus juga berkaitan dengan masalahku. Sungguh penting mengetahui siapa kita sebenarnya di dalam Kristus.

Pemulihan dari burnout

Pulih dari burnout adalah proses yang panjang, namun aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai pendeta sampai Tuhan bilang saatnya untuk pindah. Butuh dua tahun untukku beranjak dari posisiku sebagai pendeta ke tanggung jawabku yang sekarang. Semua karena anugerah-Nya saja.

Masih ada momen-momen ketika aku melihat kendala dalam diriku, entah itu kurangnya rasa belas kasihan, bertindak di luar karakterku, atau bergumul untuk lebih tenang. Semua itu memaksaku berhenti dan berpikir: apa keyakinan yang mendasari di sini? Bagaimana aku bisa menyelaraskan diriku dengan kebenaran Tuhan di situasi ini?

Satu hal yang kupelajari tentang menghadapi masalah kesehatan mental di dalam gereja adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mental dari sudut pandang Kristen. Beberapa orang terlalu serius menanggapi persoalan mental orang lain seolah-olah itu penyakit menular, yang akhirnya malah membuat seseorang semakin takut untuk membuka diri. Sikap ini menunjukkan sebuah tembok yang dibangunoleh orang-orang di gereja—tidak mampu untuk secara terbuka berbagi kisah tentangapa yang sedang dialami, dan tak ada orang yang bisa memvalidasi pengalaman mereka.

Di sisi lainnya, aku juga melihat bagaimana orang bisa begitu berempati dan berbelas kasih terhadap mereka yang bergumul, tetapi pada akhirnya malah terlalu banyak menceritakan pengalaman mereka sendiri, yang belum tentu tepat. Pada kasusku, penting untuk tidak merasa kita adalah juruselamat bagi orang lain dan kitalah yang paling bisa menolong. Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan, tapi aku pun harus percaya bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang memelihara mereka.

Pada akhirnya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kita tak bisa memaksa mereka yang bergumul dengan masalah kesehatan mental untuk menemui dokter atau konselor. Biarlah mereka sendiri yang memutuskan. Perjalanan menuju pemulihan adalah urusan orang itu sendiri dengan Yesus. Kita sebagai temannya bertanggung jawab menemani dia. Bukan sebagai juruselamat atau ahli kesehatan mental, tapi sebagai kawan.