Sebuah Pesan Berharga dari Christina Grimmie

christina-grimmie

Oleh Joanna Hor
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christina Grimmie’s Death Matters

Akhir minggu lalu adalah akhir minggu yang suram bagi dunia musik.

Seperti banyak orang di seluruh dunia, aku masih terkejut karena mendengar berita pembunuhan Christina Grimmie, penyanyi Amerika berusia 22 tahun yang begitu terkenal di YouTube dan finalis The Voice USA (Musim ke-6). Pada Jumat malam, Grimmie ditembak tiga kali oleh seorang pria (yang diidentifikasikan oleh polisi sebagai Kevin James Loibl, 27 tahun, yang mungkin adalah seorang penggemarnya yang gila) saat sedang diadakan sesi tanda tangan setelah penampilannya dengan band pop rock, Before You Exit, di Orlando, Florida, AS. Dia kemudian meninggal karena luka-lukanya.

Meskipun aku tidak menganggap diriku sebagai penggemar beratnya, kabar tentang kematiannya mengagetkan dan menyedihkanku. Mungkin itu karena aku merasa pernah mengetahui tentang dia, pernah menonton dan mendengar video-video awalnya di YouTube, ketika dia menyanyi dengan segenap jiwanya sembari memainkan keyboard-nya dan kemudian, melihatnya bertumbuh dan bersinar di acara The Voice USA (Musim ke-6). Aku ingat bagaimana aku kagum dengan dirinya yang begitu muda (saat itu dia berusia 19 tahun) dan begitu bertalenta. Dan setelah selesai menonton acara tersebut, aku akan memutar berulang kali penampilannya menyanyikan lagu Jason Mraz “I Won’t Give Up on Us” dan Drake “Hold On, We’re Going Home” karena penampilannya begitu bagus.

Meskipun aku tidak mengikuti kabar-kabar terbarunya, Grimmie adalah salah satu dari penyanyi-penyanyi yang aku takkan pernah lupakan—bagiku, suaranya adalah salah satu suara terbaik yang pernah kudengar di The Voice USA (dan aku telah menonton 9 musim acara itu). Jadi seperti banyak orang lainnya, aku marah, bingung, dan hancur setelah mengetahui apa yang terjadi padanya, di usianya yang masih begitu belia.

Dan seperti banyak orang lainnya, aku menghabiskan dua hari terakhir menonton video-video lamanya di Youtube dan membaca berita-berita terbaru tentang penyerangan yang mengerikan itu, berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menggangguku. Mengapa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi padanya, terutama pada seseorang yang begitu muda? Apa yang menjadi motif pembunuhnya? Mengapa keamanan pertunjukan itu tidak diperketat?

Sayangnya, aku tidak menemukan jawaban yang aku cari. Aku malah menemukan hal-hal lainnya, seperti fakta bahwa dia “berteman dengan semua orang”, dia mengasihi Tuhan dan keluarganya, dan pada tahun 2013, dia mem-posting sebuah tweet (yang penggemar-penggemarnya banyak membagikannya lagi):

“Kadang Tuhan mengizinkan hal-hal buruk terjadi dalam hidupmu dan kamu tidak tahu mengapa. Tapi itu tidak seharusnya membuatmu berhenti mempercayai Dia.”

Wow.

Meskipun aku yakin dia tidak tahu bahwa apa yang telah dituliskannya tiga tahun yang lalu akan menjadi sesuatu yang sangat berarti hari ini, tweet itu begitu menghibur dan begitu perlu untuk didengarkan terutama di saat-saat seperti ini—karena itu benar sekali.

Pada akhirnya, kita mungkin tidak pernah mengetahui alasan mengapa Tuhan mengizinkan hal-hal yang buruk dan tragis terjadi di dalam hidup kita atau di dalam hidup orang-orang lain. Tapi kita dapat mempercayai Dia, karena Dia telah melalui penderitaan yang begitu memilukan dengan kehilangan Anak-Nya yang Dia kasihi, Yesus Kristus, ketika Dia secara tidak adil disalibkan di atas kayu salib bagi kita. Kita dapat mempercayai Dia, karena meskipun hal-hal buruk terjadi dan kematian memisahkan kita, kita akan dikumpulkan kembali bersama-sama dengan Dia, karena kebangkitan Yesus dari antara orang mati (1 Tesalonika 4:14). Kita dapat mempercayai Dia, karena suatu hari nanti, Dia akan membuat segala sesuatu menjadi baik (Mazmur 135:14; Wahyu 21:4).

Terima kasih, Christina, karena telah mengingatkan kami. Meskipun kami akan begitu merindukanmu dan suaramu yang begitu merdu, kami begitu dihiburkan karena mengetahui bahwa kamu kini ada di tempat yang lebih baik. Dan ketika kami menggunakan beberapa hari ke depan untuk merayakan hidup yang telah kamu jalani dan berduka atas kematianmu, kiranya kami diingatkan lebih dari segalanya, untuk kembali kepada Tuhan dan senantiasa percaya kepada-Nya.

Photo credit: Disney | ABC Television Group via DesignHunt / CC BY-ND

Baca Juga:

Ibu, Terima Kasih untuk Teladanmu yang Luar Biasa

“Ibuku adalah salah satu wanita paling luar biasa yang pernah aku tahu. Setelah ayahku meninggal pada tahun 2011, ia tetap berjuang demi ketiga anaknya.” Baca kesaksian Charlotte selengkapnya di dalam artikel ini.

Hati-Hati, Jangan Sampai Hiburan Membuatmu Menjadi 3 Hal Ini

hiburan

Oleh Joanna Hor
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Entertainment Made Me FAT

Aku merasa kecewa baru-baru ini dan itu bukan karena Taylor Swift dan Calvin Harris yang baru putus (Meskipun hal itu tidak terduga).

Yang membuatku kecewa adalah Johnny Depp. Seperti yang sudah kamu tebak, aku adalah fans-nya. Kesukaanku dengan aktor Amerika itu dimulai pada tahun 2003 ketika dia berperan sebagai Kapten Jack Sparrow di dalam film Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl. Saat ini, mungkin kamu telah membaca tentang perceraiannya dengan istrinya, Amber Heard—yang katanya menggugat cerai Johnny hanya beberapa hari setelah kematian ibu Johnny. Dan kemarin, aku membaca bahwa filmnya yang baru saja muncul, Alice Through the Looking Glass, tidak mendapatkan respons yang baik.

Aku tidak menyalahkanmu kalau kamu tidak mengerti ini semua. Tidak semua orang mengikuti berita selebritas—tidak satupun rekan kerjaku yang tertarik dengan masalah yang dihadapi Johnny Depp ketika aku memberitahukannya kepada mereka.

Sayangnya, mengikuti berita-berita dunia hiburan menjadi salah satu aktivitas yang paling menghabiskan waktu dalam hidupku, selain mengecek Facebook dan Instagram, berbelanja online, dan menonton klip video di Internet. Aku mudah tertarik dengan acara-acara mencari bakat (seperti sebuah program perlombaan menyanyi di televisi yang bernama “The Voice”), berbagai program televisi lainnya, dan kadang-kadang, drama Korea—seperti K-drama yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini: DOTS. Sebenarnya, aku harusnya mulai menulis artikel ini kemarin malam, tapi akhirnya aku malah menonton sebuah variety show Korea Selatan yang populer, Running Man, di Youtube karena aku melihat wajah Song Joong-Ki di preview video tersebut. Oh…

Menurutku, sekarang aku tidak lagi begitu kecanduan seperti dulu. Contohnya, sekarang aku tidak selalu menghabiskan setiap waktu malamku untuk hal-hal yang berkaitan dengan hiburan… hanya sekali atau dua kali saja dalam seminggu. Sebagian besar alasannya adalah karena aku menyadari bahwa hiburan-hiburan itu membuatku malas, kurang peka, dan iri hati.

1. Malas

Ada masa ketika aku menghabiskan sebagian besar waktu-waktu malamku di depan TV atau layar komputer. Hampir setiap malam setelah pulang bekerja aku seperti ini: Makan malam, cuci piring (atau jemur pakaian), mandi, kemudian meringkuk di sofa selama dua jam berikutnya sebelum aku tidur.

Itu telah menjadi hal yang rutin, yang membuatku menjadi seorang yang malas. Daripada “mempergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya” (Efesus 5:16), aku telah dengan bodohnya menghabiskan waktu-waktuku yang berharga yang mungkin dapat aku gunakan untuk melakukan sesuatu yang dapat membuatku bertumbuh dalam hubunganku dengan Tuhan dan sesama.

Aku menyadari semuanya telah menjadi tidak terkendali ketika suatu saat aku hampir tidak dapat menahan diriku untuk menghabiskan waktuku untuk hal-hal yang sembrono ini. Padahal aku seharusnya dapat menggunakan waktu itu untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat, seperti mempersiapkan sesi pendalaman Alkitab yang harus kupimpin di akhir minggu atau membaca salah satu dari banyak bukuku yang telah menjadi berdebu di pojok ruangan.

Ketika malam telah berakhir, aku akan dilingkupi rasa bersalah dan aku akan banyak berdoa, meminta pengampunan Tuhan. Namun kerusakan telah terjadi dan itu terlihat di pagi berikutnya ketika aku tidak dapat fokus mengerjakan pekerjaanku—pikiran dan emosiku masih melayang kepada apa yang aku baru tonton pada malam sebelumnya.

2. Kurang Peka

Sebelum aku menjelaskan bagian ini, aku harus mengatakan bahwa ada beberapa hal positif dari menjadi penggemar hiburan. (Ya, kamu tidak salah mendengar.) Pertama, itu dapat menjadi sebuah pembuka percakapan yang sangat fantastis. Pengetahuanku tentang apa yang menjadi tren dan siapa saja yang sedang dibicarakan akhir-akhir ini telah membuatku menjadi seorang yang cukup populer di antara teman-temanku—atau setidaknya itu menurut pendapatku. Kedua, itu menjadi cara yang sangat efektif untuk menolongku berhubungan dengan para pemuda di dalam gerejaku dan mengaitkan pelajaran yang ada di dalam Alkitab dengan dunia modern saat ini.

Namun, aku sedih karena harus mengakui bahwa konsumsi media yang terlalu berlebihan juga telah mempengaruhi kemampuan berpikirku dan kepercayaanku. Seringkali, aku hanya duduk dan menerima apapun yang ditayangkan di layar TV daripada mempertanyakan dan menyaring. Setiap pemikiran dan gaya hidup bisa menjadi suatu hal yang kuterima jika itu dikemas seperti sebuah hal yang wajar. Aku ingat aku menonton sebuah drama Amerika di mana tokoh protagonisnya terlibat di dalam hubungan segitiga. Di akhir episode, aku hampir percaya bahwa itu adalah sebuah hal yang umum dan aku menjadi bersimpati dengan tokoh utama tersebut.

Suka atau tidak, kita tidak lagi terkejut dengan praktik-praktik yang tidak kudus. Perbuatan dosa yang terang-terangan telah menjadi suatu hal yang biasa bagi kita. Aku sadar aku telah berhenti mempertanyakan tren dan berbagai praktik yang ada dan menjadi sulit untuk menjawab mengapa sesuatu itu salah selain daripada sebuah jawaban klise, “Karena Alkitab mengatakan itu salah.” Aku menjadi kurang peka dengan perspektif Kristen karena aku telah menghabiskan seluruh waktuku menyerap sampah-sampah yang disebarkan media.

3. Iri Hati

Sejauh yang kita tahu bahwa industri hiburan selalu menampilkan sebuah realitas yang dilebih-lebihkan, entah apakah itu kehidupan kelas atas yang mewah atau cinta dan hubungan yang ideal, kita tidak bisa tidak untuk membandingkan apa yang kita lihat di dalam media dengan kehidupan kita—dan akhirnya merasa sedikit iri.

“Aku penasaran seperti apa hidupku jika aku hidup seperti itu” atau “Kalau saja aku seorang yang tampan, bertalenta, atau kaya seperti X, itu akan menjadi sangat baik” telah menjadi beberapa pemikiran yang merayap ke dalam pikiranku. Seringkali, aku bahkan merasa kecewa dengan Tuhan karena memberikanku karunia dan talenta yang lebih sedikit daripada orang lain, tapi aku dengan cepat akan melenyapkan pikiran itu, dan aku menjadi kesal dengan diriku karena jatuh ke dalam perangkap membanding-bandingkan dan ketidakpuasan.

Itu menjadi sebuah lingkaran yang terus berputar dengan sendirinya setiap kali aku melihat berita atau acara yang mengagung-agungkan penampilan, kekayaan, talenta, atau hal-hal semacam itu. Jadi aku menemukan bahwa solusinya sebenarnya cukup mudah: hindari segala acara atau aktivitas yang menimbulkan ketidakpuasan. Catatan: Ini bukan berarti kita harus membuang segala bentuk hiburan dan membakar TV, komputer, dan ponselmu—tapi kita harus bijak. Masing-masing kita bisa tergoda oleh berbagai hal yang berbeda dan kita harus memeriksa apa yang dapat membuat hati kita menyimpang.

Sekarang, aku mencoba untuk memperhatikan (bahkan secara sengaja) konsumsi hiburanku dan menanyakan diriku sendiri pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah yang aku konsumsi ini membantuku bertumbuh di dalam rasa syukur kepada Tuhan dan sesama? Ataukah itu membuatku malas, kurang peka, dan iri hati?

Secara pribadi, Filipi 4:8 telah menolongku untuk menentukan media-media apa saja yang sebaiknya aku konsumsi: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”

Aku mau berhenti menjadi malas, kurang peka, dan iri hati.

Baca Juga:

4 Pergumulan yang Kita Hadapi dalam Pelayanan

Melayani orang lain bisa menjadi pekerjaan yang berat, baik di dalam maupun di luar gereja. Abigail bergumul di dalam pelayanannya ketika bertemu dengan orang-orang yang tidak tertarik, mematahkan semangat, berbeda, dan menghakimi berdasarkan pelayanannya. Seperti apa pergumulannya? Baca selengkapnya di dalam artikel ini.

5 Hal yang Harus Dilakukan Sebelum Mulai Bekerja

Penulis: Yong Xin, Malaysia
Artikel asli dalam Bahasa Mandarin: 工作还没来,就先做这五件事儿吧!

5-Things-to-Do-before-You-start-Work

Waktu berlalu sangat cepat. Sebentar lagi aku akan lulus kuliah dan memasuki dunia kerja.

Karena aku ingin sekali bisa segera bekerja, aku sudah giat mencari informasi lowongan kerja, mengirimkan lamaran, dan menjalani cukup banyak wawancara, berbulan-bulan sebelum hari kelulusanku tiba.

Meski usahaku terbilang sangat gigih, aku tidak kunjung menerima berita baik. Aku pun mulai mengeluh kepada Tuhan, “Mengapa Engkau belum juga memberiku pekerjaan?” Namun, Tuhan lalu menunjukkan alasan-Nya—karena aku sendiri belum siap untuk itu. Aku harus belajar untuk menanti dengan sabar, berserah pada kehendak-Nya, dan mempercayai waktu-Nya yang sempurna.

Selama masa menanti pekerjaan itu, aku belajar 5 hal yang menolongku mempersiapkan hati memasuki dunia kerja:

1. Memahami untuk apa kita bekerja

Kita perlu memahami apa pentingnya kita bekerja. Kolose 3:23 memberitahu kita: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Bagian firman Tuhan ini selalu mengingatkan aku bahwa bekerja bukan sekadar usaha untuk mendapatkan uang, melainkan sebuah pelayanan kepada Tuhan yang harus dilakukan dengan rendah hati.

Jika kita bekerja bagi Tuhan, kita akan melihat apa yang kita kerjakan sebagai sesuatu yang memiliki nilai dalam kekekalan. Yang paling penting bukanlah apa pekerjaan yang aku lakukan, melainkan untuk siapa pekerjaan itu aku lakukan—untuk Tuhan saja.

2. Mengambil waktu bersekutu dengan Tuhan

Saat menantikan panggilan kerja, kecemasan sangat mudah memenuhi hati kita. Namun, kita bisa mengingat janji Tuhan: ketika kita hidup dekat kepada-Nya, Dia akan tinggal dekat dengan kita, menenangkan hati kita yang gelisah, dan mengaruniakan iman yang kita butuhkan untuk tetap berharap kepada-Nya.

Saat menanti panggilan kerja, aku memiliki banyak waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, berbicara kepada-Nya, dan bertumbuh dalam hubunganku dengan-Nya. Aku belajar untuk bergantung kepada Tuhan dalam waktu-waktu yang penuh ketidakpastian, untuk mengalami kasih dan kesetiaan-Nya dalam proses penantian itu.

3. Menantikan Tuhan dengan sabar dan berserah pada kehendak-Nya

Aku sempat menerima tawaran pekerjaan yang sudah aku tunggu-tunggu, tetapi proses yang berjalan kemudian tidak selancar yang kuharapkan, dan pada akhirnya aku tidak mendapatkan pekerjaan itu. Meskipun aku merasa kecewa, aku diingatkan bahwa Tuhan memegang kendali di tengah semua pergumulanku. Ketika hidup ini tidak berjalan seperti yang aku harapkan, tidak seharusnya aku kehilangan iman atau sibuk mengeluh. Yang harus aku lakukan adalah menantikan-Nya dengan sabar dan belajar untuk berserah kepada-Nya.

Di mana pun Tuhan menempatkan kita, pilihan-Nya itu selalu sesuai dengan rencana-Nya. Aku yakin bahwa rencana Tuhan selalu lebih baik daripada rencana kita sendiri karena Dia mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri (Dia juga lebih tahu tentang pekerjaan yang tepat bagi kita). Untuk lebih memahami kehendak-Nya, kita perlu selalu kembali kepada firman Tuhan dan datang kepada Tuhan dalam doa.

4. Mencari nasihat/bimbingan dari orang yang lebih dewasa

Apa yang akan kamu lakukan ketika menjumpai persimpangan dalam hidup dan kamu harus mengambil keputusan besar yang akan mempengaruhimu sepanjang sisa hidupmu? Aku sendiri akan selalu mencari bantuan dari saudara-saudara seiman yang lebih dewasa.

Saudara seiman yang lebih dewasa itu bisa jadi adalah para penatua di gereja kita, atau anggota keluarga kita sendiri. Mereka selalu senang memberikan nasihat-nasihat yang bijaksana, dan biasanya bersedia mendengarkan apa pun yang ada di hati kita atau yang sedang mengganggu kita. Mereka jelas punya lebih banyak pengalaman dibandingkan dengan kita, jadi saran dan dorongan dari mereka dapat menolong kita untuk melakukan hal yang benar.

Suatu kali aku bertanya kepada seorang saudara seiman yang lebih dewasa, apakah wajar jika orang selalu mengenang kehidupan mereka sebagai pelajar/mahasiswa ketika mereka mulai bekerja. Ia menasihatiku untuk tidak mengingat-ingat indahnya masa kuliah saat mulai bekerja. Sebaliknya, aku harus fokus memikirkan bagaimana Tuhan ingin memakaiku di tempat kerja. Tuhan pasti punya rencana dengan menempatkanku di sana. Sungguh sebuah nasihat yang sangat berkesan dalam pikiranku! Nasihat itu ikut membentuk sikap-sikap yang kumiliki terhadap pekerjaanku saat ini.

5. Tetapkan sejumlah target yang ingin dicapai secara pribadi

Sebelum kita memasuki dunia kerja, kita juga perlu menetapkan sejumlah target pribadi. Misalnya, kita dapat memikirkan apa yang akan kita lakukan untuk memuliakan Tuhan di tempat kerja kita, menjadi saksi bagi teman-teman kita. Matius 5:16 berkata, “…hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Kita juga dapat menentukan sikap seperti apa yang ingin kita tampilkan—selalu bersemangat, setia, dapat dipercaya, dan menolak godaan untuk mengambil jalan pintas atau untuk bekerja dengan setengah hati.

Kita juga harus berjuang untuk mengasihi mereka yang bekerja dengan kita. Dengan begitu, kita dapat menjadi kesaksian yang baik di dalam dan melalui pekerjaan kita, bahkan mempengaruhi orang-orang di sekitar kita. Tuhan menghendaki kita menjadi terang dan garam dunia. Sebab itulah kita harus selalu menjalankannya dengan tujuan yang jelas: untuk memuliakan Bapa di surga.

Saat menulis artikel ini, aku masih belum mendapatkan pekerjaan—namun aku percaya bahwa Tuhan bekerja dalam segala sesuatu menurut waktu-Nya. Dan, aku akan terus menanti dengan sabar. Sembari mempersiapkan diri kita memasuki fase hidup yang baru ini, mari kita mempersiapkan hati kita dengan tekad untuk bekerja bagi Tuhan dan bersinar bagi-Nya di mana pun nanti kita ditempatkan.

5 Kiat Hidup Efektif untuk Para Lajang

Penulis: Andrea Chan
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Life Hacks for Singles

Ketika beberapa tahun lalu usiaku melewati angka 20, aku mulai merasa tertekan karena belum punya pacar. Salah satu video dalam kampanye SKII #ChangeDestiny dengan sangat baik menggambarkan pergumulan yang kami, para wanita lajang, hadapi setiap hari, terutama setelah batas usia 25 tahun terlampaui. Pada batas usia itu, kebanyakan wanita sudah menikah dan memiliki anak-anak.

Dalam masyarakat Asia, menikah itu sama pentingnya dengan memiliki gelar sarjana. Status tersebut menentukan nilai diri seorang wanita di tengah komunitasnya. Jika kamu tetap melajang, orang akan berasumsi bahwa masalahnya terletak pada dirimu—kamu terlalu keras kepala, terlalu tomboi, terlalu mandiri. Diberi label tertentu oleh orang-orang di sekitar kita itu menyakitkan, apalagi kebanyakan wanita lajang sebenarnya juga ingin berkeluarga dan hidup tenang.

Dalam pengamatanku, topik tentang status ini selalu saja muncul dalam percakapan dengan pola yang serupa. Begitu kamu mengaku sebagai seorang lajang, bisa dipastikan lawan bicaramu akan terdiam sejenak, lalu dengan penuh perasaan menepuk pundakmu sembari berusaha memberikan semangat, misalnya dengan berkata, “Jangan kuatir, kamu akan menemukan seorang yang istimewa itu.”

Adakalanya respons semacam itu justru membuat aku tidak tenang, khawatir bahwa aku tidak akan pernah menemukan pasangan untuk berkeluarga. Meski bisa memiliki kebebasan sebagai seorang lajang itu sangat menyenangkan, setiap kali aku melihat banyak pasangan yang bahagia, tak bisa dipungkiri aku mulai ragu apakah diriku ini benar-benar berarti.

Aku yakin, aku bukanlah satu-satunya wanita lajang yang bergumul dengan rasa percaya diri dan tidak pasti dengan masa depan. Dalam masa-masa mempertanyakan kembali arti hidup, aku menemukan beberapa hal yang sangat menolongku menjalani hidup melajang dengan optimal:

1) Daftarkan kualitas-kualitas utama yang kamu inginkan dalam diri calon pasanganmu

Akan sangat menolong bila sejak awal kita sudah punya gambaran tentang apa yang ingin kita lihat di dalam diri calon pasangan kita. Aku baru memahami pentingnya membuat daftar ini ketika tersadar bahwa aku telah mengompromikan semua kualitas yang aku anggap penting dalam hubunganku yang terdahulu.

Sebab itu, aku mendorongmu untuk tidak menunggu. Selagi masih lajang, daftarkanlah semua kualitas yang sesuai standar firman Tuhan. Dengan begitu, nanti kita tidak akan terjebak untuk mengambil keputusan penting menurut emosi kita belaka—sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan. Daftar ini juga akan mengingatkan kita untuk sabar menantikan yang terbaik dari Tuhan, tidak mengompromikan nilai-nilai yang penting dalam hidup kita. Aku sendiri mendaftarkan tiga hal penting untuk calon pasanganku: mencintai Tuhan, mencintai anak-anak, dan bisa memimpin.

2) Bijaksanalah memilih apa yang kamu baca dan siapa yang kamu dengarkan

Masa lajang adalah waktu yang baik untuk mempersiapkan diri kita, termasuk cara kita berinteraksi dengan lawan jenis dan batasan-batasan yang ingin kita jaga. Pada zaman ini, orang tidak lagi begitu peduli tentang batasan fisik dan emosional dalam berpacaran, dan kita mungkin sering melihat gaya pacaran yang kemesraannya sudah seperti suami-istri.

Memilih bacaan, lagu, dan tontonan yang sejalan dengan apa yang diajarkan Alkitab akan melindungi kita dari pemikiran yang tidak realistis tentang hubungan, agar kita tidak mudah terluka. Adakalanya harapan-harapan yang tidak realistis itu dibentuk oleh potret hubungan yang tampak begitu ideal di sosial media. Daripada membaca artikel sekuler tentang berpacaran, akan jauh lebih baik untuk meminta nasihat dari pasangan Kristen yang dewasa rohani, mendapatkan wawasan dari artikel-artikel Kristen, dan yang paling penting: dari Alkitab sendiri!

Makin memahami ajaran Alkitab, makin kita akan tahu persis bagaimana menghormati Tuhan dalam persahabatan, juga nantinya dalam tahap hubungan yang lebih khusus.

3) Menganggap setiap orang sebagai teman dulu

Wajar saja bila kita melihat setiap teman lawan jenis kita sebagai calon pasangan yang potensial. Sebab itu, akan sangat menolong bila kita menganggap setiap orang sebagai teman dulu. Cara ini menolongku untuk bersikap natural saat berada di sekitar teman-temanku, tidak tergoda untuk pasang aksi demi mengesankan seseorang. Bila nanti persahabatan itu berlanjut ke hubungan yang lebih serius, aku yakin orang itu menyukai diriku apa adanya.

Aku pernah tergoda berusaha mengendalikan hubunganku dan menulis kisah cintaku sendiri. Namun, aku tidak ingin membiarkan diriku larut dalam fantasi yang muncul dalam pikiranku. Aku meminta Tuhan menolongku untuk bisa melihat setiap teman di sekitarku sebagai saudara di dalam Kristus, supaya aku tidak menjadi terobsesi dengan orang yang kupikir akan menjadi pasanganku.

4) Beri diri menjadi sukarelawan dalam kegiatan-kegiatan yang positif

Sebagai orang-orang yang telah diberkati dengan kelimpahan kasih Tuhan, kita dipanggil untuk menjangkau dan memberkati sesama kita. Hal ini bisa kita lakukan dengan melayani, menjadi sukarelawan, baik di dalam gereja maupun di tengah masyarakat. Ketika kita masih lajang, kita punya lebih banyak waktu, mengapa tidak menggunakannya untuk membagikan kasih Tuhan dengan orang lain?

Aku sendiri menjadi sukarelawan dalam organisasi yang melibatkan anak-anak, juga dalam distribusi makanan bagi orang-orang yang membutuhkan, misalnya melalui Food Bank, Soup Kitchens, kamp, atau di sekolah-sekolah.

Menjadi sukarelawan juga bisa sesederhana memasak makan malam atau mengurus cucian untuk semua orang di rumah kita sendiri. Sebuah tindakan yang sederhana, tetapi bisa berdampak besar. Tindakan itu akan mengekspresikan kasihmu kepada keluarga. Aku yakin ibumu tidak akan mengeluh.

5) Berdoalah, serahkan ketakutanmu kepada Tuhan

Aku telah mengalami bagaimana doa menjadi cara terbaik untuk mengatasi ketakutanku, kalau-kalau aku tidak akan memiliki keluarga sendiri.

Ketika rasa ragu dan khawatir menyerang, aku berdoa memohon:
– Hikmat, untuk mengenali pasangan yang Tuhan siapkan.
– Kejelasan, untuk tahu ke mana atau kepada siapa aku harus melayani selama aku masih lajang.
– Kesabaran, untuk menantikan waktu Tuhan.

Yang pasti, masa lajang adalah pemberian Tuhan dan merupakan kesempatan bagi kita untuk bertumbuh lebih kuat dalam hubungan kita dengan-Nya. Bersukacitalah setiap hari karena kita semua sudah menemukan Pribadi yang istimewa—Tuhan. Orang bilang bahwa cinta pertama itu adalah yang paling istimewa. Tuhan adalah dan akan selalu menjadi cinta pertama kita.

Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih Tuhan, kasih-Nya adalah satu-satunya kasih yang dapat melengkapi hidup kita. Tidak ada hal yang lebih menenangkan hati daripada mengetahui bahwa Pribadi yang menjadi cinta pertama kita juga mencintai kita.

Percayakan kisah cintamu kepada Tuhan, dalam pengaturan waktu-Nya yang sempurna. Sembari menantikan waktu itu, jalanilah hidup dengan optimal—pakailah waktu kita untuk melayani Tuhan, untuk membagikan sukacita kepada orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar kita, juga untuk menikmati hobi kita.

4 Tipe Pengguna Uang—Kamu Termasuk yang Mana?

Penulis: Ivan Kwananda Pangestu
Adaptasi dalam Bahasa Inggris: What Type of Spender Are You?

What-type-of-spender-are-you

Saya termasuk orang yang sangat irit soal uang. Saya tumbuh besar dalam keluarga yang pas-pasan secara ekonomi. Saya harus sangat disiplin menyimpan uang agar bisa membayar biaya sekolah. Uang menjadi sangat penting untuk memberi saya rasa aman dalam hidup ini.

Namun, melalui berbagai peristiwa, saya belajar bahwa uang bukanlah segala-galanya. Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa yang memelihara hidup saya sesungguhnya bukanlah kemampuan saya menyimpan uang. Tuhanlah yang memelihara hidup saya—saya harus bergantung kepada-Nya, bukan kepada uang! Saya mulai belajar untuk melihat uang bukan sebagai penyelamat hidup saya, tetapi sebagai harta yang dipercayakan Tuhan untuk saya gunakan secara bijaksana. Beberapa tahun terakhir, saya mulai menjalankan “proyek memberi” di hari-hari khusus seperti Imlek, Valentine, dan Natal, untuk melatih diri saya dalam hal memberi. Saya menyiapkan beberapa amplop yang diisi dengan uang untuk saya berikan kepada orang yang membutuhkan.

Setiap kita tentu memiliki cara dan kebiasaan yang berbeda-beda dalam menggunakan uang. Biasanya hal ini dipengaruhi oleh kepribadian kita, nilai-nilai yang kita pegang, juga pola penggunaan uang yang ada dalam keluarga kita.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, termasuk apa yang ada di dompet dan rekening tabungan kita (Mazmur 24:1). Dia menghendaki kita menjadi hamba yang baik dan setia dalam mengelola apa yang dipercayakan-Nya di tangan kita (Matius 25:21). Suatu hari kelak, Tuhan kita, Pemilik dari segala sesuatu, akan datang dan meminta pertanggungjawaban atas penggunaan sumber-sumber daya yang ada pada kita.

Untuk memuliakan Tuhan dengan harta kita (Amsal 3:9), saya mendorong kita semua untuk mulai dari hal yang sederhana: memperhatikan kebiasaan kita dalam menggunakan uang. Mengenali kekuatan dan kelemahan kita akan sangat menolong kita untuk menjadi pengelola yang baik dari apa yang Tuhan percayakan di tangan kita. Dengan sedikit bekal yang saya dapatkan saat kuliah manajemen keuangan, saya ingin membagikan beberapa saran praktis untuk 4 tipe pengguna uang yang sering saya jumpai.

1. Pemberi yang Murah Hati

Ini tipe orang yang suka menggunakan uang mereka untuk orang lain. Ia bahagia ketika uangnya bisa membuat orang lain tersenyum dan bersukacita. Ia suka mentraktir temannya, membelikan hadiah, serta berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan. Kebahagiaan orang lain membuatnya dua kali lebih bahagia.

Kekuatan: Murah hati adalah kualitas yang indah. Alkitab sendiri mengajar kita untuk murah hati, sama seperti Bapa kita yang murah hati (Lukas 6:36, Amsal 22:9, 2 Korintus 9:6; 1 Timotius 6:18). Pemberi yang murah hati dapat leluasa dipakai Tuhan menjadi jawaban doa bagi sesama yang membutuhkan, menolong orang lain merasa dihargai dan dikasihi di tengah dunia yang makin individualis.

Kelemahan: Karena mudah tergerak dengan kebutuhan orang lain, para pemberi yang murah hati seringkali kurang perhitungan dalam mengelola keuangannya. Mereka kesulitan untuk menabung secara teratur dan konsisten. Pemberi yang murah hati juga cenderung mudah frustrasi bahkan merasa bersalah bila tidak bisa memberi bagi orang lain. Akibatnya mereka bisa saja dimanfaatkan orang lain. Dalam kasus ekstrim, mereka bisa saja mengorbankan kebutuhan pribadi atau keluarga demi membantu orang lain yang membutuhkan.

Saran: Para pemberi yang murah hati perlu belajar membuat perencanaan keuangan yang lebih baik. Buatlah pos-pos pengeluaran yang spesifik, terutama untuk hal-hal yang rutin dan menjadi prioritas (misalnya untuk perpuluhan, persembahan, tabungan), dan latihlah diri untuk disiplin dalam melakukan apa yang sudah direncanakan. Jumlah yang lebih besar bisa dialokasikan untuk pos “pemberian”, namun ingatlah juga mengalokasikan jumlah yang cukup untuk ditabung (tabunglah minimal 10-20% dari total pemasukan). Dengan berdisiplin dalam perencanaan keuangan, para pemberi yang murah hati nantinya akan menemukan keleluasaan memberi yang lebih besar dan lebih membawa dampak bagi orang lain.

Para pemberi yang murah hati juga perlu memiliki kerendahan hati untuk mengakui keterbatasannya dan tidak memaksakan diri membantu orang lain secara finansial ketika situasinya memang tidak memungkinkan. Berdoalah, mohon Roh Kudus memberi kita kepekaan untuk dapat memberi dengan bijaksana, tidak asal memberi setiap kali kita merasa ingin melakukannya (Amsal 19:2-3).

2. Penyimpan yang Andal

Ini tipe orang yang sangat berhati-hati dan penuh perhitungan dalam menggunakan uang, bahkan bisa dibilang cenderung pelit (contohnya saya sendiri). Bagi mereka, setiap rupiah sangat berharga. Dengan cermat ia akan menyediakan uang dalam berbagai pecahan agar selalu bisa membayar dengan uang pas (tidak ada kesempatan bagi kasir untuk memintanya mendonasikan uang kembalian saat belanja).

Kekuatan: Tipe orang ini merencanakan penggunaan uangnya dengan cermat. Mereka bisa menyimpan uang dengan sangat baik. Sangat cocok mengambil peran sebagai bendahara organisasi untuk memastikan uang yang masuk tidak disalahgunakan.

Kelemahan: Penyimpan yang andal biasanya dianggap sebagai orang yang egois dan agak berlebihan dalam mengantisipasi kebutuhan. Jika tidak hati-hati, uang bisa menjadi berhala karena para penyimpan yang andal ini memberi nilai yang terlalu tinggi pada uang. Tipe ini sukar untuk memberi bagi orang lain, meskipun kebutuhan orang itu tampak jelas di depan mata.

Saran: Para penyimpan yang andal perlu melatih diri untuk memberi, karena Tuhan sendiri tidak menghendaki kita menutup mata terhadap mereka yang membutuhkan (Amsal 14:31; 28:27). Bersyukurlah atas apa yang dimiliki dan mulailah belajar memberi dengan tulus kepada orang-orang di sekitar kita (bisa mulai dengan jumlah yang kecil dulu). Ibrani 13:5 adalah bagian firman Tuhan yang perlu selalu diingat para penyimpan yang andal: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

3. Pembelanja yang Impulsif

Tipe berikutnya adalah orang-orang yang menggunakan uangnya secara impulsif. Artinya, cepat mengeluarkan uang sesuai dorongan hati, tidak ada perencanaan dan perhitungan yang matang. Ia sangat gampang berespons terhadap iklan, diskon, dan label bertuliskan “harga khusus”. Pembelian barang atau jasa yang ia lakukan lebih banyak dipicu oleh keinginan bukan kebutuhan.

Kekuatan: Pembelanja yang impulsif adalah orang-orang yang suka menikmati hidup. Mereka teman yang selalu asyik untuk diajak bersenang-senang (belanja, wisata kuliner, dan sebagainya). Mereka tidak menahan-nahan berkat yang mereka terima, berusaha memaksimalkan setiap kesempatan yang ada. Mereka bisa menjadi sumber informasi yang baik tentang tempat-tempat makan atau belanja yang sedang diskon.

Kelemahan: Berapa pun pendapatan yang dimiliki, biasanya di akhir bulan akan habis atau sedikit tersisa. Para pembelanja yang impulsif kurang memiliki proyeksi penggunaan uang jangka panjang. Mereka sangat mudah terjerat utang, apalagi bila memiliki fasilitas yang memudahkan mereka menggunakan uang seperti kartu kredit atau pinjaman lunak.

Saran: Para pembelanja yang impulsif harus melatih diri untuk membedakan yang namanya kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku benar-benar memerlukannya ataukah ini sebuah keinginan saja?” Bila sedang tidak ada kebutuhan penting, sebaiknya tidak jalan-jalan di area perbelanjaan, apalagi yang memajang label “harga khusus”, agar tidak tergoda untuk membeli hal yang tidak perlu. Buatlah daftar belanja yang terperinci sebelum pergi ke toko, dan tahan diri untuk tidak membeli barang-barang di luar daftar tersebut sekalipun harganya sedang murah. Ingatlah peringatan yang diberikan firman Tuhan, “Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang yang bebal memboroskannya” (Amsal 21:20).

4. Pengelola yang Hati-Hati

Ini tipe orang yang berhati-hati, selalu menghitung untung rugi sebelum menggunakan uang sesuai dengan situasi yang mereka hadapi. Biasanya mereka tahu bagaimana menggunakan uang pada waktu yang tepat untuk tujuan yang tepat, memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Kekuatan: Tidak ada uang yang digunakan sia-sia, setiap pengeluaran selalu diatur seefisien mungkin. Pengelola yang hati-hati biasanya akan banyak dihormati orang dan dimintai nasihat dalam hal keuangan.

Kelemahan: Orang yang cakap mengatur uang bisa menjadi manipulatif dan tidak tulus dalam memberi. Mereka ingin agar setiap penggunaan uang terukur hasilnya. Memberi untuk sesuatu yang belum jelas hasilnya (misalnya untuk pekerjaan misi, perintisan jemaat) adalah hal yang sulit mereka lakukan.

Saran: Pengelola yang hati-hati perlu belajar menumbuhkan empati kepada sesama. Latihlah diri memberi kepada orang yang tidak dikenal (misalnya: memberi tip kepada pelayan atau petugas keamanan di pertokoan, membayarkan uang bis untuk lansia yang bepergian sendiri), mereka yang tidak akan punya kesempatan membalas kebaikan itu. Mulailah berdoa dan memberi untuk pekerjaan misi sekalipun kita tidak bisa melihat hasilnya dalam jangka waktu yang pendek. Ingatlah apa yang diajarkan Yesus dalam Lukas 14:13-14, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”

Kiranya setiap penggunaan uang kita dapat memuliakan Tuhan dan menyatakan kasih-Nya kepada orang-orang yang Dia tempatkan dalam hidup kita.

4 Cara Mudah Mengenali Pengeluaran yang Berlebihan

Penulis: Ivan Kwananda Pangestu

DompetNoHoDamon via Foter.com / CC BY-NC-ND

Duit.. duit lagi.. masalah yang dasar dalam hidup ini. Perceraian suami istri atau pertemanan bisa karena duit.” Demikianlah sepenggal lirik lagu dari sebuah grup band Indonesia yang sempat populer beberapa tahun yang lalu. Pesannya sederhana, duit alias uang adalah sumber masalah mendasar dalam kehidupan.

Sebenarnya, uang adalah suatu alat tukar yang netral. Sumber permasalahan timbul dari cara kita mengelola dan menggunakan uang kita. Yesus juga menjelaskan berbagai macam bahaya jika kita memiliki sikap yang salah terhadap uang (Lukas 9:23-25; Lukas 12:13-21; Lukas 12:22-34). Uang akan mengendalikan dan menghancurkan kehidupan kita, jika kita tidak mengelola dan menggunakannya dengan baik.

Sama halnya sebuah penyakit dikenali dari gejala-gejalanya, demikian juga ketidaksehatan keuangan dapat didiagnosa dari tanda-tanda yang muncul di dalam penggunaan uang kita. Berikut adalah 4 tanda yang dapat dengan mudah kita perhatikan untuk mendeteksi penggunaan uang yang berlebihan dan tidak bijak. Empat tanda ini menjadi rambu-rambu peringatan untuk memperbaiki pengelolaan dan penggunaan uang kita.

1. Perhatikan rasio tabungan dibanding pendapatan kita

Rasio tabungan kita merupakan tanda pertama yang menunjukkan bahwa kita mengeluarkan uang secara berlebihan. Pada umumnya, seorang yang memiliki kondisi keuangan yang sehat dapat menyisihkan 10% atau lebih dari pendapatan atau uang saku yang diterima. Rasio tabungan dibanding pendapatan wajarnya adalah 1:10. Jika pendapatan kita 3 juta per bulan, setidaknya kita harus menabung minimal 300 ribu setiap bulannya. Seorang yang boros akan membelanjakan uangnya sepanjang bulan dan menabung sisanya saja. Biasanya sisa uang ini tidak mencapai 10% atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini jelas tidak baik. Kita harus berusaha menabung dengan tertib, setidaknya 10% dari pendapatan kita. Untuk memulai disiplin menabung, kita bisa ikut dalam tabungan rutin autodebet yang ditawarkan oleh beberapa bank. Hal ini dapat sangat membantu kita untuk mendisiplin diri dan memiliki rasio tabungan yang sehat.

2. Perhatikan perubahan gaya hidup kita di awal dan akhir bulan

“Awal bulan makan di restoran; tengah bulan makan di kaki lima; akhir bulan makan Indomie.” Tampaknya ini adalah hal yang biasa terjadi, namun sebenarnya ini adalah cerminan dari keadaan keuangan yang tidak diatur dengan baik. Terjadinya perbedaan gaya hidup di awal dan akhir bulan disebabkan kita seringkali terlalu banyak pengeluaran di awal bulan. Sebaiknya, tetapkan gaya hidup standar sesuai kondisi keuangan kita dan jalanilah sepanjang bulan dengan gaya hidup yang konsisten.

3. Perhatikan seberapa konsisten kita memberikan persembahan

Sebagai orang Kristen, kita memiliki kewajiban untuk memberi perpuluhan setiap bulan dan persembahan setiap minggu (Imamat 27:30; 2 Tawarikh 31:6; Maleakhi 3:10; Matius 23:23; Lukas 11:42). Perpuluhan dan persembahan merupakan wujud komitmen kita mendukung pelayanan Tuhan dan ungkapan syukur atas berkat yang Tuhan percayakan pada kita. Seorang yang menggunakan uang dengan berlebihan akan memberikan perpuluhan dan persembahan dengan jumlah yang tidak konstan. Di awal bulan, ia bisa memberi persembahan dalam jumlah yang besar, namun ia mengurangi jumlah persembahan di akhir bulan karena keuangan yang terbatas. Sebaiknya, kita menetapkan jumlah yang pasti untuk perpuluhan bulanan dan persembahan setiap minggunya dan kita memberikannya dengan disiplin.

4. Perhatikan apakah kita punya cukup dana untuk pengeluaran tak terduga

Di dalam mengelola keuangan kita, kita juga perlu mempertimbangkan adanya pengeluaran tak terduga setiap bulannya. Pengeluaran tak terduga bisa bermacam-macam, seperti pembayaran ganti rugi ketika terjadi kecelakaan, membayar dokter jika sakit, membeli obat, memberi angpao untuk undangan pernikahan yang mendadak, mengganti ban motor yang sudah rusak, dan lain sebagainya. Kita perlu mengalokasikan dana untuk pengeluaran tak terduga. Seorang yang menggunakan uang dengan berlebihan tidak akan memiliki uang yang tersedia untuk pengeluaran-pengeluaran tersebut. Jika terjadi seperti ini, biasanya dana tabungan akan dikorbankan untuk pengeluaran-pengeluaran tak terduga ini.

Memantau Kesehatan Penggunaan Uang Kita

Pada akhirnya untuk mengetahui kesehatan pengeluaran setiap bulannya, kita memerlukan tolok ukur yang disebut budgeting atau rencana anggaran. Rencana anggaran adalah rancangan perincian pengeluaran bulanan, di mana kita membagi penghasilan kita ke dalam akun-akun pengeluaran yang spesifik, seperti perpuluhan, persembahan, tabungan, makanan, pakaian, transportasi, dana tak terduga, dan lain sebagainya. Dengan membuat rencana anggaran, kita memiliki perencanaan pengeluaran yang tetap untuk dijalankan setiap bulannya. Hal ini juga dapat menjadi standar untuk mengevaluasi pengeluaran yang telah kita lakukan setiap bulan. Dengan demikian kita dapat terhindar dari pengeluaran-pengeluaran yang berlebihan dan tidak terkendali oleh karena tidak adanya perencanaan dan evaluasi yang baik. Rencana anggaran dapat membuat kita memiliki rasio tabungan yang baik, memiliki gaya hidup yang konstan, memberi perpuluhan dan persembahan dengan tertib, serta memiliki cadangan uang untuk pengeluaran-pengeluaran tak terduga.

Mari kita mengelola keuangan kita dengan baik dan bertanggungjawab, karena hal ini memberi banyak kemudahan bagi kehidupan kita dan menyenangkan hati Tuhan di surga. Muliakan TUHAN dengan hartamu (Amsal 3:9)!

Benarkah Pernikahan adalah Perwujudan Kasih yang Paling Ideal?

Oleh: Christopher Yuan dan Rosaria Butterfield
Tanggapan terhadap Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang pernikahan sesama jenis. Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Is Marriage The Pinnacle of Love?

Is-Marriage-the-Pinnacle-of-Love

Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court of the United States of America) yang merupakan badan hukum tertinggi di negeri itu, telah melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagiannya, dan keputusan itu dirayakan oleh sebagian besar warganya. Inilah dunia yang kita tinggali hari ini, dunia dengan banyak bendera pelangi yang dilambaikan dengan penuh rasa bangga. Kita berangkulan dengan rekan-rekan dan sahabat LGBT kita yang terkasih, percaya bahwa mereka adalah bagian yang penting dari komunitas kita.

Kami, Christopher dan Rosaria, mengakui bahwa kami telah turut andil membangun dunia yang demikian—dunia yang memperjuangkan kesamaan derajat dan hak bagi setiap manusia. Jika keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk mengubah definisi pernikahan (dan dengan begitu berarti mengubah juga definisi manusia sebagai seorang pribadi) telah dibuat beberapa waktu yang lalu, mungkin sekali kami juga ada di antara orang-orang yang merayakannya.

Pada tahun 1999, ketika Yesus Kristus menyingkapkan kasih dan anugerah-Nya yang menyelamatkan kepada kami masing-masing, kami menyadari bahwa ketidakpercayaan kami, dan nafsu seksual yang menguasai hidup kami karena ketidakpercayaan itu, bukan lagi sesuatu yang bisa kami pilih. Kami menyadari bahwa mengikut Yesus berarti menyerahkan segala aspek hidup kami. Kami mengerti bahwa pertobatan berarti lari menjauhi segala bentuk godaan yang sangat akrab dan menyenangkan bagi kami.

Namun, Allah juga telah mengasihi kami sebelum kami bertobat mengikut Kristus. Dia telah menyediakan kasih dan perhatian dari umat-Nya, orang-orang yang kini telah menjadi keluarga kami yang baru, saudara-saudara kami yang baru, orangtua kami yang baru di dalam Kristus. Kami melihat bagaimana orang-orang Kristen hidup menurut teladan yang diberikan oleh Tuhan sendiri: mereka mengasihi, menerima, menjadikan kami bagian dari komunitas mereka, memenuhi hidup kami dengan kebenaran-kebenaran Alkitab, ketika kami masih berdosa. Sebab itu, ketika Roh Kudus mengubahkan hati kami, kami memahami satu hal: Injil itu sangat berharga dan sudah seharusnya kami hargai dengan segenap hidup kami.

Kami yakin bahwa sebelum maupun sesudah Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan itu, Allah duduk di atas takhta-Nya dalam kuasa dan kemuliaan—dan suatu hari kelak, semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengakui-Nya.

Kami percaya bahwa Allah telah menetapkan pernikahan sebagai persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri, sebagaimana yang ditegaskan kembali oleh Yesus dalam Markus 10:6-8 and Matius 19:4-5. Namun, kami tidak sependapat dengan pendapat sebagian orang atau tulisan Justice Kennedy yang menganggap bahwa pernikahan “adalah perwujudan kasih yang paling ideal”. Pernikahan di dunia ini tidak selalu bisa menyatakan kasih secara penuh. Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:7-19). Puncak kasih Allah dinyatakan bagi kita di dalam Kristus. Tidak ada kasih yang lebih besar dari itu.

Sebuah Misteri Sekaligus Cerminan

Dalam kenyataannya, pernikahan adalah sebuah misteri sekaligus cerminan dari suatu realitas yang lebih besar. Sesungguhnya, perwujudan kasih yang paling ideal dapat kita temukan dalam kasih Kristus kepada pengantin-Nya, yaitu Gereja. Dalam Efesus 5 dan Wahyu 21, pernikahan merupakan analogi dari penebusan Kristus: pernikahan pengantin perempuan (orang-orang berdosa yang sudah ditebus) dengan Sang Suami (Kristus) menggambarkan bagaimana semua orang yang sudah ditebus, baik menikah maupun tidak menikah, adalah mempelai Kristus. Hanya di dalam Kristus, setiap kita dapat mengalami kasih dan penerimaan secara utuh. Betapa pun pentingnya pernikahan dan keluarga di dunia ini, semua itu tidak akan bertahan selamanya, sedangkan Kristus dan keluarga Allah (Gereja) akan terus ada dalam keabadian.

Sayangnya, kita telah gagal menunjukkan kepada komunitas LGBT adanya sebuah opsi selain menikah—yaitu hidup melajang—sebuah pilihan yang dapat dijalani dengan penuh produktivitas dan kepuasan di dalam komunitas keluarga Allah. Orang yang tidak menikah dapat memiliki hubungan-hubungan bermakna yang penuh kasih di dalam keluarga Allah, sangat berbeda dengan pendapat Justice Kennedy yang menulis bahwa para lajang “divonis untuk selalu hidup dalam kesepian”. Ini bukan sekadar gagasan untuk menghibur diri. Para lajang bisa memiliki kehidupan yang sama indahnya dan sama memuaskannya dengan orang-orang yang menikah.

Salah satu hal yang membuat pernikahan antara laki-laki dan perempuan tampak tidak adil bagi komunitas LGBT adalah karena hidup melajang dipandang sebagai hidup dengan kesepian yang sangat mengenaskan. Mungkinkah kita di gereja tanpa sadar juga ikut memperkuat kebohongan ini dengan mengagung-agungkan pernikahan dan merendahkan atau tidak memberi komentar apa-apa tentang hidup melajang? Jika tidak menikah adalah sebuah bentuk ketidakadilan, wajar saja bila pernikahan dianggap sebagai suatu hak yang harus dituntut. Sama seperti komunitas LGBT yang meminta seisi dunia untuk menghormati dan menghargai harkat dan martabat mereka, inilah saatnya gereja juga memperjuangkan harkat dan martabat dari para lajang, baik perempuan maupun laki-laki.

Momen yang Menentukan

Sebagian orang saat ini membandingkan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang pernikahan sesama jenis dengan kasus Roe melawan Wade di tahun 1973 yang melahirkan keputusan untuk melegalkan praktik aborsi. Ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari gerakan pro-kehidupan yang menentang praktik aborsi. Hari ini, jumlah orang muda yang pro-kehidupan jauh lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya. Perubahan penting mulai terjadi ketika orang-orang pro-kehidupan (yang berasal dari berbagai latar belakang, tidak hanya kelompok Kristen Injili) mulai menggeser fokus mereka. Tidak sekadar menentang praktik aborsi, tetapi menunjukkan kepedulian yang nyata dengan menolong bayi-bayi yang belum lahir dan para perempuan yang kehamilannya tidak direncanakan. Pertanyaan bagi kita hari ini: Akankah kita mulai menunjukkan kepedulian yang nyata bagi komunitas LGBT?

Inilah momen yang sangat menentukan dalam sejarah. Kita memiliki kesempatan emas untuk bersinar bagi Injil. Akankah kita mengarahkan orang kepada pernikahan sebagai “perwujudan kasih yang paling ideal”? Ataukah kita akan mengarahkan orang—baik yang menikah atau tidak menikah—kepada hidup yang sangat berharga sebagai murid Kristus, mengejar pengenalan akan Yesus Kristus, Pribadi yang adalah kasih sejati itu? Keputusannya ada di tangan kita.


Catatan Editor: Artikel ini ditulis pertama kali pada tanggal 28 Juni 2005 dan telah dimuat dalam The Gospel Coalition, Ethics & Religious Liberty Commission, dan The Christian Post. Diterjemahkan dengan izin dari Christopher Yuan.

 
Tentang Christopher Yuan
Dr. Christopher Yuan mengajar Alkitab di Moody Bible Institute, dan telah melayani sebagai pembicara dalam topik iman dan seksualitas di lima benua. Beliau menjadi pembicara di berbagai konferensi (misalnya: The Gospel Coalition, Ethics & Religious Liberty Commission, InterVarsity’s Urbana, Moody Pastors’ Conferences dan Men’s Conference), juga di berbagai kampus dan gereja (misalnya: gereja Saddleback dan Willow Creek Community). Out-of-a-far-country Kisahnya menjadi bagian dari film dokumenter HOPE Positive: Surviving the Sentence of AIDS yang meraih penghargaan. Bersama ibunya, beliau juga menuliskan perjalanan hidupnya dalam sebuah buku berjudul Out of a Far Country: A Gay Son’s Journey to God, A Broken Mother’s Search for Hope. Christopher menyelesaikan pendidikannya di Moody Bible Institute pada tahun 2005, meraih gelar Master of Arts in Biblical Exegesis di Wheaton College Graduate School pada tahun 2007, dan menerima gelar Doctor of Ministry pada tahun 2014 dari Bethel Seminary.

 
Tentang Rosaria Butterfield
Rosaria Butterfield adalah seorang profesor Bahasa Inggris yang berpengalaman. Beliau pernah menyatakan diri sebagai seorang lesbian dan ikut memperjuangkan kesamaan hak bagi kaum LGBT. Setelah pertobatannya kepada Kristus pada tahun 1999, beliau menyadari betapa berdosanya bila ia menetapkan sendiri identitasnya di luar yang dikehendaki Sang Pencipta. Rosaria menikah dengan Kent Butterfield, pendeta dari First Reformed Presbyterian Church di Durham, dan kini berprofesi sebagai seorang ibu yang mendidik sendiri anak-anaknya di rumah (home-school), istri pendeta, penulis, dan pembicara. Beliau menolong orang-orang Kristen untuk lebih bisa memahami sesama dan kerabat yang memiliki kecenderungan LGBT, agar dapat mengasihi mereka tanpa melihat label identitas seksual mereka dan dapat membagikan kabar baik secara efektif kepada mereka. Pada tahun 2012, beliau menerbitkan buku tentang kisah pertobatannya yang berjudul The Secret Thoughts of an Unlikely Convert: An English Professor’s Journey To Christian Faith. Bukunya yang kedua: Openness Unhindered: Further Thoughts of an Unlikely Convert on Sexual Identity and Union with Christ, diterbitkan pada bulan Juli 2015. Rosaria menulis tentang seksualitas, identitas, komunitas Kristen, dan rindu menyemangati sesamanya untuk setia dalam kehidupan dan pelayanan kepada Kristus.

Mengapa Menikah Bukan Satu-Satunya Cara Mengalami Cinta Sejati

Penulis: Adriel Yeo, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Marriage Isn’t The Only Way To Experience True Love

Mengapa-Pernikahan-Bukan-Satu-Satunya-Cara

Pada saat aku masih remaja, masa akil baliq itu salah satunya ditandai dengan izin untuk bisa membeli minuman beralkohol. Namun, ketika para pemuda sudah menyelesaikan wajib militer dan para pemudi menyelesaikan kuliah, hal itu sudah bukan sesuatu yang istimewa lagi.

Kita mulai memasuki fase pertumbuhan yang baru, dan muncullah ukuran yang baru untuk menandai kedewasaan itu. Aku mengamatinya pertama kali di akun Facebook-ku. Ya, aku sedang membicarakan tentang status “Hubungan”.

Masih segar di ingatanku hari Valentine dua tahun lalu, saat setidaknya empat temanku bertunangan. Setahun kemudian aku menghadiri pernikahan mereka satu demi satu. Meski aku tahu saat-saat itu akan datang, aku tidak menyangka datangnya akan secepat itu.

Sembari ikut bersukacita atas pernikahan teman-temanku, aku menyadari ada semacam pola pikir yang umum dijumpai di kalangan kaum muda Kristen. Banyak yang memiliki persepsi bahwa seseorang hanya dapat mengalami secara penuh apa yang disebut kasih “agape” atau kasih Allah yang tak bersyarat, melalui pernikahan. Mereka yang tidak dapat menemukan pasangan hidup, tidak akan pernah bisa mengalami kasih ini.

Aku tidak sependapat.

Jangan salah paham: Aku percaya bahwa pernikahan Kristen haruslah menyatakan kasih yang rela berkorban, tanpa syarat, sebagaimana yang telah ditunjukkan Kristus kepada jemaat (Efesus 5:25). Sebab itu, benar bahwa seseorang pasti dapat mengalami dan mempraktikkan kasih Kristus dalam hubungan pernikahan. Tetapi, aku tidak percaya bila dikatakan bahwa kasih Kristus hanya dapat dialami dalam pernikahan.

Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Perintah ini sangat jelas: komunitas Kristen diminta untuk menunjukkan kasih yang mencerminkan kasih Kristus kepada umat-Nya, kasih yang membawa-Nya ke atas salib.

Perintah ini menantang sekaligus memberi penghiburan. Menantang, karena perintah ini meminta kita untuk menunjukkan kasih yang rela berkorban, yang tidak bersyarat kepada semua orang, sama seperti Allah yang telah lebih dulu menunjukkan kasih-Nya kepada kita, orang-orang yang tadinya tidak layak untuk dikasihi. Memberi penghiburan, karena perintah ini mengingatkan kepada kita bahwa kasih Kristus dapat kita alami baik kita menikah maupun tidak menikah.

Perintah Yesus tidak dimaksudkan agar kita hanya mengasihi pasangan kita, tetapi agar kita mengasihi satu sama lain. Senada dengan itu, 1 Yohanes 4:19—“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”—tidak hanya ditujukan kepada pasangan yang sudah menikah, juga tidak membicarakan kasih yang hanya ada dalam pernikahan. Firman itu ditujukan kepada setiap orang yang mengaku percaya kepada Allah.

Pemahaman tentang kasih yang diajarkan Alkitab ini dapat menolong kita untuk lebih percaya diri. Bayangkan jika yang bisa mengalami kasih tak bersyarat hanyalah orang yang menikah. Bukankah itu berarti orang-orang yang tidak menikah kurang penting di mata Allah? Benar bahwa seseorang dapat mengalami kasih Allah di dalam pernikahan melalui hubungan kasih di antara suami dan istri yang seharusnya mencerminkan kasih Kristus kepada jemaat. Tetapi, sama benarnya dengan itu, seseorang juga dapat mengalami kasih Allah sebagai orang yang tidak menikah, melalui hubungan dengan sesama orang percaya dalam jemaat Tuhan.

Meskipun dengan sedih kita harus mengakui, banyak di antara kita gagal menunjukkan kasih Kristus dalam komunitas orang percaya, solusinya bukanlah dengan mencari kasih itu di dalam pernikahan atau berpikir bahwa kasih semacam itu hanya ada di dalam pernikahan. Solusinya adalah kembali kepada Sumber Kasih—Allah sendiri. Hanya di dalam Allah, kita dapat melihat kasih yang benar dan sempurna, yang telah ditunjukkan-Nya di dalam Pribadi Yesus Kristus, yang telah mengasihi kita dan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.

4 Pelajaran Penting Dalam Pernikahan

Penulis: Henry Jaya Teddy

empat-pelajaran-penting-dalam-pernikahan

Tak terasa sudah delapan tahun lamanya saya menikah. Sebagaimana semua orang lain pada umumnya, saya memimpikan rumah tangga yang bahagia bersama pasangan tercinta. Kami sudah lama berpacaran, dan saya merasa sangat siap untuk memulai hidup baru bersamanya. Namun, begitu menikah, saya harus berhadapan dengan banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Berikut ini beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan selama delapan tahun berumah tangga. Semoga bermanfaat bagi kamu yang sedang memikirkan untuk berumah tangga atau yang sedang menjalaninya.

1. Pasangan kita, sama seperti kita, bukanlah orang yang sempurna

Setiap orang yang menikah, tentu berharap bahwa pasangannya akan dapat melengkapi hidupnya. Namun kita perlu menyadari bahwa pasangan kita, sama seperti kita, adalah manusia yang terbatas. Kita sama-sama adalah manusia berdosa yang membutuhkan kasih karunia Tuhan.

Saya sendiri sudah menerapkan prinsip saling terbuka sejak awal masa pacaran. Saya mau pasangan saya mengetahui kelebihan dan kekurangan saya sejelas-jelasnya, demikian pula sebaliknya. Harapan saya, saat menikah nanti kami sudah siap untuk bisa saling menerima.

Namun, sekalipun kami sudah demikian terbuka, ternyata saat masuk dalam pernikahan, masih ada banyak hal yang harus kami sesuaikan. Kami sering bentrok di masa-masa awal pernikahan kami. Butuh waktu sekitar tiga tahun lamanya bagi saya untuk bisa benar-benar mengerti karakter dan kebiasaan istri saya. Inilah proses yang Tuhan izinkan kami alami, agar kami tidak bergantung pada kekuatan sendiri atau pasangan kami, tetapi pada anugerah Tuhan semata.

2. Menikah tidak membuat hidup kita jadi lebih mudah

Banyak orang muda berpikir, alangkah indahnya bila saya bisa menikah, hidup bersama orang yang saya cintai selamanya. Banyak yang bahkan menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Rasanya sengsara betul kalau harus hidup tanpa pasangan di dunia ini. Namun, kenyataannya menikah tidak membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Ada banyak masalah baru yang muncul justru setelah menikah. Hubungan yang harus kita perhatikan tidak hanya hubungan dengan pasangan kita, tetapi juga hubungan dengan mertua, ipar, dan segenap keluarga besar yang ada. Belum lagi saat kita dikaruniai anak.

Dalam kasus saya, Tuhan juga mengizinkan saya menderita penyakit autoimun (kelainan sistem tubuh yang menyerang organ tubuh sendiri) setelah saya menikah. Butuh dua tahun lebih bagi saya untuk bisa kembali beraktivitas normal. Bila saya hidup sendiri, kesulitan itu cukup saya tanggung sendiri. Karena saya menikah, kesulitan saya juga menjadi kesulitan keluarga saya. Berat sekali harus mengalami kondisi yang tidak berdaya sebagai seorang kepala rumah tangga. Namun, melalui masa-masa yang tidak mudah itu, kami (saya, istri, anak, dan keluarga) belajar untuk tetap saling mendukung dan mengandalkan pertolongan Tuhan.

3. Pernikahan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik

Terlepas dari segala kesulitannya, bila kita punya sikap yang mau diajar, pernikahan dapat menjadi sarana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Melalui pernikahan, Tuhan mengajar saya untuk tidak lagi berfokus pada diri sendiri. Menikah membuat saya harus memperhatikan orang lain: istri saya, keluarganya, juga anak saya. Bukan hanya sekali seminggu, atau kapan saja saya ingin, tetapi setiap hari! Apalagi ketika Tuhan lagi-lagi mengizinkan keluarga kami menghadapi kesulitan. Anak saya juga jatuh sakit. Ia mengalami spasme infantil (kejang akibat gelombang otak yang tidak normal, yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan). Hingga hari ini, ia masih harus menjalani terapi untuk bisa beraktivitas seperti anak yang normal.

Masa-masa sulit yang Tuhan izinkan saya alami membuat saya banyak berpikir ulang tentang arti hidup. Sebelum menikah, saya hanya memikirkan tentang diri sendiri dan semua yang ingin saya capai. Namun kini, saya menyadari bahwa hidup baru berarti ketika dijalani sesuai kehendak Sang Pencipta. Saya diciptakan Tuhan bukan untuk mementingkan diri sendiri, melainkan untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain.

4. Mengutamakan Tuhan adalah dasar keberhasilan sebuah rumah tangga

Merenungkan delapan tahun yang sudah saya lewati dalam pernikahan membuat saya yakin bahwa dasar terkuat bagi keberhasilan sebuah rumah tangga adalah mengutamakan Tuhan. Saya dan istri saya punya banyak perbedaan. Tidak mudah untuk hidup bersama. Namun, ada satu hal yang mengikat kami, yaitu janji kami di hadapan Tuhan. Kami menyatakan janji nikah kami tidak hanya di hadapan satu sama lain, tetapi juga di hadapan Tuhan. Dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, tidak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Ketika Tuhan menjadi yang utama, fokus kami bukanlah apa yang kami ingin atau tidak ingin lakukan, melainkan apa yang diinginkan Tuhan melalui pernikahan kami.

Saya ingat kisah yang dicatat dalam Daniel 3 tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka yakin Tuhan berkuasa melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala, namun bila Tuhan tidak melepaskan pun, mereka tidak goyah, karena mereka yakin Tuhan tahu cara terbaik untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Daniel 3:17-18). Saya tahu Tuhan bisa saja memberikan saya pernikahan yang mudah. Dia juga berkuasa untuk meluputkan saya dari penyakit autoimun dan segala macam masalah dalam rumah tangga saya. Namun, dalam hikmat-Nya, Tuhan mengizinkan saya mengalami semua masalah itu, supaya saya dapat makin bergantung kepada-Nya, dapat terus bertumbuh di dalam firman-Nya, dan bahkan dapat terus menyatakan kuasa Kristus yang selalu menaungi saya dalam setiap kelemahan yang ada (2 Korintus 12:9).