Mengapa Aku Memutuskan untuk Tidak Berhubungan Seks Sebelum Menikah

mengapa-aku-memutuskan-untuk-tidak-berhubungan-seks-sebelum-menikah

Oleh Michele Ong, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris : Is It Possible to Resist Sex in This Day and Age?

Aku memiliki pendirian yang teguh untuk menolak hubungan seks di luar pernikahan, dan tentunya ada risiko atas pendirian itu.

Aku sering dianggap aneh oleh teman-teman ketika mereka tahu tentang pendirianku itu. Mereka seringkali mengatakan padaku, “Tapi, kamu harus mencobanya supaya kamu tahu apakah kamu cocok dengan pasanganmu atau tidak.”

Tak hanya temanku, beberapa mantan pacarku juga berkeyakinan kalau melakukan hubungan seks di luar pernikahan itu tidak masalah selama dilakukan atas dasar cinta dan sama-sama mau melakukan. Aku baru berusia 16 tahun ketika mulai berpacaran dengan pacar pertamaku. Waktu itu, aku tidak yakin aku sudah cukup dewasa untuk membuat sebuah keputusan yang serius seperti itu. Tapi, mereka tetap saja mendesakku.

Mereka memberiku berbagai alasan, “Jika kamu mencintai aku…”, “Semua teman-temanku yang lain juga melakukannya dengan pacar mereka, aku jadi merasa terkucilkan”, atau “Sepertinya kita ketinggalan zaman, ya?” Salah satu mantan pacarku percaya bahwa Tuhan tak seharusnya lagi mengharapkan pasangan di zaman modern ini untuk menunggu hingga hari pernikahan mereka untuk berhubungan seks, karena kini orang-orang menikah di usia yang semakin tua.

Kemudian aku membayangkan jika diriku hamil akibat berhubungan seks di luar nikah, itu tentu mengerikan. Aku lebih memilih untuk duduk di kelas dan mengerjakan ujian akuntansi berulang-ulang daripada harus hamil di usiaku yang ke-16 tahun.

Mungkin kamu akan berpikir kalau penolakanku terhadap seks di luar nikah itu akibat dipengaruhi oleh orangtuaku atau karena aku takut masuk neraka. Tebakanmu salah. Orangtuaku hanya pernah sekali mengingatkanku untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan itu ketika aku menonton film Titanic saat aku berusia 12 tahun. Ketika ada adegan intim Jack bersama Rose, ibuku berkata, “Jangan lakukan itu, itu tidak baik.” Hanya itu saja yang pernah ibuku katakan.

Tidak tahu kenapa, kata-kata yang diucapkan oleh ibuku itu terngiang-ngiang di pikiranku, dan aku tetap berpegang pada pendirianku menolak hubungan seks di luar nikah bertahun-tahun setelahnya. Beberapa orang yang mendengar pendirianku itu terkadang merasa skeptis, tidak yakin kalau aku mampu berpegang teguh pada pendirian itu.

“Kamu rohani sekali, ya?” ejek mereka.

Sejujurnya, kalau aku menolak hubungan seks di luar nikah hanya untuk mematuhi hukum Taurat, aku mungkin takkan kuat menghadapi banyaknya tekanan yang ada. Namun secara pribadi, aku punya keyakinan kalau seks itu sangat sakral, sehingga aku sangat protektif menjaga diriku. Saat aku bertumbuh semakin dewasa, keyakinanku ini membuatku lebih mudah menguji apakah seorang lelaki ini layak dipacari atau tidak. Kalau dia tidak siap menerima pendirianku untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah, tentu dia takkan menjadi pacarku.

Ketika aku berpacaran dahulu, mantan pacarku mengatakan kalau dia tidak bisa menjalin relasi ini tanpa melakukan hubungan seks. Dia berargumen, jika aku tidak mau berhubungan seks dengannya, bagaimana mungkin dia dapat yakin kalau aku adalah belahan jiwanya. Tanpa sepatah kata pun, aku pulang ke rumah dan menyadari bahwa hubungan ini tidak bisa diteruskan lagi.

Harus kuakui, terkadang aku pernah berpikir untuk melonggarkan sedikit pendirianku tentang hubungan seks sebelum pernikahan supaya hidupku bisa menjadi lebih mudah. “Mengapa memilih gaya hidup yang kaku ini?” tanyaku pada diri sendiri. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang menganggap seks di luar nikah adalah sebuah hal yang normal, dan menunda hubungan seks sampai waktu menikah adalah sesuatu yang aneh.

Tapi, bagaimana pendapat Tuhan mengenai seks?

Dalam sebuah buku yang berjudul “Laugh Your Way to a Better Marriage”, pendeta Amerika Mark Gungor mengatakan bahwa seks adalah ciptaan Tuhan. Dia menuliskan dalam bukunya, “Tuhanlah yang menciptakan tubuh kita untuk dapat merasakan sensasi ketika disentuh dan dibelai. Dia jugalah yang menciptakan kemampuan untuk orgasme. Seks adalah anugerah dari Tuhan.”

Namun, Alkitab juga memberitahu kita bahwa Tuhan menciptakan seks untuk dinikmati di dalam wadah pernikahan (Ibrani 13:4). Menikmati seks harus dilakukan dalam konteks yang benar karena itu berkaitan dengan keintiman yang tidak bisa dinikmati dalam sembarang relasi. Tuhan menciptakan seks untuk kebaikan kita dan Dia juga memerintahkan kita supaya tidak membangkitkan hasrat seks itu sebelum waktunya yang tepat tiba (Kidung Agung 8:4). Kita juga harus menghindari perbuatan seksual yang menyimpang karena sejatinya tubuh kita adalah bait Allah dan kita telah dibeli dengan harga yang teramat mahal—darah Yesus yang berharga (1 Korintus 6:18-20).

Aku memandang perintah Tuhan untuk tidak melakukan seks di luar pernikahan adalah seperti mendengar orang tua kita mengatakan untuk tidak membuka kado ulang tahun kita sebelum hari ulang tahun kita tiba. Seperti sebuah kado ulang tahun, pandanglah hubungan seks itu sebagai hadiah pernikahan dari Tuhan untuk suami dan istri yang baru menikah, dan untuk dibuka setelah mereka resmi menikah. Tapi, jika kamu tetap membuka hadiah itu sebelum hari ulang tahunmu, kamu mungkin akan kehilangan sukacita besar ketika hari ulang tahunmu itu tiba.

Ingatlah, Tuhan bukannya anti terhadap seks. Alasan Dia meminta kita menghindari hubungan seks yang tidak seharusnya bukanlah karena Dia menganggap bahwa seks itu buruk. Dia tahu yang terbaik bagi kita dan Dia menginginkan kita mendapatkan pengalaman seks yang terbaik, yaitu seks yang dilakukan dalam wadah pernikahan.

Baca Juga:

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

15 tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi selama itulah Amy berada dalam “friend-zone”. Pengalaman itu membuatnya belajar bahwa sebuah hubungan yang baik kadang diawali dari pertemanan.

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

mengapa-aku-berada-dalam-friend-zone-selama-15-tahun

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Spent 15 Years In The “Friend Zone”

15 tahun. Ya, selama itulah aku dan suamiku, Jonathan, berteman sebelum kami akhirnya menikah. Mungkin kamu akan menganggap kami sebagai contoh nyata dari kata-kata bijak, “Hubungan yang terbaik berawal dari pertemanan”.

Kalau kamu berpikir aku adalah seorang yang sangat kaku atau penganut setia dari buku tentang berpacaran yang paling populer di zamanku, “I Kissed Dating Goodbye” karangan Joshua Harris—yang mendorong para pasangan untuk pacaran hanya jika siap untuk menikah—mungkin kamu akan kecewa. Kenyataannya, Jonathan adalah pacarku yang kelima (dan itu belum termasuk gebetan-gebetanku yang lain).

Namun, aku adalah pacar kedua Jonathan, dan ketika dia “menembakku”, dia cukup yakin bahwa aku adalah orang yang ingin dia nikahi. Dia memiliki kepercayaan diri itu karena dia telah cukup lama mengenalku, di mana sepanjang masa itu kami telah melewatkan berbagai masa perang dingin, teleponan hingga larut malam, dan saling berbagi begitu banyak kartu ucapan. Aku baru sadar setelah menikah bahwa aku punya sebuah kotak sepatu yang penuh kartu ucapan yang pernah diberikannya.

Izinkan aku untuk menceritakan kisah kami dari awal.

Jonathan dan aku pertama kali bertemu dalam sebuah kelompok pemuda setelah aku lulus Sekolah Minggu. Pada usia 15 tahun, kami menjadi teman baik dan memimpin sebuah kelompok kecil bersama-sama. Selama dua tahun berikutnya kami mulai menganut pandangan kami masing-masing tentang hubungan dengan lawan jenis. Jonathan memutuskan untuk tidak berpacaran sampai dia selesai menyelesaikan Wajib Militer (sekitar usia 19 tahun), sedangkan aku memutuskan untuk berpacaran sesegera mungkin.

Waktu itu, prinsip kencanku sederhana: berkencanlah sampai kamu menemukan “orang yang tepat”. Jadi itulah yang aku lakukan. Satu demi satu kegagalan dalam hubungan aku alami selama beberapa tahun, sampai aku menjadi meragukan prinsipku. Aku juga menjadi ragu apakah nanti aku akan menikah.

Di sisi lain, Jonathan terus memegang komitmennya untuk tetap menunggu—bahkan hingga dia lulus kuliah dan menjalani tahun-tahun yang berat sebagai penyelam di Angkatan Laut. Ketika akhirnya dia mulai berpacaran, dia melakukannya dengan berhati-hati dan penuh komitmen, dengan sebuah harapan untuk dapat menikahi pacarnya saat itu.

Beberapa tahun kemudian, dia menceritakan kepada anak-anak muda tentang alasannya mengapa dia menunggu hingga usia 21 sebelum dia mulai berpacaran: Dia ingin mendedikasikan masa-masa muda terbaiknya untuk Tuhan dan untuk pelayanan di mana Tuhan menempatkannya. Dia terinspirasi oleh Pengkhotbah 12:1, yang berkata, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’”

Dia juga mempunyai alasan-alasan lainnya—menurutnya akan sulit untuk menjalin sebuah hubungan ketika dia ada dalam Angkatan Laut, dan dia juga belum siap secara finansial untuk menikah saat itu. Namun alasan utamanya tetap single adalah agar dia dapat fokus untuk melayani Tuhan.

Ketika teman dekat kami tahu bahwa kami akhirnya akan menikah, dengan bercanda mereka mengatakan bahwa aku telah membiarkan suamiku berada dalam “friend-zone” (“zona-teman”) selama 15 tahun. Aku tidak setuju dan mengatakan pada mereka, justru yang terjadi adalah sebaliknya! Suamiku telah membiarkanku ada dalam zona ini selama 15 tahun karena dia ingin menggunakan masa mudanya untuk melayani sepenuh hati dalam pelayanan kaum muda. Dan aku senang karena dia melakukannya.

15 tahun itu memberikan kami waktu untuk saling mengenal sifat-sifat aneh yang kami miliki, untuk belajar arti di balik setiap kernyitan alis, dan untuk memahami apa yang menjadi pendorong semangat bagi masing-masing kami. Dan karena kita memiliki banyak teman bersama, kami sangat senang karena ada banyak teman yang mau membantu persiapan pernikahan kami, dan kini juga membantu menjaga bayi kami! Waktu pertemanan yang panjang telah membuat kehidupanku setelah pernikahan menjadi jauh lebih baik.

Jangan salah, kami masih memiliki perbedaan-perbedaan yang harus kami hadapi. Namun memiliki seseorang yang tahu betul apa yang kamu rasakan hanya dari sekali memandang, menurutku itu adalah hasil dari sebuah fondasi yang telah teruji—pertemanan.

Baca Juga:

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

“And they live happily ever after.”
Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

Sungguhkah-Menikah-Seindah-di-Film-Inilah-Pengalamanku-Setelah-5-Bulan-Menikah

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

“And they live happily ever after.”

Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku.

Aku ingin menikah di usia muda

Ketika aku masih SMA, aku berikhtiar untuk menikah muda. Alasanku saat itu sederhana saja, aku merasa jika usiaku dan usia anak-anakku tidak terpaut jauh, aku bisa menjadi sahabat bagi mereka, sama seperti ibuku yang menjadi sahabat bagiku. Selain itu, sejak kecil film-film animasi Disney favoritku membuatku membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Pernikahan menjadi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan.
Namun, ketika akhirnya kesempatan untuk menikah itu datang saat aku berusia 24 tahun, aku baru menyadari bahwa mengambil keputusan untuk menikah dan menjalankan pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

Pergumulanku sebelum pernikahan

Pernikahan adalah hal yang sangat penting dan sakral karena hanya dilakukan sekali seumur hidup. Artinya, siapa pun yang menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang benar-benar tepat. Tidak boleh ada kata-kata “aku telah menyesal memilih dia”, atau “aku telah salah memilih pasangan hidup”.

Pikiran itulah yang menjadi kekhawatiranku ketika aku perlu mengambil keputusan untuk menikah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah sungguh dia orang yang tepat? Apakah dia dari Tuhan? Apakah aku yakin bisa hidup bersamanya? Apakah aku orang yang tepat untuknya? Apakah aku bisa menjadi penolong untuknya? Terlalu banyak pertanyaan “apakah” yang ada dalam pikiranku kala itu.

Kala pertanyaan-pertanyaan itu membuatku galau, aku diingatkan akan alasan mengapa aku mau berpacaran dengan pasanganku itu. Bagiku, kita harus selektif dalam memilih pacar, karena sesungguhnya pacar adalah calon pasangan hidup kita. Oleh karena itu, sebelum kami berpacaran, aku telah menanyakan berbagai pertanyaan dasar kepada calon pasanganku. Apakah dia orang yang takut akan Tuhan? Apakah dia orang yang bertanggung jawab? Bagaimana jika hubungan ini berlanjut ke pernikahan? Ketika aku mengingat kembali alasan aku mau berpacaran dengannya, dan juga setelah mengenal dia lebih baik lagi selama kami berpacaran, aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya.

Pergumulanku setelah pernikahan

Setelah melewati masa galau saat aku memutuskan untuk menikah, aku mengalami masa galau lainnya setelah aku masuk ke dalam pernikahan. Aku menjadi mengerti, pernikahan bukanlah tentang sebuah pesta. Pernikahan adalah tentang kehidupan setelah pesta berakhir.
Kehidupan pernikahan adalah sebuah kehidupan di mana dua manusia dengan latar belakang yang berbeda mencoba untuk hidup bersama. Sulit? Kurasa “sulit” bukan kata yang tepat. “Menantang” adalah kata yang lebih cocok menggambarkannya.

Ada beberapa perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kami hanya ketemu sesekali saja, sehingga perbedaan kami tidaklah terlalu mengganggu kami. Namun, setelah pernikahan kami hidup bersama-sama. Tiba-tiba, perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok.

Aku suka makanan bercita rasa asin, tapi suamiku suka makanan bercita rasa manis. Hal itu menjadi begitu merepotkan karena kini kami sering makan bersama. Saat kami keluar mencari makan, kami harus mempertimbangkan selera masing-masing orang. Ketika masak di rumah pun, aku harus membuat dua menu yang berbeda, yang memenuhi selera masing-masing. Saat pacaran, lebih mudah untuk bertoleransi karena kami hanya sekali-sekali makan bersama. Tapi setelah kami menikah, perbedaan ini menjadi hal yang harus kami hadapi seumur hidup.

Contoh lainnya adalah mengenai waktu tidur. Aku adalah ibarat “ayam jago” yang energinya keluar di waktu pagi. Jadi, aku tidur lebih awal, dan bangun lebih pagi untuk beraktivitas. Berbeda dengan suamiku, dia adalah ibarat “kelelawar malam” yang banyak beraktivitas di malam hari. Hal ini menjadi masalah karena kami tidur sekamar. Tengah malam, suamiku masih menyalakan lampu dan melakukan aktivitasnya. Kadang itu membuatku menaruh guling menutupi telingaku dan berseru kepadanya, “Matikan lampunya, aku mau tidur!”

Hal-hal yang kutemui di masa awal pernikahanku ini mungkin terlihat seperti permasalahan yang sepele. Tapi jika kita tidak dapat menyelesaikannya dengan baik, hal itu bisa berakibat fatal.

Inspirasi yang menjawab pergumulanku

Suatu hari, aku menemukan sebuah doa yang pernah dicetuskan oleh seorang teolog Amerika Reinhold Niebuhr. Doa itu begitu indah dan memberiku pencerahan untuk menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahanku dengan bijak. Berikut adalah isi doanya:

Tuhan, berikan aku damai sejahtera untuk menerima hal yang tak dapat kuubah,
berikan aku keberanian untuk mengubah yang dapat kuubah,
dan berikan aku hikmat untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal itu.

Membaca doa di atas mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, dan untuk hal-hal semacam itu, kita perlu beradaptasi dan menerimanya. Aku tak dapat mengubah suamiku yang merupakan “orang malam”. Yang dapat kulakukan adalah beradaptasi dan menerimanya. Aku pun membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang menyala.

Selain itu, aku juga diingatkan oleh sebuah ayat Alkitab berikut ini:

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Ayat itu mengingatkanku bahwa untuk hidup dalam perdamaian, usahakanlah itu. Kadang hal itu menjadi sebuah tantangan ketika keinginanku berbeda dengan keinginan suamiku. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa dalam beberapa hal, jika itu hanya menyangkut keinginanku, aku perlu berkompromi. Berkompromi berarti kita akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, karena hal itu penting bagi pasangan kita. Agar perdamaian itu dapat terwujud, perlu ada setidaknya salah satu yang mengalah.

Ketika memasak, aku merelakan diri untuk lebih repot dengan dua kali memasak untuk memastikan kebutuhan cita rasa suamiku dan diriku yang berbeda dapat terpenuhi. Begitu pula dengan masalah lampu kamar. Ketika aku perlu tidur cepat dan mematikan lampu, suamiku mengalah dengan beraktivitas di luar kamar. Ketika kami saling berkompromi, itu sangat membantu kami untuk menciptakan sebuah pernikahan yang harmonis. Perbedaan-perbedaan yang ada pun tidak terasa terlalu mengganggu lagi.

Pernikahan bukan untuk mengejar kebahagiaan

Aku mengingat sebelum menikah aku sempat membaca sebuah buku karangan Gary Thomas yang berjudul “Sacred Marriage”. Dalam buku itu, Gary Thomas berkata bahwa tujuan pernikahan bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Pernikahan adalah suatu sarana yang diciptakan Allah untuk menguduskan manusia agar semakin serupa dengan-Nya.
Jika seseorang ingin menikah, dia harus siap untuk melalui proses pemurnian dan pembentukan Allah. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan bonus yang diberikan Allah ketika kita melalui proses-Nya.

Itulah yang kualami dalam lima bulan pertama dalam pernikahanku. Aku merasa Tuhan sedang menguduskanku dan membentukku menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap masa suka dan duka yang kualami dengan suamiku. Meski ada riak-riak perbedaan karakter dan kebiasaan yang muncul setiap hari, aku dapat menjalaninya dengan sukacita, karena aku percaya itu adalah proses pemurnian dan pengudusan Tuhan bagiku dan pasanganku.

Jadi, apakah menikah itu indah? Jawabannya adalah ya. Tetapi bukan indah dalam pengertian tidak ada masalah, hidup damai, dan semua senang seperti yang dipertontonkan di film-film. Melainkan, indah karena iman dan pengenalanku akan Tuhan boleh semakin bertumbuh, dan karakterku diproses dari hari ke hari.

Aku sungguh berharap bahwa pernikahan yang kami bangun ini diperkenan Tuhan untuk menjadi berkat bagi anak-anakku kelak dan pasangan-pasangan lain. Kiranya keluarga yang kami bangun ini menjadi keluarga yang takut akan Allah, dan kiranya kelak anak-anak kami dapat menjadi pewaris kerajaan Allah.

Baca Juga:

Mengapa Aku Masih Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

aku-ingin-hidup-nyaman

Oleh Julian Panga, India
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Want a Comfortable Life—Anything Wrong?

Apakah hidup yang nyaman itu? Apakah itu hanya sekadar hidup cukup, sedikit lebih dari cukup, atau berkelimpahan?

Pengertian tentang arti hidup nyaman telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Bagi generasi yang lebih tua, hidup nyaman mungkin berarti ada makanan yang tersaji di atas meja, segala kebutuhan terpenuhi, dan punya sedikit tabungan untuk masa-masa sulit. Namun, bagi generasi sekarang ini, segala hal itu mungkin telah dianggap sebagai kebutuhan dasar.

Aku ingat masa-masa ketika orangtuaku hanya mampu membeli sebuah sepeda motor—yang digunakan oleh kebanyakan keluarga kecil di India untuk kebutuhan transportasi mereka. Beberapa tahun lalu, aku memutuskan untuk membelikan mereka sebuah mobil-bekas-pakai dari tabunganku. Namun mereka merasa tidak membutuhkan mobil itu, dan menganggap mobil itu sebagai sebuah barang mewah yang tidak mereka butuhkan. Dalam pikiran mereka, tabungan seharusnya disimpan untuk hal-hal yang penting. Tapi, dalam pikiranku, sebuah mobil adalah sebuah kebutuhan yang harus ada.

Pengalamanku itu mungkin menggambarkan keadaan dunia saat ini. Kini, adalah sebuah hal yang umum atau bahkan telah menjadi kebutuhan untuk memiliki rumah atau mobil yang lebih besar dan lebih baik, memakai ponsel model terbaru, atau menghabiskan banyak uang untuk berlibur. Jika kamu berjalan-jalan di kota-kota metropolitan India (kota-kota dengan jumlah pemuda berusia 10-24 tahun terbanyak di dunia), kamu akan banyak mendengar orang-orang yang berkata, “Aku sekarang sudah dewasa dan bekerja, jadi aku bisa mempunyai gaya hidup yang lebih baik,” atau, “Apa salahnya menikmati hidup nyaman? Itu pilihan pribadiku dan aku toh tidak merugikan siapa-siapa.” Para pemuda India, bersama dengan para pemuda di seluruh dunia, kini mengadopsi sebuah gaya hidup yang menuntut sesuatu yang lebih—lebih banyak uang, lebih nyaman, dan lebih mewah.

Ironisnya, dalam pengamatanku, mereka yang memiliki lebih dari yang mereka butuhkan tidak pernah terlihat benar-benar bahagia. Di sisi lain, mereka yang tampaknya memiliki lebih sedikit—seperti sebuah keluarga yang terdiri dari enam orang kurus yang mendekam di sebuah gubuk di Johannesburg, atau keluarga yang berjuang keras untuk bisa makan dalam gubuk kecil di Bangalore, India—memiliki senyum yang lebih lebar daripada mereka yang memiliki lebih. Bagiku, hal ini membuatku semakin yakin bahwa kekayaan dan kenyamanan tidak dapat membeli kebahagiaan yang sejati.

Meskipun demikian, pengamatan ini mungkin tidak mematahkan semangat kita—bahkan juga orang-orang Kristen—untuk mencari hal yang lebih banyak dalam hidup ini. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab: adakah yang salah dengan menginginkan hidup nyaman?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada lima pertanyaan lain yang dapat kita renungkan.

1. Siapa yang kita andalkan?

Mari kita mulai dengan melihat dua pemahaman yang populer tentang hidup nyaman. Pemahaman yang pertama, hidup nyaman berarti terpenuhinya kebutuhan kita. Sedangkan pemahaman yang kedua, hidup nyaman berarti hidup dalam kemewahan. Meskipun Alkitab tidak menentang kita untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup kita seperti sandang, pangan, dan papan, kita juga perlu mengingat bahwa Yesus mengatakan agar kita tidak khawatir akan segala hal tersebut, karena Bapa kita yang di surga tahu, bahwa kita memerlukan semuanya itu dan akan memberikannya kepada kita ketika kita meminta kepada-Nya (Matius 6:25-34; 7:7-11). Doa Bapa Kami menyatakannya dengan jelas: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Pelajaran yang dapat kita ambil di sini adalah untuk mengandalkan Tuhan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan kita.

Apa yang sesungguhnya ditentang Alkitab adalah cinta akan uang dan mengejar kekayaan semata. Keinginan untuk memiliki kehidupan yang mewah dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mengejar kekayaan. Obsesi ini mempunyai konsekuensi, seperti yang dikatakan Yesus tentang lebih mudahnya seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (Lukas 18:24-25).

Hidup nyaman itu sendiri bukanlah hal yang berdosa. Namun, jika hidup nyaman membuat kita mengandalkan diri kita sendiri lebih daripada Tuhan dan membuat kita menjadi sombong, kita perlu menjauhi hal itu.

2. Apa yang menjadi misi kita?

Dalam Lukas 9:58, Yesus mengatakan bahwa serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Bahkan kebutuhan dasar Yesus pun tidak terpenuhi. Namun, hal itu tidak membuat Dia enggan untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit, membantu orang miskin, dan memberikan semangat kepada mereka yang kekurangan, dikucilkan, dan putus asa. Dia melakukan apa yang menjadi misi Bapa-Nya dan menjalani prosesnya yang tidak nyaman.

Bukankan kita juga terlibat dalam misi Allah? Itu adalah sebuah misi seumur hidup yang mengharuskan kita untuk memberikan perhatian dan komitmen sepenuh hati kita. Jadi, jika kenyamanan dunia mengganggu atau menghalangi kita dalam melakukan misi Allah di dunia, kita perlu berhenti sejenak, melakukan refleksi dan menyesuaikan kembali hidup kita kepada Allah. Menjaga misi Allah menjadi pusat dari kehidupan kita akan membantu kita untuk lebih berfokus kepada upah yang bersifat kekal daripada kenyamanan duniawi yang sementara.

3. Kepada siapa kita mengabdi?

Dalam kisah tentang seorang muda yang kaya (Markus 10:17-27), ada seorang pemuda yang bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal. Pemuda itu bahkan mengatakan bahwa dia telah menuruti segala perintah Allah sejak masa mudanya. Yesus kemudian menunjukkan kepadanya bahwa meskipun pemuda itu mungkin telah menuruti segala perintah Allah tentang menjaga hubungan dengan sesama manusia, dia telah mengabaikan perintah Allah tentang menjaga hubungan dengan Allah. Singkatnya, kecintaannya kepada hartanya yang melebihi kecintaannya kepada Allah telah mempengaruhi hubungannya dengan Allah secara drastis. Masalah utamanya adalah tentang hati pemuda tersebut, dan kalau kita melanjutkan membaca kisahnya, pemuda itu pergi dengan sedih. Dia tidak rela memberikan hartanya yang banyak itu.

Dalam Matius 6:24, Yesus juga berkata bahwa tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Orang itu akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau dia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Jadi, jika hidup nyaman membuat kita berfokus kepada uang dan menghalangi kita untuk mengenal dan mengalami Tuhan dengan lebih baik, kita sebenarnya sedang mempertaruhkan hubungan kita dengan-Nya. Tuhan layak menerima pengabdian yang penuh dari kita.

4. Sudahkah kita melayani mereka di sekitar kita?

Yesus tidak perlu berpikir panjang untuk menanggalkan jubah-Nya, mengikatkan kain lenan pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-17). Dia menunjukkan apa artinya kerendahan hati yang sejati dan bagaimana kita perlu memperhatikan orang lain selain diri kita sendiri. Seperti Yesus, sikap yang kita tunjukkan haruslah sikap yang menghormati Yesus dengan sepenuh hati kita, tidak egois, dan memberi dengan murah hati.

Jadi, daripada menimbun harta atau kenyamanan untuk diri sendiri, mengapa kita tidak memanfaatkan kesempatan yang ada di sekitar kita untuk menunjukkan kasih dan melayani mereka yang kurang beruntung? Bagaimanapun, itu adalah tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita untuk memperhatikan orang-orang miskin, tertindas, terpinggirkan, para yatim dan janda di antara kita. Iman yang ditunjukkan melalui pelayanan yang kita lakukan menjaga fokus hidup kita tidak terpecah dan juga menjaga hati kita untuk tetap rindu untuk dipakai oleh Tuhan.

5. Apakah kita merasa cukup?

Di masa sekarang ini, sulit sekali bagi kita untuk merasa cukup di dalam dunia yang menawarkan kepuasan instan. Raja Salomo, dalam Pengkhotbah 5:10, berkata bahwa siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Namun seperti Rasul Paulus belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan (Filipi 4:11), kita juga dapat belajar mencukupkan diri jika kita belajar untuk mensyukuri berkat-berkat Tuhan. Daripada khawatir akan apa yang tidak kita miliki, marilah kita mencukupkan diri kita dengan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.

* * *

Setelah 12 tahun tinggal di Australia, di mana aku mempunyai sebuah pekerjaan yang memberikanku banyak penghasilan dan hidup nyaman, aku meninggalkan semua itu sebagai jawabanku akan panggilan Tuhan. Aku kembali ke India dan melayani dalam sebuah lembaga pelayanan Kristen. Seringkali aku ditanya: Mengapa aku membuat keputusan dan “mengambil langkah mundur”—begitulah istilah yang digunakan oleh beberapa orang.

Itu karena aku menyadari bahwa segala hal yang ada di dunia ini takkan dapat memuaskan kita. Semua hal itu hanya membuat kita menginginkan lebih, dan pada akhirnya menjatuhkan kita ke dalam kekecewaan dan kehancuran. Aku sadar bahwa aku hanya dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan hidupku yang sejati ketika aku mengarahkan pandanganku kepada Tuhan—sumber dari segala hal yang aku miliki.

Jadi, pada akhirnya pertanyaannya bukanlah apakah kita dapat hidup nyaman, tapi apakah hidup kita sungguh menghormati dan menyenangkan Tuhan dalam segala hal yang kita lakukan.

Baca Juga:

Apa yang Kamu Berikan di Hari Natal?

Sejatinya, Natal adalah tentang memberi. Allah telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai jalan keselamatan bagi kita (Yohanes 3:16). Lalu, sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus oleh-Nya, apa yang sudah kita berikan bagi Yesus?

5 Alasan Lebih Berbahagia Memberi daripada Menerima

5-alasan-lebih-berbahagia-memberi-daripada-menerima

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Really Happens When You Give More Than You Receive

Ayat ini mungkin terdengar tidak asing bagi kita, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35).

Namun, pernahkah kita memikirkannya? Bukankah kalimat itu terdengar kurang masuk akal? Bagaimanapun, ketika kamu memberi, kamu mengurangi apa yang kamu miliki—entah itu berupa benda fisik, uang, atau tenaga. Bukankah jauh lebih baik jika kita menerima daripada memberi? Siapa yang tidak suka menerima sesuatu seperti hadiah, perhatian, atau penerimaan?

Kalau kita membaca secara sekilas perkataan Yesus itu, kita mungkin berpikir bahwa memberi adalah sesuatu yang baik dan menerima adalah sesuatu yang buruk. Namun bukan itu yang Yesus maksud. Yang Yesus maksud adalah meskipun kita berbahagia ketika menerima, kita akan lebih berbahagia ketika memberi.

Yang menerima lebih banyak akan memberi lebih banyak

Sebenarnya, secara pribadi aku tidak selalu setuju dengan pemikiran ini. Ada saat-saat ketika aku merasa sulit memberikan uangku, tenagaku, atau waktuku kepada Tuhan atau orang lain, terutama ketika aku merasa untuk memenuhi kebutuhanku sendiri saja sudah pas-pasan.

Tentu, aku tidak sedang mengatakan bahwa kita perlu memberi semua yang kita miliki tanpa memperhatikan keadaan kita. Ada kalanya kita perlu memperhatikan diri kita sendiri dan menyimpan apa yang kita miliki. Ada “waktu untuk mengumpulkan” dan “waktu untuk menyimpan” (Pengkhotbah 3:5-6). Tidak salah jika kita menabung untuk masa-masa yang sulit atau untuk memperhatikan diri kita sendiri.

Namun, aku juga menyadari bahwa kesulitanku untuk memberi kadang menunjukkan masalah yang lebih dalam di dalam hatiku: Aku gagal menyadari betapa banyak aku telah menerima dan aku tidak merasa cukup dengan apa yang aku miliki.

Ketika seorang perempuan yang berdosa datang ke rumah di mana Yesus sedang makan untuk meminyaki kaki-Nya (Lukas 7:36-50), Yesus berkata bahwa perempuan itu telah banyak berbuat kasih karena dosanya yang banyak itu telah diampuni. Yesus kemudian berkata, “Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” (Lukas 7:47).

Ketika aku merasa sulit untuk memberi dalam kasih, apakah itu karena aku telah lupa betapa banyak yang telah aku menerima dari Tuhan? Jika demikian, aku harus mencari tahu dan menelaah apa yang telah membuatku melupakan anugerah, kasih, dan pengampunan yang sedemikian besar yang Tuhan telah berikan kepadaku.

Aku menyadari bahwa ketika aku sadar betapa banyak Tuhan telah memberi kepadaku, aku menjadi lebih ingin memberi kepada-Nya dan kepada orang lain, dalam kasih. Hanya ketika aku benar-benar mengerti bahwa Allah dalam kekayaan-Nya telah memberikan kepadaku segala sesuatu untuk aku nikmati (1 Timotius 6:17), aku dapat “memberi dengan sukacita” dan menyenangkan hati Tuhan (2 Korintus 9:7).

Berikut adalah beberapa hal yang aku pelajari ketika aku memilih untuk memberi.

1. Ketika semua orang memberi, semua orang menerima

Ini adalah logika sederhana. Jika semua orang mau menerima tapi tidak mau memberi, siapa yang akan memberi kepada mereka? Namun jika semua orang memilih untuk memberi satu sama lain, semua orang akan menerima. Bukankah itu adalah solusi yang terbaik?

2. Memberi menolong kita untuk belajar merasa cukup

“Apakah aku benar-benar memerlukan uang ini?” Itu adalah pertanyaan yang sering aku tanyakan kepada diriku setiap kali aku merasa sulit untuk memberi. Beberapa tahun lalu, aku membuat sebuah komitmen dengan Tuhan untuk tidak membeli baju, celana, atau sepatu baru kecuali aku benar-benar memerlukannya. Sekilas pandang ke dalam lemari bajuku sudah cukup untuk memberitahuku bahwa aku sudah punya cukup pakaian. Keinginanku untuk mempunyai lebih banyak pakaian seringkali muncul dari keinginanku untuk tampil cantik supaya mendapatkan pujian dari orang lain—sebuah keinginan yang aku harus matikan dalam diriku (Kolose 3:5). Jika aku ingin belajar menjadi seorang pengelola uang yang bijak untuk kerajaan Allah dan belajar bahwa “ibadah, yang disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar” (1 Timotius 6:6), aku harus mematikan keinginanku itu.

Seiring waktu, aku dapat menggunakan uangku untuk hal-hal yang memang benar-benar dibutuhkan. Aku mengenal seorang wanita tua yang berjualan tissue di pinggir jalan untuk bertahan hidup. Secara ekonomi, mungkin dia lebih miskin dariku. Namun dalam kesehariannya, dia memberi dengan murah hati dan sukacita kepada orang-orang yang membutuhkan, meskipun dia juga tidak memiliki banyak. Jika dilihat dari sisi tersebut, dia adalah seorang yang kaya, dan contoh yang dia berikan menginsiprasiku untuk memberi lebih banyak.

Kadang, aku dapat memberinya sejumlah uang tanpa perlu berpikir panjang. Namun ada saat-saat yang lain ketika aku enggan untuk memberi karena aku merasa aku tidak punya cukup uang. Dalam momen-momen tersebut, aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah aku benar-benar membutuhkan uang ini?” Itulah ketika aku menyadari bahwa wanita itu lebih memerlukan uang itu daripada aku. Bagaimanapun, apa yang harus aku korbankan? Mungkin, aku perlu menyisihkan sedikit anggaran makananku bulan itu untuk kuberikan kepadanya. Namun setiap kali aku memberi, aku mengalami rasa sukacita karena memberi.

3. Memberi membuat kita percaya pemeliharaan Tuhan

Setiap kali aku takut bahwa aku akan kekurangan setelah aku memberi, Tuhan akan datang memeliharaku dengan cara-Nya yang indah di waktu yang tepat. Cara dan waktu Tuhan bekerja mungkin tidak selalu persis seperti yang aku harapkan, namun aku telah melihat kesetiaan-Nya dalam memeliharaku lagi dan lagi.

Aku merasakan apa yang Tuhan janjikan dalam Maleakhi 3:10, “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”

Bapaku di surga adalah TUHAN yang memelihara (Jehovah-Jireh); Dia tahu apa yang aku butuhkan, dan Dia setia dalam menyediakan bagiku apa yang aku butuhkan. Jadi, aku dapat “[mencari] dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,” dan percaya bahwa “semuanya itu akan ditambahkan [kepadaku]” (Matius 6:8,32-33).

4. Memberi membuat kita lebih mengenal Tuhan

Aku percaya Tuhan memanggil kita untuk memberi karena memberi membuat kita lebih mengenal Dia. Allah Bapa memberikan Anak-Nya bagi kita (Yohanes 3:16); Dia memberikan kita kepada Yesus (Yohanes 6:37); dan Dia memberikan Roh Kudus bagi kita (Lukas 11:13; Yohanes 14:26). Allah Anak memberikan kita pengenalan akan Allah Bapa (Yohanes 14:6-9; Matius 11:27) dan Dia memberikan pendamaian dan jalan masuk bagi kita kepada Bapa (Efesus 2:13-18). Roh Kudus memberikan peringatan akan semua yang telah Yesus katakan kepada kita (Yohanes 14:26), memberitakan kepada kita apa yang diterimanya dari pada-Nya (Yohanes 16:14); dan Dia memberikan kepada kita berbagai karunia rohani untuk berbagai macam pelayanan bagi Tuhan (1 Korintus 12:4-11).

Ketika kita memberi, itu menolong kita untuk mengenal hati Tuhan lebih dalam, sama seperti ketika kita mengikuti aktivitas yang disukai oleh orang yang kita kasihi akan membuat kita lebih mengenal tentang dia. Firman Tuhan juga mengatakan kepada kita bahwa kerinduan utama yang perlu kita miliki dalam hidup ini adalah untuk memahami dan mengenal Tuhan (Yeremia 9:23-24), dan untuk mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana kita menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Filipi 3:10).

5. Memberi adalah anugerah Tuhan

Pernahkah kamu menyembah Tuhan dalam pujian dengan penghayatan dan keyakinan bahwa inilah alasan mengapa kamu diciptakan—untuk memuji Dia? Aku pernah. Dalam momen-momen tersebut, aku merasa seperti telah memenuhi tujuan hidupku dan dipenuhi oleh rasa syukur yang berlimpah kepada Tuhan karena Dia telah menciptakanku sehingga aku dapat menikmati karunia indah yang diberikan-Nya ini yang memampukanku untuk menyembah Dia dengan sukacita.

Bayangkan jika kamu begitu dikasihi oleh seseorang namun kamu tidak dapat membalas kebaikannya. Betapa menyedihkan! Jika kita menerima kasih dan kebaikan seseorang, tentunya kita ingin mampu membalas kasih dan kebaikan yang begitu besar yang telah diberikannya kepada kita. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena Dia menciptakan diriku dengan kemampuan untuk memberi balik sebagian kecil dari anugerah yang begitu besar yang telah Dia berikan kepadaku, dengan berbagai cara—entah dengan puji-pujian atau dengan memberikan waktu, uang, perhatian, atau tenagaku.

Aku akhirnya mengerti bahwa memberi tidak hanya memuliakan Tuhan, tapi juga merupakan anugerah Tuhan bagi kita. Tuhan tidak memerlukan kita untuk memberi kepada-Nya, tapi kita mengalami sukacita ketika kita memberi kepada-Nya—dan itu menyenangkan-Nya ketika kita memberi kepada-Nya sebagai ungkapan syukur kita atas anugerah-Nya. Itu seperti sukacita yang kita rasakan ketika kita dapat memberi balik kepada orangtua kita atas segala hal yang telah mereka berikan kepada kita—meskipun mereka tidak mengharuskan kita untuk memberi balik kepada mereka.

* * *

Karena semua alasan di atas, aku mengerti mengapa Yesus berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” Tentu, ada waktu untuk memberi dan melayani, dan ada waktu untuk menerima dan beristirahat. Kita perlu menggunakan hikmat yang Tuhan telah berikan kepada kita untuk mengelola segala hal yang kita miliki dengan bijak.

Memberi adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada kita. Jadi, memberilah dengan sukacita, dan bukan dengan sedih hati atau karena paksaan.

Baca Juga:

Berbagi Takjil di Perempatan Lampu Merah

Langit senja begitu indah sore itu ketika aku tengah berada dalam perjalanan menuju rumah. Di tengah-tengah perjalanan, suara azan magrib berkumandang bersama dengan suara sirine yang cukup panjang. Ya, saat itu adalah bulan puasa bagi umat Muslim. Terbersit dalam benakku, apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Lebih dari Optimisme, Inilah yang Harus Kita Lakukan untuk Menghadapi Realita Kehidupan

lebih-dari-optimisme

Oleh M.D. Valley, Afrika
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should Christians be Optimistic or Cynical?

Dulu, perasaanku sering berubah-ubah. Kadang aku menjadi seorang yang optimis, namun aku dapat berubah menjadi seorang yang pesimis.

Setiap kali aku menginginkan sesuatu, aku akan membulatkan tekadku dan memberikan usahaku (bahkan sampai 110 persen) dan juga mendoakannya. Namun ketika keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan yang kuinginkan, aku akan bereaksi seperti seorang anak manja yang tidak mendapatkan permen yang diinginkannya. Dalam momen-momen tersebut, dilingkupi dengan kekecewaan—dan kadang, kekecewaan kepada Tuhan—aku akan mengatakan kepada diriku bahwa lebih baik menjadi seorang yang pesimis daripada menjadi seorang yang optimis. Bukankah optimisme juga tidak selalu membuahkan hasil?

Temanku pernah mengatakan bahwa dia melakukan yang terbaik yang dapat dia lakukan, tapi selalu bersiap untuk gagal. Dia menjelaskannya seperti ini: “mengharapkan yang terburuk” menjaga seseorang dari kekecewaan yang besar ketika kegagalan menimpa.

Tapi itu tidak berlaku bagiku. Dalam kasusku, setiap kali kegagalan menimpaku, aku akan dihantui pikiran-pikiran yang mengatakan mungkin harapanku akan menjadi kenyataan jika aku lebih optimis. Bagaimanapun, jika orang buta yang dikisahkan dalam Alkitab tidak meminta belas kasihan Yesus dan tidak meminta-Nya untuk mencelikkan matanya, mungkin Yesus hanya akan melewatinya saja tanpa melakukan apa-apa. Jika dia duduk manis saja dengan segala ketidakmampuannya dan percaya bahwa Yesus tidak peduli dan dia tidak berharap kepada-Nya, mungkin dia takkan disembuhkan (Lukas 18:35-42).

Seiring waktu, aku sadar bahwa akar dari ketidaksenangan kita—tidak peduli apakah kita seorang yang pesimis atau optimis—biasanya adalah hal yang sama: kita menginginkan sesuatu, tapi kita tidak mendapatkannya. Jadi bagaimana kita harus menyikapi akar masalah ini?

Jawaban sederhananya adalah dengan berharap.

Filsuf dan penulis asal Ceko bernama Vaclav Havel pernah berkata bahwa “berharap tidak sama dengan optimisme. Itu bukan keyakinan bahwa segala sesuatu akan berhasil dengan baik, tapi kepastian bahwa apapun hasilnya, itu masuk akal”.

Ketika kita berharap kepada Tuhan, kita memiliki rasa percaya yang dalam kepada Tuhan. Kita percaya bahwa kehendak Tuhanlah yang terjadi, terlepas dari apapun hasil yang kita dapatkan. Yesus mengajar kita untuk berdoa agar kehendak Tuhan yang jadi, di bumi seperti di surga. Kalimat itu muncul sebelum kita berdoa agar kita mendapatkan makanan yang secukupnya (Matius 6:9-13). Itu adalah sesuatu yang Yesus telah contohkan pada titik terberat dalam pelayanan-Nya di bumi.

Di Taman Getsemani (Matius 26:36-46), Yesus berhadapan dengan realita akan kematian-Nya di kayu salib yang akan segera terjadi. Namun meskipun apa yang ada di hadapan-Nya itu begitu membuat-Nya tertekan hingga membuat peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Lukas 22:44), Dia tidak memaksakan kehendak-Nya tapi berserah kepada kehendak Allah.

Sejujurnya, mempercayai Allah sampai titik akhir kehidupan bukanlah perkara yang mudah. Sudah menjadi natur manusia untuk melarikan diri dari rasa sakit dan pengorbanan. Seorang temanku pernah bekerja di dalam sebuah pekerjaan yang tidak memuliakan Tuhan, dan jiwanya menjadi gelisah. Dia tahu jika dia berhenti dari pekerjaannya, dia takkan mendapatkan penghasilan untuk membiayai anaknya dan dirinya. Keluarganya juga tidak membantunya. Selain itu, dia tinggal di negara asing sebagai seorang imigran, sehingga akan sulit juga baginya untuk mendapatkan pekerjaan lain.

Namun sampailah dia kepada satu titik di mana dia sadar bahwa seharusnya dia menghormati Allah dalam pilihan karirnya. Jadi dia mengambil sebuah langkah iman yang besar dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Satu bulan berlalu dan tidak ada wawancara dan tawaran pekerjaan lain yang diterimanya, tapi dia tetap berharap dan beriman. Tiga bulan kemudian, dia mendapatkan sebuah panggilan telepon dan mendapatkan sebuah penawaran sebuah pekerjaan yang lebih baik. Perusahaan itu juga akan membayarkan visa kerja yang dia perlukan dan memberikan bantuan untuk anaknya.

Sejak saat itu aku belajar untuk mengubah doaku dari “aku ingin ini dan itu” menjadi “kiranya kehendak-Mu yang sempurna yang jadi”. Aku belajar bukan menjadi seorang yang optimis, tapi menjadi seorang yang beriman, tekun, dan berharap di dalam Tuhan.

Beberapa tahun lalu, aku ada dalam sebuah pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang aku doakan. Saat itu, aku tidak mengerti mengapa Tuhan menginginkan aku ada di tempat itu. Itu adalah sebuah pekerjaan yang sulit; bosku juga begitu menyulitkan sampai-sampai tidak ada seorang pun yang dapat bekerja dengannya selain aku. Namun setelah dua bulan Tuhan memberiku sebuah pekerjaan yang bahkan lebih baik daripada apa yang aku doakan. Ironisnya, aku diterima dalam pekerjaan itu karena pengalamanku dalam pekerjaanku yang sebelumnya—pekerjaan yang aku tidak sukai. Aku sadar bahwa segala hal yang baik akan muncul di balik setiap keadaan, tidak peduli seberapa sulitnya keadaan itu. Kebenaran itu telah memberikanku damai sejahtera.

Aku akhirnya menyadari bahwa Tuhan selalu menjawab doa-doa kita dengan apa yang baik untuk diri kita (Roma 8:28), meskipun apa yang kita harapkan mungkin tidak terjadi seperti apa yang kita bayangkan sebelumnya. Dia tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi Dia memberikan apa yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Senandung Masa Lajang

Teruntuk kekasih di masa depan
Kan kulalui malam kesekian tanpamu di sekitar
Meski tanya selalu mengusik pandangan
Aku percaya kita dipersiapkan untuk menjadi lebih bersinar

Ketika Temanku Menjadi Tersangka Kasus Pembunuhan

ketika-temanku-menjadi-tersangka-kasus-pembunuhan

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend is Suspected of Rape and Murder

6 Maret 2016

Aku baru akan pergi tidur; waktu menunjukkan hampir jam 11 malam. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku untuk terakhir kalinya sebelum tidur. Teman baikku, Linda, baru saja mengirimiku serentetan pesan.

Apa yang akan kubaca adalah sesuatu yang mengerikan dan menghancurkan hati.

Pesan itu berbunyi: “Jo … sebuah kasus besar baru saja terjadi di Siem Reap dan foto laki-laki itu mirip Kosal … Kosal terlibat dalam sebuah kasus pemerkosaan…”

Kosal. Pemerkosaan. Kedua kata itu begitu tidak masuk akal ketika digabungkan. Aku pun membaca lagi pesan yang dikirimkan Linda tentang bagaimana dia melihat sebuah posting di Facebook yang dibagikan oleh beberapa pemuda Kambodia yang kami kenal ketika kami mengadakan perjalanan misi ke negara itu beberapa waktu lalu. Posting itu dilengkapi dengan sebuah foto seorang laki-laki berusia 25 tahun, seorang yang telah kami kenal selama 6 tahun.

Ketika Linda memasukkan tulisan dalam bahasa Khmer tersebut ke dalam Google Translate, terdapat beberapa kata yang muncul dari hasil terjemahannya: “pemerkosaan”, “pembunuhan”, “gadis berusia 11 tahun”, dan “Kosal”. Dia kemudian mengkonfirmasikan hal itu dengan seorang pemimpin gereja lokal, dan mendapati bahwa Kosal telah dituduh memerkosa dan membunuh seorang gadis berusia 11 tahun.

Itu bagaikan aku menerima kabar dukacita dari temanku. Atau bahkan lebih buruk. Perutku terasa sakit dan jantungku berdegup kencang ketika aku memikirkan apa yang baru saja kubaca. Kosal? Tidak mungkin. Wajahnya yang sedang tersenyum langsung melintas di pikiranku.

Kami baru bertemu Kosal dalam perjalanan misi terbaru kami ke Siem Reap, Kambodia. Itu adalah perjalananku yang kelima, dan perjalanan Linda yang ketujuh. Segalanya baik-baik saja saat itu. Hal apa yang membuat segalanya menjadi begitu buruk hanya dalam waktu empat bulan? Apa yang membuatnya melakukan tindakan yang mengerikan itu? Bagaimana keluarganya menanggapi berita ini? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku, namun tak ada jawaban yang kutemukan. Aku ingin menanyakan teman-temanku di Kambodia namun saat itu sudah terlalu malam. Aku merasa tidak berdaya dan tidak berguna.

Aku tidak dapat tidur nyenyak malam itu. Aku hanya tidak dapat percaya bagaimana seorang yang lemah lembut seperti Kosal dapat terlibat dalam kasus pembunuhan yang begitu keji.

Aku bertemu Kosal enam tahun lalu—ketika aku pertama kali pergi ke Kambodia—dalam sebuah sesi Pendalaman Alkitab yang diadakan oleh tim perjalanan misi gerejaku di Singapura untuk para pemuda di desa Pouk di Siem Reap. Pemalu, sopan, dan sederhana, Kosal diperkenalkan kepada kami sebagai seorang kerabat dari seorang pemimpin gereja lokal dalam komunitas tersebut.

Kosal yang saat itu berusia 18 tahun adalah salah satu dari beberapa orang non-Kristen yang hadir dalam sesi malam itu. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika salah satu rekanku membagikan Injil kepadanya melalui seorang penerjemah. Malam itu, dia menanyakan banyak pertanyaan yang dijawab dengan sabar oleh temanku. Beberapa bulan kemudian, kami mendapat kabar bahwa Kosal menerima Tuhan dan mengikuti kelas bahasa Inggris secara rutin.

Berikutnya, kami bertemu Kosal setiap kali kami melakukan kunjungan balik dan mengadakan program-program untuk para pemuda dan anak-anak. Dia telah menjadi seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah di desanya dan melayani secara aktif dan rutin di gereja. Karena dia kini semakin mengerti bahasa Inggris, kami dapat berkomunikasi lebih banyak dengannya. Dia masih pemalu, namun dia kini sudah bisa bercanda dan mengolok kami ketika kami mencoba berbicara dalam bahasa Khmer.

Bertemu dia kembali dalam perjalanan misi kami yang terakhir adalah bagikan bertemu seorang teman lama. Pertemuan itu menghangatkan hati kami. Kami begitu senang melihat pertumbuhannya. Dia telah menjadi salah satu pemimpin kunci dari para pemuda di desa Pouk dan sangat terkenal dan dipandang baik oleh komunitas di sana. Selama dia mengajar, murid-muridnya akan berpartisipasi secara aktif. Setelah kelas selesai, mereka akan berkumpul mengitarinya untuk bermain. Itu adalah bukti bagaimana dia begitu peduli dengan mereka dan bagaimana mereka menikmati kehadiran Kosal.

Itulah yang membuat berita ini menjadi begitu mengagetkan. Mengapa Kosal melakukan pemerkosaan dan pembunuhan—apalagi korbannya adalah muridnya sendiri, seperti yang kemudian kami ketahui? Kosal berulang kali menyatakan bahwa dia tidak bersalah, namun para pemimpin gereja lokal, yang mengabari kami secara rutin, memberitahu kami bahwa polisi mempunyai bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa dia adalah pelakunya.

Beberapa hari berikutnya, kami mengetahui bahwa Kosal, yang merupakan tetangga gadis tersebut, menjadi seorang tersangka karena dia berada di tempat kejadian perkara saat itu. Hari itu, bibi gadis itu baru saja kembali dari pasar dan menemukan diri gadis itu tergantung di jendela dengan kabel televisi, terlihat seperti sebuah bunuh diri. Kosal, yang mendengar teriakan minta tolong sang bibi, berlari untuk membantu memotong kabel tersebut. Polisi tiba di TKP tak lama kemudian. Setelah memeriksa tubuh gadis itu, mereka menyimpulkan bahwa korban telah diperkosa dan kemudian dibunuh. Tidak ada hal detail yang dibagikan pada saat tersebut. Tidak dijelaskan juga bagaimana polisi menentukan Kosal sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Yang kami tahu hanyalah dia ditangkap di tempat dan tes DNA kemudian dilakukan untuk menentukan apakah dia bersalah atau tidak. Kami diberitahu bahwa hasilnya akan keluar dalam waktu 10 hari. Jika dia terbukti bersalah, kemungkinan besar dia akan dipenjara seumur hidup.

Kami pun menunggu. Tapi bukan 10 hari. Kami harus menunggu sekitar 10 minggu sampai akhirnya kami mengetahui kebenaran di balik kasus ini.

Selama waktu tersebut, Kosal ditahan di penjara dan kami tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta kabar terbaru dari para pemimpin. Aku memikirkan betapa Kosal mungkin merasa kesepian dan ketakutan, dan para pemimpin juga merasa kecewa karena harus menghadapi fakta bahwa salah satu anggota mereka menjadi tersangka kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Begitu menyakitkan bagi kami mengetahui bahwa kami tidak dapat menawarkan bantuan apa-apa selain kata-kata penguatan dan berjanji kepada mereka bahwa kami juga turut mendoakan Kosal.

21 April 2016

Ketika segala hal terlihat begitu gelap, secercah harapan muncul. Hasil tes DNA akhirnya keluar dan hasilnya negatif! Kosal tidak bersalah. Dia terlibat dalam kasus ini hanya karena dia berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.

Rasa sukacita dan lega memenuhi hatiku ketika salah seorang pemimpin gereja lokal memberitahu kami tentang hasil tes tersebut. Pada saat yang sama, aku merasa kesal—karena Kosal telah diperlakukan dengan tidak adil—dan simpati yang dalam terhadapnya ketika aku memikirkan tentang penderitaan emosi dan psikologis yang dihadapinya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, aku juga bersemangat karena mengetahui bahwa penderitaan Kosal akan segera berakhir.

Sayangnya, sukacita kami tidak bertahan lama.

Kami diberitahu bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Kosal tidak akan dilepaskan dari penjara karena hakim menolak permintaan ditutupnya kasus itu. Kecuali para pemimpin gereja lokal bersedia membayar suap, Kosal akan tetap ditahan di penjara setidaknya untuk setahun ke depan untuk kejahatan yang tidak dia lakukan.

Itu menjadi sebuah pukulan bagi para pemimpin gereja lokal, yang telah bekerja tanpa mengenal lelah untuk membuktikan bahwa Kosal tidak bersalah. Mereka menjadi sangat marah dan tidak terima. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa itu sama saja dengan “menculik secara legal dan meminta tebusan”. Namun di tengah situasi yang sepertinya mustahil, mereka menolak untuk menggunakan cara yang tidak benar. Mereka memutuskan untuk berjuang untuk melepaskan Kosal dengan cara-cara yang benar.

Selama beberapa bulan berikutnya, para pemimpin itu berusaha keras untuk mengajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi, meskipun mereka telah diberitahu bahwa hal itu sia-sia saja. Gereja lokal juga bersatu dalam solidaritas untuk berdoa bagi Kosal dan keluarganya. Dan Tuhan menjawab doa mereka dengan cara yang tidak terbayangkan: Di tengah tragedi yang tidak masuk akal ini, kedua orang tua Kosal dan dua adik perempuannya mulai pergi ke gereja.

Jelas sekali bahwa Tuhan tidak melupakan Kosal dan keluarganya. Dan itu baru awalnya saja.

2 September 2016

4 bulan kemudian, kami mendengar kabar yang telah lama kami nanti-nantikan. Pada tanggal 2 September, Kosal akhirnya dibebaskan dari penjara. Setelah melalui 6 bulan penderitaan di dalam penjara untuk kejahatan yang tidak dilakukannya, dia akhirnya bebas.

Sore itu juga ketika Kosal dibebaskan, aku melihat sebuah foto di Facebook yang menunjukkan Kosal yang sedang makan malam bersama dengan beberapa pemimpin gereja lokal. Dia tersenyum dan keadaannya terlihat baik. Itu adalah sebuah foto yang indah yang menunjukkan kesetiaan, pemulihan, dan kasih Tuhan.

* * *

Sudah hampir dua bulan sejak Kosal dibebaskan dari penjara. Dia masih belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya selama di penjara: dia masih mengalami mimpi buruk, dan seringkali tidak dapat tidur. Tapi ada satu hal baik yang terlihat. Seluruh keluarga Kosal kini menerima Yesus dalam hidup mereka. Beberapa minggu yang lalu, seluruh keluarga Kosal memberikan kesaksian di gereja tentang anugerah dan kebaikan Tuhan.

Ketika aku melihat kembali keseluruhan kisah ini, hatiku dipenuhi oleh sukacita dan rasa syukur karena aku melihat bagaimana Tuhan menjawab doa anak-anak-Nya. Dia tidak hanya menyelamatkan Kosal, keluarganya, dan komunitasnya dari masa-masa yang sulit ini, tapi juga Dia melakukan sebuah pekerjaan yang indah dengan membawa seluruh keluarganya kepada Kristus. Kisah Kosal adalah sebuah kesaksian tentang kesetiaan Tuhan kepada anak-anak-Nya (Roma 8:28), dan kisah inilah yang akan aku ingat ketika aku menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupanku.

Aku berdoa agar Kosal terus bersaksi tentang kebaikan Tuhan. Bagi Tuhanlah kemuliaan sampai selama-lamanya!

Baca Juga:

Aku Tidak Memilih untuk Menjadi Gay

Aku pertama kali menyadari bahwa aku mempunyai perasaan-perasaan ini ketika aku mulai memasuki masa puber ketika aku SMP. Aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki di kelasku. Saat mulai kuliah, aku juga terkagum-kagum dengan seorang teman laki-laki di kampusku. Itulah saat di mana aku mengindentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”.

Baca kesaksian Raphael selengkapnya dalam artikel ini.

Aku Tidak Memilih untuk Menjadi Gay

aku-tidak-memilih-untuk-menjadi-gay

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Didn’t Choose to be Gay

Aku tidak pernah memilih untuk tertarik kepada sesama jenis.

Aku mempunyai masa kecil yang biasa-biasa saja di sebuah rumah yang juga biasa. Ayah, ibu, dan nenekku mengasihiku dan melakukan yang terbaik yang dapat mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhanku dan memperhatikanku.

Aku memiliki seorang adik laki-laki, tapi sejak kecil aku selalu menginginkan kehadiran seorang kakak laki-laki. Saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar, aku menjadikan seorang anak laki-laki yang lebih tua daripadaku di kelasku sebagai figur seorang kakak bagiku.

Aku pertama kali menyadari bahwa aku mempunyai perasaan-perasaan ini ketika aku mulai memasuki masa puber ketika aku SMP. Aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki di kelasku. Saat mulai kuliah, aku juga terkagum-kagum dengan seorang teman laki-laki di kampusku. Itulah saat di mana aku mengindentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”.

Tidak ada seorang pun yang dapat aku ceritakan tentang bagian dari hidupku ini—tidak dengan keluargaku atau juga dengan temanku. Jadi aku mencari di Internet tentang komunitas gay yang ada di sekitarku, dan aku menemukan beberapa. Aku ingat pertama kali aku chatting dengan seorang gay lainnya; aku begitu gugup sekaligus bergairah.

Awalnya, rasa ingin tahulah yang membawaku kepada komunitas-komunitas ini. Namun seiring berjalannya waktu, kesepianlah yang membuatku mencari orang-orang lain yang seperti diriku. Ketika rasa kesepianku bertambah, aku mulai menginginkan untuk menjalin hubungan yang romantis.

Aku tidak pernah pergi ke gereja sejak aku menjadi seorang Kristen saat aku SD. Aku juga tidak pernah diajarkan tentang kebenaran firman Tuhan tentang seksualitas. Karena itu, aku secara salah menyimpulkan bahwa Tuhan mengizinkanku mengejar hasratku untuk berhubungan dengan sesama jenis. Dan aku pun melakukannya, untuk 10 tahun berikutnya. Aku mencoba banyak cara untuk menjalin hubungan dengan sesama jenis dan, yang kusesalkan, aku juga jatuh ke dalam dosa seksual dengan banyak laki-laki berulang kali.

Beberapa tahun yang lalu, Tuhan meyakinkan hatiku bahwa itu bukanlah kehendak-Nya bagiku untuk mengejar hasratku terhadap sesama jenis. Sejak saat itu, Dia telah memimpinku melalui sebuah perjalanan pemulihan dan pengejaran akan kekudusan.

Meskipun aku tidak lagi mengidentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”, aku masih merasa tertarik dengan laki-laki. Aku begitu sadar akan hal itu. Aku tahu bahwa aku tidak boleh melakukannya, dan aku memilih untuk mematuhi Tuhan. Namun rasa tertarik itu masih terasa “alami” bagiku.

Jika aku mempunyai pilihan, aku akan memilih untuk menghilangkan hasrat ini sama sekali. Itu akan membuat hidupku jauh lebih mudah. Aku tidak tahu apakah suatu hari nanti aku akan mengalami pemulihan total di dunia ini, ataukah aku baru mendapatkan pemulihan total itu ketika aku telah mendapatkan tubuh yang baru, ketika aku bertemu dengan Tuhan nanti.

Meminjam kata-kata Wesley Hill, seorang penulis Kristen yang bergumul dengan ketertarikan terhadap sesama jenis yang telah memutuskan untuk tetap selibat (tidak menikah), aku kini hidup dalam fase “dibersihkan dan menanti”. Sebagai seorang Kristen, aku “dibersihkan, … dikuduskan [dan] dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Korintus 6:11), tapi aku juga “menanti-nantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (Roma 8:23-25).

Sementara itu, aku tahu bahwa meskipun aku tidak dapat memilih seksualitasku, ada pilihan-pilihan yang dapat kupilih yang menyenangkan Tuhan. Aku percaya bahwa mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis itu sendiri bukanlah sebuah dosa; tentunya Tuhan yang adil takkan memintaku untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang tidak dapat kupilih. Tapi bagaimana aku merespons terhadap perasaan itulah yang membuat perbedaan: itu bisa menjadi sebuah jalan yang membawaku kepada dosa, atau menjadi sebuah kesempatan untuk menyembah Tuhan dan mendapatkan pemulihan.

Aku berharap apa yang aku bagikan di sini juga dapat menolongmu untuk dapat memilih pilihan-pilihan yang benar bagi kemuliaan Tuhan dan bagi kebaikan dirimu ketika kamu menemukan dirimu diperhadapkan dalam situasi-situasi yang sulit.

Aku dapat memilih untuk percaya bahwa Tuhan peduli kepadaku

Pernah suatu kali aku marah kepada Tuhan karena mengizinkanku mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis, tapi melarangku untuk mengejarnya. Itu terasa kejam, dan aku menyalahkan Dia karena menempatkanku dalam sebuah situasi yang aku rasa mustahil untuk dilalui.

Namun, seiring berjalannya tahun, ketika aku mulai mengerti siapa Allah sebenarnya—betapa Allah Bapa begitu baik dan begitu mengasihiku, betapa besar pengorbanan yang diberikan oleh Yesus, Sahabat dan Juruselamatku, dan betapa terpercayanya Roh Kudus, Penghibur dan Guruku—amarahku juga pelan-pelan tergantikan dengan rasa kagum, rasa syukur, dan rasa cinta yang semakin dalam kepada Tuhan.

Aku masih belum tahu secara pasti mengapa Tuhan mengizinkanku mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis. Aku mungkin baru akan tahu ketika aku bertemu dengan-Nya muka dengan muka. Namun hingga hari itu tiba, aku memilih untuk memegang firman Tuhan yang mengatakan bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Aku tahu bahwa Dia peduli denganku dan Dia setia berjalan bersamaku untuk kebaikan diriku.

Aku dapat memilih untuk lebih mengandalkan Tuhan

Setiap kali mata atau hatiku tertarik pada seorang laki-laki yang secara fisik menarik bagiku atau yang membangkitkan hasratku, aku harus mengingatkan diriku untuk menjauh dari hal-hal itu dan mendekat kepada Tuhan. Suatu waktu ketika aku merasa begitu berat untuk menjaga mataku dari hawa nafsu, aku bertanya kepada Tuhan mengapa aku harus bergumul dengan hal ini. Aku mendengar Dia berkata, “Matamu berkeliling karena hatimu tidak berlabuh pada-Ku.”

Benar saja, setiap kali aku secara sengaja menyisihkan lebih banyak waktu bersama Tuhan—untuk menyembah Dia dengan puji-pujian, untuk bertemu dengan-Nya di dalam firman Tuhan dan doa, dan bersekutu bersama orang-orang Kristen lainnya—aku jauh lebih mampu untuk menjauh dari hasratku kepada sesama jenis. Melalui hal ini, aku mengerti mengapa Alkitab memberitahu kita untuk “hidup oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging” (Galatia 5:16-17).

Aku mengingatkan diriku bahwa “barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (Galatia 6:8). Setiap kali aku bergumul, aku dapat memilih untuk berjalan bersama Roh, menabur untuk menyenangkan Dia, untuk menuai hidup yang kekal.

Aku juga telah belajar untuk secara sadar membawa rasa sakit dan kebutuhanku kepada Tuhan. Tuhan membuatku mengerti bahwa di balik ketertarikanku terhadap sesama jenis ada sebuah relasi yang rusak. Hal ini menyebabkanku mencari sosok, perhatian, dan kasih sayang seorang laki-laki yang tidak kudapatkan ketika aku dibesarkan. (Aku tahu orang lain mungkin memiliki kasus yang berbeda denganku.)

Jadi setiap kali aku terseret ke dalam ketertarikan dengan sesama jenis, aku memilih untuk membawa kerinduan hatiku ini kepada Tuhan, meminta-Nya untuk menolong dan menguatkanku, dan memberikan pemulihan bagi luka-lukaku. Aku mengingatkan diriku bahwa identitasku sebagai laki-laki ditentukan oleh standar Tuhan yang telah Dia berikan di dalam firman-Nya, yang tidak diajarkan oleh budaya kita. Dan aku meminta Dia untuk menunjukkanku bagaimana aku dapat mencari dan menerima perhatian dari para laki-laki dalam cara-cara yang sehat.

Dalam hal ini, ketertarikanku terhadap sesama jenis telah memberiku banyak kesempatan untuk lebih mengandalkan Tuhan. Aku memilih untuk mendekat kepada-Nya dan menerima cara-Nya untuk memulihkanku yang lebih baik daripada cara yang dapat kupikirkan.

Aku dapat memilih untuk menggunakan pergumulanku untuk tujuan-Nya

Baru-baru ini, Tuhan menunjukkanku bagaimana aku dapat memilih untuk menggunakan pergumulanku dengan ketertarikan terhadap sesama jenis ini untuk tujuan Kerajaan Allah.

Tuhan telah mempertemukanku dengan beberapa orang Kristen yang juga mengalami pergumulan yang sama dan sedang mencari pertolongan. Aku begitu terbeban untuk menjangkau mereka, dan aku sadar bahwa pengalaman pribadiku inilah yang membuat mereka mau terbuka kepadaku.

Di satu sisi, pengalaman ketertarikanku terhadap sesama jenis telah menolongku untuk memahami mereka. Sebagai seseorang yang mengetahui sakitnya pergumulan ini, aku dapat memahami apa yang mereka rasakan. Empati itulah yang menghubungkan kami, dan memungkinkan diriku untuk berbagi dengan mereka tentang apa yang telah Tuhan ajarkan kepadaku di sepanjang perjalananku ini. Di sisi lain, aku harus dengan sadar memperhatikan batasan-batasan fisik dan emosi, agar kami tidak jatuh ke dalam dosa.

Aku pun belajar bagaimana menyeimbangkan kedua hal itu dengan bijak. Akhirnya, aku dapat menggunakan pergumulanku dengan ketertarikan terhadap sesama jenis ini untuk menolong orang lain dan mengarahkan mereka kepada Tuhan, untuk kemuliaan-Nya dan untuk kebaikan mereka.

Aku dapat memilih untuk berpegang kepada apa yang Tuhan katakan

Ada banyak orang dalam budaya kita sekarang yang berpikir bahwa aku tidak menjadi diriku sendiri. Mereka berpikir bahwa aku seharusnya bebas menjadi diriku sendiri. Mereka percaya bahwa kebebasan berarti memiliki kemampuan untuk mengekspresikan seksualitasku dengan melakukan sesuai dengan apa yang kurasakan.

Namun seorang teolog Amerika, Erik Thoennes, berkata, “Ada pemikiran yang mengatakan bahwa hidup berbeda dari apa yang aku rasakan adalah sebuah bentuk kemunafikan; tapi itu adalah definisi yang salah tentang kemunafikan. Hidup berbeda dari apa yang aku percayai, itu baru kemunafikan. Hidup sesuai dengan apa yang aku percayai, terlepas dari apa yang aku rasakan, bukanlah kemunafikan; itu adalah integritas.”

Tuhan telah mengajarkanku bahwa identitas diriku bukanlah apa yang kurasakan, tapi apa yang Dia katakan tentang diriku di dalam firman-Nya. Aku memilih untuk hidup dengan integritas dan berpegang kepada kebenaran itu, terlepas dari apa yang aku rasakan. Inilah bagaimana aku memilih untuk menjadi diriku sendiri. “Dalam tradisi Kristen,” kata penulis Richard John Neuhaus, “menjadi dirimu sendiri berarti menjadi diri yang sesuai dengan panggilan hidupmu.”

Tuhan mempunyai kuasa penuh terhadap hidupku. Dan aku dapat percaya kepada-Nya karena Dia, yang mengetahui yang terbaik untukku, mengasihiku dengan begitu dalam dan mampu membentukku untuk menjadi pribadi yang terbaik yang sesuai dengan panggilan-Nya bagiku.

Aku dapat memilih untuk mengasihi Tuhan dengan apa yang aku miliki

Seringkali aku merasa tidak punya banyak hal yang dapat kuberikan kepada Tuhan. Aku berpikir betapa aku dapat lebih mudah untuk taat kepada-Nya dan lebih efektif untuk melayani sesama jika aku tidak bergumul dengan masalah ketertarikan dengan sesama jenis ini. Namun, kini aku percaya bahwa Tuhan sesungguhnya jauh lebih peduli dengan hatiku yang ingin memberi daripada seberapa banyak yang dapat kuberikan kepada-Nya.

Ada dua kisah di Alkitab yang begitu melekat bagiku. Yang pertama adalah kisah tentang persembahan seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4), dan yang lain adalah kisah ketika Yesus diurapi oleh seorang perempuan dengan minyak wangi yang mahal (Matius 26:6-13; Markus 14:3-9). Yesus memuji janda miskin tersebut meskipun dia hanya mempersembahkan dua koin yang kecil, karena “janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya” (Markus 12:44). Kepada perempuan yang lain, Dia berkata, “Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku” (Markus 14:6). Yesus menghargai persembahan janda miskin tersebut sama seperti Dia menghargai tindakan perempuan yang mengurapi-Nya dengan minyak wangi yang mahal.

Kedua cerita ini mengajarkanku bahwa Tuhan berkenan kapan pun aku memberikan segala yang kumiliki kepada-Nya, tidak peduli seberapa banyak jumlahnya, dan Dia melihat ini sebagai suatu perbuatan yang baik. Segala yang Dia minta daripadaku adalah untuk percaya kepada-Nya dan mengasihi-Nya dengan segenap hatiku dan mempersembahkan seluruh hidupku—kekuatanku dan pergumulanku—kepada-Nya.

* * *

Dalam perjalanan untuk percaya kepada Tuhan dengan segenap hatiku dan mengakui Dia dalam segala lakuku ini, aku tahu bahwa Dia akan meluruskan jalanku (Amsal 3:5-6). Meskipun aku tidak mempunyai pilihan akan seksualitasku, aku dapat memilih untuk menaati dan mengasihi Dia. Ketika aku melakukannya, aku tahu pilihan-pilihanku akan berkenan bagi Tuhan, dan akan membawaku untuk menyembah Dia dengan lebih sungguh, membuatku dapat menerima lebih banyak pemulihan, dan memampukanku untuk menolong orang lain dengan pergumulan yang sama.

Aku menantikan datangnya hari ketika aku akhirnya dapat bertatap muka dengan Dia yang aku kasihi. Dan aku ingin menjalani sebuah hidup yang diisi dengan pilihan-pilihan yang menyenangkan-Nya, sehingga ketika Tuhan melihatku, Dia akan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia! (Matius 25:23) Kamu telah memberikan semua yang ada padamu (Markus 12:44). Kamu telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku (Markus 14:6).”

Segala usahaku takkan sia-sia bagi Dia yang layak menerima segala puji dan hormat.

Mengampuni Musuh Kita, Mungkinkah?

mengasihi-musuh-kita-mungkinkah

Oleh Charmain S.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Possible to Forgive Our Enemies?

Suatu sore di tahun 2015, seorang anak muda berjalan masuk ke dalam sebuah gereja. Para peserta rutin acara Pendalaman Alkitab mingguan gereja itu pun menyambutnya dan acara pun dimulai dan berjalan selama satu jam. Tiba-tiba, anak muda itu berdiri, mengambil sebuah pistol, dan menembaki semua orang di dalam ruangan itu. Dia menembaki setiap orang beberapa kali, mengeluarkan ungkapan rasisme, dan pergi meninggalkan gereja itu. Sembilan orang tewas malam itu, termasuk pendeta senior gereja itu.

Ini bukanlah adegan pembukaan dramatis dari sebuah film aksi. Ini adalah peristiwa nyata. Gereja itu adalah Gereja Emanuel African Methodist Episcopal di Charleston, South Carolina, Amerika Serikat. Sembilan orang yang terbunuh adalah para anggota gereja—dan seorang keturunan Amerika-Afrika. Anak muda itu adalah seorang anak muda berumur 21 tahun bernama Dylann Roof, seorang pria kulit putih yang kemudian mengaku bahwa dia melakukan aksi kejahatan itu dalam rangka memicu sebuah perang ras.

Kata-kata apa yang dapat mendeskripsikan tindakan yang sangat tidak berperikemanusiaan ini? Siapa yang dapat memahami kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh keluarga dan teman-teman korban? Pastinya mereka mengharapkan keadilan, atau bahkan ganti rugi.

Namun tidak seperti yang banyak orang pikirkan, keluarga korban-korban itu ternyata memberikan sebuah tanggapan yang luar biasa. Meskipun mereka berlinang air mata dan sulit berkata-kata, mereka memilih untuk mengampuni. Dalam pernyataan resmi mereka kepada Roof di persidangan, para kerabat yang berduka berdiri satu demi satu, menyatakan bahwa mereka mengampuni Roof dan mereka mendoakan dia.

Wow.

Bayangkan itu. Bayangkan seorang yang sangat jahat atau yang tidak suka denganmu, menghancurkan mereka yang kamu kasihi. Bagaimana reaksimu? Apakah kamu, seperti orang-orang percaya di Charleston, memilih untuk tidak membalas namun malah menawarkan pengampunan kepada musuhmu?

Dengan kekuatan kita sendiri, kemungkinan kita tidak dapat melakukannya. Tapi yang dimiliki oleh orang-orang percaya di Charleston, dan kita semua, adalah iman; iman di dalam Tuhan yang tidak hanya mati bagi musuh-musuh-Nya tapi juga mengampuni mereka. Sebagai orang Kristen, kita tahu benar perintah yang Yesus berikan dalam Matius 5:44, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Itu terdengar sangat sederhana dan begitu jelas, tapi kenyataannya hampir mustahil untuk menaati perintah ini.

Membaca berita tentang Charleston ini membuatku merefleksikan pengalaman pribadiku. Lima tahun lalu, seorang temanku ditusuk hingga mati oleh seorang pelaku setelah sebuah percobaan pelecehan seksual. Meskipun kita tidak ada hubungan darah, namun dia aku anggap seperti saudaraku sendiri. Kehilangan dia adalah seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupku. Aku benar-benar merasa kehilangan.

Pembunuhnya akhirnya ditangkap dan dihukum 26 tahun penjara. Ketika aku mendengar kabar tentang vonis hukuman tersebut, aku tidak merespons seperti yang dilakukan oleh orang-orang percaya di Charleston. “Itu tidak cukup,” temanku yang lain berkata, sama seperti yang aku juga pikirkan. Kami masih begitu marah. Aku begitu bergumul untuk dapat mengampuni.

Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya aku mendengar dan mengerti panggilan Tuhan untuk mengampuni. Melalui kisah Raja Daud, Tuhan melembutkan hatiku.

Ini adalah rangkumannya. Sebelum Daud menjadi raja, dia menghabiskan sekitar delapan tahun untuk lari dari Saul, raja Israel yang pertama, yang begitu ingin menghabisi dia. Itu adalah sebuah masa yang penuh ketegangan, ketakutan, dan penderitaan. Namun, bahkan ketika Daud mendapatkan kesempatan untuk membunuh Saul, dia tidak melakukannya. Dia tahu bahwa Saul adalah orang pilihan Tuhan. Dan ketika Saul akhirnya mati, dia bahkan berduka untuk kematian musuhnya itu (lihat 2 Samuel 1:11-12).

Tentunya, ketaatan Daud kepada Tuhanlah yang membuatnya memilih untuk tidak membalas Saul. Dan aku percaya bahwa seperti Daud, para kerabat korban-korban di Charleston juga melakukan hal yang sama, karena mereka menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas Roof, sama seperti Dia juga berkuasa atas mereka. Hidup Roof ada di tangan Tuhan, bukan tangan mereka. Karena itu, mereka dapat berserah dalam ketaatan kepada Tuhan dan mengampuni musuh mereka.

Sama seperti itu, aku juga harus mengakui bahwa pembunuh temanku ada di tangan Tuhan, bukan di tanganku. Aku harus mengakui kuasa Tuhan atas diri pembunuh temanku. Jadi, meskipun terdengar aneh olehku saat itu, aku dapat mengucapkan pengampunan dan berdoa bagi pembunuh temanku itu. Hal itu tidak menghilangkan rasa duka yang kualami, namun tindakan pengampunan itu membebaskanku dari ilusi seolah-olah aku memiliki hak atas hidupnya—yang tadinya aku pikir aku berhak karena dia telah menyakitiku, karena dia adalah musuhku.

Aku percaya bahwa pengampunan adalah langkah pertama yang harus kita lakukan untuk mengasihi musuh-musuh kita.

Itu adalah sebuah langkah iman di dalam Tuhan yang Mahakuasa dan berdaulat. Dan tidak peduli apakah kita suka atau tidak, kita dahulu juga adalah musuh-musuh Tuhan. Namun Tuhan memilih untuk menyediakan jalan pengampunan bagi kita, sehingga “kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya” (Roma 5:10). Karena kita telah menerima pengampunan dari Tuhan, marilah kita juga mengampuni orang lain—bahkan musuh-musuh kita.

Adakah seseorang yang perlu kita ampuni hari ini?

Baca Juga:

Rencana Tuhan di Balik Retaknya Keluargaku

Felicia dan adiknya lahir di tengah keluarga yang dulunya lengkap. Namun saat Felicia kelas 1 SD dan adiknya masih berumur 3 tahun, mereka sudah sering mendengar mama dan papa mereka bertengkar setiap hari.