Ketika Aku Setia Mengembalikan Persepuluhan
Oleh Agustinus Ryanto
Aku berjemaat di gereja yang secara jumlah jemaat tergolong sebagai gereja kecil, hanya sekitar 200 jemaat aktif. Sejak kecil aku melihat mereka yang telah dewasa setia memberikan persepuluhan. Aku pun diajari bahwa persepuluhan adalah cara kita mengembalikan apa yang Tuhan sudah berikan untuk kelangsungan gereja-Nya.
Ketika masuk jenjang SMA, aku belajar ikut memberi persepuluhan. Kuhitung total uang jajanku setiap bulan, lalu sepersepuluhnya kusisihkan. Kumasukkan uangnya ke dalam amplop khusus dan kutuliskan nomor keanggotaan. Meskipun setelah lulus SMA aku merantau ke kota lain, aku masih tetap memberikan perpuluhan tiap bulannya. Saat itu menyisihkan sepuluh persen terasa ringan karena selain jumlahnya tidak seberapa, kebutuhanku pun sedikit. Dalam hatiku, “sepuluh persen, cincai-lah ya…”
Kesetiaan memberi yang berlangsung nyaris tujuh tahun ini mulai goncang ketika akhirnya aku pindah ke Jakarta untuk bekerja. Pemasukanku satu-satunya hanya dari gaji, tetapi aku harus membayar kos, uang transpor, makan, dan memberi orang tua. Kuhitung-hitung lagi, sepersepuluh yang dulu terasa ringan sekarang jadi berat. Nominalnya bisa lah untuk jadi uang makan satu minggu lebih. Tanpa mendiskusikan keberatan ini ke teman-teman segerejaku, memasuki bulan keempat bekerja akhirnya aku memutuskan berhenti memberikan persepuluhan. Keputusan ini makin diteguhkan dengan artikel yang kubaca atau obrolan yang kudengar seputar perpuluhan tidaklah jadi sesuatu yang wajib lagi di masa sekarang, yang penting memberi dengan sukacita (2 Korintus 9:7).
Seharusnya, dengan stop menyisihkan sepuluh persen, aku punya alokasi uang untuk pos anggaran lain, bukan? Secara praktis: yes, tapi tanpa perencanaan keuangan yang konsisten, matang, dan berhikmat, nyatanya tidak demikian. Ada momen-momen di mana aku merasa kurang, meskipun puji Tuhan aku tidak pernah sampai berutang. Bukan karena Tuhan tidak memberkati, tetapi akunya sendiri yang tidak belajar dan menerapkan financial management.
Sepotong atau seluruh?
Lebih dari lima tahun aku absen memberikan perpuluhan. Jika ditotal-total tiap bulannya, jumlah uang yang kusisihkan untuk persembahan atau donasi hanya mencapai 2% dari total pemasukanku. Sampai suatu ketika, aku berjumpa dengan seorang teman. Temanku ini usianya jauh lebih tua. Dulu dia sempat memegang jabatan penting di perusahaan ritel di Jakarta, tetapi setelah bergumul panjang, dia memutuskan untuk pindah ke sebuah kota kecil.
“Eh, Gus, ngomong-ngomong kamu sampai sekarang masih rutin persepuluhan nggak?”
Aku agak kaget dengan pertanyaan ini meskipun sebelumnya kami memang sedang mengobrol soal topik finansial. Dengan agak ragu aku menjawab, “Hmmm… masih ngasih sih, tapi nggak sampe sepuluh persen.”
“Kenapa?” Dia mendadak serius, memajukan posisi duduknya. “Kalau gitu gak persepuluhan dong namanya. Perduaan? Pertigaan?” sambungnya berseloroh.
“Iya, Kak. Mentok sih cuma dua persen,” jawabku. “Kebutuhan di Jakarta banyak, Kak. Apa-apa mahal. Dan… aku ngerasa gajiku gak gede. Uangnya bisa kupake buat yang lain.”
Meski serius suasananya, tapi aku bersyukur tak ada penghakiman keluar dari mulut temanku itu. Dia tampak tertarik dengan bahasan ini, mungkin karena dulu saat aku masih satu gereja dengannya kami sempat sama-sama komit untuk setia mendukung pekerjaan Tuhan lewat gereja kami dengan persepuluhan.
“Lagian kan Kak, zaman sekarang perpuluhan udah bukan kewajiban buat kita. Kalau kita ngasihnya dengan terpaksa, ya percuma.” Aku kembali mengeluarkan pembelaan, lalu kukutip statement dari Alkitab. “Paulus bilang di Roma 12 ayat 1 kalau persembahan yang berkenan itu ya tubuh kita, sebagai persembahan yang hidup, itu ibadah yang sejati.”
“Tapi… gimana mau mempersembahkan seluruh hidup kalau sepuluh persen yang ada padamu aja kamu nggak ikhlas?” tanya temanku balik.
Jleb.
Aku bergeming. Secara logika kupikir iya juga ya. Bagaimana bisa memberi semuanya kalau sepotong aja aku tidak mau memberi. Sejak saat itu aku memikirkan ulang keputusan yang sudah kuterapkan bertahun-tahun.
Memikirkan ulang tentang persepuluhan
Masing-masing gereja memiliki peraturan dan penafsiran sendiri terkait bagaimana jemaat dapat memberikan persepuluhan. Berkaca pada gereja tempatku berjemaat, persepuluhan memang digunakan untuk operasional gereja. Mulai dari jaminan hidup pelayan, konsumsi jemaat, biaya listrik, hingga pekerjaan misi dan bantuan pendidikan. Semua diputar dan dimaksimalkan bagi jemaat lagi. Pengelolaannya pun bagiku transparan. Setiap minggunya selalu ada laporan pemasukan yang ditempel pada papan pengumuman, dan sekarang diberikan juga lewat grup. Dan nanti setiap akhir bulan juga selalu diberikan laporan pengeluaran, untuk apa-apa saja uang yang diterima gereja itu digunakan.
Lewat tulisan ini, aku tak ingin meneruskan perdebatan sepanjang masa antar orang Kristen terkait persepuluhan. Aku lebih ingin membagikan bagaimana keputusan yang kuubah pada akhirnya membawa perubahan baik dalam hidupku.
Sejak pertemuan itu, aku berkomitmen untuk kembali memberikan perpuluhan. Tetapi, prosesnya tidak instan. Yang pertama-tama kubenahi adalah pola pikirku. Tuhan tidak sedang memalakku untuk memberi sejumlah uang kepada-Nya, melainkan itu adalah wujud cinta dan syukurku atas segala berkat yang kuterima. Segala yang ada dan melekat padaku adalah milik-Nya, jadi mengapa aku ogah memberi buat-Nya?
Kedua, aku memperbaiki manajemen keuanganku. Setiap bulannya aku menyusun anggaran pos per pos dalam dokumen spreadsheet dan mencatat setiap detail pengeluaranku. Meski sempat bolong-bolong mencatat, setelah lepas bulan kedua, kebiasaan ini menjadi rutin dan tak pernah bolong. Semua yang keluar dari dompetku, baik fisik dan digital, terekam sempurna sehingga aku tahu pos-pos anggaran mana saja yang sekiranya harus dikendalikan lebih ketat.
Dengan dua perubahan ini aku tak lagi mengalami adanya kekurangan, sehingga dari sinilah aku belajar bahwa memberi untuk Tuhan sebenarnya tidak bicara tentang menarik manfaat dari diri kita, tetapi justru melatih diri kita untuk merasakan manfaat yang lebih, yakni bijaksana mengelola keuangan.
Jumlah sepersepuluh yang tercantum dalam Maleakhi 3:10 secara sederhana dapat kita anggap tidaklah banyak. Jika kita punya 100, yang kita berikan kembali hanyalah 10. Sisanya, yang 90 adalah milik kita. Melepas sedikit apa yang melekat pada diri kita pada akhirnya menolong agar kita tidak meletakkan nilai diri pada apa yang kita raih, terlebih pada nominal harta (Matius 6:21).
Keputusan untuk memberikan persepuluhan atau tidak adalah keputusan yang bersifat pribadi, berpulang kepada hati kita masing-masing yang sejatinya tidak bicara soal jumlah semata, tetapi tentang kerelaan hati kita untuk memberi bagi pekerjaan Tuhan.
Dari pengalaman-pengalamanku, aku pribadi berkomitmen untuk terus belajar memberi yang terbaik buat Tuhan. Tuhan telah memberi segalanya buatku, sehingga sudah selayaknyalah Dia mendapatkan yang terbaik, yang kuberikan dengan senang hati.
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥
aminn
terimakasih
terimakasih untuk renungan hari ini😇
salim. trima kasih bu@t sharingx. aku dl jg begitu. tp skrg aku mulai bljr u memberi prpuluhan. brp yg kt dpt sprsepuluhx kt beri u Tuhan. dan sisax u kt. kita Tuhan sll memberkati kt. amin0
Saya mengalami hal serupa dan saya harus mengubah mindset saya. puji Tuhan trimakasih Tuhan Yesus memberkati
Terima kasih ya untuk renungan nya yang sangat luar biasa ini,,, mulai hari ini tanggal 18 September 2023 saya akan mengubah manset saya dalam memberikan persepuluhan yang lebih baik lagi sesuai dengan yang sudah ada dalam kebenaran Firman Tuhan.
Amen, thank you. God bless 🙏🏻😇
Maaf ada masukan sedikit tentang frasa ini: “Sisanya, yang 90 adalah milik kita.” Pemahaman ini bisa menjebak kita untuk sesuka hati menggunakan yang 90% itu. Bukan hanya terkait foya2 dan maksiat, tetapi untuk hal-hal lain yang kelihatan wajar pun kita harus ingat bahwa SEMUA yang ada pada kita adalah milik Tuhan. Kita harus bertanggung jawab kepada-Nya atas segala talenta (termasuk uang) yang Dia titipkan kepada kita.
Thank you for sharing ka😇Iya benar sekali kak, ada banyak pendapat tentang memberi persepuluha wajin atau tidak, kembali ke pribadi masing2.Utk saya pribadi, saya pun pernah bergumul dihal ini, sempat ingin berhenti memberi persepuluhan karena berpikir uang bulanan tidak akan cukup mengcover biaya hidup waktu itu.Dan beberapa hari setelah keputusan tersebut, Tuhan ingatkan tentang kebenarannya melalui renungan di warung sate. Karena waktu itu kekhawatiran saya bahwa nanti uang saya tidak cukup ketika saya memberi, Tuhan menyatakan bahwa seakan-akan saya tidak percaya bahwa IA mampu memelihara saya.Buat saya pribadi, saya belajar bahwa memberi persepuluhan mengajarkan saya untuk percaya bahwa Tuhan memelihara kehidupan saya dan bukti kasih saya dengan mentaati perintah-Nya, tentunya dengan pertolongan Roh Kudus.Saya sangat bersyukur dengan artikel2 dan renungan dari WARUNG SATE KAMU.Terima kasih Tuhan Yesus Memberkati😇