Mengharap Fairy-Tale dari Dating Apps: Kala Mencari Pasangan jadi Obsesi
Oleh Agustinus Ryanto
Menjadi jomblo di usia 20-an terasa seperti sebuah paradoks. Di satu sisi kamu merasa independen dan bebas, tapi di sisi lain kamu mulai berpikir, kira-kira siapa, kapan, di mana, dan bagaimana ya aku bertemu si dia? Ditambah lagi kamu melihat teman-temanmu satu per satu mulai berpasangan…dan ditambah lagi tekanan sosial, membuatmu merasa kamu harus mencari pasangan…. Segera, sesegera mungkin sebelum umur makin tua.
Tapi, di manakah tempat terbaik untuk mencari pasangan itu? Buatku sendiri ini adalah pertanyaan sulit. Di gereja? Hanya ada segelintir pemudi lajang di sana, dan aku merasa tidak cocok dengan mereka. Di kampus? Aku telah lulus beberapa tahun lalu dan kurasa tak ada rekan-rekan lama yang ‘klik’. Di tempat kerja atau komunitas lain? Lagi-lagi tak ada lawan jenis yang dengannya aku merasa ‘klik.’
Usul pun tiba dari salah satu temanku yang pada tahun kemarin akhirnya menikah. Dia dan pasangannya bertemu pada aplikasi kencan online. Bermula dari saling match, mengobrol di fitur chat, pindah ke WA dan IG, lalu bertemu di stasiun. Satu tahun setelahnya, mereka pun menikah. Ahhh, terasa indah dan mulus sekali perjalanan cinta mereka walaupun di dalamnya tentu ada drama-drama yang tak muncul ke permukaan.
“Cobalah pake apps, gapapa kok, siapa tahu dapet,” katanya menepuk pundakku. Dalam hatiku betul juga sih. Tidak ada salahnya masuk ke dalam wahana perjodohan online ini. Toh, ini kan cuma iseng-iseng. Kalau dapat ya syukur, kalau tidak ya sudah.
Namun, ketika akhirnya aku membenamkan diriku ke dalamnya, apa yang dulu kuawali dengan iseng rupanya berkembang menjadi obsesi yang membuatku kehilangan damai sejahtera dan sukacita dari menjalani hidup sehari-hari.
Celah untuk terjebak pada obsesi
Kisah-kisah romantis dan keberhasilan orang-orang yang bertemu pacarnya dari dating-apps menjadi bumbu yang hadir setiap kali aku melihat rekomendasi profil-profil yang disajikan di layarku. Jika kurasa menarik baik wajah maupun biodata dan deskripsinya, swipe ke kanan. Jika tidak, swipe ke kiri.
Satu tahun pun berlalu sejak aku mulai membuat akun. Ada banyak orang yang kutemui secara daring. Beberapa berlanjut menjadi pertemuan di dunia nyata. Tetapi, tak ada satu pun yang berlanjut menjadi relasi serius. Ada yang realitanya tak sesuai dengan profil online-nya atau ada pula yang sekadar menyapa lalu lenyap.
Jujur saja, lama-lama meskipun prinsip “hanya iseng” dan “kalau dapet syukur, nggak ya udah” kupegang teguh, proses ini melelahkan. Aku pun merenungkan sebuah kenyataan bahwa keberhasilan satu atau dua temanku menemukan kekasih di dating apps bukanlah jaminan bahwa semua orang yang main wadah ini akan pasti mendapatkan pacar. Analogi ini serupa dengan jika tokoh A dapat menjadi presiden dan semua orang punya kesempatan untuk mencalonkan diri, tidak berarti semua orang pasti jadi presiden! Ada banyak faktor yang membuat rumus mencari cinta di dating-apps tidak mutlak memberikan hasil yang pasti dan sama.
Marshall Segal, penulis dari buku Not Yet Married menuliskan demikian pada artikelnya: “Dating-apps adalah cara yang baru dalam berkencan… Pada tahun 2040, 70% orang diprediksi mungkin akan berpacaran lewat dating-apps.” Tapi, meskipun cara ‘mencari cinta’ terkesan lebih mudah dengan hadirnya dating apps, studi menunjukkan bahwa pada masa sekarang orang-orang lebih merasa kesepian dibandingkan masa-masa sebelumnya… dan penelitian lain menunjukkan bahwa lebih dari setengah pengguna dating-apps merasa kesepian setelah swipe kanan dan kiri profil-profil yang muncul di layar ponsel mereka.
Dating-apps secara praktis memudahkan kita untuk memperbesar circle dengan berjumpa orang-orang asing yang siapa tahu saling cocok dan bisa melanjutkan relasi di dunia nyata. Tapi, pada praktiknya, berselancar lebih jauh pada wadah ini bisa menjadi celah bagi kita untuk terjebak pada obsesi melihat sosok yang kita anggap prospek hanya berdasar tampilan lahiriah saja. Aku sendiri merasa agaknya tidak adil melihat dan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang dia tulis di biodata dan foto apa yang mereka pasang. Dan, secara subjektif aku merasa aktivitas swipe demi swipe ini seolah menganggap sosok-sosok di tiap profil tersebut ibarat sebuah objek belaka. Seperti sebuah produk yang jika suka kita beli, jika tidak kita buang. Padahal kita tahu bahwa setiap manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya memiliki keunikan masing-masing.
Bukan tentang tempat pertemuan, tapi respons setelahnya
Alkitab memang tidak memberi rincian detail tentang di mana kita harus mencari pasangan. Yang dengan jelas Alkitab tuliskan adalah: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” (2 Korintus 6:14 TB2). Secara biblikal, yang ditegaskan adalah kita harus mendapatkan pasangan yang seimbang, sepadan, yang sama-sama orang percaya.
John Piper dalam artikelnya berjudul “Is Online Dating Good for Christians?” menegaskan bahwa berjumpa seseorang dari media online itu baik. Ada orang-orang Kristen dewasa yang berjumpa di sana dan menikah dengan bahagia. Pertanyaan utamanya adalah: apakah kita cukup dewasa untuk bijaksana memilah dan memilih pasangan yang sepadan? Alih-alih kita meluangkan semua energi kita untuk mencari, gunakan energi itu justru untuk membangun diri kita jadi sosok yang sepadan dan dewasa terlebih dulu.
Ada ungkapan yang berkata bahwa bunga yang mekar dan cantik itulah yang akan memikat lebah. Ungkapan ini mungkin dapat kita analogikan dengan upaya kita membentuk diri jadi sosok yang sepadan. Bukan berarti kita harus memoles diri sedemikian rupa supaya ‘laku’, bukan begitu, tetapi kita berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita yang telah ditebus oleh pengorbanan Kristus. Pengorbanan-Nya memampukan kita untuk hidup tidak lagi dipimpin oleh ego kita sendiri, melainkan oleh Roh sehingga lewat hidup kita tumbuhlah buah-buah Roh.
Memang tidak salah menetapkan kriteria khusus kepada calon pasangan dan menjadikan kriteria itu sebagai patokan. Tetapi, tidaklah adil dan realistis bila seseorang dengan kualitas diri buruk mengharapkan pasangan yang berkualitas tinggi. Sekalipun pada akhirnya dua orang ini bisa bertemu, tetapi ketidaksepadanan itu pasti akan membuat relasi menjadi jomplang dan tak akan bertahan lama. Sembari mencari sosok yang sesuai kriteria, kita pun bisa melatih diri untuk memenuhi ‘kriteria’ tersebut bagi diri kita sendiri.
Secara praktis, upaya untuk menjadi sepadan itu bisa kita lakukan dengan belajar kecerdasan emosional, berlatih diri untuk berargumen dengan rendah hati, membangun karier yang stabil, atau pun belajar manajemen finansial. Melalui cara-cara praktis yang dibarengi dengan doa inilah akan tumbuh “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri” (Galatia 5:22-23). Ending dari ayat 23 berkata tegas, “Tidak ada hukum yang menentang hal-hal [buah-buah Roh] itu.” Jika kuinterpretasikan secara bebas, tentunya tak ada orang yang menolak buah-buah Roh itu. Bayangkanlah jika kita dan pasangan kita saling memiliki buah-buah Roh dalam hidup masing-masing, sungguhlah kehidupan berpasangan kita kelak akan membawa kemuliaan bagi Allah.
Kisah-kisah bahagia yang dialami temanku dan juga banyak orang lainnya yang menjemput pernikahan dari pertemuan di dating-apps adalah kisah bahagia yang layak untuk kita turut bersukacita. Meskipun tak semua kisah perkencanan online akan berujung seperti mereka, kita bisa belajar bahwa dating apps bisa jadi tempat pertemuan. Yang paling penting bukan sekadar tempat itu, tetapi bagaimana kita menanggapi pertemuan tersebut.
***
Dating apps adalah media yang baik, tetapi aku tidak akan membiarkan natur keberdosaanku menjeratku untuk mengerdilkan bagaimana Tuhan kelak akan berkarya dalam hidupku. Dating apps bisa jadi salah satu jalan untukku bertemu kelak dengan si dia, tetapi bukan satu-satunya jalan yang tersedia. Sembari hadir di dating-apps, aku bisa tetap membangun circle pertemanan di dunia nyata juga. Ikut komunitas-komunitas, entah itu yang komunitas gereja ataupun komunitas lain yang berlandaskan hobi-hobi tertentu.
Tuhan kita yang kaya dengan rahmat, rindu bahwa dalam upaya pencarian kita akan pasangan hidup, kita tidak berangkat dari rasa insecure, melainkan dengan iman bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Tuhan selalu cukup bagi kita.
Pada waktu yang tepat bagi kita, Tuhan akan membuat kita tersenyum seperti yang pemazmur katakan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersykur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:12 TB).
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥
sangat terberkati. Jesus Bless U..
relate bangeettttt🥺 lewat sni cara Tuhan mengingatkan akuuu🥺
😇
semuanya nga ada yg diam di area Abu2 …
harus berani memilih ya atau Tidak
Amin
aminnn. terimakasih banyak