Rasa Sakit Dihadirkan Tuhan untuk Diatasi, Bukan Diabaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Jika ada penyesalan yang bisa diperbaiki ulang pada usia 20-an tahun, maka yang kuinginkan adalah mengubah kembali tabiat hidupku sejak awal-awal masa kuliah. Memang sampai hari ini usiaku masih muda, belum dekade tiga, tapi tubuhku sudah menunjukkan sinyal-sinyal yang perlu segera ditangani. 

Salah satu sinyal dari tubuhku yang kudeteksi adalah tahun lalu aku mengalami radang tenggorokan yang frekuensinya sering terjadi. Dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali. Diberi obat, sembuh, tapi kambuh lagi. Sampai akhirnya kuputuskan berobat ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Di sana, rongga hidung dan tenggorokanku diendoskopi. 

“Wah! Ini ada gigi busuk. Besar kemungkinan ini penyebabnya,” kata dokter itu sembari menunjukkan hasil endoskopi di layar. Pada tiga gigi graham yang rusak tersisa akar-akar gigi yang meruncing ke permukaan. 

“Aduh, dok. Tapi itu gigi sudah lama kok rusaknya,” dalihku yang seketika takut jika mendengar sesuatu yang berkaitan dengan dokter gigi.

“Justru itu masalahnya. Gigi yang rusak ini mungkin akarnya menekan saraf dan juga kumannya bikin infeksi,” tegas sang dokter. “Ini giginya harus dibenerin dulu. Operasi bedah mulut ya!” sambungnya lagi. 

Sesi singkat di ruang praktik itu menjadi awal dari ketakutan sekaligus gerbang dari pemulihan tubuhku dan bangkitnya kesadaranku akan pentingnya menanggapi sinyal-sinyal dari tubuh dengan cara yang tepat. 

Singkat cerita, operasi bedah mulut pun dilakukan satu minggu setelahnya. Dan hari ini, puji Tuhan, aku tidak pernah lagi mengalami radang tenggorokan.

Tangkap, tangani, jangan abaikan

Dalam sesi obrolanku dengan seorang konselor Kristen, aku pernah diberi tahu bahwa tubuh kita ini ibarat sistem komputer yang begitu detail. Ketika ada satu bagian atau sistem yang error, tubuh akan mengirimkan sinyal untuk ditangkap. Salah satu sinyal itu ialah rasa sakit. Seorang penulis Kristen dalam bukunya berjudul Where is God When it Hurts menulis begini: “Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru rasa sakit itulah yang sejatinya menghindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali jika peringatan itu amat memaksa.” 

Rasa “sakit” bisa beragam. Bisa jadi itu berupa radang tenggorokan sepertiku, atau mungkin nyeri pada bagian-bagian tertentu, atau…bisa juga sesederhana perasaan lelah letih yang tak kunjung segar. Bila ini terjadi, kita bisa mengevaluasi diri terlebih dulu. Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana pola hidupku selama ini? Setelahnya, kita bisa mencari pertolongan yang tepat. Dalam hal ini tindakan medis bisa jadi cara yang logis dan bijak jika rasa sakit itu tidak pulih melalui obat atau perawatan biasa. 

Namun, peka dan bijak terhadap sinyal ‘sakit’ tak selalu mudah dilakukan. Kita kadang dihambat oleh rasa takut atau juga asumsi kita sendiri. “Ah, ini mah biasa.” Atau, sepertiku, ketika aku sudah tahu gigi yang rusak itu akan berefek pada kesehatan tubuhku, aku malah mengabaikannya dengan dalih takut menjumpai dokter gigi. Parahnya lagi, sejak SMA dulu aku memang menyikat gigi rutin, tapi malas kontrol ke dokter gigi. Akibatnya, lubang-lubang kecil yang seharusnya bisa ditangani tanpa rasa sakit, menjadi lubang besar yang membuat gigiku hancur. Pada akhirnya, aku harus membayar harga lebih mahal dan tindakan ekstra untuk menuju pemulihan (pasca operasi bedah gigi, aku sekarang menggunakan tiga buah gigi palsu untuk grahamku yang hilang).

Priscilla G, dalam artikelnya yang membahas tentang kematian Chester Bennington menuliskan demikian: mengabaikan rasa sakit terus-menerus adalah tindakan apatis yang tidak akan membawa kita kepada kesembuhan. Upaya ini ibarat menutupi botol air yang bocor dengan jari kita. Bocornya bisa saja berhenti, tapi lama-lama jari kita akan lelah dan bocor itu tidak akan pernah teratasi. 

Jika hari ini ada bagian-bagian dari tubuh kita yang terasa sakit tetapi terus kita abaikan, mungkin inilah saatnya untuk kita berhenti sejenak dan melakukan evaluasi. Setelahnya, dengan memohon tuntunan Roh Kudus kita dapat mencari pertolongan yang tepat dan berkomitmen untuk menghidupi hidup ini dengan bertanggung jawab. Kita tidak perlu menunggu momen harus terbaring lemah dulu di atas kasur untuk mengutarakan penyesalan atas pilihan kita yang kurang bijak. 

Jadi, hari ini adakah rasa sakit, entah fisik maupun mental yang kamu sedang alami?

Aku berdoa kiranya Tuhan menolongmu dan menuntunmu untuk mengambil pilihan yang bijaksana, yang akan mengantarmu pada pemulihan dan merawat tubuhmu dengan bertanggung jawab.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *