Merengkuh Kegagalan untuk Berjalan Lebih Jauh di dalam Anugerah

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Disclaimer: Jangan takut untuk melanjutkan studi setelah membaca sharing ini.

Sebagai anak sulung, aku dibentuk dengan ekspektasi bahwa aku adalah sosok panutan bagi kedua adikku. Ekspektasi ini tumbuh sejak aku masih berada di bangku SD, tepatnya sejak mengenal istilah “ranking” atau peringkat. Ada yang sama denganku? Online toss dulu.

Walaupun Papa tidak terlalu memaksaku meraih peringkat terbaik, Mama mendorongku dengan keras agar setidaknya aku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak heran jika mamaku sangat kecewa karena peringkat keempatku di semester satu kelas 2 SD terjun bebas ke peringkat ke-11 atau ke-12 di semester berikutnya, ditambah lagi wali kelasku itu berkata, “Tabita sebenarnya bisa, kok (lebih dari ini).” Sejak saat itu, mamaku juga mulai lebih serius dalam mendampingiku belajar dan mencari tahu siapa saja teman-teman sekelasku yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar. Kalau teman-teman pernah melihat video meme yang mencontohkan omelan bernada tinggi dari seorang ibu karena anaknya tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat, nah… aku pun mengalaminya.

Tahun berganti tahun, jenjang demi jenjang, aku berusaha meraih dan mempertahankan posisiku di dalam peringkat sepuluh besar itu. Aku pernah satu kali masuk peringkat lima besar di semester satu saat kelas 1 SMP, dan aku sangat senang karena “kompetisi” bersama anak-anak yang excel di dalamnya sangat sengit-tetapi-sehat. Namun, “kompetisi” itu makin menjadi-jadi karena aku terlempar di semester berikutnya—dan hanya selisih beberapa poin dari murid di peringkat kesepuluh. Untuk mengembalikan posisiku ke dalam peringkat sepuluh besar sudah jadi hal yang mustahil buatku saat itu, apalagi selama tiga tahun, aku berada di kelas yang sama dengan mereka. Okelah, pikirku, nanti di SMA aku akan berusaha masuk ke peringkat kembali.

Tanpa disadari, kedua momen itu menjadi salah satu konteks yang mendorongku berprinsip bahwa aku tidak boleh gagal dalam apa pun—khususnya studi. Bagaimana tidak? Dengan penampilan seadanya dan perasaan minder karena tidak bisa merawat diri kala itu, hanya prestasi akademik yang bisa aku perjuangkan semaksimal mungkin: mendaftar ke SMA Negeri jalur akselerasi (yang ternyata tertolak, tetapi bisa diterima di jalur reguler), mengambil jalur SNMPTN untuk pendaftaran ke jurusan psikologi di salah satu PTN ternama dan mempertahankan predikat cumlaude di sana, hingga studi magister teologi konsentrasi konseling sekali daftar. Semuanya terlihat lancar dan ideal, ya?

Ternyata kenyataan berkata lain.

Pada akhir masa studi sebagai mahasiswi magister teologi itu, aku mengalami dua kegagalan yang berdampak pada keterlambatan kelulusanku. Sebelumnya, aku berekspektasi bisa lulus kurang dari tiga tahun (karena tahun pertama adalah tahun matrikulasi), tetapi nyatanya aku membutuhkan hampir empat tahun untuk menyelesaikan studiku.

Pertama, aku gagal dalam satu mata kuliah prasyarat. Kalau aku fail, otomatis aku tidak bisa melanjutkannya ke mata kuliah berikutnya yang juga jadi mata kuliah terakhir buatku. Mata kuliah ini pula menjadi gambaran apakah aku dianggap layak untuk lulus dari kelas itu sebagai konselor. Kegagalan itu membuatku beranggapan bahwa aku salah menanggapi panggilan Tuhan sebagai konselor. Iya, aku merasa bahwa Tuhan memanggilku menjadi konselor sejak kelas 3 SMP. Dan selama studi di SMA, S1, hingga menuju akhir S2, aku jarang mendapatkan remedial class. Kalau memang dipanggil jadi konselor, bukankah seharusnya aku bisa melalui setiap kelas tanpa kegagalan? Okelah, kelas ini akan berlalu, kok. Ngulangnya cukup sekali ini aja. Yang lain juga ada yang pernah ngulang. Aku menggunakan pengalaman orang lain untuk “membenarkan” kekecewaan atas diri sendiri yang gagal itu, dan yah aku lulus kelas tersebut.

Kedua—dan lebih parah—adalah aku gagal sidang tesis dua kali. Yang pertama adalah karena aku pernah mundur dari jadwal sidang yang seharusnya (berdasarkan peraturan di konsentrasi kami, ini termasuk gagal), yang kedua… aku gagal di hari-H. Saking fatalnya, aku makin yakin bahwa tesis itu bukan milikku; tesis itu milik para dosen yang berintervensi di dalamnya, dan aku hanyalah tukang bikin tesis sesuai keinginan mereka. Bahkan sampai proses revisinya pun aku masih belum bisa menerima bahwa tesisku gagal—dan harus revisi mayor. Bagaimana aku bisa memperbaiki tesis itu kalau aku sendiri tidak paham dengan apa yang aku tuliskan di dalamnya?

Kedua kegagalan itu membuatku merasa sudah mengecewakan keluarga, pasangan, maupun teman-teman yang mendukungku, dan seolah-olah “membuktikan” bahwa kuliah di tempat itu adalah sebuah kesalahan karena sulit untuk lulus. Pengalaman tersebut juga menyebabkan berbagai keraguan tentang panggilan hidupku, seperti, “Mungkinkah aku terlalu percaya diri untuk mengklaim ‘jadi konselor’ sebagai panggilan yang Tuhan percayakan untukku?”

Syukur kepada Allah: justru di masa-masa sulit itulah aku belajar bersama Tuhan untuk merengkuh kegagalan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari perjalanan hidup. Ketika mendampingiku di awal pengerjaan revisi, salah satu dosen pembimbingku sempat berkata, “Kan, enggak mau, ya, kalau kita sudah mengerjakan tesis susah-susah, tapi dapatnya B- saja.” Bahkan ada pula dosen pembimbing lainnya yang berujar, “Waktu Tabita gagal sidang itu, malemnya saya sampai enggak bisa tidur. Kalau Tabita gagal, Tabita enggak gagal sendirian. Saya juga gagal, karena Tabita, kan, bikin tesisnya sesuai arahan saya.” Namun, yang paling memantapkan hatiku untuk memperbaiki tesis itu adalah pernyataan konselorku, “Tesismu itu milikmu. Kamu yang harus jauh lebih paham daripada para dosen, karena yang bikin, kan, kamu. Kalau kamu enggak paham, bagaimana dengan mereka yang mendengarkan presentasimu?”

Singkat cerita, dalam waktu tiga bulan sejak kegagalan sidang tesis, akhirnya aku bisa kembali mempresentasikannya dengan cara pandang yang baru. Tuhan juga memakai seorang teman untuk meneguhkan hatiku menjelang sidang: dia memberikan beberapa cemilan dengan tulisan, “Tesismu penting, Tabita. Hasil penelitianmu berguna.” Sidang tesis itu pun berbuah manis: aku lulus dengan materi yang lebih aku kuasai dibandingkan sebelumnya, dan aku sadar bahwa setiap proses pengerjaan tesis pun tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang menopang.

Kelihatannya semua berakhir dengan bahagia, ya?

Nyatanya, masih ada kegagalan baru yang Tuhan izinkan hadir dalam hari-hari terakhirku sebagai mahasiswi: aku gagal apply kerja di sebuah sekolah yang aku ekspektasikan akan menerimaku. Namun, berbeda dari sebelumnya, aku telah belajar bahwa ada kalanya kegagalan diperlukan untuk mensyukuri apa yang sedang diperjuangkan. Selain itu, aku diingatkan oleh momen ketika seorang dosen lain mendoakanku dalam proses apply kerja, “Jika Tuhan berkenan agar Tabita berkarya di sekolah ini, tolong bukakan semua jalan. Jika tidak, tolong tutup semua jalan dan arahkan dirinya ke sekolah lain yang Tuhan kehendaki.” Doa itu terjawab, walau ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan… sampai akhirnya, aku mencoba untuk mendaftar ke sekolah lain, dan akhirnya diterima di sana untuk mulai melayani sebagai guru Bimbingan Konseling per semester depan.

Mungkin teman-teman yang membaca sharing ini menemukan bahwa kata “aku” dan “-ku” jauh lebih banyak dibandingkan kata “Tuhan”, “Allah”, dan “-Nya”. Yah… bisa dibilang, karena takut gagal lagi, aku ingin mengendalikan semua yang bisa aku lakukan. Saking takut gagal, aku jadi sering overthinking—padahal apa yang di pikiranku itu belum tentu terjadi. Bahkan ada kalanya aku ragu-ragu bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik, toh Dia tidak terlihat. Bagaimana aku bisa percaya sepenuhnya pada Tuhan yang tidak tampak secara fisik? Namun, di situlah aku belajar untuk beriman kepada-Nya sebagai “dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” (Ibrani 11:1 TB2).

Walaupun memahami keraguanku, Allah pun tahu bahwa pengenalanku terhadap diriku dan diri-Nya tidak boleh buntu. Belakangan, aku baru menyadari kalau keberhasilan yang dicapai justru bisa menjadi bibit kesombongan kalau tidak kuwaspadai. Aku juga disadarkan bahwa ujian sesungguhnya bukan hanya tentang menuntaskan kelas dan tugas akhir atau mengikuti seleksi wawancara kerja, melainkan juga—bersama Tuhan—menghadapi dan berdamai dengan diri sendiri yang rapuh. Aku bersyukur karena menemukan fakta itu sebelum benar-benar lulus. Selain itu, aku juga belajar mengenal Tuhan yang menyukai paradoks. Iya, mungkin tanpa kegagalan-kegagalan itu, aku akan sulit berempati kepada teman-temanku yang bergumul dalam penulisan tugas akhir mereka. Kalau jalan studiku mulus bagaikan jalan tol, aku akan lebih percaya diri mengatakan bahwa anggapan kuliah di kampusku itu tidaklah sesulit asumsi kebanyakan orang.

Berkaca pada pengalaman di atas, aku jadi teringat pada ungkapan John Calvin, seorang tokoh reformator gereja yang menulis buku berjudul The Institutes:

“Without knowledge of self, there is no knowledge of God.

Without knowledge of God, there is no knowledge of self.”1

Tanpa mengenal diri sendiri, aku tidak akan bisa mengenal Allah—begitu pula sebaliknya. Melalui relasi pribadi dengan Allah, aku menemukan harta berharga dari pengalaman merengkuh kegagalan itu, yaitu bahwa Dia adalah Bapa yang selalu beserta—bahkan saat sang anak ini mengambil keputusan yang keliru dan menyalahkan-Nya. Allah yang sama jugalah sumber strength unknown yang selalu menguatkanku dengan cara-Nya untuk berjalan kembali ketika aku merasa sudah menyerah. Jika begitu besar kasih Allah kepadaku, mengapa aku masih ingin menyia-nyiakannya—bukannya makin berpaut teguh pada-Nya?

Teman-teman, mungkin perjalanan hidup kita tidaklah semudah yang dialami orang-orang yang kita kenal. Ada kalanya kita melakukan kebodohan-kebodohan atas pilihan yang didasarkan pada survival instincts tanpa melibatkan Allah di dalam-Nya. Bahkan mungkin kita berulang kali mengasihani diri atas realitas pahit yang terjadi dan sudah tidak ingin memperbaiki diri—yang sebenarnya masih bisa kita lakukan. Namun, anugerah dan belas kasihan Allah melampaui kesalahan yang kita lakukan. Walaupun Dia adalah Sang Mahatahu yang melihat dosa-dosa kita, Allah berkenan mengampuni kita. Tidak berhenti di sana, Allah juga bersedia melibatkan kita di dalam narasi keselamatan-Nya—yang bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi setiap orang yang Allah pilih untuk menerimanya.

Selain membebaskan kita dari dosa dan kekhawatiran kita akan the unknown, Allah juga mengundang kita untuk menghadapi the unknown bersama-Nya. Kekhawatiran itu memang tidak serta-merta hilang bahkan setelah kita belajar teologi dan mendengarkan banyak khotbah. Namun, Allah berkenan menyambut kita yang khawatir; Dia ingin agar kita tidak pasrah dalam menghadapi the unknown, tetapi ada sebuah tindakan iman yang Dia kehendaki, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Di sini, kehadiran Roh Kudus dan support system sangat penting dalam menolong kita memahami rencana Allah yang misterius itu, agar kita tidak berjalan sendirian menyongsongnya.

Kiranya bersama Allah Tritunggal, kita dimampukan untuk berjalan di dalam anugerah-Nya, karena ada strength unknown yang disediakan-Nya, dan belajar beriman bahwa Kristuslah—Sang Batu Penjuru itu—landasan iman kita.

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. Cristal Pagit Tarigan
    Cristal Pagit Tarigan says:

    Kak, asli kesaksian kakak sangat menginspirasi.. Trimakasih sudah terus mengingatkan siapa Tuhan itu dan pribadiNya lagi dan lagi..

  2. santi
    santi says:

    Setuju bangat. dengan memahami kegagalan maka rencana Tuhan dinyatakan untuk kita.
    Mari kita jalani saja rencana Tuhan atas hidup kita. yg penting kita sudah melakukan yg seharusnya yang menjadi bagian kita iyaitu berusaha & berdoa.

    Yang kedua dengan tidak mengenal diri kita maka otomatis kita tidak akan mengenal Tuhan yg menciptakan kita. Maka dari itu marilah kita mengenali diri kita siapa kita. tujuan hidup kita apa? dll
    Tuhan memberkati ka Tabita & kita semua. Amen. Selamat hari minggu.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *