Ikut Maunya Tuhan: Susah tapi Selalu Worth-It!
Oleh Cristal Tarigan, Nusa Tenggara Timur
Quarter Life Crisis, istilah ini gak asing banget di kalangan anak muda. Istilah yang merujuk pada kondisi emosional yang biasanya dialami oleh orang-orang berusia 18 hingga 30 tahun berupa kekhawatiran, keraguan, terhadap kemampuan diri dan kebingungan menentukan arah hidup. Jadi sering kali anak muda mencoba banyak hal, atau berusaha membuktikan sesuatu demi mengenali si jati diri tersebut. Aku juga merasa turut mengalaminya dalam masa-masa kehidupan yang kujalani. Belum lagi, rupanya saat membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masa depan atau pilihan hidup ini, banyak pihak selain pikiran kita yang juga turut menyumbang andil bagaimana kita akan mengambil keputusan. Salah satu yang terbesar di antaranya adalah keluarga.
Dealing dengan Keluarga Tentang Pilihan Hidup
Jika sesuatu yang jadi kesukaan dan harapan kita juga menjadi harapan orang tua, maka tidak terjadi masalah. Tapi faktanya seringkali tidak demikian. Di kisahku beberapa tahun lalu pun sama. Di tengah aku sedang bergumul mencari tujuan hidupku, dan sampai menemukannya, aku sadar pada akhirnya pilihanku dan orang tuaku berbeda soal masa depanku. Beberapa tahun aku menggumulkan apa, dan melalui wadah apa aku berkarya buat Tuhan. Jawabannya menjadi guru pedalaman. Saat pertama kali memberitahukan keinginanku ini, kedua orangtuaku sangat tidak setuju, apalagi bapakku. Ada segudang pertanyaan yang ditanyakan, beberapa di antaranya adalah nanti bisa jadi PNS tidak? Bagaimana jenjang kariernya? Sebenarnya terasa normal pertanyaan ini bagi kita orang Indonesia seperti orangtuaku. Tapi dalam kisah ini, aku mau berbagi soal bagaimana memahamkan sesuatu yang rasanya tidak bisa dipahami dengan mudah oleh orang tuaku saat itu tentang visi hidup, dan bagaimana akhirnya mereka menerima keputusanku tersebut dengan hati yang lapang.
Aku mencoba menjelaskan dengan lebih sederhana kepada mamak-ku saat itu. “Mak, coba lah mamak bayangkan kalau pulpen dipakai motong sayur, pasti gak bisa kan mak, sekalipun bisa pasti gak maksimal.” Itu perumpamaan yang pernah aku sampaikan kepadanya, sampai akhirnya aku mencoba menjelaskan visi pribadi itu. Visi pribadi itu adalah peran kita secara pribadi untuk memuliakan Tuhan lewat hidup kita. Ini bukan sekedar punya pekerjaan saja, tapi memang ada sebuah hasrat yang sangat besar yang lahir dari hati untuk melakukannya. Bisa saja pekerjaan kita sama dengan visi pribadi kita, bisa juga pekerjaan kita dan visi pribadi kita bidangnya berbeda. Bukan berarti mengerjakan visi pribadi lebih rohani dari sekedar bekerja karena sesungguhnya seluruh kehidupan kita ini gak boleh kita kotak-kotakkan, semuanya adalah persembahan yang hidup. Mengerjakan visi pribadi ini berbicara tentang kemaksimalan kita dalam berkarya buat Tuhan jika kita menghidupinya. Akhirnya beberapa bulan sebelum keberangkatanku, orangtuaku bisa menerima keputusanku tersebut. Sepenuhnya penerimaan dan kelembutan hati mereka pada akhirnya pun kusadari bukan karena pekerjaanku, semua semata-mata hanya karena Roh Kudus yang hadir memberikan pengertian kepada mereka. Dari kisah ini aku sadar bahwa Tuhan akan selalu buka jalan dan kita punya bagian yaitu terus taat, sabar dan rendah hati. Taat untuk tetap mengikuti Dia dalam panggilan-Nya, sabar menantikan waktu-Nya bekerja dan rendah hati dalam menyampaikan sesuatu. Orangtua manapun pasti berharap anaknya sukses, tapi orangtua manapun lebih ingin kalau anaknya bahagia. Sekeras-kerasnya hati orangtua kita, jika kita berbicara dengan rendah hati, tidak menang sendiri dan tidak terkesan lebih pintar tentang pengalaman hidup ini, akan terluluhkan juga. Hal ini tidak hanya berlaku dalam panggilan, tapi dalam banyak aspek hidup kita. Amsal 15:33: “Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hormat dan kerendahan hati mendahului kehormatan.”
Menghidupi Panggilan Ditengah Banyaknya Tawaran yang Lebih Menggoda
Menemukan panggilan bukan akhir dari perjalanan mencari arah atau tujuan hidup yang lebih baik. Justru itu barulah awal dari perjalanan yang selanjutnya akan kita tempuh. Menghidupi panggilan dan sekaligus menikmatinya apalagi, ini hanya akan bisa dilakukan jika kita terus tunduk, taat dan terus dengar-dengaran dengan-Nya. Setidaknya hal ini yang masih terus aku alami sampai hari ini. Ada saja cara Iblis mengalihkan pikiranku kepada tawaran-tawaran yang bisa aku dapat lebih dari apa yang aku kerjakan sekarang. Singkatnya mungkin panggilan yang kita kerjakan gak membuat kita kaya, gak membuat kita merasakan kenyamanan seperti yang kita harapkan, gak membuat kita semakin terkenal dan justru membuat kita selalu kurang diperhitungkan di mata manusia, tapi panggilan selalu membawa kita keluar dari yang namanya zona nyaman baik secara iman maupun karakter. Hasilnya adalah kita akan menjadi semakin serupa kepada Kristus.
Sejak menjadi guru pedalaman, masih sering sekali orangtua dan semua keluarga besarku menawarkan pekerjaan yang lebih baik menurut mereka, masih sering membicarakan tes CPNS, masih banyak teman-temanku yang menyinggung pencapaianku yang gak signifikan, tidak jelas jenjang kariernya. Bahkan bukan oranglain, kadang aku sendiri pun mempertanyakan Tuhan ke mana rancangan masa depan akan membawaku.
Tapi mengapa aku masih terus berkomitmen? Tidak bisa kudeskripsikan semuanya.
Aku hanya merasa kasihku semakin besar, pekaku terhadap orang lain semakin mudah bertumbuh dibanding hidupku yang dulu. Senyum di wajah anak-anak yang kuajari, perasaan senang adanya guru yang mengajar mereka, itu cukup mengobati setiap perasaan yang ingin lebih muncul, setiap hati yang kadang terluka karena tekanan dari orang terdekat. Menurutku, jika benar itu panggilan, maka harusnya membuat kasih kita semakin lebar, kapasitas kita mengasihi semakin diperluas dan hati kita jadi semakin besar. Tolak ukurnya bukan pada apa yang dunia ini tawarkan. Saat saat sedang jatuh, caraku paling ampuh untuk kembali bangkit adalah mengingat bagaimana dulu aku memulainya bersama Tuhan, mengingat bagaimana cintaku mula-mula bertumbuh dalam panggilan ini, dan itu selalu cukup menjadi reminder untuk kembali berlutut dan merendahkan diri lagi dan lagi.
Jadi buat kita yang lagi berjuang mencari panggilan hidup, semangat ya, terus berdoa, dan menggumulkan. Ingat tolak ukurnya adalah jawaban Tuhan bukan manusia. Buat yang sudah menemukan, bidang apapun itu, tetap semangat berproses. Mengerjakan panggilan Tuhan memang berat, karena ini bukan tentang mau-ku tapi mau-Mu. Matius 16:24: “Tuhan Yesus berkata “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Ayat ini menjadi sebuah pengingat bagi kita, sesungguhnya ikut mau-Nya gak pernah berbicara tentang kenyamanan, ikut mau-Nya berarti berbicara tentang harus melalui jalan yang sempit dan bukan jalan yang lebar. Tapi itu adalah harga yang layak dibayar, karena dengan apakah kita bisa membandingkan kemuliaan yang kelak kita terima?
2 Timotius 4:8: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”
Amin makasih banyak kak buat postingan ini
Sangat inspiratif✓
amin, terimakasih
❤️🔥🙏🏼🙏🏼
amin
Amin
sangat tersentuh dengan postingan nya kak, gak terasa air mata q jatuh. trimakasih banyak kak.
Kakak PKK kuuuuu😍 selalu termotivasi tiap liat tulisannya
amin.trima kasih sdh brbagi penglmn brsm Tuhan,jdilh saksi dmnpun kt brada,wlo byk tantangn,cobaan, yg kt hdpi,brsm Tuhan psti adajln keluarx,ikut trs jln yg sempit itu,d snlh kt temukn kebahagian sejati yg sesungguhx,amin
amin. terima kasih untuk pengalaman dan renungannya. menginspirasi dan mantaps. shalom.
amin
amin..terimakshðŸ™
amin
Amin…
merubah pola pikir dan sangat memberkatiðŸ™ðŸ™ðŸ™ðŸ™ðŸ™
😇ðŸ™ðŸ¾
proses pembentukan hidup yg sesuai maunya Tuhan. Amien
aminkak. terberkati.
salam kenal kak saya orang NTT