Seratus Delapan Puluh Derajat

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Kak Rere!” Suara berat khas remaja tanggung itu menyapaku, begitu aku memasuki ruangan bercat putih itu. Dia tampak sangat antusias dan seperti sudah lama menungguku.

“Hei, Niko!” balasku sambil tersenyum lebar, dan berjalan mendekatinya. 

Selalu begitu. Niko ini memang tipe anak yang sangat antusias belajar, banyak bertanya dan penuh dengan rasa penasaran. Walaupun aku adalah guru les Matematikanya, tak jarang aku mendapat pertanyaan-pertanyaan dari seluruh bidang ilmu darinya. Dia memang tipe pemerhati yang suka berpikir akan banyak hal, dan aku hampir tidak pernah melihatnya malas belajar. Untuk anak remaja seusia dia aku cukup salut.

Pernah suatu ketika, aku izin terlambat buat mengajarnya hari itu. Begitu tiba di rumahnya, dia langsung mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Hari itu aku memang sedang ada jadwal pelayanan kunjungan ke panti asuhan, dan aku memang sering menceritakan soal kegiatan pelayananku padanya. Dan dia tampak tertarik. Lalu tiba-tiba saja dia menanyakan sesuatu yang cukup membuatku berpikir, 

“Kak, apa sih yang dimaksud dengan bertobat? Teman-teman di sekolah kalau berbuat salah sering bilang: Aku mau bertobat, aku menyesalbegitu, tapi dia tetap saja berbuat salah lagi,” katanya dengan wajah bingung.

Aku berpikir menjawabnya bukan karena tidak tahu menjelaskannya, tapi lebih ke berpikir bagaimana menjelaskannya dengan sederhana. Selain itu aku juga terkesan dengan pertanyaan itu. Jadi aku menghembuskan napas pelan, berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padanya.

“Bertobat itu… seperti berbalik arah. Berubah seratus delapan puluh derajat. Kamu tahu kan gimana sudut 180°?” tanyaku, dan dia langsung mengangguk. Tentu saja dia tahu. “Bertobat itu artinya berbalik dan meninggalkan dosa, Nik, kemudian taat kepada Tuhan Yesus saja,” sambungku, lalu menunggu tanggapannya.

“Maksudnya kita nggak berbuat dosa lagi, begitu Kak?”

“Bukan. Tapi, kita tidak hidup untuk dosa lagi dan kita berubah secara menyeluruh,” kataku dengan lambat dan santai. Berusaha membuatnya tidak begitu berpikir keras. 

“Misalnya nih kita bilang kita bertobat, tapi kita milih-milih bertobat dalam hal apa. Kalau di gereja, kita bertobat, di rumah bertobat, tapi di sekolah atau di tempat lain tidak. Itu bukan bertobat. Bertobat itu.. menyeluruh, bukan pilih-pilih gitu,” jelasku lagi, dan dia seperti biasa tampak memproses setiap kata yang kusampaikan.

“Memangnya bisa kita hidup tanpa melakukan dosa lagi dimanapun, Kak?” tanyanya lagi.

Aku tampak berpikir beberapa detik lalu menjawab, “Sebagai manusia sih, kita pasti akan berbuat dosa lagi, Nik. Soalnya kita bisa aja jatuh dan nggak taat sama Tuhan, kan? Tapi, kita tidak bermain-main lagi sama dosa dan harusnya kita akan merasa sedih jika melakukan dosa. Terus, ada tindakan di hati kita untuk tidak mengulanginya lagi.” 

Dia tampak mengangguk-angguk pelan.

Kemudian seperti baru teringat sesuatu, dia bertanya lagi, “Kemarin waktu aku browsing, ada kalimat: Bertobat itu artinya Lahir Baru, maksudnya gimana Kak?” 

Aku tersenyum dalam hati. Seketika teringat cerita Alkitab tentang Nikodemus yang menanyakan hal yang sama pada Yesus. Dan oh, nama mereka pun sama! Lalu aku mulai berpikir lagi apa yang harus kukatakan pada anak remaja yang sedang sangat penuh dengan rasa ingin tahu ini. Dalam hati aku sambil berdoa minta pimpinan Tuhan.

“Ehmm lahir baru itu, ketika kita menerima Yesus sebagai Juruselamat kita, Nik! Artinya kita percaya sepenuhnya sama Dia yang memberi kita keselamatan dan kita hanya mengandalkan Dia aja. Jadi kita nggak boleh mengandalkan diri kita sendiri lagi untuk hidup kita, atau untuk keselamatan kita,” jawabku dengan pelan tapi tegas.

Dia kembali mengangguk-angguk, semoga karena dia mengerti. Tapi untuk pelajar seperti dia, aku sudah cukup terkesan dengan keingintahuannya. 

“Kalau begitu aku mau bertobat, Kak. Aku mau percaya sepenuhnya sama Yesus.”

Aku menoleh dan menatap matanya yang menyiratkan tekad dan ketulusan. Aku terharu, bahkan orang dewasa sering sekali masih “mikir-mikir” untuk mengambil keputusan itu, tapi Niko, remaja ini dengan mantap mengatakannya. Aku tersenyum hangat, betapa Tuhan telah berbuat sesuatu

Aku bahkan hampir saja meneteskan airmata saat membimbingnya berdoa waktu itu.

“Kak, jadi gimana nih ngerjain soal Matematikanya?” Suara Niko menyadarkanku dari lamunan, aku tertawa kecil, buru-buru memperhatikan soal yang disodorkannya. Niko besok ada ulangan Matematika, tapi guru lesnya malah asyik melamun. Untung saja segera kembali ke dunia nyata, kalau tidak kayaknya besok nggak akan diminta datang lagi alias dipecat. Hehe..

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
6 replies
  1. Feliks Sipahutar
    Feliks Sipahutar says:

    Well done, Desy
    thank you Warung Sate Kamu

    to God be the glory, Amen.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *