Jangan Nunggu Ketahuan Dulu Baru Bertobat
Oleh Jovita Hutanto
Aku masih ingat jelas guyonan saat SMA dulu. Ketika ada teman yang ulang tahun, salah satu ucapan yang diberikan begini, “Happy birthday yaaa! Bertobatlah sebab kerajaan surga sudah dekat!” Atau, kalau si teman yang paling suka buat onar ketahuan dan dihukum, mereka akan berseru, “Ampun pak! Tobat deh, tobat saya.”
“Tobat”, kata ini jadi menarik buatku. Aku pikir-pikir lagi, apa yang ada di benakku dan teman-teman dulu ketika bicara soal “tobat” ya? Kudapati kalau pada masa itu ungkapan dan niatan tobat baru muncul ketika suatu dosa atau kesalahan terbongkar. Sederhananya, pertobatan itu lebih seperti ketahuan daripada pengakuan. Kok ketahuan dulu baru ngaku? Jadi, ini sungguh-sungguh bertobat atau situasi yang memaksa kita bertobat karena ketahuan? Kalau gak ketahuan, gak bertobat dong?
Untuk menjawabnya, aku mau mengajak kita semua untuk mengulik lebih dalam tentang perobatan. Ada dua tipe cerita pertobatan manusia. Ada yang sadar sendiri bahwa dia harus berubah, namun ada juga yang harus “ditampar” dulu baru sadar. Kalau bisa sadar sendiri, ibaratnya “surat peringatan” (SP) pertama dari Roh Kudus cukup berhasil. Tapi kalau sudah pakai cara kedua, biasanya teguran tidak diindahkan sampai-sampai harus “ditampar”. Namun, tamparan ini bukanlah itikad jahat untuk menghancurkan kita, melainkan adalah konsekuensi dari perbuatan dosa kita. Uniknya manusia, sekalipun mereka merasa diri baik-baik saja dan merasa tidak perlu bertobat, tetapi kita semua tahu bahwa dalam diri kita menyimpan keburukan. Pertanyaannya, apakah kita menyimpan begitu saja keburukan itu? Atau, punyakah kita niat untuk berubah?
Kalau kita mengaku diri Kristen, seharusnya kita mempunyai kerinduan untuk menjadi manusia yang semakin hari semakin serupa dengan Kristus.
Katekismus Westminster sudah merangkum arti dari “‘bertobat menempuh hidup baru,” yang bunyinya:
“Bertobat menempuh kehidupan baru adalah anugerah yang menyelamatkan (1) yang membuat seorang berdosa sungguh-sungguh menyadari dosanya, dan memahami rahmat Allah di dalam Kristus (2), sehingga ia menyesali dan membenci dosanya, serta berbalik dari dosa itu kepada Allah (3), dengan maksud mencapai dan mengejar ketaatan yang baru (4).”
Ada 4 poin penting yang disampaikan dalam arti pertobatan kekristenan. Pertama-tama, patut kita ketahui bahwa proses pertobatan dari awal sampai keberhasilannya itu murni anugerah Allah (Kisah Para Rasul 11:18). Manusia tidak dapat mengambil inisiatif dengan sendirinya untuk bertobat. Lalu poin kedua menjawab apa yang menjadi indikator manusia memulai proses pertobatannya, yaitu kesadaran akan dosanya (Mazmur 51:1-4). Kesadaran itu ternyata tidak dimiliki semua orang. Kesadaran hanya dimiliki oleh segelintir orang yang dibukakan mata hatinya.
Aku ingin menekankan bahwa ‘tahu’ dan ‘sadar’ itu berbeda. Orang yang tahu belum tentu sadar. Kesadaran melibatkan pengertian akan apa yang benar dan yang salah, dan mengerti kemana arah langkah kebenaran. Maka, di poin ketiga dinyatakan bahwa ciri-ciri manusia yang sadar, yakni pikirannya dibukakan pada keburukan dan dosa-dosanya; dan dengan kesadaran tersebut, timbullah keinginan untuk berbalik pada Allah—pada jalan yang benar (Yeremia 31:18-20). Poin keempat menjelaskan bahwa titik awal pertobatan manusia kelihatan dari orientasi hidupnya yang berubah, yaitu tertuju pada ketaatan pada Kristus secara perilaku dan pikiran (Matius 3:8). Dalam arti lain, tolak ukur keberhasilan pertobatan tidak dari kesempurnaan perilaku dan cara pikir kita (walau intensi dan arahnya harus pada kesempurnaan), namun dari orientasi dan fokus hidup kita yang berubah menuju pada kebenaran. Boleh disimpulkan bahwa pertobatan itu melibatkan dua unsur penting, unsur anugerah dan unsur kesadaran.
Teman-teman boleh tarik dan hela nafas dulu untuk kembali mencerna 4 poin di atas supaya tidak bingung. Hehehe..
Walau pertobatan sifatnya emergency dan harus segera dicanangkan dalam pikiran kita, jangan khawatir karena penerapan ‘kehidupan yang baru’ tidak harus terjadi dalam satu malam.
“Keluarkan olehmu buah-buah yang berpadan dengan tobat. Tunjukkanlah dengan perbuatanmu bahwa kamu sudah bertobat dari dosa-dosamu.” (Matius 3:8). Setelah adanya kesadaran secara internal atau secara mindset (cara pikir), berikutnya kita pikirkan strategi untuk mengubah yang eksternal, yaitu kebiasaan buruk kita.
Nah… Langkah seperti apa yang harus kita ambil untuk membangun kebiasaan yang baik?
Menurut pengalamanku, penerapan reward and punishment tergolong cukup efektif. Pertama-tama, kita list dahulu kebiasaan buruk yang ingin kita ubah. Lalu di sebelah kanan list tersebut, tuliskan goal atau kebiasaan baik yang ingin kita capai, contohnya: malas berolahraga → rajin berolahraga 2 kali seminggu. Pastikan kalian mencantumkan goal kalian lebih spesifik ya, supaya lebih ada gambaran dalam penerapannya dan kelihatan tolak ukur keberhasilannya.
Lalu, di kolom ketiga, kalian tuliskan reward atau penghargaan yang kalian ingin berikan pada diri kalian jika kalian berhasil melaksanakannya. Tidak perlu ribet-ribet memikirkan reward ini, karena kita pasti memiliki hobi/kesenangan yang sering kita lakukan, seperti nonton drama, pergi bersama teman, dll. Jadikan hobi keseharian kita sebagai hadiah jika kita berhasil melaksanakan kebiasaan baru. Sebaliknya, jika gagal, maka kita tidak boleh menikmati hobi tersebut. Kuncinya kita harus komit untuk menjalankan reward and punishment yang sudah kita buat. Tiga bulan pertama mungkin akan terasa berat. Jangan kasih kendor, guys! Kalau menurut penelitian psikologi, manusia perlu melakukan kebiasaan barunya selama 90 hari tanpa putus untuk menjadikan habit tersebut sebuah lifestyle (gaya hidup).
Reward and punishment ini cukup membantu dalam hal pembentukan moralitas atau perilaku. Namun, akan lebih rumit diterapkan untuk dosa batiniah atau dosa pikiran, seperti kedengkian dan iri hati. Dosa yang tidak kelihatan ini memerlukan skill penguasaan diri yang baik. Aku harus berterus terang kalau mengendalikan pikiran kita sendiri itu tidak mudah karena seringkali pikiran jahat itu merasuki secara perlahan, tau-taunya sudah menjamur saja dalam otak dan karakter kita. Kalau untuk kasus yang seperti ini, aku biasanya banyak mendengarkan podcast-podcast yang tema nya sesuai dengan pergumulanku. Sudah banyak toh di Youtube podcast dan seminar dari para ilmuwan teologi. Jadi selagi pikiran yang jahat menggoda, podcast dari mbah Youtube juga ikut menegur. Dengan memperkaya pengetahuan yang benar, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menaklukkan pikiran jahat kita. Karena satu-satunya yang dapat mengurungkan niat berdosa kita ya hanya pengetahuan akan kebenaran itu sendiri. Ada pepatah mengatakan “the truth sets me free.” Kebenaran itu membebaskan. Selain itu, keniatan hati untuk menjadi lebih baik juga penting, karena di mana ada niat, di situ ada jalan.
Jujur, aku juga suka sih kena “sentil-sentilan” yang cukup membangunkan. Namun, sebagai orang yang percaya, aku rasa sudah seharusnya kita tidak menunggu sampai ketahuan atau di “tampar” terlebih dahulu baru mau bertobat dan menempuh hidup baru.
Amin, terimakasih sharingnya, sangat memberkati, kiranya Tuhan memberkatimu senantiasa…
Amin
benar sekali, im blessed 😇ðŸ™
Puji Tuhan. Terima kasih. Amin
blessed
amin, God is Good
Sangat memberkati. terima kasih kak
Haleluya. Terimakasih
iya, saya bertobat, mengakui dosa dosa saya di depan umum, psikolog n anggota komsel.
Kita harus dipermalukam krn dosa dosa kita menerima konsekuensinya n lalu berbalik.
kalau hanya comitment lewat reward n punishment, hanya dosa dosa kecil. Tp dosa besar spt berzinah, membunuh, korupsi, etc, maka akuilah didepan org. Rasakan dipermalukam n ditinggal org, maka kamu akan merasakan n bergantung kepada Tuhan n akan berbalik dgn sungguh sungguh.Saya sdh melakulannya. Amin
Amin