Jangan Berhenti di Kamu, Share It!

Sebuah cerpen karya Desy Dina Vianney, Medan

Hai, aku Rena. Aku baru aja lulus kuliah akhir tahun lalu, dan sekarang lagi berkutat dengan laptop dan email dalam rangka pencarian pekerjaan. Sahabatku, Sarah, hari ini akan mengikuti interview pertamanya. Kami mempersiapkannya bersama sepanjang malam tadi, mulai dari mencari tahu pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan, sampai outfit mana yang harus dikenakannya hari ini. Akhirnya kami tertidur hampir lewat tengah malam dan bangun ketika alarm ponsel kami berbunyi bersamaan.

“Doain supaya interviewer-nya pengertian ya!” katanya tertawa kecil saat dia—untuk terakhir kalinya—memandang pantulan dirinya di cermin dinding kamar kos kami.

Aku yang sedang duduk menghadap laptop melirik, “Pengertian kalau kamu harus cepat balik buat nonton episode baru drakor-mu?” jawabku. Dia terkikik, “Iya, jadi nggak usah nanya banyak-banyak deh, langsung diterima aja.” Katanya tertawa, lalu menarik sepasang sepatu dari rak dan melambai, menghilang di balik pintu.

Tiba-tiba saja aku memikirkan Sarah. Aku bertemu dengannya di hari pertama daftar ulang fakultas 4 tahun lalu. Sekali melihat dan mendengarnya berbicara, aku tahu aku telah menemukan teman yang tepat. Kami akhirnya menjadi dekat, dan pada semester berikutnya kami memutuskan untuk tinggal bersama. Ia yang selalu mengingatkanku akan hampir semua hal-hal benar yang harus aku lakukan, mengingatkan ke gereja dan mengajakku mengikuti kelompok-kelompok PA di kampus, walaupun di semester pertama aku masih terus menolak.

Aku bukan anak yang malas ke sekolah minggu sejak kecil, dan bukan tipe orang yang malas untuk ibadah ke gereja, karena aku tahu itu hal yang baik untuk dilakukan dan memang suatu kewajiban sebagai orang Kristen. Tapi, jujur saja aku bukan tipe orang yang aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani, melayani, apalagi ikut dalam kelas-kelas Alkitab atau kelompok-kelompok PA. Aku merasa itu hal-hal yang terlalu rohani.

Jadi aku selalu punya 1001 alasan untuk menolak setiap kali dia mengajakku. Sedang kurang fit, tugas kuliah yang menumpuk, ada jadwal kerja kelompok, mau telfonan sama orang rumah, dan banyak alasan lainnya.

Tapi, Sarah tidak pernah terlihat kesal setiap kali aku menolak dan akan mengajakku lagi di waktu berikutnya. Jujur, aku salut padanya. Sekaligus merasa terusik. Apa sih yang ia imani sampai bisa setekun itu?

Beberapa hari setelah kami tinggal bersama, aku terbangun di suatu subuh dan melihat Sarah sedang duduk di kursi belajar dan berdoa dengan Alkitab di hadapannya. Pemandangan itu cukup menyentuh hatiku dan samar aku mendengar ia menyebut namaku–entah aku salah dengar. Tapi entah bagaimana aku merasakan hatiku hangat, dan aku menangis. Aku seperti sangat merindukan sesuatu, atau seseorang. Aku bangkit lalu berdoa dengan perasaan berbeda. Seolah-olah aku baru kali ini berdoa. Seolah-olah aku baru kali ini berbicara dengan Tuhan.

Hari itu aku mengiyakan ajakan Sarah untuk ikut ke kelompok PA yang diikutinya. Dia tersenyum hangat dan menggandeng tanganku. Kami pulang ketika hari sudah mulai gelap dan berjalan bersisian sampai akhirnya harus berlari-lari kecil karena hujan turun. Sesampai di kos, sebelum masuk ke kamar mandi dengan pakaian kuyup, dia sempat mengatakan, “Ren, dari sepanjang waktu kita saling mengenal, hari ini hari yang paling aku syukuri. I thank God for you.” katanya dengan mata berbinar dan nada yang sangat tulus, lalu kemudian menghilang di balik pintu.

Aku tersenyum, dia tidak tahu kalau sesungguhnya aku yang jauh lebih bersyukur untuk apa yang selama ini telah ia bagikan padaku lewat perhatiannya, ajakannya, dan cerita-ceritanya dalam melayani orang lain. Aku yang bersyukur ia tidak pernah menyerah untukku. Aku yang bersyukur memilikinya sebagai sahabat.

Momen itu adalah titik balik perjalanan imanku. Aku belajar membangun relasi dengan Tuhan yang selama ini hampa dan samar. Awalnya tidak mudah karena harus mengubah banyak hal dan kebiasaan, tapi alangkah pengertiannya Tuhan menempatkan Sarah disana. Ia yang membangunkan aku pagi-pagi untuk Saat Teduh, mengajakku bergantian membaca Alkitab, hunting buku-buku rohani, join dengan pertemuan Bible Study, mengikuti Kamp Rohani, pelatihan Penginjilan, sampai ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pelayanan. Seluruh hal-hal yang dulu bagiku adalah kegiatan-kegiatan yang “terlalu rohani”!

Suatu waktu saat kami berjalan bersisian menuju kos sepulang kuliah, Sarah bilang, “Iman itu bukan untuk disimpan atau dinikmati pribadi aja, tapi harus dibagikan. Kita juga pengen kan, orang lain merasakan sukacita yang kita rasakan? Terlebih lagi Tuhan. Jadi jangan sampai berhenti di kita ya!” katanya dengan lembut sama sekali tidak terkesan mengajari. Aku benar-benar memahami ucapannya dan mulai belajar membagikan iman juga dengan orang-orang sekitarku. Seperti Sarah, yang membagikannya padaku dengan alami, tanpa memaksa dan tanpa menyudutkan. Sealami persahabatan itu sendiri.

How great is God!

Ponselku berbunyi dan menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata. Nama Sarah tertera di layar. Kulirik jam di ponsel, sudah berjam-jam ternyata sejak Sarah berangkat tadi.

“Bukain pintu depan dong, aku lupa bawa kunci.”

Aku tertawa kecil, dengan semua yang aku sebutkan tadi tentang Sarah, tentulah membuat Sarah seolah-olah seperti sosok malaikat yang sempurna, bukan? Tapi tidak, Sarah tetaplah manusia biasa. Dan ia sangat pelupa untuk hal ini. Dan memang aku bukan membutuhkan malaikat, tapi seorang sahabat. Betapa memang Tuhan sangat mengerti.

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *