Di Mana Tuhan Ketika Aku Terpuruk Karena Menganggur?

Oleh Mikaila Bisson
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Was God in My Job-Hunting Struggles?

Tahun pertama setelah lulus kuliah, aku pernah magang dan mengambil pekerjaan sementara di kampus almamaterku. Pekerjaan ini memang sesuai rencanaku. Kupikir sebelum aku benar-benar memasuki dunia kerja, aku perlu menyesuaikan diri. Setelah kontrakku berakhir, aku makin tertantang untuk menemukan pekerjaan tetap. Saat itulah aku mulai sungguh-sungguh berdoa agar Tuhan membantuku menemukan pekerjaan tetap yang tepat.

Namun, setelah berbulan-bulan, aku masih menganggur, dan akhirnya pulang ke rumah orang tuaku—sesuatu yang aku janjikan tidak akan pernah kulakukan. Setiap hari aku mengirim lamaran tak peduli apa pun posisinya. Ketika ada perusahaan yang mengundangku wawancara, kebanyakan prosesnya tidak berjalan baik. Ada yang lebih memilih kandidat lain, atau tiba-tiba malah posisi yang kulamar hilang.

Akhirnya, aku mengambil langkah besar. Kutarik tabunganku dan pindah ke kota lain yang kuyakin di sana kesempatanku untuk mendapat kerja lebih besar.

Bulan demi bulan berlalu, saldo rekeningku kian menyusut… dan tidak ada tawaran pekerjaan yang datang. Aku kehilangan harapan untuk percaya kalau Tuhan akan memberikan apa yang sangat kubutuhkan—pekerjaan. Akhirnya, ketika tabunganku makin menipis, aku tenggelam dalam depresi. Di mana Tuhanku sekarang? Tidak bisakah Dia melihat aku menderita dan memanggil-Nya setiap jam?

Sebisa mungkin aku ingin mengatakan bahwa titik terendah ini membawaku lebih dekat kepada Tuhan, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Aku marah kepada Tuhan mulai dari aku bangun sampai kembali tidur. Aku berharap Dia menjagaku, atau setidaknya mendengarkanku… namun, setiap hari yang kudengar hanyalah jawaban “tidak”, atau keheningan yang lebih memekakkan telinga.

Berjalan dengan Tuhan dalam Kemarahan

Gereja dan imanku adalah satu-satunya yang tetap dalam hidupku. Sesulit apa pun kondisiku, terkadang dengan pergi ke gereja—terutama ketika khotbah tentang “panggilan” membuatku berjuang melawan air mata dan kekecewaan—aku masih dapat belajar sesuatu tentang Tuhan dan diriku sendiri di setiap ibadah Minggu.

Masa-masa prapaskah yang jatuh di bulan Februari (periode dalam kalender Kristen yang kusukai) secara istimewa sungguh membuka mataku. Momen-momen refleksi selama masa prapaskah memberiku ruang di tengah kemarahanku untuk berjalan bersama Tuhan. Aku menulis jurnal, mengikuti ibadah-ibadah, dan merenung. Aku mulai melihat betapa Tuhan telah memberkatiku. Mungkin aku memang belum mendapat pekerjaan, tapi Dia memeliharaku dengan memberiku support-system yang baik. Tuhan memberiku rumah untuk ditinggali, dan sebenarnya aku pun diberi-Nya rencana cadangan. Meski aku masih belum dapat kerja, orang tuaku tetap akan dengan senang hati menyambutku jika aku memutuskan untuk pulang.

Selama masa prapaskah ini aku terus memproses amarahku, hingga aku menemukan kisah Alkitab yang memberiku perspektif baru tentang pemeliharaan Tuhan.

Dalam Yohanes 11:1-16, Yesus tahu bahwa sahabat-Nya, Lazarus, sedang sakit parah. Dari interaksi mereka sebelumnya, kita tahu bahwa Yesus, Maria, Marta, dan Lazarus adalah teman. Tetapi ketika Maria dan Marta memanggil-Nya, Yesus malah menetap di tempat Dia berada dua hari lagi sebelum kembali ke Yudea. Dua hari lagi? Apa yang Yesus pikirkan? Teman baiknya sangat membutuhkan kuasa penyembuhan-Nya, namun Dia memilih untuk tinggal di Yudea sementara penyakit Lazarus berakhir fatal.

Melihat Kemuliaan Tuhan

Kisah itu selalu membuatku bingung. Mengapa Yesus tidak segera datang menemui sahabat-sahabat-Nya? Tetapi setelah membaca buku Waiting: A Bible Study on Patience, Hope, and Trust dari Sharla Fritz, aku mendapatkan perspektif yang lebih jelas tentang mengapa Yesus melakukan apa yang Dia lakukan.

Dalam Yohanes 11:5-6, kita membaca:

“Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada.”

Jadi, satu kata itu mengubah segalanya. Karena Yesus mengasihi orang-orang ini, Dia tinggal di tempat Dia berada.

Kemudian pada bagian berikutnya, kita membaca:

“Jawab Yesus: ”Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” … berserulah Ia dengan suara keras: “Lazarus, marilah ke luar!” Orang yang telah mati itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan mukanya tertutup dengan kain peluh.” (Yohanes 11:40-44)

Mengapa Yesus tetap tinggal di tempat Dia berada? Untuk menunjukkan kebesaran kemuliaan-Nya dalam situasi ini, dengan membangkitkan Lazarus setelah empat hari dari kematiannya. Untuk menunjukkan bahwa meskipun semua tampak hilang, Dia dapat melakukan hal yang mustahil, dan Dia adalah pribadi yang layak kita percayai. Untuk mengingatkan kita bahwa Dia bertindak menurut gambaran besar yang tidak dapat kita lihat, atau bahkan bayangkan.

Bahkan Jika Kita Tidak Mengerti

Ketika aku terus memikirkan hal ini, aku menyadari bahwa Tuhan tidak berutang pekerjaan kepadaku. Alih-alih menuntut-Nya memberiku satu hal menurut rencana yang telah kubuat, aku bisa berbagi keinginan, frustrasi, dan doa-doa dengan-Nya, dan menyerahkan jawabannya pada rencana gambaran-Nya yang besar. Syukurlah, rencana besar-Nya buatku mencakup bagaimana dan di mana aku akan meraih pekerjaan tetap. Tuhan memberiku pekerjaan luar biasa pada sebuah lembaga pelayanan yang memberiku kesempatan untuk menumbuhkan skill profesional, juga imanku, lebih daripada apa yang kubayangkan.

Tuhan layak mendapatkan kepercayaan kita karena Dia selalu melakukan yang terbaik. Dalam situasi Maria dan Marta, yang terbaik yang Yesus lakukan adalah saudara laki-laki mereka dibangkitkan dari kematian dan tindakan ini menunjukkan dahsyatnya apa yang dapat Tuhan lakukan. Pada titik ini, aku belum mengerti mengapa menganggur dan susah payah mencari kerja adalah yang terbaik buatku. Meskipun pada akhirnya masa-masa penantian itu membangun imanku pada Tuhan dan rencana-Nya, aku masih tidak yakin bagaimana hal itu akan menunjukkan kemuliaan-Nya di masa depan. Tetapi meskipun aku tidak mengerti, aku tahu sekarang bahwa aku selalu dapat mempercayai Dia untuk memeliharaku—meskipun itu mungkin tidak terlihat seperti yang kuinginkan.

Meskipun aku masih merasa bahwa pengalamanku itu sedikit getir, aku tahu Yesus akan menyambutku. Dia akan merengkuhku, juga seluruh rasa bingung dan kecewaku, sebagaimana Dia menangis bersama Maria dan Marta karena kehilangan Lazarus, meskipun Dia tahu bahwa Lazarus kelak akan dibangkitkan-Nya.

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. Wahyu As
    Wahyu As says:

    Terima kasih untuk sharingnya.

    Mohon dukungan doa. Saya sudah lebih dari 5 tahun menganggur, sehari-hari bekerja hanya sebagai freelancer dengan penghasilan yang minim. Bahkan kurang. Lamaran kerja sudah banyak yang saya kirim namun masih belum membuahkan hasil. Terkadang untuk menghadiri undangan wawancara kerja saya harus pinjam uang untuk biaya transport pada teman saya. Pekerjaan belum juga saya dapatkan, namun saya malah jadi punya hutang ke teman-teman saya.

  2. Murni Hanna Oktavia
    Murni Hanna Oktavia says:

    sungguh kesaksian yang luar biasa.. Terpujilah Tuhan, Allah kita! Segala kemuliaan hanya bagi namaNya! Amin..

  3. Florida Lisna Mere
    Florida Lisna Mere says:

    memahami rencana Tuhan, maunya Tuhan dlm hidup kita bgtu sulit jika dipikirkan menggunakan logika kita..
    tapi klo kt cba melangkah dng iman, kt akan kuat dn Yakin bahwa tidak mngkin Dia akan mmbiarkan kita jatuh dlm lembah kekelaman… makasi sharingnya

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *