Jadi Orang Kristen, Tapi Ambisius… Memangnya Boleh?

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Okay For A Christian To Be Ambitious?

Ambisi.

Inilah kata yang menimbulkan diskusi di kalangan orang Kristen. Kita sering mengartikan ‘ambisi’ sebagai sifat yang ‘menghalalkan segala cara’, ‘tusuk lawanmu dari belakang’, terkhusus kalau kita bicara soal pekerjaan. Kita pasti tidak asing dengan sosok teman atau kenalan yang berwatak keras dan mati-matian demi mewujudkan apa yang mereka mau. Atau mungkin, kita pernah jadi orang seperti itu!

Tapi.. kalau kebalikan dari ambisius, bukannya itu juga tidak baik? Bayangkan kamu tidak punya gairah, semangat, tujuan. Hidup cuma sekadar hidup. Cara seperti ini juga rasanya bukan pilihan yang baik.

Jadi… apakah ada tempat bagi ambisi dalam hidup Kristen? Jika ada, seperti apa bentuknya? Dan kalau kita tidak punya ambisi, apakah itu sama buruknya seperti prinsip ambisius yang ‘menghalalkan segala cara’?

Syukurlah, Alkitab tidak meninggalkan kita sendirian dalam menggumuli pertanyaan ini.

Ada dua tipe ambisi

Pada tingkatan yang paling dasar, ambisi berarti berjuang keras untuk meraih sesuatu. Masalah muncul ketika pengejaran itu semata-mata hanya untuk tujuan dan kepuasan kita. Jenis ambisi ini seringkali mewujud ke dalam bentuk manipulasi dan menyerang siapa pun yang menghalangi keinginan kita (Yakobus 3:16).

Inilah tipe ambisi yang disebut Alkitab sebagai “ambisi egois”, dan ini sudah jelas salah bagi orang Kristen. Contohnya, dalam surat Rasul Paulus untuk jemaat Filipi, dia berbicara tentang beberapa orang yang mengotbahkan Kristus karena “ambisi yang mementingkan diri sendiri” (Filipi 1:17). Paulus tidak terkesan dengan motivasi mereka. Betul, mungkin mereka mengabarkan Kristus, tetapi mereka mengutamakan kepentingan pribadi, “…dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara” (ayat 17). Mereka ingin pujian manusia (mereka iri karena Paulus mendapatkannya), jadi rasa egoislah yang menggerakkan mereka.

Kemudian, di surat yang sama, Paulus mendorong pembacanya agar tidak membiarkan diri digerakkan oleh ‘ambisi egois’, tetapi mengejar kerendahan hati (Filipi 2:3).

Tetapi…semua ini tidak berarti ambisi itu salah. Jika ada satu orang dalam Alkitab yang sungguh ambisius, dialah Rasul Paulus! Ambisinya terlihat jelas ketika dia bicara tentang mengejar relasi yang lebih dalam dengan Kristus, menekankan dan berusaha keras untuk mengejar apa yang di depan (Filipi 3:12,13) untuk memperoleh ‘hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:14). Ini bukanlah bahasa yang dituturkan oleh seorang dengan ambisi yang rendah! Kita bisa melihat semangat yang sama dalam surat-surat Paulus lainnya di mana dia mengupayakan segala cara memberitakan Injil, berapa pun harga yang harus dia bayar.

Mengejar ambisi yang benar

Jenis ambisi yang kita lihat dalam Paulus mungkin paling tepat kita sebut sebagai ‘ambisi yang saleh’. Tidak seperti ambisi egois, inilah jenis ambisi yang digerakkan atas kepentingan orang lain, dan juga Tuhan. Inilah ambisi yang rendah hati; dengan semangat bekerja keras untuk meraih sesuatu, tapi demi kepentingan orang lain, bukan diri sendiri. Mungkin inilah Paulus mengontraskan ambisi yang egois dalam Filipi 2:3 dengan kerendahan hati. Amy Dimarcangelo, seorang penulis menulis begini di artikelnya:

“Bagaimana aku bisa tahu kalau ambisiku itu ambisi yang benar dan saleh?” Tidak ada yang salah dengan berambisi, “selama keinginan dan tekad itu dibungkus dalam kemuliaan Tuhan, bukan kita sendiri.”

Apa artinya ini semua bagi orang Kristen di ladang pelayanannya masing-masing? Kita boleh berambisi…demi orang lain! Bekerja keras, belajar hal baru, mendengar podcast, membaca buku–lakukan semua itu bukan cuma untuk diri sendiri, tapi agar kita dapat meningkatkan kualitas diri untuk melayani Tuhan lewat pekerjaan kita, agar orang lain turut diberkati.

Cara pikir ini mungkin terkesan radikal, terkhusus apabila sebelumnya kita hanya berpikir melakukan semuanya hanya demi kepentingan kita sendiri.

Namun, Allah dalam hikmat-Nya yang besar memberi kita hasrat (juga kemampuan, talenta, dan pengetahuan) yang menjadi sukacita kita untuk menggunakannya demi kepentingan orang lain. Allah bukan pembunuh sukacita; Dia rindu kita bersukacita tetapi sukacita terbesar hanya kita temukan ketika kita menggunakan apa yang kita punya bagi orang lain, bukan diri sendiri. Mengapa Yesus mati di kayu salib (tindakan kasih terbesar dari ambisi yang tidak egois)? “Yang tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibrani 12:2). Inilah yang terdengar aneh, tetapi paradoks yang paling indah dalam iman Kristen—dalam memberi kita menemukan kepuasan dan sukacita.

Penting untuk kita ingat bahwa motivasi kita selalu campur aduk. Memang, tugas yang sama yang dapat dilakukan untuk kebaikan orang lain mungkin juga dilakukan karena mementingkan diri sendiri (perhatikan contoh yang diberikan Paulus tentang mereka yang mengkhotbahkan Kristus, “karena ambisi yang mementingkan diri”!).

Adalah baik jika kita waspada dan bertanya pada diri sendiri dari waktu ke waktu. “Apa yang menggerakkanku? Egoisme atau bukan? Tapi, hanya karena motivasi kita seringkali bercampur aduk dan tidak murni, ini tidak berarti kita tidak boleh memiliki ambisi.. melainkan berdoalah dengan tekun agar Tuhan menolongmu mengembangkan ambisimu menjadi sesuatu yang berfokus pada orang lain, bukan cuma diri sendiri.

Hindari hidup yang tidak berambisi

Tapi… bagaimana dengan pertanyaan final ini: Kalau aku gak punya ambisi, apakah itu seburuk orang yang punya prinsip ambisi ‘menghalalkan segala cara’?

Seringnya sih iya. Tapi kita butuh klarifikasi yang lebih penting. Apa yang orang lain lihat sebagai ‘kurang berambisi’ bisa jadi juga bentuk kepuasan atas apa yang Tuhan telah berikan dan tempatkan kita selama ini. Jika kita punya kepuasan seperti itu, puji Tuhan! Tapi, itu tidak berarti kita harus kekurangan ambisi. Kepuasan dan ambisi bisa (dan harus) berjalan bersandingan. Dalam kepuasanmu kamu bisa tetap berambisi untuk orang-orang di sekitarmu. Lihat apa yang jadi kebutuhan mereka dan lakukan sesuatu untuk mendukung mereka.

Namun, kekurangan ambisi dalam konteks Alkitab dapat juga dideskripsikan sebagai kemalasan. Si pemalas dalam Amsal sering dijadikan contoh cara hidup yang tidak patut kita tiru (Amsal 6:9; 13:4, 15:19, 26:15). Tak ada hal yang memuliakan Tuhan dari menyia-nyiakan kemampuan yang telah Dia berikan kepada kita, yang seharusnya bisa kita gunakan buat orang lain.

Di artikel yang sama, Amy Dimarcangelo juga menulis: “Orang yang pasif, yang menghindari berusaha sendiri karena mereka ‘percaya Tuhan’ mungkin terdengar rohani, tapi bisa jadi itu hanya dalih dari kemalasan dan kurang tanggung jawab. Mempercayai Tuhan untuk hasil panen yang baik tidak akan berarti apa pun kalau kamu tidak mau menyirami dan merawat benihmu.”

Maka jadilah ambisius bagi Allah! Pakai karunia, kemampuan, talenta, dan kesempatan yang Dia berikan padamu. Lalu, dengan cara kreatif dan bersemangat, gunakan itu semua untuk kebaikan orang lain dan kemuliaan-Nya.

Bagikan Konten Ini
2 replies
  1. Wira Perdana
    Wira Perdana says:

    terima kasih sgt memberkati dan mengingatkan kembali. kembali lagi semua berbicara mengenai motovasi dan dasar kita yg menggerakkan kita.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *