Aku: si “Ketidaksengajaan” yang Hadir dalam Keluarga
Oleh Priliana
Aku lahir sebagai anak bungsu dengan kedua saudara yang usianya cukup jauh di atasku. Antara aku dan kakak pertamaku laki-laki, terpaut 10 tahun, sedangkan dengan kakak perempuanku, terpaut 7 tahun. Aku pernah bertanya pada orang tuaku, kenapa aku lahir dengan rentang usia yang cukup jauh dari saudara-saudaraku? Lalu mamaku menjawab, “Iya, kamu itu gak sengaja jadi.”
Entah apa yang kurasakan saat jawaban tersebut terlontar dari orang tuaku. Mereka menjawab sambil tertawa, mungkin mereka bergurau. Aku pun ikut tertawa, tapi juga bertanya-tanya, sungguhkah itu jawaban mereka? Tapi aku tetap merespons jawaban mamaku, “Ah.. Justru kalian beruntung ada aku di keluarga ini. Kalau gak ada aku, pasti keluarga ini sepi, gak ramai.” Dan mereka semakin tertawa.
Interaksi itu kumaknai dengan keterbukaan. Ternyata orang tuaku jujur menjawab pertanyaanku dan aku bersyukur atas itu, dan lebih bersyukur karena sesungguhnya mereka senang atas kehadiranku yang tidak sengaja ini. Ya, aku adalah ketidaksengajaan yang membawa sukacita, pikirku saat itu.
Tapi, ternyata aku tidak selalu membawa sukacita dalam keluargaku.
Ketika SD aku mulai dibandingkan dengan kedua saudaraku mengenai nilai rapor dan prestasiku di sekolah. Kedua saudaraku memang selalu memiliki nilai rapor di atas rata-rata, selalu dapat peringkat kelas, belum lagi prestasi lomba dan keahlian lainnya. Di tengah ekonomi kami yang sulit, kedua saudaraku sungguh seperti air yang mengalir di tengah gurun pasir.
Tetapi, dibanding-bandingkan bukanlah hal yang menyenangkan, justru menjengkelkan.
Aku paham maksud orang tuaku membandingkan kami agar aku mengikuti hal-hal baik dari saudaraku, tapi tetap saja aku jengah.
Setiap perbandingan itu seakan-akan berteriak: “Mereka saja bisa, masa kamu nggak bisa?”
Rasanya ingin kujawab: “Kalau mereka bisa, kenapa harus aku?”
Tentu keinginanku menjawab seperti itu bukanlah hal baik. Kalimat itu hanya tersimpan dalam hati.
Walaupun kesal dibandingkan terus, aku tetap berusaha memberikan yang terbaik di bidang pendidikan. Sampai waktu membuktikan usahaku. Aku yang belum pernah dapat juara semasa SD, berhasil meraih peringkat ketika kelas 1 SMP. Pertama kalinya, dan aku peringkat 3, mengalahkan teman SD ku yang sedari dulu selalu jadi juara kelas.
Aku senang. Aku semakin senang melihat betapa terkejut dan senangnya orang tuaku mendengar hal itu, bahkan orang tuaku langsung mengajakku makan es krim favoritku setelah pulang ambil rapor. Sejak saat itu, aku berusaha mempertahankan peringkatku dan bersyukur hingga SMA tetap memiliki peringkat dan nilai yang cukup baik.
Tapi perbandingan itu tidak kunjung selesai.
Habis membandingkan perihal pendidikan dengan kedua saudaraku, terbitlah membandingkan perihal zaman.
“Zaman kamu sekarang enak, dek. Sekolah negeri udah ga bayaran. Dulu saudara-saudaramu harus bayar. Untung dapat beasiswa, jadi dapat potongan. Makanya, belajar lah yang giat. Lihat abang dan kakakmu.”
“Dulu abang dan kakakmu harus bantu mama dagang sebelum berangkat sekolah. Bawa es batu subuh-subuh ke kantin pakai sepeda, cuci banyak piring setelah masak, angkat air, baru berangkat sekolah. Kamu bangun tidur cuma melakukan persiapan untuk sekolah, lalu berangkat. Enak, toh, dek.”
Huft.. Tidak cukup perbandingan dari orang tua, abangku juga melakukan hal yang sama.
“Enak jadi lo. Dulu gue harus bangun subuh-subuh, angkat air, beresin rumah, bantu dagang sebelum pergi sekolah. Pulang sekolah juga masih harus bantu mama dagang sampai malam. Lo di rumah aja, main-main.”
Hal-hal itu tidak sekali dua kali diungkit. Entah mengapa zaman saja dibandingkan.
Lalu aku harus bagaimana? Rasanya ingin bilang kalimat ini ke abangku:
“Ya siapa suruh lahir duluan. Itu sih DL, Derita Lo.” Tapi lagi-lagi itu hanya tersimpan dalam hati.
Hingga aku sudah merasa sangat jengah. Dan ketika perbandingan itu dilontarkan lagi oleh orang tuaku, aku memberi respon:
“Untuk apa membandingkan zaman kalian dulu dengan zamanku? Toh kita nggak bisa pilih mau hidup di zaman yang seperti apa. Untuk apa juga membandingkanku dengan abang dan kakak? Kita punya bakat masing-masing. Kalau mereka ahli di bidang akademis, apa salah kalau keahlianku di bidang non akademis?”
Dan orang tuaku terdiam. Entah karena terkejut atas sikapku atau memikirkan ucapanku.
Tapi aku lega setelah mengucapkannya. Keluh kesah yang kupendam akhirnya meluap. Entah apakah kejujuranku tersebut dapat mereka terima dengan baik atau tidak, tapi aku selalu mengingat ayat Alkitab yang berbunyi:
“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (Amsal 2:7).
Aku percaya bahwa keterbukaan adalah awal pemulihan, baik untuk hubunganku dengan keluarga, untuk hatiku, dan mungkin untuk hati keluargaku juga. Keterbukaan menjadi kunci utama untuk mempertahankan hubungan yang harmonis dan membangun. Dan setiap anggota keluarga memiliki hak untuk berterus terang mengenai perasaannya.
Bagiku, keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi seseorang untuk bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka karena dalam keluarga kita tidak perlu menutupi siapa diri kita sesungguhnya.
Selama menjadi anak, aku tetap berusaha mengutamakan rasa hormatku, seperti yang Alkitab bilang:
“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3).
Bagaimanapun, orang tuaku adalah orang pertama yang merawatku sejak aku dalam kandungan. Pasti rasanya tidak mudah merawat seorang anak. Mamaku pernah berkata bahwa ketika memiliki anak, seluruh hidupnya berubah. Jam tidur yang berubah dan tidak teratur, waktu pribadi yang terbatas, dan lainnya. Begitupun dengan seorang ayah. Bertambahnya anggota keluarga pasti bertambah pula kebutuhan finansial untuk sang anak, dan lainnya.
Ayat Alkitab dan hal-hal di atas menjadi pengingat bagiku untuk tetap menghormati orang tuaku. Selama aku hidup, aku tahu mereka berusaha memberikan yang terbaik bagiku, bagi masa depanku.
Tapi orang tua tetaplah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, baik mereka sadari atau tidak. Karena itu, aku memilih terbuka mengenai perasaanku pada orang tuaku. Aku mau hubunganku dan keluarga dilandasi dengan keterbukaan dan kepedulian untuk mau membangun satu sama lainnya.
Ketika aku berterus terang tentang perasaanku— ketidaksukaanku atas perbandingan yang mereka lakukan, aku melihat bahwa sikap orang tuaku mulai berubah. Mereka mulai memberi apresiasi terhadap hal apapun yang yang dapat kulakukan, memberi semangat ketika aku gagal mengikuti ujian masuk universitas negeri, dan berusaha untuk tidak lagi membandingkanku dengan kedua saudaraku.
Aku bersyukur atas itu. Aku tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).
Ya, aku mau keluargaku bertumbuh dalam kasih-Nya dan berlandaskan kasih-Nya.
Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa membentuk pandangan kita terhadap keluarga.
Bagaimanapun hubungan dalam suatu keluarga, Tuhan tetaplah kepalanya. Dia tidak pernah secara asal menaruh kita dalam suatu keluarga. Dia selalu memiliki tujuan ketika menempatkan kita di mana pun.
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).
Our lives belong to God
Amin