5 Cara Hidup dalam Keluarga Disfungsional
Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa inggris : 5 Ways I Learned To Love My Dysfunctional Family
Keluargaku bisa dikatakan sebagai “Keluarga Kristen Harmonis”. Kami pergi ke gereja setiap hari Minggu, menghadiri persekutuan, dan ikut retret. Kami juga membaca Alkitab, bergabung dengan grup komsel, dan mengadakan sesi belajar Alkitab di rumah. Kami percaya bahwa keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.
Namun, selalu ada hal yang menyakitkan bagiku, yaitu melihat betapa banyak konflik dan ketegangan yang kami miliki di rumah. Sebagai seorang anak, aku selalu merasa tidak nyaman setiap kali melihat orang tuaku bertengkar hebat sebelum ke gereja, kemudian pertengkaran itu terhenti saat tiba di gereja. Lalu mereka pergi ke tempat masing-masing—ayah ke ruang ibadah dan ibu bergabung dengan paduan suara atau mengajar kelas, sementara aku ke kelas sekolah Minggu dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Entah bagaimana, secara tidak langsung aku mengerti bahwa aku harus memendam hal tersebut untuk diriku sendiri.
Aku pun tidak ingat bahwa aku pernah mendengar orang tuaku saling meminta maaf, apalagi untuk membahas masalah pertengkaran mereka setelahnya.
Ketika aku tumbuh dewasa dan menyadari betapa disfungsionalnya—tidak normal dan tidak sehat—interaksi semacam itu, semakin sulit bagiku hanya untuk berdiam diri dan tidak mengatakan apa-apa. Oleh karena itu, aku memilih berbicara. Tentu saja hal ini tidak disambut baik, mengingat bagaimana konsep hubungan orang tua dan anak dalam budaya kita.
Selama bertahun-tahun, aku terus belajar untuk menyerahkan keadaan ini kepada Tuhan. Aku pun diberkati karena dapat berteman dengan para pendeta yang peduli dan mentor-mentor yang bijaksana, dan mereka juga yang menemaniku melalui berbagai konflik yang kualami. Aku juga mengikuti terapi dengan seorang konselor Kristen, dan memiliki teman-teman yang mau melakukan yang terbaik untuk berada di sisiku. Secara pribadi, aku telah melakukan apa yang bisa kulakukan untuk belajar hidup dalam keluargaku yang tidak baik-baik saja.
Aku juga telah belajar untuk menyebut situasiku sebagai disfungsional, sesuatu yang tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Hampir satu dekade yang lalu, aku bercerita pada seorang teman tentang bagaimana orang tuaku bertengkar dan bagaimana hal tersebut terlihat normal, sampai ketika dia dengan blak-blakan menjawab, “Uhm, itu tidak normal.”
Tanggapannya mengejutkanku, dan setelah itu, aku langsung merasa malu. Apa maksudnya keluargaku tidak normal? Apakah ini berarti kami disfungsional? Bagaimana bisa dia mengatakan itu? Betapa beraninya dia mengatakan itu? Orang tuanya bahkan bukan orang percaya — setidaknya keluargaku orang percaya. Bagaimana kami bisa ‘bermasalah’ jika kami orang Kristen?
Kalau dipikir-pikir, itu adalah momen pembelajaran yang penting bagiku. Walau temanku mungkin bisa mengatakan istilah yang lebih baik, tapi apa yang dia katakan itu benar. Tidak normal bagi keluarga untuk menjadi seperti ini. Dan menjadi orang Kristen tidak membebaskan kita dari masalah.
Tuhan dengan jelas menggambarkan visi-Nya tentang kehidupan keluarga dalam Efesus 5:2-6:4 — melibatkan penyerahan yang sama dan kasih yang rela berkorban, untuk mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja. Di keluargaku, sebagian besar konflik kami berasal dari ketidaksabaran dan keinginan kuat untuk “melakukan segala sesuatu dengan caraku” ( Yakobus 4:1 ). Yang terpenting, kedua bagian ini menyajikan kesimpulan yang sama—kita perlu tunduk kepada Tuhan.
Seiring waktu, aku telah melihat bagaimana teman-temanku juga berjuang dengan keluarga mereka sendiri dan memilih membawa keadaan disfungsional tersebut kepada Tuhan. Itu menggerakkanku untuk tetap setia pada imanku. Mereka mengajariku berulang kali bahwa kekacauan keluarga yang tampaknya permanen tidak menghapus kebenaran Alkitab dan apa yang telah Yesus lakukan di kayu salib. Tanggapan mereka mengingatkanku bahwa Tuhan terus bekerja dalam kita dan akan menyelesaikan pekerjaan-Nya sampai kita melihat-Nya lagi.
Aku juga belajar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana kita menggunakan kata “normal’. Walaupun konflik adalah hal normal dan merupakan bagian dari kehidupan, konflik yang sering terjadi dan tidak terselesaikan tidak boleh diperlakukan sebagai hal yang normal.
Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 6: “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (ay.1-2). Ini berarti bahwa meskipun kesulitan melawan dosa terus berlanjut, perjuangan juga harus terus berlanjut, dan kemenangan pasti ada karena perbuatan Yesus di kayu salib (11-14).
Lalu bagaimana kita bisa hidup dengan ketidaknormalan dan tetap sehat? Bagaimana kita menerimanya dan tidak mengabaikan dampak dan konsekuensinya dalam hidup kita?
1. Mengakui dan meratapi kehancuran dosa
Kita tahu konsekuensi dari dosa, tetapi hidup dalam dosa setiap hari bisa menjadi sangat berat. Mengakui dosa terus-menerus tidak berarti kita menyerahkan diri kepada kuasa dosa, sebaliknya itu berarti kita tidak lagi menganggap remeh dosa atau melakukan pembenaran bahwa dosa yang kita lakukan adalah ‘normal’.
Ketika aku berbicara dengan seorang teman tentang keluargaku, dia mengingatkanku betapa disfungsionalnya beberapa keluarga dalam Alkitab (misalnya, Abraham, Yakub, Daud), dan bagaimana Tuhan memelihara dan memakai mereka untuk memenuhi rencana-Nya. Kami juga membahas bagaimana kita harus merefleksikan peran kita dalam keluarga yang rusak: selain mengakui luka kita sendiri, kita juga perlu dengan rendah hati memeriksa keadaan hati kita dan mengakui bahwa kita telah menyakiti orang lain.
Bukan berarti kita dapat berpikir bahwa satu luka menghapuskan luka lainnya. Ini berarti bahwa “kita semua telah berbuat dosa” ( Roma 3:23 ), namun “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” ( Roma 5:8 ).
2. Kembalilah kepada Tuhan dan renungkan janji-Nya
Setiap kali konflik muncul dalam keluargaku, aku tergoda untuk melarikan diri dan bersembunyi, untuk tidak ikut campur kalau aku bisa. Tapi mengelak sebaik apa pun hanyalah jeda singkat. Aku menyadari bahwa aku dapat bersembunyi di guaku sendiri atau aku dapat memilih untuk bersembunyi di hadirat Tuhan ( Mazmur 32:7 ).
Bersembunyi di hadirat Tuhan berarti berpaling pada Firman-Nya dan menyalurkan seluruh kesedihan kita kepada-Nya, meletakkannya di kaki-Nya. Bersembunyi di dalam Tuhan tidak berakhir dengan tangisan dan ratapan (Mazmur 30), karena Dia “hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” ( Mazmur 32:8 ).
Ketika sakit hati dan putus asa, aku sering mengingat kembali Ratapan 3 :
”Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
”Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. (ay.19-24).
3. Carilah pemulihan
Kita tahu bahwa kehidupan di bumi tidak pernah mulus, tetapi kita dapat (dan harus) berdoa dan berharap bahwa Tuhan akan membawa pertobatan, penyembuhan, dan pemulihan hubungan yang sempurna. Namun, kita juga perlu belajar untuk berdamai dengan kemungkinan bahwa pemulihan itu mungkin tak selalu selaras dengan yang kita dambakan.
Ada saat ketika aku berharap semua orang di keluargaku akan mencari bantuan konseling sehingga kami dapat menyelesaikan semua masalah kami, tetapi aku sadar bahwa keputusan tersebut adalah keputusan pribadi. Dulu aku merasa sangat putus asa, bahkan pahit akan penolakan keluargaku untuk mencari pertolongan konselor. Tetapi melalui sesi konselingku sendiri, dan para mentor yang mendengarkan, serta teman-teman yang mendoakanku, perlahan aku belajar menerima pilihan keluargaku dan mencintai mereka dengan kemampuan terbaikku. Ini berarti melayani mereka sebanyak yang aku bisa sambil menjaga batasan yang sehat, dan terus berdoa agar Tuhan menyembuhkan dan memulihkan mereka.
4. Tetapkan batasan yang sehat dan cari pemulihan untuk diri sendiri
Dalam budaya tempat aku tumbuh, konsep menciptakan ‘batasan’ dengan orang-orang atau konflik sangatlah asing, bahkan dianggap tidak berbakti. Tetapi dengan bantuan terapi, buku, dan literatur Kristen, aku telah belajar bahwa memberi batasan sebenarnya sehat.
Hal pertama yang aku pelajari adalah mengenali peranku dalam konflik. Ketika orang tuaku bertengkar, aku tahu bukan tanggung jawabku sepenuhnya untuk menengahi dan membantu mereka berdamai. Bagian yang sulit adalah mengatakan tidak, tetapi aku telah belajar melakukannya demi kesehatan mentalku. Sebaliknya, aku berdoa sebanyak yang aku bisa. Aku juga menghadiri sesi konseling secara teratur karena ini selalu menjadi jalan keluar yang bermanfaat bagiku dan merupakan kunci untuk perjalanan penyembuhanku.
5. Terus berusaha dalam doa
Lebih dari sekadar kata-kata yang kita ucapkan, doa ada dalam sikap hati kita—bagaimana kita mengarahkan pikiran dan emosi kita kepada Tuhan. Itu berarti, mengakui bahwa Dia mengasihi kita dan melihat serta mendengar segala sesuatu yang kita katakan dan tidak katakan. Dari sana, kita dapat mengingat bahwa Dia “yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” ( Efesus 3:20 ).
Jangan menyerah mendoakan keluargamu, sebesar apapun kehancuran di dalamnya. Tuhan tidak hanya menyelamatkan kita untuk kehidupan yang akan datang, Dia terus menyelamatkan kita setiap hari (Mazmur 68:19) dan Dia telah memberi kita pengharapan hidup dalam Yesus (1 Petrus 1:3).
amen
Amin
Amin
Amen. hari ini, ketika aku baca tulisan ini aku juga sedang berada dalam masalah yang menurut ku cukup besar untuk diri ku sendiri dan aku lewati sendiri tanpa dukungan atau support. namun ketika aku membacanya aku yakin, jika Tuhan ada untuk mu maka Tuhan juga ada untukku. bagaimana seharusnya aku juga mengakui dosa dan meratapinya, kembali kepada Tuhan dan renungkan janjinya. terimakasih aku merasa terberkati dengan apa yang anda tuliskan
Amin ðŸ™
amin,trima kasih u renunganx,ßy sgt dibrkati olh firman Tuhan.kirax Tuhan tmbah2kn hikmat utkmu agr mnjd brkat buat org byk,God bless u so muçh