3 Hal yang Kupelajari Tentang Hidup untuk Saat Ini

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

“Umur 25 udah bisa apa?” merupakan pembahasan yang cukup ramai dibahas di sosial media akhir-akhir ini. Ada sekelompok orang yang sudah berhasil mengumpulkan uang milyaran rupiah, membeli rumah, kuliah di luar negeri, atau lainnya. Namun, ada kelompok lain yang merasa relate dengan lirik lagu “Takut” oleh Idgitaf : Takut tambah dewasa, Takut aku kecewa, Takut tak seindah yang kukira..

Aku adalah bagian dari keduanya: terus bertanya “udah bisa apa dan mau apa lagi?”, namun juga yang terus merasa takut kecewa.

Orang-orang terdekatku mengenalku sebagai sosok yang ambisius. Banyak keinginan dan mimpi yang kuperjuangkan dengan keras. Satu tercapai, aku mengejar yang lain, begitu seterusnya. Dalam upaya mengejar berbagai hal tersebut, aku sangat takut kecewa dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Akibatnya, aku jadi tidak bisa menikmati anugerah Tuhan saat ini. Ketakutanku akan kekecewaan ini juga diperparah oleh berbagai pengalaman masa lalu yang seringkali membuatku berpikir, “kalau seperti itu lagi, nanti akan bagaimana?”

Pemikiran-pemikiran tersebut terus menerus menghantuiku, sehingga aku memilih mendiskusikan hal ini dengan dua orang kakak rohaniku, sebut saja kakak A dan kakak B. Mereka berdua memberi saran kepadaku untuk “hidup untuk saat ini” saja, yang sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya dan bagaimana caranya. Kakak B kemudian mengenalkanku pada sebuah buku yang mengulas tentang Kitab Pengkhotbah yang berjudul Living Life Backward.

Lewat diskusi dengan kedua kakak rohaniku dan pembahasan Kitab Pengkhotbah dalam buku Living Life Backward, berikut 3 hal yang kupelajari tentang hidup untuk saat ini:

1. Upaya menggenggam kebahagiaan masa depan adalah sia-sia

Tujuan utamaku ketika mengejar keinginan atau mimpi adalah agar aku bisa menikmati masa depan. Melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, mengejar karier yang lebih baik, semuanya demi menggenggam masa depan yang bahagia. Namun, bagaimana dengan masa kini? Apakah kebahagiaan hanya bisa kunikmati ketika aku sudah berhasil menggenggam masa depan?

Kitab Pengkhotbah 1:1 menyatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia. Terjemahan Ibrani dari kata “sia-sia” ini adalah hebel, yang secara literal artinya uap. Upaya menggenggam uap justru mempercepat hilangnya uap tersebut, sehingga upaya menggenggamnya membuat kita tidak bisa menikmatinya.

Bagian ini mengingatkanku bahwa upaya meraih kebahagiaan masa depan lewat ambisi-ambisi yang ada justru membuatku tidak bisa hidup untuk saat ini. Padahal ada banyak alasan yang membuatku bisa memilih untuk bahagia hari ini, seperti waktu berbincang dengan orang terkasih, pekerjaan dan kehidupan yang layak, serta waktu istirahat yang cukup.

Jadi, apakah ini berarti kita tidak boleh menyiapkan masa depan? Atau, haruskah kita hidup dengan prinsip gimana nanti aja?

Jawabannya: mempersiapkan masa depan tidaklah salah. Justru itu adalah langkah bijaksana, yang menolong kita untuk tidak serampangan dalam menghidupi hari-hari kita saat ini. Namun, apabila dalam upaya kita memikirkan masa depan itu membuat kita khawatir berlebihan dan meragukan penyertaan Allah, di sinilah letak permasalahannya. Padahal, Yesus menyatakan bahwa hidup setiap kita dijamin oleh-Nya, sebagaimana burung pipit di udara yang dipelihara-Nya (Matius 6:26). Rasa khawatir tidak memberikan manfaat apa pun, malahan itu membuat pandangan kita menjadi kabur akan banyak hal indah yang sejatinya bisa kita nikmati setiap hari.

Mari belajar untuk bahagia hari ini tanpa perlu risau memastikan kebahagiaan masa depan berada dalam genggaman, karena untuk segala sesuatu ada masanya (Pengkhotbah 3:1).

2. Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan

Aku sangat takut untuk kecewa. Sangat sulit bagiku berhadapan dengan perasaan kecewa. Hal ini selalu membuatku menyusun berbagai skenario terburuk untuk setiap hal yang akan kupilih dengan tujuan mempersiapkan diriku untuk tidak terlalu kecewa. Meski terlihat berlawanan dengan poin 1, hal ini juga merupakan upayaku untuk menggenggam kebahagiaan. Namun caranya adalah bukan dengan langsung mengejarnya, melainkan menghindari kekecewaan. Ketakutan berlebihan tentang masa depan lagi-lagi membuatku tidak bisa menikmati saat ini. Padahal, untuk segala sesuatu ada masanya.

Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan. Kakak A memberikanku sebuah trik untuk belajar melepaskan ketakutan ini, yaitu untuk berhenti memikirkan “what if” dan menggantinya dengan “what is”. Pikirkan berbagai hal yang terjadi saat ini, bukan masa depan.

Untukku yang biasa memikirkan berbagai kemungkinan terburuk, hal ini sangat sulit. Salah satu langkah awal yang akan kulakukan adalah memberikan proporsi untuk setiap kemungkinan yang kubuat dan menyertakan kemungkinan baik juga dalam pertimbangannya. Memahami hal ini membuatku sadar bahwa memang selalu ada kemungkinan untuk kecewa, tapi banyak juga kemungkinan baik yang bisa terjadi, dan ini menolongku untuk bisa menikmati saat ini. Hal ini sejalan dengan buku Living Life Backward yang mengajak kita untuk belajar memegang sesuatu dengan tangan terbuka, karena kita benar-benar hanya memiliki kendali atas satu hal, yaitu respon kita terhadap saat ini.

3. Kehidupan ini akan berakhir

Akhir dari kehidupan manusia di dunia ini adalah kematian. Semua hal yang kita alami dalam dunia ini suatu saat akan berakhir. Mengetahui dan memahami bahwa kehidupan akan berakhir mengubah perspektif kita untuk menjalani kehidupan saat ini.

David Gibson dalam buku Living Life Backward mengatakan bahwa pemahaman tentang hidup akan berakhir dapat menolong kita memiliki hati yang besar dan tangan yang terbuka, dan memungkinkan kita untuk menikmati semua hal kecil dalam hidup dengan cara yang sangat mendalam.

Mempelajari ketiga hal tersebut membuatku belajar memandang ambisi dan ketakutanku dengan cara yang baru. Perjuangan meraih mimpi bukan lagi sebuah upaya untuk menggenggam masa depan, dan ketakutan menghadapi kekecewaan masa depan harus segera kusampingkan. Bagianku adalah hidup untuk saat ini, yaitu dengan menikmati setiap keindahan dan rasa sakitnya, dengan tetap berpengharapan pada hari akhir kelak.

Mari hidup untuk saat ini dengan menyadari bahwa kehidupan adalah pemberian Tuhan, dan menjalaninya dengan hati yang besar serta tangan yang terbuka, sehingga pada akhirnya kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang mengatakan bahwa hidup kita adalah a life well lived.

Bagikan Konten Ini
11 replies
  1. Fransisca Errina Febriyanti
    Fransisca Errina Febriyanti says:

    Puji Tuhan. Artikel yg sangat memberkati. Tuhan Yesus sayang kita semua

  2. Svetlana Febe
    Svetlana Febe says:

    Sangat tersentuh dengan artikel ini
    Karena sangat related dengan keadaan yang ada, jadi merasa lebih dikuatkan lagi
    God Bless..

  3. Amelia Reta
    Amelia Reta says:

    bukan kebetulan tiba” tergerak buat baca ini, dan ternyata relate. thank you for sharing this 🤍 God bless 🙏

  4. Brayn
    Brayn says:

    Terimakasih untuk sharingnya. Untuk segala sesuatu ada masanya dan Tuhan selalu ada pada setiap masa itu. God Bless.

  5. Katherine
    Katherine says:

    Puji Tuhan terima kasih sangat memberkati sekali, saya membaca ini bener² di waktu yg tepat mgkn ini mmg tuntunan dari roh kudus, GBU all

  6. Khaterina Vonbora Situmeang
    Khaterina Vonbora Situmeang says:

    Puji Tuhan. Saya lagi berada dalam fase ini, terimakasih sudah mengingatkan saya melalui artikel ini. Tuhan Yesus Memberkati kita.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *