Move On dari Persahabatan yang Retak

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Moving on From a Friendship Breakup

Sudah lebih dari delapan bulan berlalu sejak malam ketika aku dan temanku mengobrol serius.

Dalam relasi pacaran, obrolan serius biasanya mengindikasikan adanya  masalah besar. Tetapi, di dalam kasus kami—sebagai teman—aku mengharapkan supaya masalah kami  berakhir dengan permintaan maaf diwarnai tangisan dan pelukan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Salah paham berlanjut jadi saling menuduh, dan setelahnya kami pun jadi saling menghindar. Aku dan temanku telah berkawan lebih dari 19 tahun. Ketika aku kabur dari rumah dulu, aku tinggal di rumahnya. Itulah sekelumit kesan akan betapa dekatnya kami.

Setelah bertahun-tahun tinggal di negara berbeda, di tahun 2020 kami akhirnya kembali ke tempat yang sama. Kami bersemangat untuk berkawan akrab lagi. Namun, kedekatan kami yang tak lagi terhalang jarak membuat banyak perbedaan yang sebelumnya tak terlihat, malah menjadi jelas. Dan, sedihnya itu memperluas jurang di antara kami. 

Aku pernah punya sahabat, yang sekarang tak lagi dekat karena kami telah bertumbuh dewasa, pindah rumah, menikah, punya anak, dan sebagainya. Tetapi, aku belum pernah mengalami “putus” persahabatan yang dilakukan secara sengaja, lalu aku pun dijauhi. Aku mengatakan ini sebagai “putus” karena saat obrolan terakhir kami, jelas bahwa kami masih peduli satu sama lain. Tetapi juga jelas bahwa kami tidak bisa mengembalikan pertemanan kami seperti semula. 

Tidak seperti putus cinta, di mana orang-orang yang move-on dengan baik dapat berteman dengan mantannya, dalam persahabatan, aku belum mengerti seperti apa rasanya “masih berteman” dengan mantan sahabat.

Saat aku merawat lukaku dan berduka atas kehilangan dan perasaan dimusuhi, aku pun merenungkan melalui peristiwa ini apa yang mungkin Tuhan ajarkan kepadaku. Tentu saja, memang tidak semua masalah memberikan pelajaran berharga. Tetapi, bagi kita orang-orang percaya, penderitaan dapat mendorong kita untuk memikirkan tentang Allah dan bagaimana Dia mungkin bekerja dalam kita.

Jadi, inilah beberapa pelajaran yang aku raih dari pengalaman ini:

  1. Longgarkan sedikit ikatan persahabatanmu, tetapi kuatkanlah ikatanmu pada Tuhan

Aku baru-baru ini sadar bahwa apa yang menyebabkan putusnya persahabatan kami adalah perbedaan mencolok dalam cara pandang kami, yang diperparah dengan asumsi bahwa kami harus selalu memahami dan setuju satu sama lain.

Temanku berharap pengalaman dan kesuksesannya dapat membimbingku menuju kesuksesanku sendiri; tetapi ketika ia merasa aku tidak tertarik untuk mengikuti nasihatnya, ia kecewa. Aku, di sisi lain, berharap kalau dia akan berempati dengan perjuanganku Lama-lama aku kesal karena dia selalu berusaha mengoreksiku. Kita tahu orang-orang berubah, tetapi jika menyangkut hubungan terdekat kita, mungkin sulit untuk menerima perubahan ini. Kita ingin orang yang kita kasihi “tidak pernah berubah”, karena jika mereka berubah, itu dapat merusak harmoni dalam hubungan yang sudah kita bangun. Dan jika hubungan itu rusak, kita pun kehilangan dukungan dari orang yang kita andalkan. 

Pengalaman ini mengajarkanku betapa baiknya mengetahui bahwa Allah tidak berubah. Bilangan 23:19 mengatakan, “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal.”

Setiap kali aku mengeluh tentang Allah yang terasa jauh dariku, sungguh sebuah penghiburan untuk mengetahui bahwa Tuhan bukanlah manusia. Dia tidak akan berubah pikiran tentang aku besok, atau selamanya. Kasih yang Dia janjikan akan ditepati.

  1. Memaafkan memang menyakitkan

Setiap kali rasa sakitku muncul kembali, memilih untuk memaafkan—agar aku tidak memendam kebencian—bisa terasa sangat menyakitkan. Kadang-kadang, dalam upayaku untuk menutupi lukaku, aku melampiaskan kemarahan—aku berpikir kok bisa temanku itu dengan sengaja menyakitiku, dengan kata-katanya, bagaimana dia mengatakan satu hal dan melakukan hal lain, bagaimana dia telah merusak kepercayaanku.

Tetapi, ketika badai rasa sakit itu berlalu, aku melihat Allah berdiri di sana, dengan sabar menungguku untuk mendengarkan apa yang Dia katakan. Dia kemudian menunjukkan kepadaku lagi seperti apa pengampunan-Nya—meskipun menyakitkan bagiku untuk mengampuni dan mengasihi, betapa lebih menyakitkan bagi Dia ketika Yesus tergantung di kayu salib.  Betapa lebih sakitnya Dia ketika kita berpaling dari-Nya.

Memaafkan itu menyakitkan, oleh karena itu saat kita belajar untuk memaafkan, lihatlah kepada Dia yang paling terluka, dan percayalah bahwa luka-Nya akan menyembuhkan kita, dan memperbesar kapasitas hati kita untuk mengasihi.

  1. Cinta manusia itu bersyarat

Temanku bukan seorang Kristen, dan aku sungguh-sungguh berdoa agar ia diselamatkan. Tetapi setelah konflik, ada hari-hari ketika aku tidak ingin mendoakannya. Di saat-saat terburukku, aku mengaku kepada Tuhan bahwa kurasa aku tidak lagi peduli dengannya.

Tetapi Tuhan, dalam belas kasihan-Nya yang tak terbatas, tidak menghajarku karena pikiranku. Sebaliknya, Dia dengan kuat memegangku dan menyadarkanku dengan  kebenaran-Nya:

Jika kamu mencintai orang yang mencintai kamu, apa bedanya kamu?

Apakah kamu lebih layak untuk diselamatkan? Begitukah cara kerja kasih karunia-Ku?

Dan sekali lagi, dengan rendah hati aku tergerak untuk mengakui dosa-dosaku.

  1. Menaruh harapanku pada Allah terkadang berarti melepaskan ekspektasi kita sendiri 

Suatu kali aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang kehilangan relasi, yang mengingatkanku betapa aku menginginkan kami bisa kembali bersahabat seperti dulu. Namun, aku masih bergumul dengan kepahitan di hati. Hatiku seolah berkata kalau  aku mau melakukan apa pun demi pulihnya relasi kami. Aku akan memaafkan dan melupakan jika itu berarti kita bisa berteman lagi.

Tapi, aku tahu itu bukanlah cara memaafkan yang baik. Ketika Tuhan memanggilku untuk memaafkan, Dia tidak meyakinkanku bahwa setelah aku memaafkan temanku, relasi kami dapat kembali hangat seperti sebelumnya. Dia juga tidak berjanji untuk memberiku teman baru yang akan menggantikan teman lama. Faktanya, Dia tidak mengatakan sesuatu yang spesifik untuk tujuan itu, tentang hasil penuh harapan seperti apa yang dapat aku harapkan di sisi kehidupan ini.

Sebaliknya, Dia mengajarku bahwa pemulihan yang dijanjikan-Nya tidak berarti segala sesuatunya kembali seperti semula. Pemulihan dari Allah juga bukan untuk memenuhi harapan duniawi kita. Seperti Roma 8:23-25 katakan kepada kita:

Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita. Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.

Dua minggu lalu, aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada temanku dan mengajaknya bertemu. Selama beberapa jam aku merasa ketakutan, tidak tahu bagaimana dia akan merespons. Tetapi coba tebak—ia dengan senang hati menjawab ya, jadi kami pergi minum kopi dan mengobrol selama beberapa jam.

 “Obrolan kami asyik, seperti dulu.” Mungkin itu respons yang kamu harapkan. Tapi, ada perubahan yang membuat pertemuan kami tak seperti saat-saat ketika kami begitu akrab, dan mungkin tak akan pernah kembali seperti itu. 

Tapi, itu tidaklah masalah . Itulah yang aku pelajari dari pengalamanku: ketika pergumulanmu tak menemui solusi yang kamu harapkan,Tuhan senantiasa ada buatmu Janji-Nya untuk menemaniku, melindungiku, dan mencintaiku dalam segala keadaan selalu benar dan ditepati-Nya.

Artikel ini diterjemahkan oleh Joel Adefrid

Bagikan Konten Ini
12 replies
  1. Miryam Yable
    Miryam Yable says:

    Amin🥺🙏 Tuhan beserta selalu
    Saya pun mengalami hal yang sama namun tdk seperti awal😔
    Tuhan berkati selalu
    Tetaplah mengasihi dan mengampuni sesama kita Amin🙏😇

  2. Sena Afrina Simbolon
    Sena Afrina Simbolon says:

    Saya pun punya pengalaman serupa dengan sahabat saya, ah tidak, lebih tepatnya teman dekat. Masalahnya bukan soal beda pendapat atau nasihat yang tidak diterima. Tapi ini lebih dari itu, dia sengaja merusak planning dunia karir saya yang berakibat fatal pada hubunganku pada orang tua dan adikku. Dia minta maaf sih dan aku sudah maafin. Tapi di belakangku ternyata dia tidak tulus minta maaf dan masih merasa perbuatannya tidak ada yang salah.

  3. Dave Rafael Moningka
    Dave Rafael Moningka says:

    Pas banget dengan keadaanku sekarang.
    pemulihan itu bukan berarti keadaan menjadi semula. tapi dimana kita mengarah ke rencana Tuhan yang sesungguhnya. terima kasih. GBU

  4. Getha Ambarita
    Getha Ambarita says:

    Sungguh, artikel firman ini sangat menamparku. Mempunyai sahabat dan seorang saudara sepupu perempuan yang menyakitiku. Sepertinya, aku tak bisa memiliki hubungan seperti dlu bersama mereka, mempercayai mereka sepenuhnya. Mereka mengata-ngataiku seolah-olah dia paling benar. Tiap melihat mereka selalu ada rasa ingin jaga jarak, namum tetap berkomunikasi ala kadarnya, tanpa ada rasa janggal di antara kami. Ya, Tuhan membentukku melalui permasalahan ini, mengajarkanku utk memaafkan dan mengasihi mereka. Namun, aku tak bs lg menerima mrk sprti dulu.
    Terima Kasih Tuhan Yesus.

  5. gabriela anggita
    gabriela anggita says:

    pengalaman yang sama dengan apa yang saya alami. lagi-lagi Kasih Allah yang menegur saya, bahwa teman dan sahabat tidak ada yang kekal. kita yang tidak kekal harus bergantung pada Dia yang Kekal. bersyukur Tuhan boleh beri circle yang baik utk saya, selama merantau saya selalu bersama dengan mereka. namun satu hari syaa merasa ada yg tidak benar dari salah teman dari circle yang sama. saya jujur apa adany, tapi respon yang saua dapatkan mengejutkan saya karena tidak sejalan dengan apa yang saya harapkan
    perbedaan prinsip sering kali sulit untuk ditolerir dalam pertemanan. Namun melalui sharing artikel ini, saya dikuatkan dan ditegur untuk memperlebar kapasitas hati saya memaafkan teman saya, bukan karena teman saya, bukan untuk balik menjadi akrab, tetapi Allah yang lebih dahulu mengasihi saya yang juga tidak sempurna dan tidak layak dikasihi. what a blessing ❤

  6. Linda Sari
    Linda Sari says:

    Terima kasih, artikel ini sangat membantu saya untuk merenungkan kembali hati dan pikiran yang harus saya tempuh dalam situasi pertemanan yang retak. Tolong saya Tuhan agar selalu bersandar padaMu. Amin.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *