Natal, Demensia, dan Bahagianya Jika Kita Diingat

Oleh Agustinus Ryanto

Hatiku was-was melihat langit Surabaya yang semakin mendung. Buru-buru kupacu motorku untuk tiba lebih dulu di toko buah-buahan sebelum kulanjutkan pergi ke rumah seorang lansia.

Lansia yang hendak kukunjungi ini bernama Opa Bhudi. Dia tinggal bersama istrinya yang juga usianya sudah sepuh. Tiga tahun lalu, tatkala aku melakukan perjalanan pelayanan di Surabaya, mereka menyediakan rumahnya sebagai tempat tinggalku. Tidak sehari dua hari, tapi selama sembilan malam. Di hari pertama aku tinggal, suasana terasa kaku. Barulah setelah tiga hari, ketika kami mulai banyak mengobrol, kehangatan pun terbangun. Opa dan Oma dikaruniai empat orang anak dan banyak cucu, tapi semua anaknya telah berkeluarga dan tinggal terpisah. Tersisalah mereka berdua, merajut hari-hari di masa senja.

Kehadiranku selama sembilan malam itu rupanya menjadi simbiosis mutualisme. Opa dan Oma senang karena ada kawan yang bisa diajak mengobrol tentang banyak hal. Aku pun senang karena seolah menjumpai kembali kakek dan nenekku. Setelah dinas pelayananku usai, relasi kami tidak terputus. Dalam beberapa kesempatan saat aku ke Surabaya, aku selalu bertandang ke rumah mereka. Atau, jika aku tidak sempat ke sana, kukirimkan buah-buahan melalui toko daring.

Dihantam oleh demensia

Kira-kira lima bulan lalu, aku menghubungi Opa Bhudi lewat WhatsApp. Meski usianya sudah 86 tahun, Opa masih piawai menggunakan ponsel. Kalau membalas chatku, dia sering pakai sticker atau video-call. Dia pun masih aktif beraktivitas—menyetir mobil ke gereja, bahkan masih praktik sebagai dokter gigi!

Namun, hari itu tidak biasa. Buah dan pesan yang kukirim tidak direspons. Selama beberapa bulan aku kehilangan kontak mereka. Barulah setelah kucari informasi dari gereja tempat mereka berjemaat, aku tahu bagaimana keadaan mereka.

“Oh, Om Bhudi ya. Beberapa bulan lalu dia kena demensia dan stroke,” ketik seorang dari komisi pemuda.

“Waduh, terus gimana keadaannya?” tanyaku penasaran.

“Ya, sudah tidak bisa lagi aktivitas, tapi keadaannya ya bisa dikatakan stabil.”

Pesan itu membuatku tercenung. Seorang pria lansia yang biasanya aktif, kini harus tergolek lemah dan pelan-pelan kehilangan memorinya. Istrinya pun sudah sama rentanya, malah ada sakit punggung. Bagaimana mereka bisa saling merawat?

Sebulan setelahnya, aku pun menetapkan hati untuk pergi ke Surabaya. Kuingat-ingat kembali jalanan kota Surabaya yang lebar-lebar dan kadang bikin puyeng kepalaku. Kusinggah dahulu ke toko buah untuk membelikan mereka jeruk, apel, dan pir.

Rumah Opa Bhudi ada di tengah kota, tak jauh dari Stasiun Pasar Turi. Gerbangnya masih berwarna sama, tanpa ada pengecatan ulang. Yang jadi pembeda hanyalah tak lagi kulihat seekor kucing coklat yang biasanya menemani Opa di halaman.

Melihatku datang dengan menaiki sepeda motor dari Jakarta, istri dari Opa Bhudi menepuk kepalaku.

“Haduh! Kok nekat?!” katanya sembari memegang kedua bahuku, lalu mempersilakanku duduk sebentar.

“Opa sudah sakit. Stroke. Susah bangun. Ingatannya pudar,” tutur Oma. “Ayo sudah, sini kamu masuk ke kamar.”

Setahun kemarin saat aku singgah ke sini, badan Opa masih segar bugar terlepas usianya yang sudah lebih dari delapan dekade. Tapi, hari itu aku melihat rupa yang amat berbeda. Raga yang dahulu masih tegap, kini telah ringkih dan tak berdaya. Dia terbaring meringkuk di atas kasur. Urat-uratnya tampak jelas karena lapisan lemak telah susut dari balik kulitnya.

“Pah, coba ndelok, iki sopo sing teko?” Oma sambil menggoyang tubuh opa. “Coba lihat, siapa yang datang?” ujarnya.

Opa membuka matanya dan semenit lebih aku ditatap dalam diam. Matanya menyipit, dahinya mengernyit. Pelan-pelan dia coba membongkar kembali labirin otaknya yang rapuh dikikis oleh demensia.

“Lohhh! Kamu, kok baru ke siniii???”

“Lohh, Opa masih ingat nggak siapa aku?” aku balik bertanya.

“Ingat! Kamu Agus, dulu kamu sering main ke sini loh…” jawabnya sambil tertawa kecil.

Aku senang bukan main. Di dalam memorinya yang kian pudar, rupanya masih terjaga ruang kenangan bersamaku. Selama satu jam kemudian, aku menemani opa berdua. Aku bercerita tentang serunya naik motor dari Jakarta sampai ke Surabaya, dan setelahnya gantian Opa bercerita tentang beratnya hari-hari yang dia lalui pasca terkena stroke. Klinik praktiknya telah dia hibahkan pada gereja. Kata Opa, kendati dia sakit dan kesepian, dia bilang ini sudah jalannya. “Tuhan tetep baik, aku ndak ditinggalno sendiri,” pungkasnya.

“Gus,” sahut Opa. Tangannya memegangku. “Aku seneng. Sungguh seneng dan merasa terhormat kamu masih ingat aku… Terima kasih ya.”

Kalimat itu menghangatkan hatiku. Karena tubuh Opa yang makin ringkih, aku izin pamit. Mengobrol terlalu lama dengannya bisa membuatnya makin lemah. Kulanjutkan kembali perjalananku ke kota-kota lain di Jawa Timur.

Betapa sukacitanya ketika kita diingat

Kalimat terakhir Opa yang bilang bahwa dia senang karena aku masih mengingat dia menggemakan kembali dalam benakku surat-surat yang ditulis oleh Paulus.

Dalam surat Filipi 1:3, Paulus menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.”

Kalimat itu ditulis Paulus bukan sebagai bunga kata, tetapi menunjukkan sebuah kesan mendalam. Pada perikop lanjutan dari Filipi 1, dituliskan bahwa Paulus sedang dipenjara oleh karena pelayanannya memberitakan Injil. Penjara pada masa Romawi bukanlah penjara yang manusiawi seperti di negara-negara maju masa kini. Penjara itu terletak di bawah tanah, minim penerangan dan udara, serta dijaga oleh prajurit. Bisa kita bayangkan betapa beratnya hati Paulus menghadapi kekelaman itu. Dia sendirian, dia ketakutan, juga kesakitan.

Namun, surat Filipi menyingkapkan pada kita akan apa yang membuat Paulus tetap bertahan dan bersukacita. Paulus yakin bahwa Allah yang memulai pekerjaan baik akan tetap meneruskannya. Rekan-rekan pelayanan Paulus pun tidak meninggalkannya. Ayat 7-8 menuliskan bahwa “kamu [mereka] ada dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil…. Betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.”

Di tengah kesukaran dan kesepian, betapa menghangatkannya mengetahui bahwa kita senantiasa diingat oleh orang-orang yang kita kasihi.

Allah pun mengingat kita setiap waktu. Dia ingat dan tahu setiap detail pergumulan yang kita satu per satu harus hadapi (Matius 10:30). Dan…karena Dia mengingat kita, Dia pun hadir bagi kita melalui Kristus, sang Putera yang lahir dari anak dara Maria.

David Gibb dalam tulisannya yang berjudul “What If There Were No Christ In Christmas” menuliskan: Allah yang Mahabesar hadir dalam cara yang menjungkirbalikkan logika manusia. Allah tidak hadir dalam sosok raja duniawi yang penuh kemewahan untuk membuat kita terkesan, tetapi Dia hadir dalam rupa seorang bayi mungil, untuk menjadi sama seperti kita. Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dunia, di tengah kesendirian dan tangis kita, untuk menuntun kita kepada tempat teraman, untuk membawa kita kepada diri-Nya sendiri.

Ketika Allah mengingat kita, Dia pun hadir di tengah kita.

Pertanyaan bagi kita adalah: Siapakah orang-orang yang Tuhan letakkan namanya di hati kita? Jika kita mengingat mereka, maukah kita turut hadir bagi mereka?

Kehadiran kita mungkin tidak akan melenyapkan pergumulan mereka, tetapi seperti kehadiran para rekan sepelayanan Paulus, kehadiran itu dapat dipakai Allah untuk menguatkan dan menghangatkan seseorang dalam perjalanan hidupnya.

Bagikan Konten Ini
8 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *