Beranikah Kamu Datang Merangkul Seterumu?

Oleh Jefferson

Beberapa minggu setelah Natal pertamaku di gereja, tepatnya pada awal 2013, banjir besar melanda berbagai sudut kota Jakarta. Salah satu bangunan yang kebanjiran adalah gedung gereja milik jemaat saudari (sister church) dari jemaat di mana aku sekeluarga beribadah. Sambil menunggu bangunannya selesai diperbaiki, semua aktivitas ibadah jemaat saudari kami digabungkan dengan jemaat kami, termasuk komisi remajanya.

Aku tidak menyangka bahwa orang-orang yang kujumpai dalam ibadah gabungan tersebut akan membangkitkan satu ingatan yang kukira telah lenyap hilang dalam rimba kenangan.

Kenangan Sebuah Perseteruan

Swung, tass, swung, tass. “Hahaha.”

Aku bisa mendengar jelas suara kotak pensilku yang dilempar dan ditangkap layaknya bola kasti oleh “teman-temanku”. Nada olokan di balik tawa mereka pun tak dapat dipungkiri. Dan di tengah kesulitan untuk merebut kembali kotak pensilku, tidak ada yang (berusaha untuk) membantuku. Beberapa orang hanya menonton seru dari bangku mereka seolah-olah kami sedang mengadakan pertandingan bola kasti, sementara yang lain menulikan diri terhadap keributan di kelas, sibuk dengan urusannya sendiri.

Dalam hati aku bertanya-tanya, “Apa salahku sehingga mereka memainkan kotak pensilku begitu? Apakah karena aku anak baru di SMP ini? Atau akunya yang terlalu serius jadi perlu diajak ‘main’?” Makin lama aku makin geram. Dan melihat emosiku yang meningkat, mereka yang mengaku “teman-temanku” semakin menjadi-jadi.

“Permainan” ini hanya berakhir ketika bel kelas berbunyi, menandakan waktu istirahat telah selesai. Tepat sebelum guru masuk ke dalam kelas, “teman-temanku” mengembalikan kotak pensilku dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama istirahat. Suasana semu ini menyebar dengan cepat ke setiap sudut kelas. Tidak ada yang melapor kepada guru, termasuk aku, karena tidak ada dari kami yang ingin dicap sebagai pengadu.

Dalam cerita pertobatanku, peristiwa tersebut adalah salah satu dorongan penentu yang membuatku menolak keberadaan Tuhan dan merangkul paham Ateisme. Ini bukan pertama kalinya “teman-temanku”—termasuk anggota-anggota jemaat saudari dari gerejaku di masa depan—mempermainkan maupun mengabaikan aku. Keberadaan Tuhan yang sudah terasa samar-samar pada tahun pertamaku di SMP Kristen ini seketika dilenyapkan pada tahun kedua oleh mereka yang mengaku sudah Kristen sejak lahir. Perilaku “teman-temanku” tidak menyerupai Yesus Kristus sama sekali dan membawaku kepada kesimpulan bahwa iman Kristen tidak lebih dari kepercayaan yang ompong.

Maka ketika aku sendiri pada akhirnya dituntun oleh Kristus untuk percaya bahwa Ia adalah Allah yang sejati, aku diperhadapkan pada sebuah pertanyaan: apa yang akan aku lakukan ketika aku menjumpai “teman-temanku” yang Kristen di lingkungan gereja?

Salah Satu Tujuan Kedatangan Pertama

Dalam perenunganku akan kejadian ini, Roh Kudus menuntunku kepada satu perikop dalam Efesus 2:11-20:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ”sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, –bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ”jauh”, sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus. Karena Ialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ”jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang ”dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.

Walaupun di bagian ini Paulus sedang membicarakan pendamaian yang diadakan Kristus di atas kayu salib antara Allah dengan semua orang, khususnya dengan orang non-Yahudi (ay. 11–13), aku menemukan bahwa kebenaran di dalamnya juga berlaku pada situasi yang aku hadapi. Aku semakin yakin ketika menyadari bahwa Paulus sedang berbicara kepada orang Kristen yang bukan Yahudi (ay. 11); dalam kasusku, “teman-temanku” yang mengaku Kristen sejak lahir adalah yang “bersunat” sementara aku yang percaya kepada Tuhan Yesus belakangan adalah yang “tak bersunat”. Lantas apa yang ingin Tuhan sampaikan kepadaku lewat perikop ini?

Bahwa di dalam Kristus, aku yang dulu bukan orang Kristen (“jauh”) dan diolok-olok mereka yang mengaku orang Kristen (“dekat”) sekarang turut menjadi bagian dari keluarga-Nya (ay. 13). Oleh darah-Nya, aku mendapatkan bagian dalam “ketentuan-ketentuan yang dijanjikan” dan “pengharapan… di dalam dunia” (ay. 12). Sang Allah Anak yang datang 2000 tahun lalu itu terlebih lagi telah mengadakan damai sejahtera di antara aku dan teman-temanku serta mempersatukan kami sebagai bagian dari tubuh-Nya (ay. 14–18). Oleh karena karunia-Nya, kami yang dahulu adalah seteru sekarang adalah “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Seteru yang Dijadikan Kristus “Saudara”

Melihat ke belakang, aku tidak tahu apakah teman-temanku menyadari kesalahan mereka ketika mereka memperlakukanku begitu semasa SMP. Meskipun begitu, aku tahu dengan pasti bahwa Ia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati juga akan memampukanku (Rom. 8:11) untuk mengasihi musuh-musuhku (Mat. 5:44–45). Sebab Ialah batu penjuru yang mendasari hubungan antara sesama orang percaya (Ef. 2:20). Anggukan canggung disertai sapaan singkat ketika kami berpapasan di gereja menjadi langkah awal yang kuambil dalam perjalanan pemulihan relasiku dengan teman-teman.

Walaupun pada akhirnya banyak yang tidak berkembang lebih dari “kenalan di sekolah dan gereja” karena kepindahanku ke Singapura, ada seorang teman yang benar-benar menjadi saudara rohaniku di tanah perantauan. Karena hanya kami berdua dari angkatan kami yang melanjutkan studi ke Singapura, secara alamiah kami mulai sering berinteraksi dengan satu sama lain. Persaudaraan itu pun pelan-pelan bertumbuh, dari dimuridkan bersama dalam satu kelompok sampai akhirnya menjadi teman satu kos. Semuanya ini niscaya hanya dapat terjadi oleh karunia Tuhan Yesus sang “damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (ay. 14).

Inilah Kerajaan yang dinyatakan Tuhan Yesus pada kedatangan-Nya yang pertama, di mana Ia “menciptakan [pihak-pihak yang bertikai] menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera” (ay. 15). Baik yang sudah Kristen sejak lahir maupun baru percaya kepada-Nya ketika dewasa, baik yang “tinggi” seperti orang-orang Majus maupun “rendah” seperti gembala, semua orang diundang tanpa terkecuali untuk berbagian di dalam damai sejahtera-Nya sebagai “anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Merayakan Natal sebagai Keluarga Allah

Selama masa pandemi COVID-19, kamu mungkin terkurung di rumah atau terdampar di luar kota sepertiku. Maka dalam ibadah Natal tahun ini, baik secara online maupun fisik, aku mengajakmu untuk mengamati dengan saksama orang di sekeliling dan depanmu: inilah saudara-saudari dan paman dan bibimu secara rohani yang Tuhan Yesus telah berikan lewat kedatangan pertama-Nya ke dunia. Bersama mereka, “kamu bukan lagi orang asing” (ay. 19).

Terlebih lagi, mari kita mendatangi dan mengajak mereka yang merasa kesepian selama pandemi—terutama seteru-seteru kita—untuk menjadi bagian dalam satu-satunya keluarga abadi yang dikepalai oleh Bapa yang Kekal (Yes. 9:6), sebagaimana Ia telah datang untuk mengundang kita.

Selamat merayakan kedatangan pertama Tuhan Yesus tahun ini bersama orang percaya di segala abad dan tempat, soli Deo gloria!

Panduan renungan

1. Apakah kamu pernah mengalami hal yang serupa dengan yang kuceritakan di atas? Bagaimanakah perseteruan yang kamu hadapi itu berakhir? Apakah seteru-seterumu pun turut menjadi saudara-saudaramu dalam keluarga Allah?

2. Baca kembali Efesus 2:11–22 dengan saksama. Tuliskan poin-poin kebenaran yang menggugah hati dan pikiranmu, terutama dalam kaitannya dengan pengalamanmu di nomor 1.

3. Adakah orang(-orang) yang ingin kamu ajak untuk bergabung dengan keluarga Allah pada perayaan Natal? Doakan nama-nama tersebut, pikirkan bagaimana kamu akan mendatangi dan mengundang mereka untuk mengikuti ibadah Natal, lalu ajaklah mereka dengan kekuatan dari Allah Roh Kudus.

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *