Mengapa Kita Begitu Menggandrungi Serial Squid Game
Oleh Rebecca Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We’re Hooked up on Squid Game
Bayangkanlah begini: setelah bertahun-tahun berjuang, kamu malah jatuh ke dasar jurang. Ketika keadaan tak lagi menyuguhkanmu jalan keluar, tiba-tiba ada orang asing yang menawarimu kesempatan sekali seumur hidup untuk memenangkan satu truk yang isinya penuh uang
Yang perlu kamu lakukan cuma satu: ikut serta di serial permainan.
Kira-kira apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu memilih untuk hidup dalam rasa malu dan derita karena dijerat utang, melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain, atau ambil kesempatan itu supaya bisa merdeka dari krisis finansial, sekalipun risikonya besar sekali?
Itulah pertanyaan yang menjadi dasar di balik Squid Game, serial drama Korea di Netflix, yang seketika menjadi booming di lebih dari 90 negara pasca dirilis dua minggu lalu. Sekarang serial ini sedang otw untuk jadi tayangan Netflix yang paling banyak ditonton.
Seperti 45,6 juta orang penontonnya, aku pun tak tahan untuk tidak menonton. Drama yang mengisahkan petualangan bertahan hidup, seperti The Hunger Games, dan lain-lain sebenarnya bukanlah genre film yang kusukai.
Tapi, setelah melihat banyak meme beredar di medsos, aku jadi penasaran dan menonton film ini meskipun teman-temanku memperingati kalau di dalamnya akan ada banyak adegan berdarah-darah, kejam, dan bisa saja membuatku mimpi buruk.
Apa itu Squid Game
Squid Game berangkat dari gagasan sederhana: 456 orang yang telah putus asa diundang untuk ikut serta dalam pertandingan yang diselenggarakan di pulau terpencil. Mereka akan mendapat kesempatan untuk memenangkan hadiah utama senilai 45,6 milyar Won.
Selama turnamen berlangsung, mereka harus berpartisipasi di enam permainan yang terinspirasi dari permainan tradisional anak-anak Korea dalam berbagai format: ada yang mainnya sendiri-sendiri, berpasangan, atau berkelompok. Sekali mereka memilih ikut serta, mereka harus berpartisipasi di setiap permainan dan hanya boleh keluar kalau mayoritas memilih untuk menghentikan pertandingan.
Tapi, di situlah gagasan sederhana itu berakhir. Setiap peserta tidak tahu permainan seperti apa yang akan mereka mainkan, bagaimana memainkannya, dan yang paling penting, mereka tak tahu kalau mereka sungguhan akan dieliminasi (contoh: ditembak mati) kalau mereka gagal di setiap ronde. Ditambah lagi ada tekanan berupa batasan waktu dan permainan psikologis. Mereka harus bekerja sama, atau saling beradu dengan orang yang paling mereka percaya. Dari adegan-adegan ini kita melihat perwujudan terbaik dan terburuk dari kemanusiaan ketika masing-masing pemain berlomba untuk saling mengecoh demi bertahan dalam kompetisi dan memenangkan hadiah utama.
Cukuplah untuk mengatakan kalau pertandingan ini brutal, menakutkan, dan mengerikan.
Dalam 9 episodenya, kita melihat gambaran yang suram tapi sangat realistis tentang seperti apakah dunia saat kita sendiri yang menjalaninya dan setiap orang melakukan apa yang benar menurut mata mereka sendiri. Kita melihat yang kaya mengeksploitasi yang miskin karena bosan, teman mengkhianati teman, dan orang-orang yang putus asa melakukan pembunuhan demi mempertahankan diri.
Tapi, di saat yang sama, pertandingan ini tak cuma tentang pembantaian dan korupsi. Di antara adegan-adegan mengerikan ini, ada momen-momen yang menggugah pikiran, cerita yang indah, serta muncul penggambaran akan kebaikan dan kerapuhan di antara para karakternya. Inilah faktor yang menegaskan kenapa Squid Game berhasil membuat kita menggandrunginya.
Squid game menunjukkan kita tak jauh berbeda dengan para pemain
Melihat para pemain ini saling memperlakukan, menilai situasi, dan menyusun strategi, kusadari kalau seandainya aku terjebak dalam situasi yang sama, aku dan orang-orang di sekitarku mungkin akan melakukan cara yang sama: Apakah orang ini akan membantuku atau menjatuhkanku? Siapa orang terkuat yang bisa kudekati? Hal terlemah apa yang harus kuhindari?
Sebagian besar ketegangan di drama ini datang dari pertarungan mental yang terus-menerus untuk mencari tahu dengan siapa kamu harus percaya dan membentuk tim—dan tidak tahu bagaimana sistem permainan itu akan membuat mereka malah melawanmu. Dan, saat hadiah uang bertambah setiap kali satu pemain tereliminasi, tidaklah sulit untuk melihat mengapa tiap pemain akhirnya melakukan hal-hal yang tak masuk akal demi bertahan hidup.
Kulihat cerminan diriku dalam berbagai karakter pemain itu. “Apakah aku juga bersalah karena menilai orang lain berdasarkan standarku sendiri tentang apa yang baik? Bagaimana aku memperlakukan orang lain yang kuanggap ‘lebih lemah’ dariku?
Squid game menunjukkan hidup tak selalu berjalan seperti yang diinginkan
Seperti kenyataan hidup bahwa tak selalu yang terkuat atau yang terpintar yang akan jadi terdepan, Squid Game menyuguhkan pada kita tentang apa yang sebenarnya paling penting dalam permainan ini. Biasanya kartu truf tidak dimenangkan oleh orang yang punya pengalaman masa lalu, punya kemampuan untuk menghitung kemungkinan menang, atau pengetahuan mereka, tapi dari kekuatan yang tersembunyi dari mereka yang sering diabaikan, disingkirkan, atau dihina.
Squid Game membawa kita bertemu muka dengan muda dengan batasan dari pengetahuan kita, membuktikan bahwa tak peduli seberapa baik strategi kita, seberapa cemerlang ide kita, atau seberapa kuat tim kita, selalu ada elemen ketidakpastian yang kita sendiri tak tahu.
Kudapati diriku bertanya-tanya, apakah aku selama ini mengandalkan diriku sendiri? Seberapa sering kupikir aku sendiri mampu menyelesaikan segalanya?
Squid game menunjukkan betapa mudahnya kita tergoda dosa
Mungkin salah satu alasan kenapa Squid Game digandrungi seisi dunia adalah karena film ini mengisi kekosongan, rasa gelisah yang kita semua rasakan karena pademi yang membuat kita bosan. Sebaliknya, Squid game menarik kita ke dunia fantasi di mana kita dijanjikan oleh pesta visual yang ceria, aksi tanpa henti, dan sensasi yang membuat jantung berdebar.
Bagiku, garis antara fantasi dan realita masih terlihat jelas sampai di episode ketika para VIP (atau mungkin sponsor) di balik permainan ini ditampilkan. Momen ketika kamera menyorot mereka menonton permainan dimainkan, membuatku sadar sebagai penonton kalau aku juga berperan di posisi yang sama seperti VIP.
Meskipun awalnya aku enggan menonton drama yang berdarah-darah, tapi rasanya aku tak bisa menghentikan tiap episodenya. Film ini tidak membuatku ketagihan ataupun menghibur karena melihat orang lain menderita, dan sejujurnya tidak sulit untuk menebak siapa yang akan jadi pemenang terakhirnya. Tapi, yang membuatku tetap duduk di depan layar menonton ini adalah aku ingin mencari tahu bagaimana setiap pemain mengalahkan rintangan dan sampai di titik akhir.
Ketika para pemain melihat satu per satu rekannya mati dan berhenti saling menjaga demi bertahan hidup, aku melihat perubahan yang sama dalam sikapku menonton: ketika awal-awal kudengar senjata diledakkan, aku menutup mataku, tak mampu melihat adegan darah dan kekerasan itu. Namun, begitu faktor kejutan itu hilang, aku jadi tak takut lagi dengan kematian dan darah yang menggumpal di tanah. Kengerian itu tak lagi mempengaruhiku, aku hanya ingin tahu jawaban dari pertanyaanku: siapa dalang dari balik semua ini? Apakah benar pemenang akan dapat uang? Siapa orang di balik topeng yang menembaki orang-orang itu?
Aku bertanya-tanya: mengapa menonton adegan jahat itu membuatku ketagihan, terutama ketika disorot dari sudut pandang yang menarik, atau dihiasi dengan estetika yang memanjakan mata? Apakah kita sedang mengembangkan suatu kultur yang menormalkan praktik kekerasan?
Itu semua membuka mataku, betapa mudahnya kita orang-orang Kristen tergoda. Faktanya, ketika aku mengevaluasi kenapa akhirnya aku menonton drama ini, aku sadar kalau aku mengizinkan cara pikirku dibentuk oleh dunia di sekitarku alih-alih oleh apa yang Alkitab katakan sebagai hal yang benar, adil, murni (Filipi 4:8).
Dan dari situlah aku mulai mengerti makna dari peringatan Paulus kepada kita untuk “tidak menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaharuan budi” (Roma 12:2a).
Mengerikan rasanya melihat betapa mudahnya garis antara apa yang baik dan layak menjadi samar ketika kita membenamkan diri kita pada pandangan dunia.
Jadi, haruskah kita menonton Squid Game?
Kalau kamu belum menonton serial ini sama sekali, mungkin kamu bertanya-tanya, “Haruskah aku nonton?” Atau mungkin, kamu itu sepertiku, ikut-ikutan nonton lalu merasakan konflik batin atau malah merasa ‘kosong’ pada akhirnya.
Mungkin pertanyaan intinya bukanlah tentang apakah boleh atau tidak kita menonton tayangan yang penuh kekerasan, tapi saat kita menonton tayangan seperti Squid Game, kita perlu menanyakan pada diri kita sendiri bagaimanakah film yang kita tonton akan mempengaruhi jiwa kita dan cara pandang kita melampaui apa yang disajikan di layar. Bagaimana kita dapat melihat kesakitan yang tersembunyi yang sejatinya ada di sekitar kita?
Apakah kita, seperti para pemain di Squid Game, terperangkap di siklus tak berujung untuk mengejar egoisme dan tujuan yang tak berarti? Apakah kita peka terhadap pergumulan dari orang lain yang seringkali tersamarkan di balik senyuman tipis atau pakaian bagus? Atau, apakah kita sendiri bergumul dengan dosa rahasia dan kebencian yang berkecamuk dalam pikiran?
Kebenarannya adalah kita semua tidak membutuhkan drama Korea seperti Squid Game untuk menunjukkan pada kita betapa keras dan susahnya hidup serta bobroknya hati manusia. Kita tak butuh melihat kebrutalan itu disajikan di layar untuk mengetahui kalau kita sedang hidup di dunia yang dipenuhi kejahatan, ketamakan, dan pengkhianatan—dan betapa kita membutuhkan penebusan dan penyelamatan.
Di dalam dunia di mana kita bersaing satu sama lain dan mengukur nilai diri kita berdasarkan seberapa banyak yang mampu kita raih, siapa yang kita kenal, berapa banyak yang kita miliki, bukankah suatu keindahan untuk mengetahui bahwa kasih karunia Tuhan kita tidak bergantung pada diri kita sendiri? Ini bukanlah pilihan antara dua situasi yang mustahil. Kita tidak harus melompati jembatan kaca, atau memenangkan kompetisi mahasulit untuk meraih kasih dan penebusan itu.
Itulah hadiah terbesar yang memberikan pada kita harapan dan kebebasan yang sejati, dan setiap orang dapat menerimanya tak peduli apa pun kesalahannya di masa lalu.
*Tangkapan layar diambil dari: Netflix.
Bukan dengan kekuatan kita, napsu, emosi, tp dengan bersandar, berserah kepada Tuhan sumber penolong dan pencipta langit dan bumi 👃
Sebenernya bukan karena mau ngisi kekosongan hati sebagai alasan nonton film ini sih. Cuma karena diajak temen. Aku mau tahu ceritanya. Ujungnya jadi binge-watch 😂. Tapi dari situ malah jadi pengamatan aku. “There is something empty in human heart”. Dan, universe yg kyk permainan squidgame itu yg iblis mau mengenai dUnia ini mau jadi kyk apa. Devil is the bad guy :v