Ketika Identitas Diriku Kuletakkan pada Ucapan Orang Lain

Oleh Veronica*, Depok

“Hey, kok lo goblok banget sih!” teriak Meredith*. Ucapan itu dilontarkannya sebagai tanggapan atas ceritaku kemarin malam kalau aku mendapat nilai tertinggi se-tim-ku untuk tes kecerdasan yang diadakan kantorku.

Teriakan itu menohokku. Aku, lulus dari perguruan tinggi ternama, bekerja di perusahaan impian, bahkan menjadi salah satu kandidat terbaik di sana. Seketika aku merasa tidak berharga. Rasanya prestasi di sana sini yang telah kuraih tak artinya di hadapan Meredith.

Meredith adalah salah satu anggota keluargaku. Sejak orang tuaku pergi ke luar kota setelah aku lahir, dialah yang mengasuhku hingga saat ini. Lahir sebagai anak tentara pejuang kemerdekaan dan menikah dengan seorang tentara pula, membentuknya menjadi wanita yang keras dan kuat. Hal itu pula yang menjadi pedomannya saat membesarkanku, sampai kadang dia lupa bahwa aku butuh kelemahlembutan. Caranya mendidikku adalah dengan menuntutku untuk selalu jadi yang terbaik. Pernah saat itu ketika SMP aku meraih peringkat 28 ketika semester 1, dan melesat menjadi peringkat 2 di semester 2. Kalian tahu apa katanya? “Kok gak ranking 1?”.

Ketidakpuasannya atas prestasiku tidak terjadi hanya sekali, melainkan terus berulang. Lama-lama aku jadi marah. Ketika SMA, aku berjuang habis-habisan untuk bisa kuliah di luar kota atau bahkan di luar negeri, agar bisa jauh darinya. Namun, perjuanganku kandas.

Aku berkuliah tidak jauh dari rumah, dan setiap hari aku masih bertemu dengannya—dia, yang tidak pernah memberi apresiasi atas setiap prestasiku secara langsung. Meski teman-teman dan keluarga besarku beberapa kali mengapresiasi keberhasilanku, namun dia tetap bergeming. Uniknya, perkataan orang-orang lain rasanya tidak berpengaruh buatku, hanya apresiasi dari Meredithlah yang kutunggu.

Kembali ke ceritaku tentang pagi tadi, perasaan tidak berharga dalam diriku pun mencuat. Aku duduk diam termenung. Dalam perenunganku itu, aku mendapati bahwa meskipun orang-orang lain mengapresiasiku dengan baik, aku meletakkan identitasku pada ucapan Meredith. Aku terjebak dalam pikiran bahwa semua yang kulakukan akan cukup, ketika dia sudah bilang itu cukup. Aku akan merasa bahwa aku berharga adalah ketika dia memberikan apresiasinya kepadaku. Mungkin sikap ini muncul sebagai sebuah upaya ‘pembuktian’ kalau aku orang yang hebat, yang mampu memenuhi semua tuntutannya.

Aku sendiri kurang tahu persis apa yang menyebabkan Meredith bersikap begitu, tetapi aku bisa memahami mungkin dia ingin agar aku selalu jadi yang terbaik. Tetapi, menjadi yang terbaik tidak selalu melulu mendapatkan posisi pertama, bukan?

Setelah aku menyadari hal itu, aku teringat akan dua hal berikut.

Pertama, aku teringat ketika Tuhan menciptakan manusia di hari ke-6 dan mengatakan bahwa ciptaan-Nya “sungguh amat baik”. Saat aku memejamkan mata dan mengulang kalimat itu dalam hati, mataku mulai berkaca-kaca. Aku, yang diciptakan oleh Tuhan, disebut oleh Ia sendiri bahwa aku “sungguh amat baik”. Aku mengulanginya dalam hatiku, “aku, sungguh amat baik”. Kalimat itu kemudian membuatku menyadari bahwa aku, bahkan tanpa prestasi-prestasi lahiriahku, sudah sungguh amat baik bagi Penciptaku. Ia, yang menenunku dalam rahim ibu-ku, mengenal hingga kedalaman hatiku, mengasihiku, menyatakan bahwa aku sudah sungguh amat baik. Artinya, meski aku belum melakukan apa-apa, aku berharga. Dan itu, sudah cukup.

Pemahaman bahwa Allah menciptakanku dengan amat baik ini bukan berarti aku berdiam diri dan menolak berkarya, tetapi dari pemahaman inilah aku bisa berkarya bukan untuk mengejar gengsi atau pengakuan dari orang lain, melainkan sebagai ekspresi syukur dan bakti pada Allah yang telah menciptakanku baik adanya.

Yang kedua, dosa membuatku dan semua manusia seharusnya layak menerima hukuman berupa kebinasaan. Namun, ada Pribadi yang memberi diri menggantikan untuk mati karena dosa yang bukan milik-Nya. Ada Pribadi, yang mau berkorban untukku, bahkan ketika aku sedang gagal. Ada Pribadi, yang tetap mengasihiku, ketika aku nyatanya sangat jauh dari berprestasi. Ada Pribadi, yang karena kasih-Nya sungguh besar, tidak hanya lagi menyatakan dengan perkataan, namun dengan nyawa-Nya sendiri yang dikorbankan.

Kira-kira, apakah mungkin Allah mengorbankan diri-Nya untuk sesuatu yang tidak berharga? Aku rasa tidak. Artinya, aku berharga. Dalam kegagalan pun, aku dipandang-Nya berharga. Dan itu, sudah cukup.

Kedua hal itu mengingatkanku, bahwa ketika aku belum berbuat apa-apa, hingga ketika aku berbuat kesalahan yang berujung maut, aku berharga. Dengan atau tanpa prestasi, aku berharga. Dengan atau tanpa pengakuan orang lain, aku berharga.

Perenunganku diakhiri dengan senyum kecil menandai kesadaranku bahwa aku berharga. Namun kemudian, aku berbisik kecil dalam doa kepada Tuhan, berkata

“Ya Tuhan, terimakasih sudah menolongku menyadari bahwa aku berharga, dengan atau tanpa prestasi, dengan atau tanpa pengakuan. Tapi Tuhan, sejujurnya, aku masih berharap suatu hari nanti, ada perkataan yang diucapkan olehnya “aku bangga sama kamu”. Boleh kah, Tuhan?

Tapi kiranya bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.”

Amin.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Menjadi anak tengah, merasa diabaikan oleh orang tua, membuatku sempat sakit hati dengan keluargaku. Namun, dari pengalaman ini aku mendapat pemahaman tentang apa itu keadilan.

Bagikan Konten Ini
8 replies
  1. elen
    elen says:

    Shallom kak.
    Pengakuan dari manusia seringkali berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan keadaan, namun ketika Allah menyatakan bahwa manusia sudah sungguh amat baik, itu bersifat tetap.
    Tuhan Yesus memberkati.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *