Belajar Dari Rasa Kehilangan

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Berita duka, karangan bunga, serta ucapan belasungkawa memenuhi media sosialku dalam dua bulan terakhir ini. Aku mendapati beberapa kenalan juga telah kehilangan anggota keluarganya. Mungkin di antara para pembaca, ada juga yang mengalami kehilangan yang sama akibat pandemi ini.

Bulan Juni yang lalu, aku kehilangan seorang kakak rohani sekaligus rekan sepelayanan di gerejaku. Aku merasa sangat kehilangan. Kami memiliki beberapa momen kebersamaan dalam melayani Tuhan. Dan aku merasa kehilangan sosok seorang pemimpin yang telah menjadi teladan, baik dalam sikap maupun jerih payahnya.

Berita duka terus berdatangan. Beberapa hamba Tuhan yang aku hormati dan kagumi juga dipanggil Tuhan. Rasa kehilangan tersebut tidak hanya memberikan kesedihan mendalam namun membuatku merasa seperti “kehilangan pegangan” dalam melayani Tuhan. Kerohanianku seakan-akan “bergantung” kepada kepedulian yang mereka tunjukkan seperti mendoakanku, memberikan kutipan-kutipan kalimat maupun khotbah yang memberkati, melalui kisah hidup mereka serta semangat melayani yang memberikan inspirasi. Kehadiran mereka dalam hidupku telah membuatku semakin giat untuk mengenal dan menyembah Tuhan.

Rasa kehilangan yang kualami memang terasa wajar. Namun, ketika aku berlarut di dalamnya, firman Tuhan menegur sikap hatiku. Kisah raja Yoas dan imam Yoyada (2 Raja-Raja 12) mengingatkanku untuk tidak meneladani cara hidup raja Yoas yang mengikuti Tuhan hanya selama imam Yoyada hidup (2 Raja 12:2). Iman raja Yoas bergantung kepada imam Yoyada, sehingga ketika imam Yoyada meninggal, Raja Yoas pun berbalik dari Tuhan dan menyembah berhala (2 Tawarikh 24:18).

Melalui peristiwa kehilangan ini, Tuhan ingin mengajarkan kepadaku, dan kepada kita semua, bahwa iman kita tidak boleh bergantung kepada manusia, tetapi hanya kepada Tuhan saja. Mungkin masa pandemi yang sedang berlangsung ini dapat menjadi masa pengujian iman untuk melihat kepada siapa kita telah bergantung, kepada manusia atau Allah.

Pertanyaannya, setelah kita kehilangan orang yang kita kasihi, akankah kita tetap bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan, ataukah hati kita menjadi tawar dan memilih menyembah “berhala” seperti raja Yoas?

Kiranya kita memilih untuk tetap setia mengasihi Tuhan, sekalipun kita telah kehilangan orang yang kita kasihi.

Sedih, kecewa, marah, ataupun tawar hati, adalah perasaan wajar yang dapat dialami semasa kehilangan. Akan tetapi bila kita terus tenggelam dalam perasaan-perasaan tersebut, kita akan kehilangan banyak waktu untuk mengasihi Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Rasul Paulus memberi peringatan agar kita mempergunakan waktu yang ada dengan bijaksana, dengan demikian kita dapat mengerti akan kehendak Tuhan dan menyelesaikannya (Efesus 5:15-17). Mari kita gunakan waktu hidup yang singkat ini untuk terus melakukan kehendak Tuhan, bukan melakukan kehendak dan kesenangan diri sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, setelah kehilangan orang yang dikasihi, kita akan menjalankan pelayanan dan hari-hari kita dengan situasi yang berbeda. Kita perlu berdamai dengan situasi dan hati kita di masa kehilangan ini. Mari kita terus menguatkan hati di hadapan Tuhan, mengandalkan-Nya dan berjalan bersama-Nya setiap hari. Ketika kita terus berjalan bersama-Nya, kita pun akan dikuatkan oleh Roh Kudus untuk melakukan kehendak Tuhan.

Kepada kita yang masih diberikan kesempatan untuk hidup, kita percaya masih ada tanggung jawab dan pekerjaan baik yang perlu kita selesaikan sebelum waktu kita sendiri tiba nanti. Adakalanya kita merasa seolah-olah kekuatan kita untuk melangkah hilang akibat kesedihan kehilangan “teladan hidup yang nyata”, tetapi marilah kita kembali bersemangat bangkit untuk melakukan kehendak Tuhan. Dan kita pun dapat meneruskan teladan baik yang telah kita alami dalam hidup dan pelayanan kita.

Melalui tulisan ini, aku ingin menyampaikan ucapan belasungkawa dan rasa sepenanggungan untuk teman-teman yang telah kehilangan orang yang dikasihi. Kiranya kasih dan penghiburan dari Roh Kudus menyertai kita semua, sampai selama-lamanya. Amin.

Baca Juga:

Ketika Penampilan Tidak Good-Looking, Bagaimana Bisa Meraih Bahagia?

Aku teringat omongan orang yang berkata kalau penampilan fisik yang menarik bisa membuat hidup jadi sukses. Tapi, penampilan fisikku jauh dari menarik.

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. trivany siringoringo
    trivany siringoringo says:

    🙏🙏🙏Terimakasih artikelnya, pas banget hari ini aku sedih karena teringat bapak yang udah menghadap Tuhan. Segala kegiatanku hari ini mengingatkan ku pada momen bapak masih hidup. Air mata berjatuhan. Tapi bisikan Roh kudus “aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan aku masih punya tanggung jawab buat mama, kakak, abang dan adek. Aku bisa membanggakan mereka dengan mimpi yang dulu mau kuraih buat membanggakan bapak. Aku juga harus memakai waktu yang sudah Tuhan percayakan ini untuk tujuan-Nya. Aku sebenarnya rindu ingin merangkul bapak dan tertawa girang bersamanya. Tapi gapapa, bapak udah tertawa bersama Tuhan sekarang. Aku sayang bapak💦🤗🙏😇

  2. Robertus widodo
    Robertus widodo says:

    Terima firman ini menjadi pengungat iman kita semua, untuk tidak bersandar pada kekuatan manusia tapi kepada Allah yang hidup sekarang dan selamanya, Amien

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *