Bukan Yatim
Selasa, 6 Juli 2021
Baca: Matius 6:5-13
6:5 “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
6:7 Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.
6:8 Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.
6:9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,
6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)
Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974
Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. —Roma 8:16
Dalam buku Fatherless Generation (Generasi Yatim), John Sowers menulis: “Dalam sejarah, belum pernah ada sebuah generasi yang mengalami begitu banyaknya ketidakhadiran yang disengaja dari seorang ayah seperti generasi sekarang ini, dengan 25 juta anak dibesarkan dalam rumah tangga bersama orangtua tunggal.” Saya sendiri tidak akan dapat mengenali ayah saya seandainya kami berpapasan di jalan. Orangtua saya bercerai ketika saya masih kecil, dan semua foto ayah saya dibakar habis. Jadi, selama bertahun-tahun saya merasa seperti anak yatim. Kemudian, pada usia tiga belas tahun, saya mendengar Doa Bapa Kami (Mat. 6:9-13) lalu berkata kepada diri sendiri, Mungkin aku tidak punya bapak di dunia, tetapi sekarang aku punya Allah sebagai Bapa Surgawiku.
Dalam Matius 6:9 kita diajar untuk berdoa, “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu.” Sebelumnya, di ayat 7, kita diminta untuk tidak “bertele-tele” ketika berdoa, dan kita mungkin bertanya-tanya apa hubungan kedua ayat tersebut. Saya menyadari bahwa karena Allah mengingat segala sesuatu, maka kita tidak perlu mengulang-ulang perkataan kita. Dia benar-benar mengerti, maka kita tidak perlu panjang lebar menjelaskan maksud kita. Dia mempunyai hati yang penuh belas kasihan, jadi kita tidak perlu meragukan kebaikan-Nya. Selain itu, karena sejak awal Allah sudah tahu hasil akhirnya, kita pun tahu bahwa penentuan waktu-Nya sempurna.
Karena Allah adalah Bapa kita, maka bukan “banyaknya kata-kata” doa (ay.7) yang akan menggerakkan hati-Nya. Melalui doa, kita berbicara dengan Bapa yang mengasihi dan mempedulikan kita, serta menjadikan kita anak-anak-Nya dengan perantaraan Yesus Kristus. —Albert Lee
WAWASAN
Meski inti Matius 6:5-13 adalah doa, dalam konteks pengajaran Yesus yang lebih luas (ay.1-18), dua bentuk kesalehan lainnya (ay.1) juga perlu menjadi fokus: “memberi sedekah” (ay.2-4) dan “berpuasa” (ay.16-18). Pengajaran Kristus menyoroti bagaimana perbuatan saleh yang baik pun bisa memiliki motivasi yang keliru: keinginan untuk diakui dan dihargai orang. Yesus mendorong para pengikut-Nya untuk tidak berperilaku seperti orang munafik (ay.2,5,16). Kata tersebut dalam bahasa Yunani, hypokrites, mengacu kepada pemain sandiwara bertopeng, yaitu mereka yang berpura-pura jadi orang lain. Kata Yunani ini dipakai tujuh belas kali dalam Injil dan hanya oleh Yesus; tiga belas kali dalam Matius. Perilaku seorang munafik tidak sesuai dengan isi hatinya. Orang percaya tidak boleh seperti orang munafik, karena kita memiliki Bapa yang “melihat” dan “mengetahui” hati setiap orang (ay.6,8). —Arthur Jackson
Pernahkah kamu mencoba “menggerakkan hati Allah” dengan memanjang-manjangkan doa? Bagaimana hubunganmu dengan Allah sebagai Bapa menolongmu untuk mempercayai-Nya?
Bapa Surgawi, terima kasih karena Engkau telah menjadikanku anak-Mu dan Engkau menjadi Bapa yang menyambutku di hadapan-Mu melalui doa.
Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 32-33; Kisah Para Rasul 14
amin
amin, dashyat kasih Tuhan!!