Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

Bagikan Konten Ini
10 replies
  1. Meriana
    Meriana says:

    Artikel yang sangat menarik ,

    intinya tetap menyakinkan diri ,bahwa semua nya telah TUHAN sediakan bagi aku .
    karena manusia hanya bisa berencana dengan setiap yang ada di fikirannya ,TUHAN selalu memberikan yang terbaik untuk kita anak-anakNya

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *