Ketika Perbuatan Baik Malah Disalahartikan
Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When My Good Deeds Backfired
Sudah lama aku tidak bertemu dengan temanku, jadi ketika ada waktu luang kuajaklah dia untuk pergi makan bersama. Usia temanku jauh lebih tua dariku dan dia tinggal sendirian. Acara makan bersama yang kupikir akan menyenangkan berubah menjadi aneh ketika maksud baikku malah jadi bumerang.
Kami makan di pujasera. Dari banyak restoran di sana, kami memilih satu restoran yang sama. Kulihat dia cuma memesan sayur-sayuran. Dalam hati kuberpikir, “Makanan cuma segitu mana cukup buat dia?”
Ketika akhirnya kami duduk, aku mengambil dua sendok nasi dari piringku dan meletakkannya di piringnya. Kupikir dia akan berterima kasih tapi dia malah mengeluh, “Kamu tahu gak sih tadi aku nggak pesan nasi itu karena aku memang nggak mau makan nasi? Kok malah kamu kasih aku nasi? Tadi pagi aku udah sarapan banyak dan masih kenyang. Kamu harusnya tanya dulu. Kamu itu selalu melukai orang. Kamu terlalu naif.”
Gara-gara kejadian itu, temanku lalu mengomel. Dia merinci perbuatan-perbuatan baikku yang ternyata tidak bermanfaat buatnya, seperti membelikannya rak sepatu dan beberapa biskuit.
Aku terkejut dengan tanggapannya. Aku merasa sangat bersalah. Aku memberikan uang yang kudapat dari kerja keras untuk membelikannya hadiah, berpikir kalau temanku itu akan menyukai pemberianku, tapi nyatanya dia malah tidak menghargai niat baikku.
Aku ingin membela diri, tapi kuputuskan menahan ucapanku karena temanku itu sudah tua dan aku ingin menghormatinya. Tanpa bicara, kuambil lagi dua sendok nasi dari piringnya ke piringku. Kami pun makan bersama dalam keheningan. Aku tidak tahu harus bicara apa karena hatiku rasanya campur aduk. Maksud baikku disalahartikan dan aku menyesali tindakanku. Sampai akhirnya pulang pun kami tidak banyak bicara.
Sampai di rumah, kata-kata temanku itu berputar terus di otakku. Sungguhkah aku tidak peka dan menjengkelkan? Apakah aku terlalu naif dalam pikiran dan tindakanku? Apakah aku jadi pemaksa ketika aku mencoba jadi orang baik?
Aku ingat sebuah nasihat yang mengatakan agar aku bisa menetapkan garis batas antara kita dengan orang yang tidak menghargai kebaikan kita. Menjaga jarak itu dibutuhkan supaya kita tidak disalahpahami lagi. Meskipun itu kedengarannya bijak, kurasa melakukan nasihat itu hanya akan membuat kita menjauh dari rekonsiliasi dan malah membuat kita berfokus pada luka-luka saja. Jika aku akhirnya menjaga jarak, sungguhkan aku bisa menunjukkan kasih Tuhan pada temanku itu? (1 Koritnus 13:2).
Seiring aku merenung dan berdoa, aku mulai menyadari pandangan berbeda dari situasiku. Aku sadar bahwa di balik tindakan baikku atau caraku merespons temanku, aku bersadarkan pada pengertianku sendiri tanpa mencari tahu hikmat-Nya.
Temanku ialah seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Aku ingin agar dia tahu kalau dia punya teman yang peduli padanya dan dia tidak sendirian. Tapi, dalam proses untuk mewujudkan itu, aku tidak benar-benar mengerti apa yang jadi kebutuhannya. Aku hanya berasumsi seolah aku tahu apa yang dia butuhkan dariku—dan mungkin tindakanku berlebihan sehingga bukannya membuatnya bersyukur, malah merasa tersinggung.
Setelah hatiku lebih tenang, aku pergi ke rumahnya untuk meminta maaf. Puji Tuhan, dia memaafkanku lalu menertawakanku. Katanya aku terlalu menganggap serius persoalan tempo hari. Ketika obrolan kami jadi lebih ringan, dia pun mulai terbuka tentang apa yang sungguh jadi kebutuhan dan keinginannya.
Lewat pengalaman ini, aku belajar apa artinya berbuat baik dengan hati yang murni dan iman yang tulus ikhlas (1 Timotius 1:5). Seperti yang ditulis di Kolose 3:12, aku seharusnya menunjukkan kebaikan dan belas kasih dengan cara menanyakan apa yang sungguh jadi kebutuhannya. Aku seharusnya lebih lemah lembut dan rendah hati dengan mendengarkan lebih dulu apa yang dia butuhkan, alih-alih memaksakan asumsiku yang akhirnya meletakkan dia pada posisi sulit untuk menolak. Konflik ini menolongku mengetahui apa yang dia sukai dan tidak sukai, dan mengikat kami dalam ikatan persahabatan yang lebih erat.
Tindakanku untuk berbuat baik hampir saja mengandaskan persahabatan kami. Kupikir aku sedang menolong temanku, tapi dia malah melihat hal sebaliknya. Tanpa respons temanku yang blak-blakan di pujasera, aku mungkin tidak akan menyadari betapa pentingnya melakukan kebaikan bagi orang dengan cara yang sungguh membangun mereka. Niatan kita mungkin baik, tapi jika kita tidak mencari pengertian akan apa yang sesungguhnya orang itu butuhkan, tindakan kita malah seolah menunjukkan kita sedang melayani diri sendiri.
Carilah Tuhan dengan hati dan tangan yang terbuka, agar kita diberi-Nya kesempatan untuk melayani mereka yang ada di sekitar kita. Aku berdoa agar aku juga kamu dapat peka pada pimpinan-Nya agar kita pun memiliki hati dan pikiran Kristus dalam segala aksi yang kita lakukan.
Tindakan kita sendiri bisa saja gagal, tetapi dengan Kristus yang bekerja di dalam kita, setiap tindakan kita disempurnakan-Nya agar menjadi persembahan yang harum bagi-Nya.
3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan
Tidak semua pertemanan berjalan hangat dan langgeng, tapi Alkitab mengajar kita untuk tetap saling berelasi dan tidak hidup secara terasing.
Sangat memberkati
AMIN…Terimakasih,sangatt memberkati
amin. thanks for sharing
Amin sangat memberkati…kita harus peka dalam segala sesuatu termasuk bersahabat
Amin.. terimakasih.. sangat memberkati..
Trim ksh pengalaman hidup yg cukup menbantu km agar tdk bertidak sesuai pengertian km sendr.
😇
tidak seperti yang kita duga., mau menyenangkan org lain… ternyatablain org lain pikiran & maunya… smg kita tetap menjadi org baik.