7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dulu aku sempat berpikir bahwa relasi pertemanan yang sudah terjalin lama dan sangat dekat tidak akan pernah bersentuhan dengan konflik atau perseteruan. Aku pikir karena kita sudah sama-sama saling mengenal, saling tahu kelemahan dan kelebihan, harusnya relasi kami baik-baik saja.

Ternyata aku salah.

Tahun 2020 merupakan tahun pembelajaran besar buatku akan hal ini. Aku mengalami konflik dan gesekan karakter dengan teman-temanku sendiri yang berada dalam lingkaran pertemanan kelompok tumbuh bersama (KTB). Hal-hal yang sempat kurasakan waktu itu adalah mereka sudah tidak peduli denganku, berbeda dengan masa-masa kuliah di mana kami benar-benar saling memperhatikan satu sama lain. Nyatanya, kehidupan di dunia alumni merubah semuanya. Aku yang saat itu tengah kesepian merasa ‘tidak aman’ berada bersama-sama dengan mereka. Obrolan di grup chat kami pun terasa hambar dan tidak sesuai ekspektasiku. Belum lagi ditambah dengan momen kesalahpahaman yang terjadi. Niatnya aku hanya peduli pada salah satu temanku, ternyata dia merespon aku berbeda. Tersinggung dan merasa direndahkan, katanya. Aku pun ikut tersinggung karena merasa dihakimi. Akhirnya dengan emosi yang campur aduk antara sedih, kesal, dan kecewa, aku meninggalkan grup chat kami dan memutuskan untuk tidak lagi berkomunikasi dengan mereka.

Jika aku menyelesaikan cerita sampai sini, mungkin rasanya sedih sekali, bukan? Memutuskan relasi dengan teman-teman dekat tentu tidak menjadi mimpi dan anganku. Singkat cerita, saat ini aku sudah kembali berteman baik dengan mereka, kembali masuk grup chat—setelah dua kali kutinggalkan, dan aku pribadi mendapat banyak sekali pelajaran berharga dari konflik yang kami alami. Nah, izinkan aku untuk membagikan hal-hal apa saja yang kita perlu lakukan ketika sedang terlibat konflik, khususnya dengan mereka yang sudah sangat dekat dengan kita:

1. Pahami dan kenali diri sendiri dengan baik

Orang lain, termasuk teman-teman dekat kita, mungkin tidak sepenuhnya mengenal kita. Untuk itu, kita sendiri yang terlebih dahulu harus mengenal diri sendiri. Lihat bagaimana respons kita ketika menghadapi konflik, bagaimana cara kita menyelesaikannya, apakah kita termasuk orang yang lebih baik kabur atau cari aman alih-alih menghadapi konflik tersebut, dan sebagainya. Kita bisa juga melakukan tes kepribadian seperti MBTI, Enneagram, atau tes kepribadian lain yang sejenis. Kita juga bisa mencari tahu apa bentuk bahasa kasih yang dimiliki diri sendiri dan juga teman-teman kita. Mengetahui bahasa kasih ini dapat menolong untuk memahami bagaimana bentuk kasih yang perlu disampaikan secara nyata melalui tindakan kita.

2. Terus belajar bahwa konflik dalam relasi pertemanan itu adalah hal yang wajar

Konflik yang aku sebut di sini mengarah pada konflik yang sehat; konflik yang membawa pertumbuhan baik bagi diriku sendiri, maupun bagi relasi kami. Menurut situs christiantoday.com, relasi pertemanan akan mengalami ujian tersendiri. Ujian tersebut dapat membawa kita pada 3 pelajaran penting: pengampunan, kerendahan hati, dan pertumbuhan.

Dalam pertemanan, biasanya kita menjadi dekat karena menemukan persamaan-persamaan. Entah itu karena persamaan hobi, selera musik, atau masalah yang sedang dihadapi. Namun, sekadar menemukan persamaan saja tidak cukup. Seiring berjalannya waktu, pertemanan akan menunjukkan perbedaan-perbedaan, dan di sinilah biasanya konflik terjadi. Pertemanan yang baik bukanlah pertemanan yang bebas konflik, karena tentunya perbedaan-perbedaan bisa menimbulkan gesekan, tetapi pertemanan yang baik dapat terjadi ketika masing-masing pihak bersedia untuk memahami perbedaan.

3. Lebih baik jujur namun menyakitkan, daripada ‘cari aman’ tapi tidak menjadi diri sendiri

Hal yang membuat kita takut untuk jujur dan sulit menjadi diri sendiri adalah: rasa malu (shame). Curt Thompson dalam bukunya yang berjudul “The Soul of Shame” mengatakan bahwa: “Kita hidup dalam sebuah budaya di mana kita takut menunjukkan siapa kita karena takut dipermalukan karena menjadi diri sendiri.” Pilihannya jatuh di tangan kita: menjadi jujur demi kesehatan emosi dan relasi, atau tidak menjadi diri sendiri.

Hal yang kuakui secara jujur pada mereka waktu itu adalah aku merasa tidak ditanggapi ketika sedang menceritakan masalahku. Di saat aku butuh didengar, mereka malah meresponi ceritaku dengan masalah pribadi mereka juga. Mungkin ini sebenarnya tidak masalah, tapi yang kurasakan saat itu tentu kecewa. Akhirnya aku tinggalkan grup, dan sempat menuliskan sekelumit perasaanku dalam tulisan blog—yang kemudian tulisan itu kukirimkan ke mereka satu-satu. Aku tahu ini sangat berisiko, namun saat itu aku tetap terbuka jika mereka ingin menegur atau memberikan respons lainnya. Seperti ada tertulis: “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi” (Amsal 27:5). Jadi aku memilih untuk tetap jujur meskipun dengan risiko, daripada menyembunyikan apa yang kurasakan dan tenggelam dalam situasi relasi yang kurang sehat.

4. Ambil waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu supaya tidak dikuasai emosi

Emosi marah, kesal, dan kecewa bisa berdampak pada keputusan-keputusan yang kita ambil. Itulah mengapa pilihan untuk menyudahi pertemanan sempat terlintas di pikiranku. Alasannya karena aku gagal menjadi teman yang baik, karena mereka tidak mengerti diriku, dan alasan-alasan lainnya yang dikendalikan oleh emosi. Aku tahu sangat sulit untuk mengaplikasikan Firman yang tertulis dalam Efesus 4:6. Namun ternyata membuat hati dan pikiran tenang adalah cara terbaik yang bisa kita lakukan demi memperoleh solusi terbaik ketika berkonflik. Tidak perlu paksakan waktu, dan izinkan diri kita berserah pada kasih Allah yang sanggup membuat hati kita tenang.

Emosi bersifat sementara, tetapi keputusan yang kita ambil bisa berdampak permanen.
Mengambil keputusan dalam emosi yang lebih stabil menolong kita untuk melihat secara lebih luas dampak apa yang akan timbul dari keputusan yang akan kita buat.

5. Berdoa, dan akui sakit hati serta kekecewaan kita pada Tuhan

Sebagai Pencipta, Tuhan tahu betul karakter, kepribadian, serta emosi-emosi diri kita. Selain belajar jujur pada diri sendiri dan teman, belajar juga untuk jujur pada Tuhan di dalam doa. Aku pernah mendoakan bahwa aku sulit sekali mengampuni. Aku sulit memaafkan diriku sendiri yang gagal dan juga sulit memaafkan teman-teman yang mengecewakanku. Pada akhirnya, Tuhan sendirilah yang memberikan jalan keluar bagi relasi kami hingga saat ini.

Memulihkan hati yang terluka tidak cukup hanya dengan upaya kita sendiri. Kita butuh sentuhan kasih Ilahi yang tak hanya menutup luka itu, tapi juga membaharui hati kita.

6. Ceritakan kondisimu pada orang yang dipercaya

Ketika aku tengah menangis dan tidak tahu harus berbuat apa, aku teringat akan beberapa kakak dan abang senior yang menurutku dapat menolongku. Awalnya aku khawatir dan sempat tidak bisa mempercayakan ceritaku pada mereka. Namun, aku memberanikan diri saja untuk mengontak mereka demi mendapat pertolongan. Mereka memberiku nasihat yang bijak, aplikatif, dan netral (tidak membela teman-temanku, juga tidak membelaku). Aku makin percaya bahwa di luar dari lingkaran pertemanan dengan teman-teman dekat, masih ada orang-orang lain yang Tuhan pasti sediakan untuk menolong kita.

Menceritakan pergumulan kita pada orang yang dipercaya bukanlah tergolong sebagai gosip atau gibah, melainkan itu dapat menjadi sarana agar kita menerima perspektif baru yang benar dan baik. Namun, yang perlu diperhatikan ialah sikap hati kita. Apakah kita bercerita untuk mendapatkan masukan, atau untuk menjelekkan nama teman atau seseorang yang sedang berkonflik dengan kita?

7. Buka komunikasi kembali, dan sampaikan permintaan maaf ketika kondisi hati kita sudah jauh lebih baik

Butuh waktu beberapa bulan sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk bergabung kembali dalam grup chat kami. Di masa itu, aku merasa bahwa aku sudah cukup pulih, sudah bisa menerima segala sesuatunya, dan ada dorongan dari dalam diriku untuk terus berelasi dengan mereka apa adanya.

Pengkhotbah berkata, untuk segala sesuatu ada waktunya. Konflik memang tidak terelakkan, tetapi tidak selamanya konflik itu perlu dipelihara. Jika kita memahami relasi sebagai karunia yang berharga dari Allah, tentu kita akan berupaya untuk melakukan rekonsiliasi.

Apa saja hal yang berubah?

Yang pertama tentu hatiku. Aku belajar menerima bahwa aku berkawan dengan orang-orang yang berbeda denganku. Tidak semua hal dalam relasi kami harus selalu sama. Aku belajar menghargai perbedaan karakter, sifat, bagaimana kami saling merespon satu sama lain, bahkan belajar juga untuk menerima kondisi terluka akibat kejujuran kami masing-masing.

Yang kedua adalah ekspektasiku. Awalnya aku berpikir bahwa teman-teman terdekatku harusnya yang lebih mengerti diriku, yang paling tahu aku maunya apa, dan lain sebagainya. Namun, konflik yang terjadi mengajariku bahwa ekspektasi pribadi dapat melukai diri sendiri. Aku tahu bahwa berekspektasi adalah hal yang wajar terjadi dalam setiap relasi. Hanya, pengenalan yang lebih mendalam terhadap teman-teman kita dapat membantu untuk mengatur tingkat ekspektasi tersebut.

Ketiga, cara pandangku ketika berelasi. Persahabatan adalah salah satu anugerah Tuhan yang Ia sediakan untuk menolongku menjalani kehidupan ini. Tidak kebetulan kami bertemu dalam persekutuan kampus, tidak kebetulan kami berada dalam sebuah pelayanan bersama, dan tidak kebetulan masih ada komunikasi yang terjalin hingga kini kami berada di jalur hidup masing-masing. Aku menemukan bahwa kasih adalah landasan utama dari setiap relasi pertemanan. Seperti yang tertulis dalam Amsal 17:17 yang berbunyi:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

Kasih yang membuat suatu relasi pertemanan tetap bertahan. Kasih juga yang diajarkan oleh Yesus pada murid-murid-Nya:

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yohanes 13:34).

Tentu tidak ada yang salah dengan momen bersenang-senang bersama teman. Akan tetapi, mengasihi mereka bukan berarti kondisi akan selalu baik-baik saja. Ada konsekuensi penderitaan yang harus kita terima ketika kita bergesekan karakter dan muncul konflik. Di kali kedua aku meninggalkan grup chat kami, aku sempat berpikir bahwa pertemanan kami akan kandas. Aku gagal mempertahankan relasi berharga yang sudah terjalin sejak kami kuliah. Rasanya sedih sekali memutuskan relasi pertemanan dengan orang-orang yang sebenarnya Tuhan anugerahkan untuk mengenal aku sangat dalam. Namun, Tuhan begitu baik kepada kami hingga akhirnya kami dapat berteman seperti biasa lagi. Tuhan menolongku untuk belajar dan berproses pelan-pelan mengenal mereka satu persatu secara lebih baik lagi. Ia juga yang membuat kami sama-sama tidak ‘mengusir’ satu sama lain, melainkan memberi kami kesempatan untuk makin bertumbuh dalam kedewasaan (Efesus 4:13).

Terakhir, aku juga belajar bahwa dalam pertemanan atau persahabatan dengan konteks relasi yang sangat dekat, kita tidak mungkin hanya berhadapan dengan sifat yang baik-baik saja. Semakin mengenal teman-teman kita, seiring dengan berjalannya waktu, kita pasti akan diperhadapkan dengan sifat-sifat buruk hingga keberdosaan masing-masing yang terlihat sedikit demi sedikit. Pilihan ada di tangan kita: mau tetap memperjuangkan relasi tersebut dan terus bertumbuh sama-sama, atau memilih untuk berada pada relasi yang hambar dan dibiarkan begitu saja?

Baca Juga:

Berdamai dengan Keluarga, Mengampuni Masa Lalu

Alih-alih sebagai komunitas yang merangkul, terkadang keluarga jadi tempat di mana kita menyaksikan luka dan kesedihan.

Yuk ikuti cerita Meista tentang bagaimana dia mampu berdamai dengan keluarganya di artikel kedua dari seri Lika-liku dalam Relasi.

Bagikan Konten Ini
0 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *