Salah Kaprah Tentang Kasih

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Aku pernah jatuh cinta dan begitu mengasihi seseorang. Dia seolah-olah menjadi matahari, pusat dan sumber benderang di tata surya. Lalu, aku memosisikan diriku seperti planet bumi. Tak terlalu jauh, juga tak terlalu dekat. Jika posisi bumi tidak presisi dari matahari, maka pasti kehidupan tak akan ada. Bumi bisa terlampau panas atau dingin. Jika posisi bumi terlalu jauh dari matahari, maka takkan ada kehidupan yang mampu bertahan, kupikir seperti planet Uranus. Sejauh pengamatan para ilmuwan dan bukti-bukti sains, di sana hanya ada es dan bebatuan yang dilapisi lagi oleh es.

Namun…ada suatu masa dalam hidupku ketika aku tidak lagi menjadi seperti bumi yang punya jarak presisi, yang dapat melihat dan merasakan matahari. Aku berubah menjadi seperti planet Uranus yang jauh. Semuanya tandus dan dingin. Lalu, kupaksakan diriku untuk menjadi planet Merkurius. Tapi, jaraknya terlalu dekat. Tak ada apa pun yang bisa hidup karena tiada air dan udara yang terlampau panas.

Kisah di atas adalah analogi keadaanku saat aku tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber utama kehidupanku. Relasi yang dimulai dengan hangat dan karib dilanda dengan kekecewaan yang mendalam. Lalu muncullah trust-issue—seolah-olah kekecewaan itu akan terus menghantuiku selamanya, sehingga rasanya aku tak perlu lagi untuk mengasihi orang lain. Aku lantas mengagungkan diriku sendiri dengan menyatakan kalau di dunia ini tidak ada ketulusan selain ketulusan milik diriku sendiriku. Kemudian aku pun menutup diri untuk orang lain, dan membiarkan hatiku yang hancur tidak diobati.

Momen-momen kelam itu mengingatkanku akan perkataan dari St. Agustinus. Kala itu, Agustinus menggambarkan kesedihan karena kematian temannya, Nebridius (buku Confessions IV, halaman 10). Katanya, ‘inilah akibat memberikan hati kita kepada sesuatu atau seseorang selain Allah. Semua manusia akan mati. Jangan biarkan kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang dapat hilang dari Anda. Jika cinta itu suatu berkat—bukan penderitaan—ia harus ditujukan kepada satu-satunya Kekasih yang tidak akan pernah mati’ (dikutip dalam buku C.S Lewis, The Four Loves).

Mungkin dari situlah muncul kutipan terkenal, Don’t let your happiness depends on something you may lose. Tapi, jika kita ‘tidak perlu mengasihi’ orang lain dan hanya mengasihi Dia saja, apakah kita tidak akan merasakan sakit hati lagi? Tidak. Bukan itu yang Kristus harapkan pada kita. Mengasihi Allah bukan berarti abai dalam mengasihi sesama. Ketika kita mengasihi, itu berarti kita siap menanggung akibatnya. Kasihilah sesuatu atau seseorang, ada kemungkinan kita akan terluka atau sakit hati. Sengaja atau tidak sengaja, bisa saja seseorang melukai kita. Namun, CS. Lewis mengatakan dalam bukunya, ‘satu-satunya tempat di luar Sorga di mana kita dapat benar-benar merasa aman dari semua bahaya dan gangguan ‘kasih’ adalah neraka.’

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Matius 5:43-33, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kita akan lebih mendekat dan menempel pada Allah (Abide in Him) bukan dengan berusaha menghindari setiap penderitaan yang akan terjadi akibat dari mengasihi, melainkan dengan cara menerima semua penderitaan akibat kasih, lalu menyerahkan penderitaan itu kepada Dia dan melepaskan semua kecintaan diri yang berlebih. Sebab, “Jika hati kita harus hancur, dan jika Dia telah menentukannya harus demikian, jadilah demikian” (C.s Lewis, The Four Loves).

Tuhan memang tidak pernah mengatakan dalam Alkitab secara spesifik kepada kita bagaimana cara membagikan kasih kita. Entah itu 50 untuk Tuhan, lalu 50 untuk yang lainnya. Atau mungkin 80 untuk Tuhan, lalu 20 untuk manusia dan yang lainnya. Tetapi, yang Tuhan tekankan adalah agar kita menghindari segala jenis kasih yang dapat membawa kita jauh dari pada-Nya.

Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat ketika mengasihi orang lain, bertopanglah lebih dulu pada Kasih yang tidak akan pernah roboh. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” (Matius 22:37-38). Aku juga belajar untuk tetap mengasihi meski aku akan menanggung dampak dari mengasihi, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.

Selamat mengasihi!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Kita mengingat Minggu Palma sebagai momen ketika Yesus masuk ke Yerusalem, tapi momen ini punya makna lain, yakni bayang-bayang akan penggenakan kedatangan Yesus yang kedua dan berdirinya kerajaan Allah di bumi seperti di surga.

Bagikan Konten Ini
15 replies
  1. Mauren
    Mauren says:

    Terima kasih artikelnya sangat mencerahkan ttg kehidupan relasi dgn sesama, yg terkadang sulit untuk mendoakan orang yg berbuat tidak baik kepada kita. mantap.

  2. Rezza
    Rezza says:

    Renungan yang sangat memberkati, kembali diingatkan untuk selalu bersandar penuh kepada Tuhan.

  3. Debora
    Debora says:

    Memang kasih adalah pembahasan yg cukup rumit..
    Love is take a risk, tinggal sebrapa kuat hubungan kita dengan Tuhan, itu yg menentukan sebrapa kuat kita mengasihi sesama meski tersakiti.
    Thank you, sangat memberkati 💕

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *