Kecenderungan Buruk yang Hadir Saat Berbuat Baik

Oleh Antonius Martono

Ada dua kecenderungan buruk yang mungkin muncul saat manusia berbuat baik. Kecenderungan yang pertama adalah menyangka bahwa mereka adalah orang baik. Sedangkan kecenderungan kedua adalah menyangka bahwa mereka bukanlah orang jahat. Manusia sering terjebak di antara dua kecenderungan ini. Mereka bisa saja menolak disebutkan sebagai orang baik, tapi mereka juga tidak mau disebut sebagai orang jahat. Kondisi ini dapat menjebak manusia untuk puas dengan kebenaran moralnya sendiri.

Pada suatu hari terjadi konflik antara aku dan adikku. Dalam konflik itu dia berkata bahwa kakak yang baik adalah kakak yang mau mengalah pada adiknya. Mendengar hal itu, aku tersinggung dan merasa direndahkan, sebab selama ini rasanya aku telah menjadi kakak yang baik. Aku telah banyak bersikap sabar terhadap karakternya yang keras. Aku juga telah banyak mengalah, berkorban, dan berbuat baik untuknya. Memang ada kekurangan sedikit, tetapi timbangan moralku mengatakan bahwa lebih banyak hal baik yang telah dinikmatinya dariku. Aku mau membuktikan bahwa aku telah berhasil menjadi seorang kakak yang baik, oleh sebab itu aku mulai mengingatkan padanya sekumpulan jasa yang telah kuberikan padanya. Konflik kami memang tak berlangsung lama. Kami segera berdamai dan memperbaiki relasi kami. Namun, kejadian itu mengejutkanku dan mendorongku untuk merenung.

Mengapa aku perlu memberikan bukti bahwa aku adalah seorang kakak yang baik? Mengapa aku perlu membela diri dengan menyebutkan sederetan jasa yang telah kulakukan? Mengapa aku merasa tersinggung dan direndahkan dengan pernyataan tersebut? Apakah selama ini aku tidak tulus berkorban bagi adikku?

Akhirnya aku menemukan bahwa aku telah merasa menjadi orang yang lebih baik dibandingkan dengan adikku yang keras itu. Sehingga harga diriku seperti dicoreng ketika adikku tidak mengakui kebaikan yang telah aku lakukan. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku telah menjadikan perbuatan baik sebagai mata uang untuk “membeli” citra sebagai kakak yang baik.

Dalam perenunganku, aku teringat akan orang Farisi dalam perumpamaan Yesus di Lukas 18: 10 – 14.

“Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Orang Farisi itu begitu bangga dengan dirinya. Dia merasa telah menjadi orang baik karena keberhasilannya melakukan perbuatan baik. Bahkan dia berani menyebutkan prestasi perbuatan-perbuatan baiknya kepada Allah. Dia merasa lebih bermoral ketika membandingkan dirinya dengan sang pemungut cukai. Di hadapan Allah, orang Farisi ini mengira dirinya memiliki kualitas yang berbeda dari pemungut cukai. Dia tidak mau menyamakan dirinya dengan pemugut cukai yang penuh dosa itu. Sedangkan sang pemungut cukai sadar bahwa dirinya adalah orang berdosa. Dia meminta belas kasihan Allah untuk dirinya dan Allah membenarkannya.

Dalam bukunya The Righteous Mind, Jonathan Haidt yang adalah seorang psikolog sosial mengatakan bahwa: self-righteousness is the normal human condition. Manusia cenderung merasa dirinya lebih bermoral atau tidak lebih jahat dibandingkan dengan sesamanya. Akhirnya manusia cenderung membagi sesamanya dengan kategori orang jahat dan orang baik, sehingga sangat sulit bagi mereka yang merasa bermoral untuk bergabung dengan mereka yang dianggap kurang bermoral. Padahal sejak manusia jatuh dalam dosa, mereka semua telah menjadi musuh Allah. Semua manusia adalah orang berdosa, itu faktanya. Hanya saja ada orang berdosa yang telah dibenarkan dan ada yang belum. Namun, perbedaan ini bukanlah kriteria untuk memilih teman melainkan menjadi sebuah bukti bahwa Allah mau membenarkan mereka.

Kecenderungan manusia untuk merasa lebih benar dapat melemahkan pertahanan mereka terhadap dosa. Dengan berpikir bahwa mereka adalah orang baik, mereka cenderung melegalkan dosa kecil yang akan diperbuat. “Ah, ini hanya dosa kecil. Toh, saya orang baik, tidak sejahat itu.” Padahal Tuhan tidak suka dengan dosa sekecil apapun. Bahkan lebih buruk lagi, kecenderungan ini dapat membuat mereka merasa lebih kebal dosa daripada orang lain, merasa mampu mengalahkan godaan dosa dengan kekuatan sendiri, dan cenderung beranggapan tidak akan jatuh ke dalam dosa yang sama seperti orang lain.

Oleh sebab itu kita perlu terus waspada untuk tidak menilai diri berdasarkan perbuatan baik. Kita perlu berfokus kepada perbuatan yang telah Yesus lakukan beserta anugerah-Nya. Pada akhirnya manusia sanggup berbuat baik karena anugerah Allah yang memampukannya. Sedangkan bagi mereka yang merasa lebih bermoral, perbuatan baik itu bergantung pada usaha keras diri sendiri, bukan bersandar pada anugerah Allah.

Pernahkah kita merenung, berapa banyak perbuatan jahat yang dapat kita lakukan hari ini jika Allah tidak memberikan anugerah-Nya? Sejahat apakah perbuatan yang mungkin dapat kita lakukan, jika Allah tidak menjaga kita? Pertanyaan ini dapat mengevaluasi diri kita, sehingga kita dapat waspada untuk tidak terlalu bangga dengan pencapaian moral kita.

Tidak ada manusia yang kebal dan mampu menang dari dosa dengan kekuatan sendiri. Merasa telah menjadi orang baik dapat menjebak kita besar kepala dan merasa tidak memerlukan pertolongan Allah. Ketika seseorang jatuh dalam dosa, kita sama rentannya dengan mereka. Kita sangatlah mungkin melakukan dosa yang sama seperti mereka. Mengingat hal ini dapat membuat kita semakin rendah hati dan mendorong kita terus bergantung pada Allah. Kita perlu bergantung dalam doa, meminta Tuhan agar menjaga hati kita yang lemah. Pada akhirnya kita butuh kesetiaan Allah yang memampukan kita untuk setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Memaafkan Papa Mengikuti Teladan Bapa

Aku menghela napas panjang mendengar keputusan mama. Permintaannya kali ini sungguh di luar dugaanku.

“Kak, kamu harus menemui papamu dulu, baru kamu bisa pergi sama Daniel!” tegas mama.

“Mama, please! I just need you and I am happy,” pintaku sedikit memelas.

Bagikan Konten Ini
5 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *