Berhentilah Membanding-bandingkan Dosa Kita dengan Dosa Orang Lain
Oleh Fandri Entiman Nae, Manado
Ketika menonton televisi atau menjelajahi media sosial, informasi tentang tindakan kejahatan rasanya bukanlah hal yang jarang kita simak. Menghitung berapa jumlah kasus-kasus itu tentu tak akan ada habisnya. Dunia seakan telah berteman dengan kejahatan, dan fakta yang mungkin membuatmu tercengang: kita semua adalah bagiannya.
Pernyataanku mungkin mengherankan dan membuatmu bertanya mengapa kita menjadi berada di posisi tertuduh? Melalui tulisan ini, aku mengajakmu untuk menyelidiki diri kita lebih jauh. Kita semua sejatinya memiliki status yang sama, yaitu para pendosa. “Ah tapi kan aku tidak melakukan ini, atau itu?”, dalam hati kita berkelit. Ketika kita melihat ada orang yang kedapatan mencuri dan kita “tidak mencuri”, atau kita melihat orang lain kedapatan “berzinah” dan kita merasa tidak melakukannya, kita lantas merasa diri kita lebih baik dari orang lain. Atau, bisa saja kita merespons dengan lebih kesal, “Aku tidak akan begitu! Tidak akan jatuh ke dalam dosa seperti itu!”
Sebagai manusia, kita sering membandingkan diri kita dengan orang lain, termasuk ketika itu bicara mengenai dosa. Namun, terlepas dari siapa yang tampak ‘lebih baik’ dari perbanding-bandingan itu, fakta yang pasti ialah kita semua sejatinya adalah pendosa, apa pun jenis dosa yang kita lakukan. Jika kita membaca apa yang dikatakan oleh Yesus tentang perzinahan (Matius 5:27-30), kita akan segera mengerti bahwa dosa bukan hanya tentang apa yang nampak melainkan apa yang tersembunyi di dalam hati kita. Mungkin kita belum pernah menampar atau melakukan kekerasan terhadap orang lain, tetapi berapa kalikah kita berniat melakukannya untuk melampiaskan amarah kita?
Dalam pekerjaan dan pelayananku sebagai hamba Tuhan, setiap kali aku berkhotbah kepada teman-teman yang ada di dalam penjara di beberapa kota, aku selalu berkata kepada mereka bahwa jika polisi kita, jaksa kita, dan hakim kita adalah Allah sendiri, maka aku, yang merupakan seorang penginjil ini tidaklah lebih suci dibandingkan teman-teman di dalam penjara ini. Mungkin aku pun akan dijerat dengan pasal berlapis dan divonis dengan hukuman terberat.
Beberapa tahun yang lalu seorang dosen pernah mengajukan pertanyaan ‘menjebak’ kepada kami semua dalam sebuah kelas. Pertanyaannya adalah “Siapa yang membunuh Yesus? Apakah orang Yahudi atau orang Romawi?” Tentu jawabannya bisa berbeda-beda tergantung sudut pandangnya. Ketika kelas kami terbagi menjadi dua kelompok besar yang membela pilihannya bagai debat capres dan cawapres, aku satu-satunya yang punya jawaban berbeda. Aku tidak memilih Romawi maupun Yahudi. Tentu saja bukan karena jawaban itu salah, tetapi karena aku tahu apa yang sedang ingin dicapai oleh dosen itu. Pada saat dia membuat survei dan tiba pada giliranku, aku menjawab, “Saya dan bapaklah yang membunuh Yesus”.
Mari jujur dengan identitas kita. Kita adalah “pembunuh”. Dosa kita telah “memaksa” Dia yang Maha Tinggi dibantai dan dipermalukan di bawah matahari Palestina. Kita adalah pezinah. Kita terpikat oleh senyuman dunia yang beracun dan bercumbu dengannya untuk memuaskan hasrat kedagingan kita, hingga kita lupa pada Kekasih hati kita yang datang jauh-jauh dari surga untuk memeluk kita.
Berhentilah saling menyalahkan dan menganggap diri lebih baik dari orang lain. Jangan pernah memegahkan diri kita, terlebih di hadapan Allah. Kita semua tidak ada bedanya. Bukankah kita sering sekali berteriak menuntut keadilan hanya jika kita ada dalam posisi sebagai korban yang benar? Bukankah ketika kita didakwa sebagai tersangka yang bersalah, kita malah mengemis meminta pengampunan? Atau tragisnya lagi, berapa banyak dari kita yang senang menjadi penjilat demi mendapatkan kenyamanan diri kita sendiri?
Tetapi terlepas dari dosa-dosa kita yang begitu menjijikkan, di sini keunikan iman kita terletak, yaitu Allah kita mencintai kita sebagaimana adanya. Tentu itu bukan berarti bahwa Allah sama sekali tidak peduli, apalagi senang dengan dosa kita. Di mata Allah, dosa bagai kanker yang hidup di dalam tubuh orang yang kita cintai. Kita membenci kankernya, tetapi mencintai orangnya. Bukan kita yang mencari-Nya, Dialah yang mencari dan menemukan kita. Ia kemudian mengikat kita yang menerima-Nya dengan pelukan kasih karunia. Tapi sedihnya, kita sering menari-nari bahagia di atas kasih karunia itu namun lupa pada Sang Sumber. Kita tersenyum ketika tahu bahwa kita telah diangkat menjadi anak-anak-Nya tetapi kita mempermalukan Bapa kita. Benar bahwa Allah kita telah memerdekakan kita sama seperti yang dikatakan Paulus kepada jemaat Galatia, namun itu bukan kesempatan untuk hidup dalam dosa (Galatia 5:13). Seorang teolog sekaligus pengkhotbah terkenal pernah berkata, “Jika kita berpikir bahwa kasih karunia adalah tempat untuk bersantai saja, maka kita akan melihat kehancuran”.
Kasih karunia adalah tempat bersukacita, menyesali diri, dan berjuang habis-habisan. Kita bersukacita atas kebaikan Allah yang telah menyelamatkan kita dari “kengerian terdalam” melalui penyaliban Kristus yang telah bangkit dari kematian. Kita menyesali diri atas semua kegagalan-kegagalan kita yang telah melukai hati Allah. Kita berjuang habis-habisan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dan dengan gigih menceritakan kepada dunia tentang Dia, Allah yang mengasihi kita, para pendosa.
Hari ini, dalam momen yang diperingati oleh beberapa gereja sebagai Rabu Abu, akuilah dosa kita di hadapan Allah dan perbaharuilah komitmen kita untuk hidup kudus bagi-Nya.
Kamu diberkati oleh artikel ini?
Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!
Teguran: Tidak Semanis Pujian, Tapi Kita Butuhkan
Kita mungkin sepakat kalau teguran ditujukan untuk kebaikan kita. Tapi, seringkali penyampaian dan pesannya membuat kita tidak nyaman. Bagaimana kita dapat merespons teguran secara positif?
Bagikan Komentar Kamu