Di Tengah Keadaan yang Tak Mudah, Pilihlah untuk Taat

Oleh Meiliana Mulyani

Ketika aku masih kecil, aku senang sekali membaca buku cerita atau komik yang pemeran utamanya adalah anak-anak muda yang tiba-tiba mendapat tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dunia, dan akhirnya pergi bertualang. Menjalani hidup yang biasa-biasa saja memang terkesan membosankan. Kita menginginkan sesuatu yang berbeda dari keseharian. Belajar di luar negeri, pindah tempat kerja, menjalin relasi baru, mungkin itu sekelumit cara yang diambil untuk mengatasi kebosanan.

Natal yang kita rayakan di Desember lalu pun sebenarnya adalah kisah tentang orang biasa, tentang dua orang muda. Namun, mereka tiba-tiba mendapat tanggung jawab besar yang mengubah hidup mereka. Tanggung jawab tersebut bukanlah sesuatu yang diidam-idamkan oleh orang muda pada umumnya. Mereka mengalami pilihan-pilihan sulit dan membuat hidup mereka tidak lagi sama. Kita kenal dengan mereka, Yusuf dan Maria. Mari membaca kisah mereka dalam Matius 1:18-21 dan kita coba posisikan diri kita sebagai mereka.

Jika aku adalah Maria…

Jika aku adalah Maria, aku akan bertanya, “Kenapa aku yang Engkau pilih, Tuhan? Mengapa tidak yang lain saja? Tubuhku terlalu berharga untuk ‘dirusak’ dengan kehamilan yang tidak pernah kurencanakan sebelumnya. Aku mencintai tunanganku dan aku tidak ingin hubungan kami berakhir, apalagi jika dia salah paham karena aku mengkhianatinya. Aku mencintai keluargaku dan aku tidak ingin mereka menanggung malu di antara tetangga karena putri mereka mengandung sebelum menikah. Dan, yang paling menakutkan adalah, apakah aku harus mempertaruhkan nyawaku juga karena mengandung di luar pernikahan yang artinya hukuman mati menanti?”

Jika aku adalah Yusuf…

Jika aku adalah Yusuf, aku akan bertanya “Maria, kenapa engkau mengkhianatiku? Aku sangat kecewa kepadamu, namun di saat yang sama aku juga sangat mencintaimu. Jikalau aku ingin, aku bisa saja melaporkan kepada orang banyak bahwa anak di dalam kandunganmu memang bukanlah anakku sehingga engkau dihukum mati atas ketidaksetiaanmu. Atau aku bisa menceraikanmu di depan para tua-tua dan mempermalukanmu di depan umum. Aku ingin kamu merasakan sakit seperti kekecewaan yang kualami saat ini. Namun, mengapa aku tidak sanggup melakukan semua itu? Apakah mengakhiri pertunangan secara sepihak dan diam-diam sehingga kamu tidak menanggung malu, tidak perlu dihukum mati, dan kamu dapat menikah dengan pria itu merupakan keputusan yang adil bagiku? Lagipula jikalau aku memutuskan untuk melakukannya aku harus mengembalikan sejumlah uang pernikahan kepada keluargamu, di saat aku bisa tetap menyimpannya jikalau engkau dihukum mati atau aku menceraikan dan mempermalukanmu di depan umum. Apakah ini adil bagiku yang engkau khianati ini?”

Jika aku adalah Yusuf… (bagian ke-2)

Jika aku adalah Yusuf yang telah mendengar berita dari malaikat, aku akan bertanya “Tuhan, bagaimana mungkin Engkau menyuruhku untuk tetap menikahi Maria? Aku mencintainya dan aku lega bahwa ternyata dia tidak mengkhianatiku walaupun kedengarannya kehamilannya tidak masuk akal, tetapi aku tidak dapat membayangkan bagaimana kami menjalani hidup setelahnya. Cibiran, hinaan, kesalahpahaman harus kami tanggung selama sisa hidup kami. Lagi pula sebagai seorang laki-laki, tidak menyentuh istriku sendiri sampai persalinannya pun kedengarannya cukup tidak masuk akal. Apa kami sanggup menjalani pernikahan yang demikian?”

* * *

Kita semua tahu bahwa Yusuf dan Maria tetap taat sekalipun mereka tahu bahwa ini adalah hal yang sulit. Namun, ada satu pribadi lain yang juga taat. Bahkan ketaatan yang dipikul-Nya lebih sulit daripada yang harus dipilih oleh Yusuf dan Maria.

Jika aku bisa bertanya kepada bayi itu…

Dan kini aku sendiri sebagai manusia berdosa akan bertanya kepada bayi mungil Yesus yang lahir dua ribu tahun yang lalu, “Tuhan, mengapa Engkau mau meninggalkan takhtamu yang mulia di Surga sana? Mengapa Engkau mau meninggalkan kemuliaan, kenyamanan, dan kekayaanmu, lahir sebagai manusia yang hina, miskin, dan mengenaskan di kandang domba? Bahkan begitu banyak manusia lainnya tidak bernasib serendah itu. Tetapi pertanyaan terbesarku adalah mengapa Engkau mau menjalani hidup yang demikian menderita dan berakhir dengan mengenaskan demi kami yang menolak Engkau dan bahkan tidak sadar bahwa diri kami sesungguhnya membutuhkan Engkau?”

Ketaatan yang Sempurna

Belajar menyelami perasaan ketiga tokoh di atas membuatku bertanya-tanya, apa artinya menjadi taat? Taat adalah suatu hal yang mudah diucapkan tetapi tidak mudah dipraktikkan. Menjadi seorang Maria atau Yusuf tentu bukan suatu hal yang mudah, mereka menghadapi pilihan yang sangat sulit. Mereka harus memutuskan sesuatu yang akan membuat hidup mereka tidak lagi sama. Tetapi tokoh utama dalam cerita ini bukanlah Maria dan Yusuf, mereka hanyalah dua orang manusia berdosa yang diberikan anugerah untuk melahirkan dan merawat bayi Yesus yang akan menebus dosa mereka.

Tokoh utama dari kisah ini adalah Yesus. Filipi 2:1-8 menggambarkan Yesus yang adalah contoh dari ketaatan yang sempurna. Yesus, sang pencipta dunia ini, pemilik dunia ini, seorang Tuhan yang disembah, tetapi mau turun sebagai manusia. Jikalau manusia menjadi hina seperti binatang, Tuhan Yesus yang adalah Tuhan, mau menjadi hina seperti manusia. Bahkan bukannya menjadi manusia yang sukses, tetapi miskin, dari desa yang tidak dikenal, anak tukang kayu, ditindas, dicemooh, dikutuk, dibunuh dan dianggap sesat oleh manusia-manusia yang ingin Dia tolong.

Padahal bisakah Tuhan Yesus menolak menjadi manusia? Bisa.
Bisakah Tuhan Yesus memilih ingin lahir di mana dan di keluarga yang seperti apa? Bisa.
Bisakah Yesus memilih kesuksesan selama hidupnya dan tidak mau mati disalib? Bisa.

Namun, Yesus tetap memilih untuk taat kepada Allah Bapa, bahkan sampai mati di kayu salib. Yesus menunjukkan bahwa di dalam ketaatan-Nya, Dia tidak taat hanya seperempat, sepertiga, setengah dalam perjalanan hidupnya, namun Dia mengabdikan atau menyerahkan seluruh hidupnya.

Jikalau Yesus hanya taat dalam setengah perjalanan hidupnya, hanya lahir menjadi manusia tetapi tidak berkenan hidup susah, atau hanya sebatas hidup susah tapi tidak mau mati disalib, bagaimana hidup kita saat ini? Kita tidak akan memiliki pengharapan lagi, karena semua manusia dosa kita tidak ditebus dan kita tahu bahwa ujung hidup kita adalah maut.

Momen Natal telah berlalu, tetapi hendaknya kita selalu ingat akan ketaatan Maria, Yusuf, dan yang terutama adalah ketaatan Yesus sendiri. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita di masa depan, mungkin kita secara tidak sadar sedang merasa jenuh di dalam comfort zone kita saat ini, mungkin kita was-was akan perubahan seperti apa yang akan kita alami nantinya. Namun Yesus memberikan kita teladan dan kasih yang tulus sehingga Dia mau taat dengan sempurna. Kiranya apapun yang kita hadapi di masa depan, kita juga menjadi taat dan setia menjalani panggilan kita sebagai murid-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ini Pesan Tuhan untuk Kita Semua di Tahun 2021

Pandemi membuat penghasilan keluarga kami menurun, dan aku pun tidak bisa banyak membantu. Di suatu malam orang tuaku bercerita. Cerita inilah yang menguatkanku akan pesan yang ingin Tuhan sampaikan di tahun ini.

Bagikan Konten Ini
3 replies
  1. Setya Budi Sulis
    Setya Budi Sulis says:

    terima kasih Tuhan dengan artikel ini dapat menguatkan iman kepercayaan kami sekeluarga untuk selamanya.
    kami saat ini ditengah tengah orang yg tidak seiman dengan kami dan satu satunya orang Kristen yg tetap tinggal ditengah tengah orang non Kristen untuk mencari nafkah demi keluarga terimakasih Tuhan dan kuatkan kami saat ini sampai selamanya amin.

  2. Lia
    Lia says:

    Setiap hari saya membaca artikel ini, sangat membantu menguatkan saya dalam masa-masa sulit yang saya alami sekarang. Semoga kita semua tetap taat. Amin

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *