Belajar Mengasihi Mereka yang Tak Seiman

Oleh Irene, Surakarta

Kaget. Itulah perasaanku tatkala masuk ke dunia kerja pada tahun 2017 silam. Bukan hanya karena target-target yang harus dicapai, melainkan juga karena teman-teman sekantor yang tak seiman denganku.

Aku tumbuh di lingkungan Kristiani. Sejak kecil hingga kuliah, aku hidup bersama orang-orang seiman. Bak katak dalam tempurung, aku hampir tak pernah memiliki teman dari agama lain selain Protestan dan Katolik. Dan, hal inilah yang secara tidak langsung membuatku mengeksklusifkan diri dan memercayai stigma yang salah tentang agama lain, bahwa mereka mungkin tidak suka dengan orang Kristen

Aku takut saat masuk ke dunia kerja, karena di sini mau tidak mau aku harus bergaul dengan teman-teman baru yang 90 persen bukanlah orang Kristen. Jujur, pertama kali masuk, ada rasa takut akan diskriminasi dari mereka. “Bagaimana jika nanti aku dikucilkan dan tak punya teman? Bagaimana jika mereka tak mau menerima aku dan aku tidak bisa beradaptasi lalu dianggap aneh?” Pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam diriku.

Namun aku teringat bahwa sebagai seorang Kristen, aku harus berani menunjukkan kasih kepada sesama meskipun kami tak seiman, seperti dalam pesan Yohanes. Dalam suratnya, Yohanes mengatakan bahwa kita diutus untuk mengasihi karena kasih itu sendiri berasal dari Allah, Tuhan kita. “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1 Yohanes 4:7 dan 1 Yohanes 4:21)

Perlahan, aku pun mulai membuka diri. Sedikit demi sedikit, aku mulai berani menunjukkan identitasku sebagai seorang Kristen seperti berdoa sebelum makan di samping teman-teman kantorku. Ketika hari raya mereka tiba, aku menunjukkan kasih dalam rupa mengucapkan selamat lewat pesan singkat terlebih dahulu meskipun seringkali mereka tak melakukan hal yang sama kepadaku. Aku juga belajar menjadi pribadi yang ramah dan tidak menghakimi mereka lewat tindakan maupun dari dalam hatiku sendiri.

Berulangkali, aku mengingatkan diriku sendiri bahwa aku pun manusia biasa yang seringkali berbuat salah. Menjadi Kristen, tak berarti aku lepas begitu saja dari dosa dan lebih baik daripada mereka. Aku tak berhak menghakimi mereka dan melabeli mereka jahat, hanya karena mereka tak seiman denganku atau hanya karena penampilan mereka, seperti pesan Rasul Paulus (Roma 14: 4): “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.”

Ketika aku melakukan hal-hal baik, mereka pun mulai membuka diri. Teman-teman kantorku jadi mulai bertanya tentang imanku dan aku pun menjelaskannya dengan antusias. Bukan hanya itu saja. Mereka pun juga mulai ikut mengucapkan Selamat Natal dan Paskah kepadaku dan teman-teman Kristen lain yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kami pun saling belajar tentang arti toleransi yang sesungguhnya. Oleh karena kami bekerja di media yang harus masuk di tanggal merah, aku dan teman-teman Kristen pun berkorban masuk kantor di saat mereka merayakan hari raya. Begitu pula sebaliknya.

Kini setelah 3 tahun aku bekerja, aku memiliki banyak teman yang tak seiman denganku. Aku bersyukur, suasana kantor yang dulu menegangkan bagiku, kini menjadi semakin cair dari hari ke hari. Lewat mereka, aku juga belajar mengasihi, membuka diri, menghapus stigma negatif yang selama ini aku percayai serta bertoleransi dengan umat dari agama lain. Kami saling bertukar cerita, suka dan duka bahkan pergi bersama dan berbagi canda tawa di tengah-tengah perbedaan yang kini tak lagi menjadi tembok pembatas di antara kami.

Bagiku, inilah tantangan utama kita sebagai seorang Kristen di zaman ini. Memang begitu sulit untuk terlebih dahulu mengasihi mereka yang ‘berbeda’ dengan kita. Bahkan seringkali, kita merasa sebagai yang paling benar di antara umat agama lain. Namun Tuhan Yesus sendiri pernah menegur kita bahwa jika kita mengasihi mereka yang sudah mengasihi kita, apakah upah yang kita dapatkan? “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Matius 5: 46 – 48).

Oleh karena itu, seperti dalam hukum utama Kitab Suci dalam Surat Yakobus 2: 8-9, marilah kita mengamalkan kasih kepada siapapun yang kita temui. Tak peduli apapun agamanya, apapun ras dan sukunya, berusahalah memberikan kasih lewat salam, sapaan yang ramah dan tidak menghakimi demi terwujudnya nilai-nilai Kristiani:“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.”


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Bertahan Adalah Sebuah Pergumulan

Bertahan dan memelihara komitmen untuk melayani di komunitasku sempat terasa begitu berat. Aku ingin menyerah dan keluar saja, tetapi Tuhan menguatkanku tetap bertahan, hingga sekarang aku melihat buahnya.

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Steven Tony
    Steven Tony says:

    Amin.. Mengasihi sesama tidak bisa dibatasi oleh perbedaan agama, ras, suku..
    Mari saling mengasihi.. Gbu.

  2. Myblue Chelsea
    Myblue Chelsea says:

    mengasihi tidak sesama iman janganlah lebih dari kasih kepada sesama iman. dengan standart kejujuran dan nilai kekristenan kita memberi kasih yang sesuai porsinya. #jujurfakta

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *