Kala Instagram Merenggut Sukacitaku
Oleh Minerva Siboro, Tangerang
Suatu ketika, aku melihat status temanku di Facebook. “Untuk saat ini tidak akan aktif dalam media sosial manapun. Seluruhnya telah menjadi racun bagiku dan mungkin hanya bisa menghubungiku lewat WA saja,” tulisnya. Dengan membaca status itu, aku menerka, mungkin saja temanku ini sedang bergumul karena ketergantungan pada media sosial. Aku lalu merefleksikan pada diriku sendiri, apakah aku mengalami yang sama?
Saat aku menjelajah Instagram, kulihat story teman-temanku berjejer. Ketika kubuka, kulihat betapa aktif dan banyaknya kegiatan yang mereka lakukan. Tiba-tiba, aku merasa kepercayaan diriku ambruk. “Kapan aku bisa seperti itu? Fotonya bagus banget! Kalau dibandingin denganku, aku sepertinya tidak ada apa-apanya. Aduh, kok aku gak seberuntung dia. Aku harus posting juga deh foto ini supaya kelihatan keren!” Tanpa kusadari, aku melewatkan waktu dua jam untuk melihat story teman-temanku dan membandingkannya dengan diriku sendiri, bahwa aku sepertinya selalu kurang jika dibandingkan dengan unggahan teman-temanku itu.
Segera kututup Instagramku dan berdoa, “Tuhan, ampunilah aku yang menganggap diriku tidak lebih baik dari orang lain, terlebih aku telah membuat Engkau terpojokkan. Engkau yang telah menciptakanku dengan sangat baik adanya, tapi aku tidak mensyukuri karya-Mu yang luar biasa dalam diriku ini.”
Aku ingat khotbah dari pendetaku saat kebaktian Minggu di gereja. Kira-kira beginilah kata-katanya, “Jikalau kamu merasa dirimu berharga (sebab Allah telah menciptakan kamu), maka hal-hal berharga lainnya (uang, jabatan, kemewahan) yang tidak kamu miliki bukanlah standar yang membuat dirimu berharga.” Jika saat ini kita tak punya baju bagus, rumah mewah, kendaraan yang keren, itu tidaklah masalah. Kepemilikan atas benda-benda tersebut bukanlah indikator seberapa berharganya diri kita. Kita berharga karena Allah yang telah menciptakan kita. “Untuk mencapai kepuasan diri, maka lihatlah betapa berharganya dirimu di hadapan Tuhan.” Dari perenungan itu, aku menyadari bahwa kunci kebahagiaan sejatinya bukanlah ada pada apa yang belum kita miliki atau apa yang ingin kita tambahkan, melainkan pada apa yang sudah kita miliki: talenta dan karunia yang telah Allah berikan.
Manusia adalah imago Dei, segambar dan serupa dengan Allah seperti tertulis dalam Kejadian 1:26a-27. Citra kita sebagai gambaran Allah adalah sebuah keistimewaan. Meski kita telah jatuh ke dalam dosa, Allah tetap menjadikan kita istimewa hingga Dia datang ke dunia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan kita.
Aku adalah satu-satunya di antara sekian banyak umat manusia di dunia ini. Saat aku belajar biologi, aku mengetahui bahwa tidak ada satu pun dari antara seluruh umat manusia memiliki DNA yang sama. Bahkan, dua orang yang kembar identik pun DNA-nya berbeda. Tak ada satu pun manusia yang tak berharga. Semuanya diberi talenta dan kemampuan yang berbeda-beda, supaya setiap dari kita bisa saling melengkapi di dalam persekutuan yang bertumbuh dalam Tuhan.
Aku sangat bersukacita membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki Tuhan yang sangat besar dan menyayangiku dengan sangat istimewa. Terlebih lagi, Tuhan mengenali satu persatu umat-Nya, yang Dia bentuk dengan tangan-Nya sendiri (Yeremia 1:5). Aku masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Godaan memang selalu datang. Ilah-ilah palsu dunia ini merayuku dan menarikku untuk menjauh dari Tuhan dengan mengajakku untuk memercayai bahwa diriku kurang ataupun tidak berharga.
Menikmati media sosial dengan perspektif baru
Aku tidak menutup akun media sosialku. Menurutku, banyak hal positif yang aku dapatkan dari media sosial, seperti berita dan informasi, kondisi teman-teman lamaku, keluargaku yang jauh, bahkan bekerja pun lewat media sosial. Hal yang aku lakukan agar media sosial tidak lagi membuatku tidak bersukacita yaitu dengan cara menggunakannya sesuai porsi yang tepat. Aku juga belajar untuk mengatur waktu dan mengendalikan diriku sendiri saat bermain media sosial. Saat ini aku sangat bersukacita dengan apa yang sudah aku miliki dari Sang Pemilik itu sendiri.
Ravi Zacharias, penulis buku “The Grand Weaver” menyebut-Nya dengan istilah “Sang Penenun Agung”. Aku sangat menyukai sebutan itu. Tuhan telah “menenunku” sedemikian rupa dalam suatu tujuan dan ketetetapan yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 139:13-17 “Engkaulah yang membuat bagian-bagian halus di dalam tubuhku dan menenunnya di dalam rahim ibuku. Terima kasih karena Engkau telah membuat aku dengan begitu menakjubkan! Sungguh mengagumkan kalau direnungkan! Buatan tangan-Mu sungguh ajaib—dan semua ini kusadari benar. Pada waktu aku dibentuk di tempat tersembunyi, Engkau ada di sana. Sebelum aku lahir, Engkau telah melihat aku. Sebelum aku mulai bernafas, Engkau telah merencanakan setiap hari hidupku. Setiap hariku tercantum dalam Kitab-Mu! Tuhan, sungguh indah dan menyenangkan bahwa Engkau selalu memikirkan aku. Tidak terhitung betapa seringnya pikiran-Mu tertuju kepadaku. Dan ketika aku bangun pada pagi hari, Engkau masih juga memikirkan aku.” (FAYH).
We are so precious, kita sungguh berharga.
4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran
Mengatasi khawatir itu susah-susah gampang. Kita tahu janji Tuhan, tapi hati ini kerap menolaknya. Yuk simak 4 jurus ini untuk mengatasinya.
Sungguh refleksi yang luar biasa. Mengingatkan untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain karena kita berharga di mata Sang Penenun Agung.
luar biasa, bersyukur selalu
Amin 😇
God Bless You 🙂
Terima Kasih Bapa yang luar biasaðŸ™ðŸ¼â¤
terima kasih banyak, ini sangat memberkati saya😊 God bless us
Halooo kak Minee. Ini Vita. Artikel nya sangat bagus kak. Vita terkejut tadi. Bahwa kakak yang nulis artikel ini. Terimakasih untuk Refleksi nya kak. Tetaplah berkarya kak Mine dan menjadi berkat untuk semua orang.
Sangat memberkati.. terima kasih. God bless us 😊
Terima kasih banyak sudah mau berbagi kisah, dan juga ayat Firman Tuhan yaitu Mazmur 139:13-17. Ketika saya membaca satu persatu baitnya, sungguh menyentuh skali kalimatnya sampaj nangis. Sangat memberkati skali..
Gbu ❤😊
Trimakasih sudah berbagi pengalaman, kiranya kita tetap berusaha menjadi pribadi yg lebih baik dan menjadi dewasa dalam proses pembentukan kita masing2 🙏
Terima kasih buat sharingnya kak.. sangat memberkati & menguatkan, karena terkadang sypun ada diposisi seperti ini.. ðŸ™ðŸ¼ðŸ˜‡
Ini sangat membantu & motifasi nya sangat keren
Terimakasih untuk sharingnyaa. sangat memberkati skali. 😇
sangat relate dengan keadaanku sekarang, terimakasih Tuhan Engkau telah menyadarkanku, Amin
God bless us 💙😇
terima kasih sharingnya! sangat terberkati dan kembali diingatkan kalau citra diri di media sosial gak sebanding dengan citra diri yang Tuhan telah tetapkan sejak kita diciptakan–segambar dan serupa dengan-Nya :”) Tuhan berkatiii
terharu sekali … terimakasih sharingnya dan sekarang sayapun sedang membataskan diri dengan media sosial
Hai semuanya! Terimakasih sudah membaca artikelku. Semoga jadi berkat dan membuka perspektif baru tentang media sosial! Aku pun masih terus bergumul, tapi aku percaya hikmat dari Tuhan, itulah yang terus menolong dan memperbarui masing-masing dari kita setiap harinya!
Stay blessed!
trimkasih Tuhan Yesus berkati ðŸ™ðŸ˜‡